Suara lonceng cafe yang berbunyi menandakan seseorang masuk ke dalam cafe bernuansa anak muda tersebut. Sorot tajam seorang pria mengedar di sekitar cafe mencari seseorang.
"Pak Rafka!" Suara teriakan seorang wanita muda yang duduk di meja paling ujung melambaikan tangannya pada pria tersebut.
Pria yang bernama Rafka itu segera melangkahkan kakinya menghampiri wanita muda yang mengenakan hoodie hitam dan celana jeans biru dengan rambut panjang sebahu yang terurai.
"Sudah lama menunggu?" tanya Rafka mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan wanita yang bernama Salsa itu.
"Tidak juga Pak. Saya baru saja sampai di cafe ini," balas Salsa sedikit canggung.
Rafka mengangguk samar.
"Ada perlu apa sampai ingin bertemu dengan saya?"
Salsa memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam seakan Ia butuh tenaga untuk mengucapkan sesuatu yang memang sangat-sangat penting.
"Saya ingin memberitahu Bapak, kalau saya..." Salsa menjeda ucapannya. Dia menatap lekat Rafka yang memandangnya dengan alis yang berkerut seakan menunggu kelanjutan ucapannya.
"Saya hamil."
Deg
Napas Rafka tercekat. Pupil mata pria itu membesar bersamaan dengan raut wajah yang tampak terkejut serta badan yang menegang.
"Ha-hamil?" Salsa mengangguk.
"Iya, Pak. Karna kejadian malam itu, saat Bapak mabuk berat. Saya ingin Bapak bertanggungjawab dengan menikahi saya. Karna saya tidak mungkin menggugurkan janin ini. Ayah dan ibu belum tahu kalau saya hamil," ucap Salsa dengan kepala tertunduk dan kedua tangan yang meremas kuat hoodie nya. Ada sedikit rasa sesak di rongga dadanya setelah mengucapkan itu.
Sementara Rafka memegang bagian kepalanya. Tiba-tiba saja kepalanya berdenyut nyeri mendengar kabar yang seharusnya membahagiakan setiap pasangan namun bedanya status Rafka dan Salsa hanya sebatas atasan dan karyawan.
Salsa menyentuh tangan Rafka, membuat pria itu tersentak kaget.
"Bapak akan menikahi saya, kan?" Salsa bertanya dengan raut wajah penuh harap.
Pria itu terdiam sejenak. Menatap lekat Salsa yang membalas tatapan matanya penuh harap.
Rafka mengangguk ragu." Iya, secepatnya saya akan menikahi mu."
Senyuman merekah di bibir ranum Salsa." Terima kasih Pak, saya kira Bapak akan meragukan kehamilan saya."
"Tentu tidak, Sal. Saya masih sadar saat melakukannya." ucapnya." Tapi untuk sementara Saya akan menikahi kamu secara siri."
Binar bahagia di wajah Salsa langsung berubah jadi heran." Kenapa harus nikah siri, Pak? Kenapa tidak menikah secara sah saja?" tanya Salsa yang tampak protes.
"Saya tahu kamu keberatan, tapi untuk saat ini Saya belum bisa menikahi kamu secara hukum. Tolong pahami keadaan saya saat ini ya," balas Rafka membujuk Salsa untuk menyetujui keputusannya.
Dengan berat hati wanita itu mengangguk." Iya."
Namun, pemikiran buruk melintas di kepala Salsa. Apa mungkin karna Ia hanya cleaning servis? Tapi mau bagaimana pun Ia tetap bersyukur Rafka mau bertanggungjawab.
Rafka tersenyum tipis.
"Sekarang kau mau pesan makan apa? Saya yang akan bayar." Rafka menatap meja mereka berdua yang kosong.
"Tidak usah Pak. Saya ingin langsung pulang. Dan saya hanya ingin mengatakan ini saja pada Bapak."
"No, kau tidak boleh pulang sebelum makan dulu di sini. Sekarang kau sedang hamil jadi harus banyak makan."
Salsa tampak tertegun mendengarnya.
****
"Kau kenapa? Wajah mu terlihat gusar dan lesu seperti itu," celetuk Alex, sahabat sekaligus rekan bisnis Rafka.
