Saat itu pukul 10 petang, dan tinggal aku sendiri yang masih berada di ruang kantor. Beberapa lampu sudah dimatikan, yang tersisa hanya lampu di departemenku dan lobi.
Tidak biasanya aku bekerja lembur hingga jam segini. Setiap ada pekerjaan yang belum selesai, aku pastikan untuk aku bawa pulang dan aku kerjakan di kos. Namun, entah kenapa aku enggan pulang cepat dan memilih untuk menyelesaikannya di kantor.
Drrrrt.... Drrrrt.
“Halo, dengan Saskia.” Sahutku sembari mengangkat panggilan telepon.
Hening.
“Halo?” Kataku sekali lagi pada panggilan telepon yang tidak bersuara itu
Aku menunggu sekitar lima detik dan kembali tidak ada sahutan. Orang iseng pikirku, karena nomor yang menelepon pun disembunyikan.
“Halo. Jangan main-main, ya! Kalau tidak niat berbicara tidak perlu menelepon!” Ujarku bingung dan segera kumatikan panggilan tersebut.
Bisa saja telepon iseng malam-malam begini di saat aku sedang sendiri di kantor. Selain menyebalkan, tampaknya agak menyeramkan juga.
Drrrrt.... Drrrrt.
“Siapa, sih? Tidak ada nomornya lagi,” keluhku bersuara. “Halo!” Angkatku ketus.
Hening.
Aku menghela napas panjang, “Halo! Halo! Haaaloooooo!”
Hening.
Seketika bulu kudukku berdiri dan aku matikan panggilan itu untuk yang kedua kalinya.
Segera aku masukkan laptop ke dalam tasku. Pekerjaanku belum sepenuhnya selesai, tapi aku harus segera pulang karena perasaan paranoid yang tiba-tiba menghantuiku. Seakan-akan ada yang sedang mengawasiku dan mencoba bermain-main denganku.
Aku mengambil langkah seribu dan bergegas keluar kantor sambil memesan driver online di aplikasi Grab. Tidak perlu menunggu lama, begitu aku sampai di depan lobi, mobil pesananku sudah tiba dengan cahaya lampu yang cukup menyilaukan.
“Kenapa ngos-ngosan mbak?” Tanya supir ojol yang kupesan sesaat aku memasuki mobilnya.
“Ah, tidak apa-apa, Pak!”
“Ok, tujuannya sesuai aplikasi, ya Mbak?”
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Pak Supir.
Entah kenapa panggilan misterius tadi terasa menakutkan. Padahal bisa saja si Andre yang sengaja iseng meneleponku karena hanya dia seorang yang tahu kalau aku sedang lembur sendirian di kantor. Setidaknya aku sudah merasa lebih aman dengan adanya Pak Supir yang mengantarku.
***
“Saskia, lesu amat!” Sahut Tiwi yang baru meletakkan tasnya di meja sebelahku.
“Halo Tiwi. Gimana gak lesu? Semalam aku baru pulang jam 10 malam dari kantor dan sampai rumah jam setengah dua belas. Gimana pagi ini gak lesu?” Jawabku lemas.
“Tumben banget lembur, biasanya kerjaan selalu dibawa pulang ke rumah, lho. Ada apa, nih? Ngejar promosi? Hehehe.” Tiwi menyeringai menggodaku.
“Yaelah Wi! Nggak lah, kalo dipromosikan pun aku gak mau, apalagi kalo bosnya masih si Andre sontoloyo itu! Amit-amit pokoknya nggak mau!”
Tiwi cekikikan sendiri melihat pembelaanku yang terkesan gengsian dan nyinyir.
“Ada yang bawa-bawa nama saya?”
Aku terhenyak. Suara laki-laki yang sangat familiar berkumandang di belakangku. Aku memandang Tiwi yang tiba-tiba duduk manis dan menyibukkan dirinya dengan menyalakan laptop kantornya.
Benar saja, begitu aku menoleh ternyata si Andre sontoloyo itu mendengarkan pembicaraanku dengan Tiwi dari belakang.
“Ah, kamu Dre! Iya tadi aku bawa-bawa nama kamu. Kenapa? Gak suka?”
Andre memandangku kecut, menghembuskan napasnya yang berat, dan menyipitkan pandangannya ke arahku, ”Andre? Kebiasaan kamu, ya! Aku itu bos kamu, sopan sedikit dong! Tambahin Pak gitu, kan dengarnya enak.”
