NovelToon NovelToon

Pria Idola, Jangan Pernah Meninggalkan Jejak dengan Menyakiti Hati Seorang Perempuan

Prolog Dan Pengenalan Tokoh

Hai, assalamualaikum pembaca Mangatoon

Selamat membaca kisah kasih dari kota Fak-fak, Papua

Raka dan Mardo. Semoga  kalian suka ya, jangan lupa tinggalin jejak

Like, komen dan vote yaa, aku pasti membalas.

***

Raka Bramantyo, putra pertama dari keluarga pengusaha kapal yang bernama Bramantyo, usianya

dua puluh satu tahun.

Mereka sekeluarga menempati  rumah megah  tidak jauh dari pelabuhan.

Kehidupan Raka dan adiknya, Richi tak bisa dipisahkan  dari laut serta suasananya..

Suara suara awak kapal yang tengah melepas jangkar. Kadang  pekikkan burung  camar yang

menyambar ikan adalah pemandangan  serta suasana sepanjang kehidupan mereka.

Kota kecil yang tengah berkembang pesat menjadi sentral perdagangan antar pulau itu perlahan telah menjadi tempat bisnis yang menguntungkan. Banyak pengusaha mulai melirik dan datang ke kota tersebut. Raka tumbuh diantara kesibukkan bisnis orang tuanya serta pertumbuhan pesat kota itu. Keluarga Bramantyo populer bukan saja oleh kekayaan tapi juga karena sifat ramah dan baik hati pak Bramantyo. Tak kalah dengan ayahnya, Raka juga telah menjadi pria idola gadis gadis kota itu. Raka memiliki wajah tampan, mata setajam elang, garis bibir bagus serta tubuh atletis. Sempurna sekali pria bernama Raka Bramantyo itu. Pria idaman yang bisa memberikan kebahagian, serta harta berlimpah begitulah pikiran dikepala gadis gadis.

Selain dua hal yang telah dimiliki oleh Raka, kaya serta tampan berkharisma seperti ayahnya. Ternyata Raka memiliki kemampuan bermain gitar yang membuat gadis gadis hesteris. Permainan gitarnya mampu mengiris ngiris  jantung siapa saja yang mendengarnya. Bahkan bapak bupati  sangat terkesan saat pertama kali menyaksikan permainan gitar Raka di acara pesta ulang tahun kota mereka. Sejak itu Raka selalu hadir dan bermain gitar pada acara bapak bupati. Bahkan seorang bupati mengidolakan Raka.

Richi Bramantyo, adik Raka Bramantyo satu-satunya.

Masih sangat muda. Bakal memiliki tubuh tinggi seperti kakaknya. Bersifat baik hati, murah senyum

dan senang menolong. Richi seseorang yang serius namun juga manis pada gadis-gadis. Ia memiliki

tujuh orang sahabat yang sering bersamanya. Vana, Betty, Zamzam, Rose, Sulaiman, Husen Rumadau dan

Wiliam. Richi ramah dan terbuka. Mardo menjadi teman istimewa setelah perkenalan mereka saat pertama kali

datang ke kota Eksotik.

Mardo Prameswari,  gadis yang sedang menanjak remaja. Senang menulis dan berkhayal. Karena Papinya ditugaskan  ke kota terpencil dan primitif, mereka sekeluarga terpaksa ikut pindah. Papi marah jika kota itu

disebut Primitif. Karena menurut Papi yang sudah pernah meninjau, kota itu merupakan  kota yang cantik,  unik dikelilingi oleh laut biru, pantai putih yang panjang dan luas.  Serta pegunungan yang memuat burung-burung unik, flora dan alam  yang dihuni penduduk Papua. Papi menyebutnya kota Eksotik.

Kisah ini dimulai  di kota Fak-fak atau kota Eksotik. Pertemuan pertama Raka dan Mardo  terjadi saat  kepindahan  tugas  ke kota Eksotik. Raka adalah pria yang pertama yang bertemu dengannya di Bandara Zepman. Tetapi Richi mengira dia kenalan pertama gadis bernama Mardo itu. Richi terkejut mengetahui hubungan kakaknya dan Mardo

lebih mendahuluinya. Mardo memang tak begitu menanggapi perasaan Raka. Karena ia masih belia serta ada Richi teman satu sekolah yang selalu bersama.

Raka terus berjuang dan menunggu hingga Mardo menjadi miliknya. Ia akan bersaing hidup dan mati demi cinta sejatinya. Termasuk bersaing dengan Richi adiknya. Ia terbakar api cemburu ketika Mardo dekat dengan Richi. Laki-laki itu bertekat menghapus kemarahan dan rasa benci. Satu lagi ia berjanji tidak akan pernah meninggalkan jejak dengan membuat seorang gadis patah hati. Hanya satu cinta di hatinya.

Mari mo ikuti kisah, petualangan Raka dan Richi bersama sahabat-sahabat mereka.

Bagaimana caranya mendapatkan cinta sejati serta pasangan impian.