Pria yang menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya hanya diam namun terdengar suara helaan napas panjang. Sementara Alex melirik sekilas Rafka dan kembali fokus pada gadgetnya.
"Aku menghamili anak gadis orang..." jawabnya lirih.
Gelak tawa Alex tiba-tiba memenuhi seisi ruangannya yang sebelumnya hening. Pria bule dengan campuran darah Indonesia itu tertawa cukup nyaring.
"Lelucon mu sangat bagus. Kau berhasil membuat ku tertawa." Alex sedikit meredakan tawanya, wajah pria itu memerah. Ia meletakkan gadget miliknya di atas meja. Mengusap kasar air mata yang keluar dari sudut matanya.
"Aku serius," decak Rafka.
Alex menggelengkan kepalanya." Aku tidak percaya. Pasti itu hanya lelucon mu saja. Aku tahu seperti apa kau, Rafka. Kau tidak mungkin merusak seorang perempuan hanya untuk memenuhi hasrat mu. Dan lagipula kau sudah menikah jadi buat apa mencari kehangatan dengan perempuan lain diluaran sana."
Rafka menghela napas berat."Kali ini aku serius. Karna minuman sialan itu aku harus terjebak dalam situasi seperti ini. Dan ini karna kau dan Fano!" Rafka menunjuk Alex yang menjadi salah satu penyebab Ia melakukan hal gila yang tidak pernah Ia duga bahkan membayangkan saja tidak pernah.
"Kalau begitu suruh perempuan itu menggugurkan kandungannya. Maka masalah selesai," cetus Alex santai seraya menyandarkan tubuhnya di bahu sofa." Semua masalah akan mudah diselesaikan bila kita memiliki uang dan kuasa. Tinggal kau beri uang sesuai nominal yang perempuan itu minta."
"Ini bukan masalah uang atau kuasa. Tapi perempuan itu tengah mengandung benih ku, darah daging ku. Meminta dia menggugurkannya sama saja aku membunuh anak ku sendiri. Aku tidak sebrengsek diri mu yang langsung mengambil keputusan seperti itu!" Rafka memberikan kilatan tajam pada Alex yang menatap datar.
"Lalu? Kau mau apa? Keluarga mu akan sangat malu bila putra mereka sudah menghamili seorang perempuan, apalagi perempuan yang kau tiduri dari kalangan rendahan," Alex kembali berucap.
"Aku akan menikahinya secara siri."
"Kau yakin? Lalu bagaimana bila keluarga mu tahu?"
"Aku akan menyembunyikan perempuan itu termasuk statusnya sebagai istri siri ku."
Alex bangkit dari tempat duduknya dan menepuk-nepuk bahu Rafka pelan." Ide mu lumayan bagus. Setelah bayi itu lahir apa kau akan menceraikannya atau kalian melakukan pernikahan kontrak saja dengan poin-poin yang sudah kau tentukan di surat yang kau buat?"
"Entahlah. Kepala ku sangat sakit memikirkan ini."
_______________
Hay-hay semuanya!^^
Ini karya terbaru saya sequel dari kisah Elsa dan Revin version.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan like dan komen. Terima kasih.
See you di part selanjutnya:)
Awan hitam pekat perlahan menutupi langit di sertai gemuruh angin yang cukup kencang. Seorang wanita muda berusia 20 tahunan tampak duduk di kursi sebuah halte menunggu bus yang akan Ia tumpangi datang. Netra coklat berair milik Salsa menatap ke atas langit. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan deras.
"Semoga saja bus cepat datang, aku tidak ingin terjebak di sini," monolog Salsa. Ia menatap sekitar yang tampak sepi sesekali terlihat beberapa mobil dan pengendara motor berlalu lalang.
Dan benar saja tiba-tiba hujan turun sangat derasnya. Ada sedikit ketakutan mencuat dalam benak wanita muda itu. Apalagi jam menunjukkan pukul 05: 00 sore tapi keadaan sekarang sudah mulai menggelap. Dalam keadaan seperti itu tangan Salsa terulur mengusap perut datarnya. Tidak pernah menyangka janin yang masih berbentuk gumpalan darah tumbuh di rahimnya. Andai Ia tak mengutamakan rasa penasarannya malam itu tidak mungkin kejadian itu terjadi.