“Bla bla bla. Mau kamu bosku kek, mau kamu bapakku kek, kita itu sepantaran! Dasar gila hormat, weeeek!” Balasku sambil menjulurkan lidah seperti anak kecil.
“Baiklah Saskia, penilaianmu tahun ini ga akan aku kasih bagus, ya. Weeeek!” Andre membalas juluran lidahku. Lalu dia membalikkan badannya dan masuk ke ruangannya.
Ya, Andre memang bosku. Tapi sebenarnya aku sudah kenal dia sejak lama. Coba bayangkan dari SD sampai SMA kita selalu satu kelas. Kuliah pun mengambil jurusan yang sama di universitas yang sama. Bisa dibilang kami berdua adalah rival abadi. Dia beruntung saja bisa dipromosikan lebih cepat dari aku.
“Saskia, gak boleh begitu, lho. Aku tahu kalian teman sejak kecil dan juga...”
“Bukan teman! Kami itu musuh bebuyutan!” sanggahku memotong ucapan Tiwi.
“Belom selesai ngomong, Bu! Aku tahu kalian teman dan juga musuh sejak kecil, tapi kalo di kantor tetap profesional, dong. Kalo sampai pimpinan tau hal ini kamu bisa ditegur karena bersikap tidak sopan.”
Aku menatap Tiwi selama beberapa saat kemudian menjulurkan lidahku padanya,”Weeee!”
“Kamu itu, ya ga bisa dewasa sedikit. Malu sama umur woy!”
Aku cuma bisa tersenyum dan mengisyaratkan,”Bodo amat!”
***
Jam kantor menunjukkan pukul 6 malam. Tiwi terlihat sudah mulai merapikan tasnya dan bersiap pulang.
“Kamu lembur lagi hari ini?”
“Sedikit lagi, Wi. Mudah-mudahan 15 menit lagi selesai.”
“Ok, aku pulang dulu, ya! Pacarku sudah menunggu di bawah hehehehe. See you tomorrow!”
“Hati-hati di jalan, Wi,” jawabku sambil melihat Tiwi bergegas pulang. Asiknya kalau sudah punya pacar, pulang kantor selalu dijemput. Pasti enak, ya kalau juga ada yang jemput aku, jadi ‘kan bisa irit ga perlu order ojol lagi.
Ngomong-ngomong ojol, aku harus top-up e-wallet dulu, nih supaya dapat promo. Lumayan tanggal tua bisa lebih hemat.
Belum sempat aku membuka aplikasi ojolku, aku dikagetkan oleh Andre, “Sas! Nebeng aku aja yuk, sekalian mau mampir ke supermarket dekat kos kamu.”
“Dre, bisa ga kalo ngomong tuh jangan tiba-tiba terus! Bisa jantungan aku lama-lama kalau begini,” ucapku protes. “Emangnya gak ada supermarket lain? Harus yang dekat kosku banget?”
“Iya soalnya daging yang enak cuma ada di supermarket dekat kosmu. Ayo, mau ikut ga?! Kerjaannya lanjut di rumah aja.”
Andre langsung melangkah keluar kemudian menoleh sebentar. Dia melihatku seakan ingin memberitahu kalau aku begitu lamban.
“Iya, Andre! Sabar!” Sahutku sambil mengikutinya dari belakang.
Andre bisa dibilang memiliki penampilan yang sempurna. Rahangnya tegas dengan berhiaskan lesung di kedua sisi pipinya. Dadanya bidang, lengannya kokoh, badannya tegap dengan tinggi 180 cm. Tapi sayang kelakuannya minus, suka maksain kehendak orang dan narsis. Aku masih heran kenapa dia bisa dipromosikan?
Malam itu begitu gelap. Ditemani dengan tetesan gerimis air hujan, aku duduk di kursi penumpang sementara Andre berada di sebelahku mengendarai mobil kijang produksi tahun 1993 miliknya. Sudah jadi bos kenapa tidak ganti mobil saja, pikirku.
“Oh ya Andre, kamu kalau ngerjain orang kira-kira, dong! Sudah tau aku lembur sendirian kemarin malam, masih aja kamu telepon aku dengan nomor yang disembunyikan. Untung aku orangnya gak penakut!” Protesku sambil membuka pembicaraan.