 

 

Cikidot, Selamat membaca

Bab. 1 Episode Kepindahan

Hai, assalamualaikum pembaca Mangatoon

Selamat membaca kisah kasih dari kota Fak-fak, Papua

Raka dan Mardo. Semoga  kalian suka ya, jangan lupa tinggalin jejak

Like, komen dan vote yaa, aku pasti membalas.

***

Meski semua anggota keluarga menentang kepindahan ke kota primitif, namun pada akhirnya keputusan ada di tangan Papi. Tak terbantahkan. Kepindahan itu adalah tugas negara. Pilihan hanya satu menerima penugasan atau dipecat.

"Kalian mau Papi dipecat? sekolah kalian akan terhenti, tidak ada uang saku, uang belanja. Kita akan hidup susah! kalian mau?"

Kalau sudah seperti itu barulah anak anak dan istrinya diam. Tidak ada yang lebih penting dari memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup.

Akhirnya keluarga itu berangkat pada dini hari yang dingin. Percuma terus menerus meminta Papi agar mengerti dengan pelajaran. Sebentar lagi sudah kelulusan, Mangara akan kuliah dan Mardo masuk SMU. Keduanya takut kalau pelajaran mereka terpengaruhi. Papi meyakinkan semua akan baik baik saja.

Nanti di kota tersebut anak anaknya akan mendapatkan pengalaman baru, udara yang lebih bersih dan segar. Paru paru juga akan sehat. Bahkan kalau perlu papi akan memanggil  guru privat jika pelajaran menjadi alasan.

Tidak ada hal yang mencegah Papi mengajak keluarganya pindah ke kota Eksotik.

Sepanjang perjalanan Mangara membisu dan melipat tangan di dada. Mardo juga memejamkan mata. Ia Sedih harus berpisah dengan teman akrabnya. Memang mereka berjanji akan terus berhubung. Mangara dan Mardo masih kesal pada Papi yang tidak membiarkan mereka tinggal di Jakarta.

Beberapa jam berikutnya pesawat mendarat. Mardo pikir sudah sampai kota tujuan. Ternyata mereka transit di bandara Patimura. Mardo mengambil foto fotonya pertanda ia pernah ke bandara tersebut. Sekitar satu jam beristirahat selanjutnya mereka naik ke pesawat dan terbang.

Menjelang senja barulah mereka mendarat di bandara Zepman. Kata Papi, terpaksa mereka menginap satu malam di hotel dekat bandara. Tak ada lagi penerbangan ke kota tujuan. Hanya satu kali penerbangan setiap hari ke kota itu. Sudah bagus, kalau dulu seminggu sekali baru ada penerbangan. Orang yang akan ke kota Eksotik   mesti menginap di hotel selama seminggu jika ia ketinggalan pesawat pas hari keberangkatan.

Bandara Zepman saat itu berada di tengah belantara dan dekat pantai. Mardo sempat melihat barisan penduduk asli berdiri mengawasi bandara. Tak terlalu jelas. Namun wajah dan tubuh mereka diberi warna serta hiasan hiasan mencolok. Kadang terdengar tetabuhan dan nyanyian yang timbul tenggelam terbawa angin. Entah apa yang mereka kerjakan. Mungkin merasa aneh dengan pesawat pesawat yang datang dan pergi ke langit.

Awalnya Mardo takut, tapi Papi bilang  penduduk asli itu masih sangat lugu. Justru mereka yang takut dengan pendatang. Lantas dua pria penduduk asli menghampiri. Keduanya menawari hotel dan membawa koper koper. Agaknya Papi mengenal kedua pria asli Papua itu. Papi menyerahkan koper koper untuk dibawa dan mengajak keluarganya ke hotel.

"Hotel terbaik ini nona, Papi sudah pernah menginap di hotel itu."

Salah seorang dari pria Papua itu meyakinkan Mardo.

"Nanti kami mau ke restoran, ada ikan dan lobster segar?"

Papi memesan makanan di restoran, pria itu berjanji  akan ke restoran melihat pesanan Papi.

Kamar yang luas dan nyaman. Papi tau Mardo sangat suka tidur di hotel. Ketika kecil, saat sakit atau rewel  selalu minta tidur di hotel. Setiap akhir tahun Papi selalu berusaha  pergi ke luar kota membawa keluarga kecilnya. Mereka akan menginap di hotel dua hingga tiga malam.

Yang paling senang tentunya adalah Mardo. Ia sangat menikmati tidur di kamar hotel yang dingin, bersih serta punya fasilitas lengkap. Maka kali ini papi memilihkan kamar yang besar dengan balkon menghadap ke laut. Papi harap anak gadisnya tersenyum lagi.

Upaya papi tak sia sia, kamar hotel itu sangat nyaman. Sayup sayup terdengar debur ombak  di kejauhan. Mardo membuka pintu balkon, ada dua kursi mungil serta meja untuk menikmati pemandangan. Gadis itu menghirup angin laut yang menerbangkan  rambut dan bajunya.

Mata gadis remaja  itu menyipit menatap ombak yang berkejaran ke pantai. Ada beberapa anak yang masih bermain bersama ayahnya. Mardo  lantas mendengar telpun kamar berdering. Patricia berlari mengangkatnya. Ia dengar pembicaraan mami dan adiknya.