"Kenapa masih di sini?"
Suara berat nan serak seorang pria sukses membuat lamunan Salsa buyar. Wanita muda itu tampak kaget ketika mendongak dan mendapati Rafka sudah berdiri di hadapannya dengan memegang sebuah payung.
Salsa meneguk ludahnya kasar." Ba...bapak kenapa ada di sini?"
"Seharusnya saya yang bertanya kenapa kau masih di sini, hari sudah sangat sore dan kau duduk melamun di sini?"
"Saya menunggu bus datang, Pak." Salsa menundukkan kepalanya setelah mengatakan itu. Melihat mata Rafka membuat ingatan malam itu terbayang-bayang dalam kepalanya.
Rafka manggut-manggut. Pria itu menghela napas berat." Untuk pernikahan kita, mungkin besok."
Salsa kembali mendongakkan kepalanya dan kali ini raut wajahnya terlihat terkejut." Secepat itu?"
"Kenapa? Apa kau keberatan? Kita hanya menikah siri dan itu tidak terlalu memakan banyak waktu. Dan saya mohon agar kau merahasiakan ini semua, saya tidak ingin semua orang tahu termasuk karyawan di perusahaan saya," ucap Rafka menatap datar Salsa namun pandangan matanya menyiratkan sebuah makna yang sulit di artikan.
"Ba...baik Pak." Ada rasa sakit menyentil di hati Salsa mendengar penuturan pria tersebut.
Ah, Ia lupa bila hanya wanita biasa dan wajar Rafka tidak mau semua orang tahu tentang status mereka berdua nantinya. Dan mereka menikah karna terpaksa.
"Cepat masuk mobil, biar saya antar," titah Rafka namun lebih terdengar seperti memerintah. Salsa bangkit dari tempat duduknya, sorot matanya menatap Rafka yang lebih dulu masuk ke dalam mobil dengan membawa payung untuk melindungi dirinya dari guyuran hujan.
Salsa berjalan dengan langkah ragu.
"Cepat! Jangan buang-buang waktu saya!" Suara keras Rafka membuat Salsa tersentak. Ia segera masuk ke dalam mobil sedan hitam itu.
"Jangan kebanyakan melamun." Salsa hanya diam mendengarnya.
Suara keras Rafka yang sepertinya tersirat kemarahan membuat Ia ketakutan. Bukan apa-apa sewaktu kecil hingga dewasa ayah selalu memarahi dan melampiaskan amarahnya pada dirinya sedangkan Ia tidak melakukan kesalahan apapun.
Rafka mulai menjalankan mobilnya, tidak ada percakapan diantara keduanya. Sementara Salsa diam dengan rasa canggung yang melanda dalam dirinya. Bagaimana bisa dua orang asing bisa menjalani sebuah pernikahan tanpa cinta. Andai bukan karna kandungan dalam rahimnya saat ini tidak mungkin Ia minta pertanggungjawaban pria yang kini ada di sampingnya.
"Ini rumah mu?" Mobil hitam yang Rafka kendaraai berhenti di depan gang kecil, dan mobilnya tidak mungkin bisa masuk ke dalam.
"Bukan. Rumah saya ada di dalam gang itu. Terima kasih sudah mengantarkan saya," ucap Salsa. Wanita itu segera turun dari mobil. Ia tidak ingin berlama-lama di sana dan beruntung hujan deras sudah mereda hanya rintik-rintik saja.
Rafka masih diam. Mobilnya belum bergerak sama sekali. Sorot tajamnya memperhatikan Salsa yang masuk ke dalam gang yang jalanannya tampak becek dengan pencahayaan yang minim. Apa warga yang tinggal di dekat sini tidak berinisiatif memberikan pencahayaan lampu di gang ini, pikir Rafka.
••••
"Mas, kamu dari mana saja? Aku sudah lama menunggu," ucap Azkiya yang menyambut kedatangan suaminya.