Andre mengernyitkan alisnya sambil memfokuskan pandangannya ke depan, “Siapa yang ngerjain kamu, sih? Semalam itu aku sudah tidur jam 10. Sebagai bos kan kerjaanku lebih capek dari kamu.” Ujarnya menggoda.
“Ah, kamu pasti bohong! Ngaku, deh!”
“Dih, kepedean banget kamu jadi cewek. Hahahaha!” Jawabnya sambil tertawa geli.
Saat itu aku masih belum berpikir macam-macam terkait telepon iseng malam itu. Bisa saja memang ada orang yang salah sambung. Hal semacam ini ‘kan biasa terjadi. Namun, ada perasaan kurang enak yang menyelimutiku. Sebuah perasaan yang menjadi pertanda akan peristiwa besar di depanku.
Deru knalpot mobil seketika berhenti di depan supermarket yang berjarak tiga blok dari kosku. Andre melepas seatbelt-nya dan mengambil dompet dari dalam tasnya.
“Kamu mau menungguku berbelanja dulu sebentar Sas? Nanti aku sekalian antar ke kos,” ujarnya.
“Oh, tidak perlu Dre. Aku bisa jalan kaki dari sini, hujannya juga sudah berhenti jadi kamu tenang saja. Aku anaknya ga manja, kok. Hehe... Terima kasih, ya.”
“Ya sudah kalau begitu. Sampai ketemu besok, ya.”
Aku dan Andre keluar dari mobil dan saling melambaikan tangan. Sementara Andre berjalan memasuki supermarket, aku membenarkan posisi strap tas di bahuku dan berjalan santai menyusuri trotoar. Jika dipikir-pikir, Andre sebenarnya bisa baik juga. Andai saja dia baik setiap hari, aku tidak perlu membawa pekerjaan ke kosku terus tiap malam.
“Sudah pulang Dek Saskia?” Sapa Nenek Aida yang sedang duduk santai di balkon rumahnya, tidak jauh dari supermarket tempat aku turun.
“Iya, Nek. Ini sudah malam Nek. Nanti masuk angin kalau di luar malam-malam begini,” jawabku sambil mengingatkannya bahwa udara malam hari tidak baik bagi tubuh rentanya.
Nenek Aida hanya tersenyum sambil membetulkan posisi kacamatanya yang agak melorot. Entah dia dapat mendengar suaraku dengan jelas atau tidak di umurnya yang sudah 75 tahun itu.
Di sebelah rumah Nenek Aida, terlihat Pak Samson dan istrinya yang sedang bermain dengan Selvi, anak perempuan mereka yang berumur 7 tahun. Mereka tampak seru bermain uno stacko di dalam rumah. Sudah menjadi kebiasaan Pak Samson untuk tidak menutup gorden jendelanya jika belum waktunya tidur. Kebahagiaan yang kulihat di rumahnya membuatku jadi ingin punya anak. Hehehe.
Lalu aku melewati toko buku langgananku yang berada di seberang jalan, hanya 1 blok dari rumah Pak Samson. Sebuah toko kecil yang dipenuhi dengan buku-buku tua dan langka. Sering sekali aku datang ke sana untuk sekedar melihat-lihat puluhan harta karun berhuruf itu. Memang di dunia digital sekarang ini pembaca buku fisik sudah menurun, tapi buat aku pribadi membaca sambil memegang tumpukan kertas di tanganku adalah kesenangan tersendiri.
Pak Muklis, pemilik toko buku itu sadar tokonya sedang diperhatikan. Dia menoleh ke arahku dari dalam etalase toko. Seperti biasa, mukanya ketus dan tidak bersahabat. Aku membalasnya dengan senyuman tipis dan segera bergegas pulang. Untung saja di sana banyak buku bagus, jadi aku tidak keberatan jika harus berurusan dengannya.
Aku bisa merasakan udara dingin menusuk kulitku malam itu. Tampaknya akan turun hujan lagi. Aku tidak boleh berlama-lama di luar. Kalau sampai hujan bisa gawat karena aku tidak membawa payung.
Hanya 5 menit aku berjalan kaki dan akhirya tiba di bangunan 3 lantai bercat putih dengan beberapa lampu terlihat menyala dari luar. Ya, aku sudah sampai di gedung kosku. Kamar kosku berada di lantai 3. Tentunya di saat aku sedang kelelahan, menaiki tangga ke lantai 3 menjadi PR terburuk yang pernah kualami. Sudah berkali-kali aku minta pindah kamar ke lantai 1, tapi ibu kos tidak pernah mengijinkan. Katanya, sih kamar-kamar di lantai 1 sedang direnovasi.