"Setelah istirahat lalu mandi, Papi sudah pesan masakkan seafood di restoran."

"Ok mom,  siap!"

Sahut Patricia, segera ke kamar mandi, kalau soal makanan apa lagi seafoot Pat jagonya. Ia bisa menghabiskan satu udang lobster yang beratnya sekilo. Dia lebih dulu mengambil kesempatan mandi dan berganti baju.

Benar saja Papi sudah memesan makan malam di sebuah restoran tak jauh dari hotel. Lobster terhidang kemerahan serta menggugah selera. Dagingnya yang kenyal putih serasa sudah ada di mulut. Ikan tuna bakar serta bumbu kecap menyusul pula.

Beserta tambahan lain  yang memenuhi meja. Mami mengambilkan dan mengisi piring Papi dan anak-anak.  Terakhir baru piring Mami. Selanjutnya Mardo dan saudaranya memilih lauk yang disukai. Patricia mengambil satu lobster dan menaro di piring. Senyum merekah di bibir gadis kecil itu bakal menikmati makanan kesukaannya.

Manggara juga mengambil lobster, dan saosnya. Papi bilang lobster serta ikan tuna berlimpah, jadi harganya murah. Pertama kali mereka menikmati lobster bakar saat papi pulang dari kota eksotik. Seumur umur baru sekali itu mereka tau rasanya udang besar itu.

Rasanya enak luar biasa, di cocol dengan sausnya, ketagihan. Sampai papi mencari di restoran jakarta yang harganya ternyata sangat mahal. Beberapa kali papi membawa lobster ke Jakarta saat bersiap  untuk kepindahan sekeluarga.

Papi melihat rumah, mobil serta fasilitas yang diberikan. Membeli beberapa barang untuk mengisi rumah dinas. Sehingga saat istri dan anak anaknya datang sudah siap. Pulangnya ia pasti membawa  lobster.

Sekarang saatnya menikmati langsung lobster di restoran terbaik. Petani lobster langsung membawa lobster ke restoran. Masih hidup serta segar. Membuat rasanya enak gurih.

Kenyang sekali. Sampai nambah tiga kali he he he.

Sebelum masuk kamar, mereka sempat duduk duduk di lobbi hotel. Kebetulan ada yang sedang menyanyi. Suara pria itu lumayan merdu. Membuat orang orang menoleh lantas berhenti untuk ikut menikmati suara emas si penyanyi.

Papi, Mami dan Mangara hanya sebentar, mereka bergegas ke kamar. Sedangkan Mardo dan Pat terpukau oleh suara merdu itu. Tak sadar telah tiga lagu. Hingga akhirnya pria tersebut  berhenti dan turun dari permainan pianonya. Ia tiba tiba mendekati Mardo dan Pat. Memandangi lekat lekat.

"Oh! kalian ini seperti anak anak om. Mirip sekali."

Mardo dan Patricia saling pandang.

Pria  itu duduk di dekat mereka. Agaknya ia juga menginap di hotel tersebut.

"Kenalin, saya  Ramon." Sembari menjulurkan tangannya.

Patricia yang ceria dan pemberani menyambut uluran tangan itu, "Patriacia, itu  kakak Mardo namanya."

Mardo mengangguk dan tersenyum.

"Nama nama yang cantik, seperti orangnya, anak Om satu seusia kamu dan satunya juga sama. Makanya Om serasa bertemu mereka."

"Oh begitu ya om, makanya kita kaget tadi didatangi oleh om."

Pria itu tersenyum, " Sudah setahun Om tak balik ke Bandung."

"Kenapa tak balik om? kasihan anaknya pasti kangen."

"Pekerjaan om belum selesai, tanggung."

Mereka mengobrol beberapa menit, Mangara menjemput dan menyuruh segera tidur.

Mangara menatap curiga pada laki laki yang mengobrol dengan adik adik perempuannya. Mardo bilang, om itu hanya rindu anak anak perempuannya di Bandung. Oh, hanya itu jawaban Mangara, dia memang cuek.

Nyenyak sekali tidur Pat dan Mardo sampai sampai tak mendengar dering telpun dari Mami. Akhirnya gantian papi yang mengetuk ngetuk pintu. Barulah Mardo terbangun. Papi bilang penerbangan mereka tak lama lagi. Mesti bersiap dari sekarang.

"Ok Pi,"  kata Mardo setengah mengantuk.

Akhirnya mereka bergegas ke ruang pemberangkatan. Mardo berjalan paling belakangan, ia sedang menjawab telpun dari Putri yang menanyakan apakah sudah sampai di kota Papua?

"Belum, kami akan naik pesawat sekali lagi  dan akhirnya sampai."

Agaknya Putri mengakhri telpunnya. Dan Mardo menaro ponsel tersebut ke dalam tas. Sepatunya terasa tak nyaman. Agaknya  kemasukkan batu kecil.  Saat menutup tas dan memeriksa sepatunya  saat itulah.

Buk!