Wanita berusia 28 tahunan itu mengambil tas yang Rafka tenteng dan meletakkannya di atas sofa.
"Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Maaf membuat mu menunggu lama," ucap Rafka memberikan kecupan singkat di kening Azkiya.
"Ooh, aku kira Mas pergi ke rumah mama. Aku juga ingin membicarakan sesuatu dengan Mas."
Satu alis Rafka tertarik mendengarnya di tambah melihat wajah serius sang istri.
"Iya, tapi aku mandi dulu." Azkiya tersenyum dan mengangguk.
"Kalau begitu aku menyiapkan makanan untuk Mas dulu. Aku juga memasak cukup banyak."
Azkiya beranjak meninggalkan suaminya menuju dapur untuk memanasi makanan yang Ia buat. Sementara Rafka menghela napas berat. Pria itu menjatuhkan tubuhnya dengan kasar ke sofa. Ia memijit kepalanya yang terasa pusing memikirkan situasi yang Ia jalani sekarang.
Lama duduk di sofa, Rafka bangkit dari sofa dan berjalan menuju ke kamar untuk segera membersihkan badan dan mendinginkan kepalanya.
Sementara di dapur Azkiya sibuk memanasi makanan di microwave. Makanan yang Ia masak sendiri dan di bantu oleh bibi Narti. Ia memang tidak terlalu pandai memasak. Bibi Narti dan pekerja lainnya sudah terlelap dalam tidurnya, wajar karna jam menunjukkan pukul 11: 00 malam. Dan tidak seperti biasanya Rafka pulang larut malam seperti ini. Biasanya Rafka akan menelpon dirinya bila pulang terlambat.
"Sudah selesai. Sekarang tinggal memanggil Mas Rafka," monolog Azkiya. Ia meninggalkan ruang makan dan berjalan menuju ke kamar.
Azkiya tersenyum lebar melihat suaminya baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Rambut basah yang terlihat acak-acakan membuat pria itu terlihat semakin tampan baginya.
"Mas, aku sudah menyiapkan makanan untuk kamu."
"Iya. Tapi kamu sudah makan?" tanya Rafka seraya membuka lemarinya pakaian dan menoleh ke arah sang istri.
"Sudah Mas. Ooh iya, aku juga ingin bicara sesuatu dengan Mas." Wajah Azkiya tampak ragu-ragu mengucapkan itu." Ta...tadi mama menelpon ku..."
"Menelpon kenapa?" tanya Rafka yang sudah mengenakan kaos hitam polos.
"Tentang kehamilan. Sudah tiga tahun kita menikah tapi belum di karunia anak, Mas. A...aku merasa tidak enak dengan mama karna tidak bisa memberikan dia cucu. Sedangkan kamu anak satu-satunya. Aku takut, aku mandul___"
"Sstt...jangan bicara seperti itu, Sayang. Kemarin sudah cek ke dokter dan rahim kamu baik-baik saja. Mungkin belum saatnya kita mempunyai anak. Kamu jangan sedih karna masalah ini. Mama juga pasti paham." Rafka mendekap tubuh mungil Azkiya yang tidak bisa menahan isak tangisnya.
Azkiya melepaskan pelukan Rafka dan menatap Rafka dengan pelupuk mata yang membanjir.
"Bagaimana bila Mama meminta Mas menikah lagi?"
________________
Hei girl! Terima kasih sudah mampir.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan like dan komen. Terima kasih.
See you di part selanjutnya:)
Pagi-pagi buta Salsa sudah memuntahkan seluruh isi dalam perutnya yang terasa bergejolak. Semenjak mengetahui tentang kondisi dirinya yang berbadan dua, Ia harus tersiksa dengan rasa mual, kepala yang sering pusing dan badan yang mudah lelah saat beraktifitas. Wanita muda itu membasuh bibirnya dengan air keran setelahnya melangkah menuju ke kamar dengan langkah sempoyongan, di tambah tadi malam Ia belum makan apapun. Bukan apa-apa, Ia harus berhemat untuk pengeluaran apalagi Ia sebagai pendatang baru di Jakarta untuk mencari pekerjaan termasuk mencari keberuntungan untuk mengubah nasib perekonomian keluarganya.