Sesampainya aku di lantai 3, aku melihat Austin sedang memandangiku dari depan pintu kosnya. Cowok blasteran German dan Korea itu menatapku tanpa bergeming sedikitpun.
Kenapa, sih cowok ini? Aku bahkan bisa tahu kalau matanya sedang mengikutiku menuju pintu kamar kosku. Tanpa basa-basi aku langsung masuk ke dalam kamarku dan menutup pintu dengan cepat. Mungkin ini salah satu alasanku ingin pindah lantai. Aku selalu merasa risih dengan Austin. Aku bahkan tidak pernah mengobrol dengannya karena dia sangat pendiam. Tingkah lakunya juga agak aneh menurutku.
Pernah suatu malam aku mendengar langkah kaki yang cukup mengganggu. Karena cukup mengganggu tidurku, aku mencoba mengintip keluar dari pintu kamar. Saat itu aku melihat Austin sedang membawa seekor kucing kotor penuh dengan luka. Dan di tangan satunya lagi dia membawa kantong plastik hitam yang cukup besar. Entah mau diapakan kucing malang itu.
Hmm. Yang pasti aku segera menutup dan mengunci pintu kamarku karena risih dengan penglihatanku malam itu. Begitu banyak asumsi yang aku pikirkan di otakku. Bisa saja dia seorang psikopat. Awalnya membunuh hewan tak berdaya untuk melampiaskan kesenangannya hingga lama-lama memilih untuk membunuh manusia.
Aduh, Saskia! Apa, sih yang aku pikirkan? Pasti karena habis menonton Don’t F**k With Cats di Netflix! Sebaiknya aku harus berhenti menonton film pembunuhan untuk menghilangkan paranoidku.
***
“Ya ampuuuun!!!!” Teriakku pagi-pagi setelah bangun tidur. “Aku lupa mengirim uang ke orang tuaku di kampung!”
Orang tuaku tinggal di Wonosobo, mereka hanyalah pedagang kelontong yang penghasilannya tidak seberapa. Aku sebagai anak satu-satunya harus giat bekerja agar bisa selalu mengirimkan uang kepada mereka. Kerja di Jakarta memang keras, tapi bukan berarti aku mudah menyerah, apalagi ada Andre si sontoloyo itu yang selalu menjadi motivasiku untuk bisa mengalahkannya.
Saat sedang melakukan transaksi mobile banking, aku baru menyadari notifikasi di ponselku. Notifikasi panggilan yang tak terjawab.
Sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal di jam 3 pagi, gumamku dalam hati. Aku pun terdiam sejenak.
Aku langsung teringat kejadian malam itu dimana aku lembur hingga larut di kantor. Apakah ini dari orang yang sama? Kenapa aku setakut ini? Bukankah ini hal yang biasa? Bisa saja ‘kan memang orang iseng melakukan hal seperti ini untuk lucu-lucuan.
Aku langsung membuka aplikasi Whatsapp dan mengirimkan pesan kepada Andre. “Andre, kamu menelepon aku sampai sepuluh kali ya subuh-subuh tadi?”
Tidak perlu menunggu lama, Andre membalas pesanku, “Tidak. Aku tidak menelepon kamu. Ngapain menelepon kamu yang jelas-jelas sudah tidur di jam segitu.”
Alasan yang cukup valid. Kenapa aku menanyakannya pada Andre? Seketika aku merasa sangat bodoh menanyakan hal ini.
“Memangnya ada apa, Sas? Kamu ditelpon siapa?” Lanjutnya di whatsapp.
“Andai aku tahu siapa yang meneleponku. Masalahnya, nomor peneleponnya tidak muncul. Sepuluh kali panggilan, lho.”
Typing... Aku melihat Andre sedang mengetik. Tampaknya cukup panjang.
“Kamu terlalu berlebihan, deh. Pasti ada saja orang yang salah sambung. Dan kebetulan orang tersebut mengatur nomornya agar tidak terlihat. It’s no big deal!”
Betul apa yang dikatakan Andre. Aku terlalu overthinking. Sekali lagi aku ingin menyalahkan film-film pembunuhan yang pernah aku tonton. Ternyata film-film tersebut tidak baik untuk mental, pikirku dalam hati.
Aku harus segera bergegas ke kantor sebelum jalan macet.