Auuu!, Mardo merasakan dadanya sakit dan ia terhuyung ke belakang. Jatuh terjerembab.

Raka sangat terkejut. Mendadak di depannya seorang gadis tengah berusaha bangun dan menatap kepadanya sangat marah.

"Dasar ceroboh! jalan tak hati hati sampai menabrak orang, sakit tau!"

Kontan Mardo berteriak  dengan mata membesar dan bersorot marah. Terlihat jelas bibirnya meringis

dan mengigit bibir bawahnya.

"Ngapain kamu di situ? nanti kena injak baru tau!"

Ucapannya dingin dan merasa tak bersalah. Hal yang membuat gadis itu buru-buru bangun dan menyalak.

"Heh! kamu menabrak saya! pasang matanya! nggak usah gaya di bandara.

Mata dibalik kacamata hitam itu membesar. Ia terkejut oleh suara yang membentaknya. Membuat

jantungnya mau copot. Seumur-umur baru sekali itu ada yang marah dan hesteris kepadanya.

Baru saja ia akan membalas saat ia mendengar di belakangnya suara laki-laki.

"Mardo! cepat, kamu mau ketinggalan pesawat ya?"

Gadis itu menepiskan tanah di celana jeansnya, sekali lagi menatap Raka dengan pandangan setajam silet.

"Jalan slengean, untung bukan nenek-nenek yang ketabrak. Dasar cowo ceroboh!"

Sembari berlari kecil menyusul laki-laki yang tadi memanggilnya.

"Hei, tunggu! kita belum selesai!"

Tapi Mardo sudah menghilang di belokkan.

"Gadis gila, dia yang meleng aku yang dituduh jalan slegean, dasar dia!"

Kejadian itu membekas sangat dalam. Raka tak bisa melupakan wajah cantik, putih bersemu merah, bibir berbentuk ketipisan yang mungil. Suara mengaduh kesakitan  dan kemudian tatapan kemarahan. Seumur hidup belum ada gadis yang membuatnya berhenti serta terpana. Bahkan ia kena marah seperti anak kecil. Belum ada kejadian seperti itu. Raka sempat kebingungan sesaat.

“Apa kah kita hanya berdiri  saja di sini

Dua teman yang menemani  perjalanannya berbisik bisik. Barulah ia tersadar dan menatap ke duanya

bergantian

“Kalian! kenapa diam saja? Cewe itu  teriak teriak di mukaku seperti aku ini seorang pecundang, kalian malah diam saja seperti patung!"

Dua orang itu saling tatap

“Ma-masalahnya kami pun terkejut dan bagai tersihir, bukan begitu Den"

"Iya benar.

“Hah! Kalian ini!”

Mereka bergegas meninggalkan tempat itu. Namun pria yang belakangan memungut sesuatu dan

menggenggamnya. Raka melihatnya dan meminta benda itu, agaknya sebuah hiasan rambut.

Di dalam pesawat menuju Jakarta, dua orang tadi masih membicarakan teman mereka.

“Agaknya hukum karma memang berlaku. Selama ini dia yang meneriaki gadis gadis.

Berlaku kejam dan galak."

“Gadis tadi mampu membuatnya terdiam seribu bahasa.”

"Dasar ceroboh! ha ha ha."

Dua teman pria yang bernama Raka Bramantyo itu tertawa sembunyi sembunyi."

“Mungkin itu jodohnya, gadis tadi meski kelihatan lembut tapi ia punya aura penakluk.”

“Huu, jangan bicara jodoh. Kita masih terlalu muda. Perjalanan masih sangat panjang."

"Tapi kita bertiga belum pernah punya pacar," mereka saling bertatapan.

"Bagaimana kalau Raka punya pacar? wah! tidak boleh terjadi!"

Keduanya lantas terdiam, sementara orang yang mereka bicarakan sedang tenggelam dalam lamunan. Ia berdebar saat mengingat kejadian tadi. Ia dan gadis belia itu saling menatap. Ia terpukau sementara si gadis meneriakinya. Kalau gadis lain sudah ia dorong. Tapi kenapa rasanya seperti tersihir?

“Dasar ceroboh!”

Terdengar teriakkan itu. Berulang ulang di telinganya. Tapi terdengar merdu di telinganya.

Suara yang cepreng,  halus dan lembut, tak terdengar serta tak terasa kalau itu kemarahan. Ia tadi terpana, terpesona oleh kecantikan belia gadis itu. Rambutnya yang tergerai menjuntai mengikuti geraknya. Begitu sempurna dan menawan. Tapi pertemuan mereka kenapa seperti itu? Gadis belia itu sangat marah.

Jelas bukan hanya dirinya yang telah membuat ledakkan kemarahannya. Memang ia menabrak tubuh gadis itu yang lunak dan lembut.

"Oh," mendekap mulut.

'Aku mengenai sesuatu yang lembut di dadanya. Oh apa itu buah dadanya?'

Senyuman geli terukir dibibirnya,  "Oh, pantaslah ia begitu marah."

Temannya hanya geleng geleng kepala melihat tingkah aneh itu.

“Hari ini ia sangat berbeda. Bukan Raka Bramantyo yang biasa.”