"Kepala ku pusing..." lirih Salsa yang mendudukkan dirinya di kasur lantainya.
Tok tok
Suara ketukan pintu yang cukup keras membuat Salsa tersentak kaget, baru saja Ia ingin mengistirahatkan kembali tubuhnya di kasur. Dan ketukan pintu itu semakin lama semakin nyaring.
"Siapa pagi-pagi bertamu?" gumam Salsa melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 05: 45 pagi. Dengan lesu Salsa bangkit dari kasur dan berjalan menuju ke pintu keluar.
Ceklek
Tubuh wanita itu mematung ketika tahu siapa yang bertamu pagi-pagi ke rumah kontrakan nya.
"A...ada apa Bapak ke sini?" tanya Salsa gugup dan suara tercekat.
"Siapkan diri mu, pagi ini kita akan menikah. Dan hari ini saya harus pergi keluar kota," ucapnya tegas dan tak ingin di bantah.
"Tapi ini terlalu pagi, Pak. Saya..."
"Cepat! Jangan buang-buang waktu saya," sela Rafka menatap tajam Salsa." Kau yang ingin saya bertanggungjawab jadi jangan bertele-tele lagi."
Salsa menundukkan kepalanya sejenak, menghembuskan napas berat. Wanita itu membalikkan tubuhnya masuk ke dalam rumah. Ia mengambil pakaian yang biasanya Ia pakai saat bepergian.
"Cepat, waktu saya tidak banyak," desak Rafka memperingatkan. Sesekali pria itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kekarnya. Hari ini Ia akan terbang ke Bali untuk peresmian hotel miliknya yang baru di buka dan akan segera beroperasi.
Pandangan Rafka mengedar menatap sekitar rumah kontrakan Salsa yang menurutnya sangatlah kecil. Hanya ada satu ruangan yang menjadi kamar dan dapur. Dan satu lagi, kamar mandi. Entah bagaimana wanita itu bisa betah tinggal di sini. Tidak lama Salsa keluar dari kamar mandi dan sudah berganti pakaian.
"Sudah lama tinggal di sini?"
"Baru satu bulan, Pak." Rafka manggut-manggut mendengarnya.
"Nanti orang suruhan saya akan memindahkan semua barang-barang kau ke apartemen."
Mata Salsa terbelalak mendengarnya." Kenapa harus pindah ke apartemen?"
"Kau kira saya akan betah tinggal di sini! Kita akan menjadi suami istri dan kau harus ikut saya termasuk tinggal di apartemen. Dan saya tidak mau anak saya yang kau kandung kenapa-kenapa karna tinggal di kontrakan yang lebih tepatnya seperti pembuangan sampah."
Salsa tampak menganga mendengar itu. Menurutnya rumah kontrakannya sudah sangat bersih dan layak untuk di tempati.
"Arjo!" panggil Rafka dengan suara yang cukup keras.
"Iya, Tuan." Arjo, pria yang mengenakan pakaian serba hitam kini berdiri di samping Rafka.
"Suruh anak buah kita memindahkan semua barang-barang perempuan ini ke apartemen ku. Sebelum saya pulang, semuanya sudah selesai," perintahnya.
Pria bertubuh kekar itu mengangguk."Siap Tuan."
"Ayo ikut saya." Rafka meraih pergelangan tangan Salsa dan menariknya menuju mobil yang terparkir di depan gang.
"Tapi saya belum mengemasi barang-barang saya. Mereka tidak tahu mana yang harus di bawa ke apartemen Bapak." Salsa berusaha melepaskan cengkraman tangan Rafka yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Anak buah saya lebih pintar dari pada kau. Mereka tahu mana yang harus di angkut." Rafka membukakan pintu mobil dan mendorong pelan Salsa yang kini sudah duduk di jok depan mobil.
"Kita akan menikah di apartemen saya. Setelah itu saya akan berangkat ke Bali." Rafka menjalankan mobilnya. Salsa diam.