***
Hari ini kosan masih seperti biasanya, sepi dan tidak banyak orang lalu lalang. Tampaknya semua sudah pergi beraktivitas.
Aku segera menutup pintu kamarku dan menguncinya. Sambil menghela napas dalam-dalam, aku menyerukan “semangat” ke diriku sendiri dalam hati. Tidak akan kubiarkan perasaan was-was karena telepon misterius itu mengubur semangatku hari ini.
Klek.
Aku mendengar suara pintu kamar di sebelahku. Dari suaranya aku bisa pastikan Austin baru saja keluar dari kamarnya. Cara dia mengunci pintu sangat kasar dan kencang. Aku rasa cuma dia penghuni kos ini yang tidak bisa pelan-pelan dalam mengunci pintu.
Aku menoleh sebentar ke arah datangnya suara itu. Bisa ditebak, mata kami saling beradu. Austin memergokiku mencuri pandang terhadapnya. Dia hanya menatapku diam seperti patung, kosong dan tak bernyawa.
“Ha... Hai, Austin! Kamu mau berangkat kerja juga?” Sapaku memecah kesunyian.
Austin hanya melongos melewatiku menuruni tangga. Apa-apaan orang ini? Benar-benar tidak ada etikanya sama sekali. Sebagai tetangga kos, akan lebih baik kalau dia sedikit ramah kepada penghuni lain. Pagi-pagi sudah menghancurkan moodku saja.
Aku masih terpaku menunggu Austin selesai menuruni tangga terakhir. Aku tak ingin dekat-dekat dengannya.
Sembari memperhatikan Austin menghilang dari pandanganku, aku berpikir bahwa Austin memang bukan tipe cowok yang suka memperhatikan penampilan. Pokoknya Austin ini biasa banget sekalipun blasteran German dan Korea. Mungkin karena penampilannya yang masa bodoh itu dia jadi tidak percaya diri dan dingin dengan semua orang.
Ah, berpikir apa aku ini? Kenapa tiba-tiba aku memperhatikannya? Toh aku bukan psikolog juga yang bisa menebak kepribadian seseorang dari penampilan dan gesture-nya.
Sebelum aku menuruni anak tangga yang pertama, aku melihat sebuah benda yang mengkilap tergeletak di depan pintu kamar Austin. Aku menghampiri benda tersebut dan menemukan sebuah kunci dengan gantungan berbentuk segitiga berwarna keemasan. Bila diperhatikan, gantungan tersebut memiliki ukiran menyerupai bunga mawar di tengahnya.
Mungkin ini kunci loker atau meja di kantornya. Sekalipun aku agak malas berurusan dengannya tapi aku langsung mengejarnya turun untuk memberikan kunci tersebut. Bisa saja kunci itu penting untuknya di kantor. Sebagai tetangga aku tetap harus menunjukkan keramahanku padanya. Toh tidak salah juga membantu orang lain.
Sesampainya di bawah, aku segera keluar dan memanggilnya, “Austin!”
Austin yang belum jauh berjalan dari kosan segera berhenti dan menoleh ke belakang.
Aku mendekatinya dan mengulurkan kunci yang kutemukan tersebut, “Ini kuncimu. Tadi aku temukan di lantai depan kamarmu. Aku kira kamu pasti akan membutuhkannya.”
Austin menatapku lalu menundukkan sedikit kepalanya untuk melihat kunci tersebut. Lalu dia mengambilnya dengan cepat dan kembali berjalan meninggalkanku.
Tunggu! Orang ini tidak tahu terima kasih rupanya. Dia bisu atau bagaimana, sih?
“Hei, Austin!”
Austin tetap berjalan tanpa menghiraukan aku. Aku mempercepat langkahku dan saat berada di sebelahnya aku kembali memanggilnya dengan nada marah, “Hei Austin! Kamu punya tata krama atau tidak, sih? Atau jangan-jangan kamu ini bisu?!”
Austin tetap berjalan lurus ke depan. Emosiku semakin terpancing.
“Kamu tidak bisa mengucapkan terima kasih barang sedetik saja? Danke atau gomawo juga bisa ‘kan? Aku sudah mengambilkan kunci milikmu, lho.”
Seperti yang kuduga dia tetap berjalan tanpa mempedulikanku. Langkahnya semakin cepat seolah menghindariku. Aku memperlambat langkahku dan berhenti sambil memandangnya berjalan dengan cepat.