"iya,kau benar."

Raka masih terus mengingat benda lembut yang mengenai lengannya, bibirnya melongo

ia berdebar-debar.

"Dasar ceroboh!" mengikik geli diam diam dan menyembunyikan tawa mereka.

Terdengar ledekkan dua temannya yang duduk di sebrang. Ia melempar keduanya temannya

dengan kertas yang diremas.

***

Sementara itu.

Mardo dan keluarganya baru saja tiba di sebuah landasan pesawat di tengah hutan. Banyak penduduk asli  pedalaman  berambut gimbal. Pesawat merupakan benda yang aneh dan luar biasa bagi mereka. Jika ada pesawat yang datang, mereka bermunculan dari balik hutan.

Menonton apa saja yang dilakukan pendatang. Jika sudah selesai mereka pun hilang di balik hutan. Mardo sempat melihat orang orang itu dan merasa takut. Mereka tidak memakai baju, melainkan telanjang. Memang ada sebuah benda yang diikatkan di pinggang dan tongkat yang bagian bawahnya berbentuk bulat menutup kelamin.

Apakah itu yang dimaksud dengan koteka? teman temannya di jakarta ribut membicarakan koteka saat tau ia akan ke Papua. Mardo tak tahan untuk tidak tersenyum. Mereka bilang,  betapa beruntungnya Mardo. seusia dirinya sudah melihat barang laki laki.  'Kurang ajar mereka, ia tersipu mengingat kejahilan teman temannya.

"Kenapa senyum senyum Non, ada yang lucu kah?"

Tiba tiba laki laki yang membawa barang barang  menegurnya. Laki laki itu juga berkulit hitam, rambut gimbal dan bibirnya tebal. Dia juga penduduk asli Papua. Namun sudah berpendidikan di kota. Pastinya ia sekolah dan bekerja di kantor.

"Apakah itu yang dipakai koteka?"

Mardo berbisik sembari menatap pada penduduk asli yang berjajar di tepi bandara.

Anak muda asli Papua itu mengikuti arah mata Mardo, lantas mengangguk.

"Iya non, mereka memakai koteka."

Sebagian besar penduduk Papua masih berada di pedalaman hutan hutan. Mereka masih mempertahankan adat istiadat leluhur. Hanya sebagian kecil saja yang sudah mengikuti kebiasaaan dan kehidupan orang orang yang tinggal di kota.

"Apa mereka tidak takut digigit nyamuk?"

Mardo penasaran betapa kuatnya mereka di alam terbuka seperti itu.

"Ha ha ha."

laki laki itu tertawa, "Mereka sudah kebal non."

Oh, Mardo hanya melongo.

Mereka telah berhasil menuruni terjalnya batu karang.  Di hadapan mereka terbentang lautan biru yang luas. Sebuah perahu motor bersandar di bibir batu karang. Papi dan Mami berpegangan tangan turun ke bawah.

"Ayo Mi, tidak apa apa hanya sebentar."

Mami dan anak anak memandangi lautan tak bertepi, dalam dan penuh rahasia.

"Iya, maaf Bu. Hanya ini jalan menuju kota. Memang pemerintah sedang memecah batu untuk membuat jalan, setahun lagi baru selesai."

Laki laki yang menjemput menjelaskan pada Mami. Terpaksa mereka semua masuk ke dalam perahu motor yang memuat sepuluh hingga lima belas orang. Setelah semua naik ke perahu, berputarlah perahu tersebut dan bergerak cepat menuju kota eksotik.

Hanya beberapa menit terlihatlah pemandangan kota Fak-fak. Papi dan keluarga lebih suka menyebutnya kota eksotik. Bangunan pembatas yang tinggi di pelabuhan seperti pintu gerbang memasuki kota. Ada kapal besar yang sedang bersandar. Serta ratusan perahu motor memenuhi pantai sekaligus pelabuhan. Mereka menunggu sebentar hingga bisa mendekat ke bibir dermaga.

Beberapa laki laki dan perempuan sudah menunggu di halaman dermaga. Mereka adalah rombongan karyawan tempat Papi berdinas. Setelah saling bersalaman rombongan itu menuju sebuah rumah mewah. Rumah milik seorang pengusaha perkapalan.

Mereka akan bersantai serta makan siang di rumah pengusaha tersebut.

Di halaman rumah megah itu berdiri menyambut si pengusaha bersama istri dan putranya. Rombongan di ajak masuk ke sebuah ruangan besar. Minuman segar dan kue kue yang enak telah terhidang. Sejenak mereka berbincang bincang santai, tertawa dan mengucapakan selamat bertugas. Akhirnya makan siang.

Mangara dan adik adiknya terpisah. Mereka di temani  Richi yang ramah.

"Ayo coba dicicipi masakkan ibuku, semua ini ibuku yang memasak."

Richi tak canggung menjamu serta mengajak berbincang bincang, sehingga mereka berempat cepat akrab. Mardo

mengambilkan Patricia daging ikan bakar, sekalian buat dirinya juga.