Mobil sedan Lamborghini yang di kendarai Rafka melaju dengan kecepatan normal membelah jalanan yang lengang, hanya ada beberapa mobil dan mengendara lain yang berpapasan. Sementara Salsa menatap ke arah jendela luar mobil dengan segala pemikiran yang memenuhi kepalanya. Dan matanya rasa ingin tertutup, rasa kantuk masih tersisa.
"Sudah sampai," ucap Rafka. Pria itu lebih dulu turun dari mobil dan di susul oleh Salsa yang mendongak menatap apartemen mewah yang setiap hari Ia lewati saat akan pergi ataupun pulang kerja. Apartemen 20 lantai dengan 200 unit hunian.
Rafka mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Sementara Salsa menatap penuh kagum apartemen yang sangat-sangat mewah. Wanita itu mengikuti langkah Rafka yang berjalan menuju lift yang membawa mereka berdua ke lantai 12.
"Ini apartemen Bapak?" tanya Salsa ketika mereka berdua sudah berdiri di depan pintu apartemen.
"He'em."
"Maaf menunggu lama," ucap Rafka ketika baru saja memasuki apartemen miliknya. Sudah ada tiga orang yang menunggu di dalam apartemen termasuk penghulu yang akan menikahkan mereka berdua.
"Tidak apa-apa, Pak. Apa ingin langsung dilaksanakan nikahannya?" tanya penghulu tersebut dan sekilas menatap Salsa yang menundukkan kepalanya.
Rafka mengangguk." Tentu, itu lebih baik." Ia menoleh ke arah Salsa yang terus berdiri di sampingnya." Ganti pakaian mu," titah Rafka pada Salsa.
Inilah saatnya. Rafka dan Salsa sudah duduk bersanding dihadapan penghulu dan meja kecil sebagai pembatas. Rafka terlihat tenang, sementara Salsa terlihat sangat gugup apalagi rasa pusing di kepalanya masih mendera.
"Sudah siap?" tanya penghulu. Rafka mengangguk.
Rafka dan penghulu saling berjabat tangan. Ada dua orang saksi yang hadir dalam pernikahan siri Rafka dan Salsa yaitu Aryo sekretaris Rafka dan Doni menejer yang juga bekerja dengan Rafka. Tentu mereka berdua harus merahasiakan pernikahan siri atasan mereka dengan Salsa yang merupakan cleaning servis kebersihan di perusahaan tempat mereka bekerja.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Rafka Adelard Anggara bin Revin Anggara dengan Salsa kasyafani binti Seno Ardiantoro dengan mas kawin uang tunai lima juta rupiah."
"Saya terima nikah dan kawinnya Salsa Kasyafani binti Seno Ardiantoro dengan mas kawin uang tunai lima juta rupiah."
"Bagaimana para saksi?"
"Sah!"
Rafka menghembuskan napas lega. Salsa mengusap kasar air mata yang tanpa Ia inginkan meleleh membasahi pipi chubby nya.
"Silahkan mempelai perempuan mencium tangan suaminya sebagai penghormatan dan sebaliknya mempelai laki-laki mencium kening istrinya," titah penghulu.
Dengan penuh ragu Salsa menggapai tangan Rafka, mencium punggung tangan pria yang kini sudah sah menjadi suaminya. Aroma maskulin dari tangan Rafka menyeruak ke indra penciuman Salsa. Entahlah, rasa pusing di kepalanya tiba-tiba mereda, aroma tubuh Rafka seolah sebagai obat mujarab bagi dirinya.
Salsa memejamkan mata ketika Rafka hendak mencium keningnya. Namun, sebelum bibir tipis itu menyentuh keningnya, Rafka sudah menjauhkan wajahnya. Seolah enggan memberikan ciuman di keningnya.
"Selamat, kalian berdua sudah sah menjadi suami istri," ucap penghulu. Rafka tersenyum tipis. Salsa menundukkan kepalanya. Apa Ia wanita yang egois karna sudah memaksa Rafka menikahinya? Tapi Ia tidak ingin di cap menjadi wanita murahan karna hamil tanpa ada suami.
________________
Hei girl! Terima kasih sudah mampir.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan like dan komen. Terima kasih.
See you di part selanjutnya:)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!