Aku jadi berpikir, apa mungkin aku pernah berbuat salah padanya? Mana mungkin! Mengobrol saja tidak pernah. Dia benar-benar aneh. Kalau tahu begini aku biarkan saja dia pergi tanpa membawa kuncinya itu.
Sesampainya di kantor, aku melihat begitu banyak orang berkerumun di mejaku, tak terkecuali Tiwi yang berada di paling depan kerumunan.
“Kalian pada ngapain di mejaku?”
Tiwi menoleh dan memberikan tatapannya yang bersemangat, “Saskia!!! Ya ampun aku turut bahagia! Kamu kok gak bilang-bilang, sih?”
Kerumunan itu langsung memusatkan perhatiannya padaku dengan mata berbinar-binar. Sebenarnya aku pun masih tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Maksudmu apa Tiwi? Jangan-jangan... Jangan-jangan... Aku dipromosikan?!” Teriakku kencang bahagia.
“Saskia, kamu tidak lupa ‘kan kalau masa promosi sudah lewat dan harus menunggu sampai tahun depan? Kamu jangan pura-pura gak tahu, deh.”
Aku mengintip dari sela-sela kerumunan untuk memuaskan rasa penasaranku dengan apa yang ada di meja. Kemudian aku melihat sekuntum mawar merah yang berikat pita putih cantik di tangkainya. Tepat di atas buku catatan yang ada di mejaku.
Sebelum aku selesai mencerna mawar yang ada di mejaku tersebut, Saskia melompat dan memelukku girang.
“Ya, Tuhan!!!! Sejak kapan kamu punya pacar? Akhirnya setelah 8 tahun jomblo, kamu laku juga!”
“Pa... Pacar??????” Aku kaget sekaligus malu setengah mati.
“Iya, siapa lagi yang seromantis itu mengirim bunga mawar kalau bukan pacar?” Tiwi menggoda.
“Aku masih high quality jomblo, Wi! Ini bunga mawar dari siapa memangnya? Kok bisa ada di mejaku?” Tanyaku kebingungan.
Tiwi menunjuk ke kartu ucapan yang terbaring rapi di sebelah mawar merah cantik itu. Dengan segera aku membuka kartu tersebut untuk mencari tahu siapa pengirim bunga ini.
Good morning Saskia, have a beautiful day! Begitulah isi kartu ucapannya yang sangat sederhana. Sebuah ketikan komputer yang rapi tertera di atasnya, tanpa nama.
“Sas, dari siapa kok tidak ada namanya?” Lanjut Saskia.
“Aku juga tidak tahu dari siapa, Wi.”
Tiwi terdiam sejenak dan memelototiku, “Jadi kamu beneran belum punya pacar?”
Aku menggeleng sambil mendekap kartu ucapan tersebut di dadaku.
“Ah, payah! Ayo semuanya bubar, kembali ke tempat masing-masing. Saskia masih jomblo!” Seru Tiwi kepada yang lain dengan nada kecewa. Tampaknya dia sangat berharap sekali aku punya pacar.
Aku masih penasaran siapa yang memberikan bunga mawar ini. So sweet sekali. Aku saja tidak menyangka bahwa di umur yang ke-29 ini masih ada yang mengagumiku. Siapa pun itu yang memberikanku bunga ini, terima kasih karena telah memunculkan secercah harapan pada hidupku yang hampa.
***
“Mbak Saskia, tadi sudah terima bunga mawarnya?” Panggil resepsionis kantor saat aku melenggang melewatinya.
“Sudah. Tapi kamu tahu tidak siapa yang mengantar bunga itu?” Tanyaku penasaran.
“Yang mengantar sih dari kurir ya, Mbak. Kenapa Mbak?”
“Oh, tidak apa-apa. Terima kasih, ya.”
“Sebentar Mbak Sas! Ini ada paket untuk Mbak. Baru sampai sekitar lima menit lalu. Sekalian diambil saja, Mbak.”
Kemudian aku mengambil paket yang diberikan oleh resepsionis, tidak terlalu besar tapi begitu aku angkat terasa sangat enteng. “Terima kasih sekali lagi, ya.” Lanjutku sambil membawa paket tersebut ke meja.
Sesampainya di meja, aku mengamati paket yang dikirimkan kepadaku itu. Di sini juga tidak tertulis nama pengirimnya, hanya ada namaku dan alamat perusahaan tempatku bekerja. Kenapa hari ini aku mendapat kiriman dari orang tak dikenal?