"Hemmm, enak sekali daging ikan ini, kemarin kita juga makan ikan ini di bandara Zepman, tak bosan loh."

"Oh, kalian sudah menikmati ikan laut Papua ya. Ikan tuna ini banyak sekali di sini."

"Jika sore banyak nelayan yang menjual ikan bakar atau goreng di pantai. Banyak keluarga yang berjalan jalan menikmati senja di pantai. Kadang mereka menikmati ikan tuna bakar di sana, kadang membelinya untuk di rumah."

Richi menjelaskan panjang lebar.

"Pat, mumpung di sini banyak ikan. Kamu harus banyak makan ikan agar sehat dan pintar."

Kata bang Mangara.

"Iya, di sini ikannya besar besar dan dagingnya enak, aku suka. Di Jakarta ikannya kecil kecil banyak durinya."

"Itu ikan kembung Pat, Mami seringnya masak ikan kembung he he he."

Perempuan cantik ibu Richi menghampiri mereka. Dia bilang sebenarnya punya dua anak laki laki. Hanya yang satunya baru saja berangkat ke Jakarta tadi pagi. Ia bertiga dengan temannya. Mardo merasa kakak Richi tersebut adalah laki laki yang telah menabraknya di bandara.

Setelah selesai makan siang selanjutnya rombongan mengawal Papi dan keluarganya menuju ke daerah puncak. Jika di lembah  dibangun pusat kegiatan perkapalan, tempat lelang ikan, pertokoan serta pasar. Juga pariwisata pantai.

Maka bagian yang berbukit bukit di atas,  merupakan pusat pemerintahan kota tersebut. Sekolah, rumah sakit, gedung pertemuan, mall juga kompleks serta perumahan pejabat berada di bagian atas. Mobil beriringan menuju puncak.  Komplek rumah dinas Papi namanya Puncak kapas. Berada di bagian paling atas kota tersebut.

"Wau, seperti villa."

Gumam anak anak, saat turun dari mobil dan menatap rumah cantik di atas. Batuan berwarna hitam dipahat berundak undak untuk jalan naik ke rumah.

"Ok bapak dan ibu, silahkan beristirahat. Kami pulang dulu, sampai bertemu kembali."

Kembali bersalam salaman. Orang orang  itu lantas pergi. Tinggal dua anak muda penduduk asli Papua. Mereka membantu  membawa barang barang ke rumah. Setelah selesai mereka juga pergi.

Tinggallah Mardo dan keluarganya. Kata Papi, mereka bisa menempati kamar masing masing untuk beristirahat.

Patricia sangat senang dengan kamarnya, ia tak keluar keluar lagi. Begitu juga Mangara.

Mardo meregangkan tubuhnya, ia sangat kelelahan dan makan cukup banyak. Ia mengambil baju tidurnya dan masuk ke kamar mandi. Setelah mandi, Mardo menguap lantas naik ke pembaringan dan tertidur.

Ini adalah hari pertamanya tidur di kota terpencil. Namun ia mengakui bahwa kota itu sepintas sangat cantik, unik dan eksotik. Ia merasa jatuh cinta dan suka pada kota tersebut.

Bersambung

Episode 2. Nona Black Sweet Dan Pesta Ultah Kota Eksotik

Mardo menjalani hari hari di kota Eksotik. Dan ia penasaran dengan teman sebangkunya.  Sejak pindah ia

belum bertemu teman semejanya.  Mardo. menanyakan siapa yang duduk di bangku sebelahnya. Rusi  gadis imut yang ramah menjawab, bahwa itu adalah bangku Halima Haremba. Seorang gadis asli Papua.

Mardo senang mendengar hal itu. Rupanya  ia bersebelahan  dengan gadis Papua. Tak  terbayang kalau ia  bersisian dengan gadis  Papua. Tak sabar menunggu kehadiran Halima. Pasti teman temannya di Jakarta mau melihat seperti apa gadis Papua temannya itu.

Hingga suatu hari saat ia tengah memeriksa pr di mejanya. Seseorang berdiri di dekatnya. Mardo mengangkat

wajahnya dan bertemu pandang dengan seorang gadis Papua. Ia sama sekali tak tersenyum melainkan menatap

bangku kosong di sebelah Mardo. Serta merta Mardo berdiri dan memberikan jalan untuk gadis itu ke bangkunya.

"Hallo Halima Haremba, senang kamu sudah masuk sekolah. Aku selalu menantikanmu."

Mardo menyambut teman sebangku yang setiap hari ia tunggu. Gadis penduduk asli tersebut menatapi

Mardo, agak lama barulah ia menyambut uluran tangan itu. Dia sangat berhati-hati dan berusaha

meraba apakah Mardo teman yang baik. Begitu perasaan Mardo.  Ada beberapa teman sekelas yang juga

asli Papua. Mereka seperti Halima, tertutup dan sulit sekali diajak berkomunikasi.

"Kamu kenapa sering tak masuk sekolah? nanti ketinggalan pelajaran."

Mereka sudah duduk bersisian. Halima duduk di dekat dinding dan bersandar. Gadis Papua itu menolehinya

namun tak menjawab.

"Rumahmu jauh ya?"

Mardo tak menyerah mengorek tentang teman sebangkunya itu. Halima menggoyangkan kepalanya, bibirnya

yang mungil tersenyum tipis. Agaknya ia tak mau membicarakan hal tentang dirinya.

Halima Haremba gadis yang manis. Wajahnya tirus, dan bibirnya tipis. Ia berbeda dengan kebanyakkan gadis Papua.

Kulitnya meski hitam namun halus dan bagus. Rambutnya panjang keikalan, tidak gimbal layaknya gadis gadis Papua. Ia memakai kemeja lengan panjang yang dimasukkan kedalam rok  model rimpel. Lumayan modis dan bergaya. Teman teman memanggilnya nona Black Sweet.

Menurut Rusi, Halima itu suka mengamati gadis gadis pendatang yang ia sukai. Selanjutnya ia meniru gaya berpakaian  serta sikapnya. Rusi sebenarnya sudah menasehati Halima agar menjadi dirinya sendiri. Karena Halima pernah mempermalukan diri sendiri saat meniru seseorang. Dan itu sangat lucu. Tidak sesuai untuk Halima.

Gaya berpakaian Halima yang sekarang meniru Vana. Kemeja lengan panjang dan rok rimpel  lebar.

Oh,  benar juga. Mardo mengangguk angguk mengingat Vana yang memang selalu mengenakan kemeja lengan panjang, rok rimpel dan sepatu kets. Tak lupa tas sekolah yang besar. Halima meniru seluruhnya dan tidak buruk. Vana mungil dan terlihat lebih besar dengan pakaian seperti itu. Sedangkan Halima menjadi lebih modis. Gadis Papua yang pintar. Ia dan Rusi saling memperlihatkan jempol.

Selanjutnya Halima Haremba selalu hadir di sekolah. Ternyata ia berteman dekat dengan Sarah Lee. Ia bisa

bicara bebas, tertawa terkekeh bahkan hesteris saat Sarah Lee menganggunya. Halima jika gemas pada

Sarah Lee ingin memeluk dan meremasnya kuat-kuat. Sebab itu Sarah Lee menghindar dan berlarian di kelas.

Halima mengejarnya.

"Ampun Halimah! torang jangan peluk beta."

Sarah Lee berteriak ketakutan meski juga ada senyuman tergantung di sudut bibirnya.

"Makanya torang jangan bikin beta marah! itu mulut dijaga jangan sampe bikin kuping merah hah!"

Galak sekali Halima saat ia mengancam temannya itu. Dan berakhir dengan saling berpelukkan sambil

berteriak-teriak dan tertawa kegelian. Ternyata dibalik diam dan tertutup Halima juga punya sisi hesteria dan suka bercanda. Tetapi hanya dengan Sarah Lee ia bisa bebas bereksperesi seperti itu.

Setelah berhari-hari masuk sekolah, tiba-tiba Halima membolos kembali. Tidak ada kabar berita sama sekali.

Anak-anak dengan pelajaran serta kegiatan yang banyak melupakan Halima. Kesibukkan serta banyaknya

tugas membuat semuanya tidak sempat memikirkan Halima. Begitu juga Mardo.

Sesekali saat Mardo melihat kursi Halima, ia terpikir kenapa Halima membolos lagi? apakah terjadi

sesuatu hingga ia tak bisa ke sekolah? ia lantas bertanya pada Rusi. Tapi gadis itu menggeleng. Ia tidak

tau. Menurut Rusi rumah Halima sangat Jauh menyebrangi laut dan melewati hutan serta kebun. Akhirnya

Mardo juga perlahan tak lagi mengurusi teman sebangkunya itu.

Mardo juga sudah memiliki teman berangkat dan pulang sekolah yakni Vana. Gadis yang ditiru model

berpakaiannya oleh Halima Haremba. Saat itu Ia terlambat pulang sebab pak wali kelas memanggilnya

ke kantor dan membicarakan tentang roknya yang terlalu mini.  Di jakarta gadis-gadis remaja sedang

mengandrungi rok mini dengan sepatu kets tinggi.

Mardo masih menggunakan baju seragamnya dari sekolah yang lama. Terutama rok kesayangannya

yang pendek. Sebenarnya di sekolah yang lama, masalah seragam diserahkan kesukaan masing-masing

yang penting warnanya sama. Ada yang senang menggunakan rok panjang, tapi sebagian besar anak-anak

yang tengah memasuki usia remaja lebih suka rok diatas lutut, atau pas selutut.

Geng pertemanan Mardo membuat rok seragam mereka di atas lutut. Tidak terlalu mini, terlihat cute

dan manis. Tapi menurut pak wali kelas roknya itu terlalu pendek. Ia menawarkan membeli seragam

di koperasi sekolah. Mardo bilang ia harus mengatakannya pada Mami.

"Jangan marah dan sakit hati ya Nak, bapak hanya menjaga jangan sampai kau mengalami suatu

penyesalan nanti. Di sini berbeda dengan di jakarta. Harap kau mengerti Nak."