Belum sempat aku membuka paket tersebut, Andre datang menghampiriku sambil membawa setumpuk berkas, “Saskia, dokumen yang kemarin kamu berikan sudah aku review semua. Ada beberapa bagian yang harus kamu revisi sebelum dapat aku serahkan ke pimpinan.”
“Apalagi yang direvisi, Dre? Ini sudah revisi yang ketiga, lho. Macam lagi skripsi saja.” Aku mengeluh pada sifat perfeksionis si Andre sontoloyo itu.
“Eits, jangan mengeluh! Untuk menjadi super team kita harus kompak! Aku sudah tulis yang harus diperbaiki di bagian-bagian yang perlu direvisi. Jadi kamu tinggal ikuti saja.”
Andre ini ya bossy-nya minta ampun. Baru juga satu minggu dipromosikan sudah semena-mena begini. Kenapa tidak sekalian dia saja yang merevisi? Keluhku dalam hati.
“Kudengar kamu dapat bunga mawar, dari siapa?” Lanjutnya dengan nada dingin.
“Ada, deh. Bukan urusanmu.”
Andre melayangkan pandangannya ke sekitar, tanda dia merasa terganggu dengan jawabanku. “Terus itu paket apa? Dapat dari siapa lagi?”
“K. E. P. O,” jawabku singkat, padat, dan jelas.
“Ya sudah, memang bukan urusanku juga. Jangan lupa revisinya aku tunggu 1 jam lagi.”
Apa? Gumamku dalam hati. Ceritanya dia ngambek, nih? Benar-benar semena-mena. Kalau bukan bosku, sudah aku smackdown dia. Tak lama, Andre pun langsung pergi meninggalkan setumpuk berkas di mejaku.
Aku berpikir untuk menahan diri membuka paket tersebut karena harus mengebut revisi yang diberikan Andre. Mudah-mudahan ada hal manis lainnya yang menungguku di paket itu.
Saking bahagianya dengan kiriman-kiriman anonim ini aku sampai lupa akan kejadian tadi pagi tentang panggilan misterius dan Austin. Memang benar, surprise adalah pelipur lara terbaik bagi seorang cewek.
***
Paket berukuran 30 cm x 30 cm itu kini sudah berada di depanku. Aku duduk di lantai kos memperhatikan setiap sudut paket misterius ini. Aku angkat, aku geser, dan aku putar untuk mencari sedikit informasi tentang pengirimnya. Namun lagi-lagi aku tidak menemukan klu apa pun.
Aku matikan sebentar smartphone-ku untuk menghindari panggilan telepon yang tak diinginkan. Konsentrasi penuh sangat penting bagi cewek yang sudah 8 tahun tidak pernah mendapatkan kiriman barang seperti ini. Aku akan menggunakan momen ini untuk merayakan kembalinya pesona Saskia dengan membuka paket yang aku asumsikan berasal dari my secret admirer.
Perlahan-lahan kulepas selotip yang menyelimuti paket misterius itu. Dengan hati-hati aku mulai membukanya. Tampaklah sebuah kotak beludru hitam yang mungil di dalamnya. Bentuknya seperti kotak perhiasan yang ada di film-film romantis. Sungguh, jika benar isinya adalah perhiasan maka aku benar-benar akan menikahi si pengirimnya. Tapi, too good to be true ya! Bermimpi boleh 'kan?
Aku mengangkat kotak mungil itu tepat di depan mukaku. Dengan perlahan aku membuka tutupnya mengharapkan sesuatu yang indah muncul dari sana.
Sebuah kilau mengkilap menyusup keluar mencengangkanku. Aku melihat dengan jelas sebuah gelang keperakan yang sangat indah. Di tengah gelang tersebut terdapat batu zamrud dengan warna hijau yang mempesona.
Siapakah orang yang begitu dermawan memberikan gelang berbatu permata ini kepadaku? Suatu hal yang mustahil untuk memberikan batu permata sekelas zamrud kepada perempuan yang biasa-biasa ini. Terlebih, aku tidak merasa dekat dengan seseorang kecuali teman-teman kantorku.
Paket misterius tanpa nama ini sungguh mencurigakan. Alih-alih senang akan isinya, aku malah dilanda ketakutan yang luar biasa. Seketika itu juga perasaan senang yang sempat aku rasakan lenyap bagai ditelan oleh kegelapan. Haruskah aku simpan kiriman misterius ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!