Pak wali kelasnya tersenyum penuh arti. Mardo hanya mengangguk kemudian pamit pulang. laki-laki

berwibawa itu membiarkannya pergi. Pipi Mardo bersemu merah. Baru sekali ini  ada  laki-laki

yang keberatan dengan rok mininya.

Mardo keluar dari gedung sekolah dengan keadan yang sepi. Kenderaan tidak ada. Terpaksa Mardo

berjalan kaki. Belum lagi jauh saat ia melihat di depannya seseorang berjalan dengan payung.

Tak berpikir panjang ia mengejar gadis remaja sebesar dirinya itu.

"Tunggu!"

Ia berteriak dan memanggil-manggil. Gadis berkuncir itu membalikkan tubuhnya ke belakang dan

lantas menunggu dengan bibir tersenyum.

"Hei Mardo, telat pulang juga?"

"I-iya. Kamu sudah tau namaku?"

Mardo terbengong sementara gadis itu terkikik kegelian.

"Tentu saja, kedatangan kalian disiarkan oleh operator radio kota Fak-fak, om Sibuk."

"Yang benar?"

"Iya, bahkan sampai sekarang sesekali  om Sibuk masih menyebut keluargamu, jadi semua penduduk

tau dirimu, kakak dan juga adikmu."

"Oh, kami tak pernah menyetel radio."

Lalu keduanya saling berpandangan.

"Aku Vana."

Gadis itu mengulurkan tangannya, dan mereka berjabat tangan.

"Apakah jam segini tidak ada taxi yang lewat, panas sekali."

Mardo mengeluh meski Vana sudah berbagi payung dengannya.

"Siang seperti ini taxi jarang. Lagi pula sebagian besar anak-anak dijemput dan antar. Sebagian lagi

bawa kenderaan sendiri."

Mardo membenarkan, hanya sedikit taxi dan kenderaan angkutan. Sebagian besar antar jemput atau

mengenderai sendiri. Tak berbeda dengan sekolahnya di Jakarta. Cara serta pergaulan remaja kota

terpencil itu tak kalah dengan di Jakarta. Kecuali rok mini yang dipermasalahkan  wali kelas.

Vana dan Mardo merasa cocok, mereka mengobrol tentang berbagai hal. Mardo juga

menceritakan tentang nona black sweet. Mardo menyebutnya kembaran  Vana, sebab baju

seragamnya, gaya memakainya serta tas dan sepatunya juga sama. Gadis itu lagi-lagi terkikik

kegelian.

"Kau ini, memang beta hitam apa? kembaran hi hi hi."

"Dia mengidolakan dirimu Van."

"Hi hi hi, Halima Haremba  si nona black sweet  itu, dia memang peniru."

Keduanya berbincang-bincang tentang Nona black sweet. Dia gadis Papua yang cantik.

Sangat berbeda dengan gadis Papua lainnya. Bibirnya mungil dan wajahnya oval, rambutnya

berombak dan sering di kepang untuk kerapian.

Vana bilang di kelasnya juga ada teman yang asli Papua tetapi dia tidak secantik Halima Haremba, juga tidak

populer. Banyak sekali yang menyukai Halima bahkan ia diberi julukkan Nona Black Sweet.

Tak terasa Mardo melihat rumahnya yang berada di ketinggian.

"Vana, mari mampir aku kenalkan dengan mami dan adikku yuk."

Vana tak menolak, mereka berlarian menaiki undakkan, kemudian sampai di hamparan rumput di halaman

serta pohon jeruk dan ceri. Mardo memasuki teras dan mengucapkan salam. Pat membukakan pintu.

"Ayo Van sini masuk, duduklah aku ambilkan minum, panas sekali hari ini."

"Mam, Mami!"

Masuk sembari memanggil-manggil Mami yang rupanya sedang sholat. Ia baru muncul saat Mardo sudah

membuatkan sirup jeruk untuk Vana dan dirinya. Vana dan Mami saling tersenyum dan berpandangan. Patriacia juga menyalami Vana.

Mami menawari Vana makan siang menemani Mardo, tapi Vana menolak, ia harus buru-buru pulang karena sudah

telat dari jam kepulangan. Vana bilang rumah sudah tak jauh, dekat dengan gedung pertemuan. Besok mudah-mudahan bisa berangkat kesekolah berbarengan.

***

Kring! Kring! Kring!

"Hello mau ke siapa?"

Patricia terdengar mengangkat telepon. Kebetulan Mardo sedang membaca di sofa dan melihat adiknya

yang lari mengangkat telpon rumah yang terletak di sudut ruang tamu.

"Oh, ada. Kak katanya mau bicara denganmu."

Patricia memberikan telepon pada Mardo. Tetapi gadis itu menyuruh Patricia menanyakan siapa namannya.

"Namamu siapa?"

Sembari Patricia tersenyum geli.

"Bilang aja dari orang ganteng dan keren."

"Kak, namanya ganteng dan keren!"

"Ich! siapa sih?"

Patricia melemparkan gagang telpon pada Mardo dan ia ke kembali asyik dengan permainannya.

Mardo mengangkat telepon dan ia mendengar denting-denting gitar.

"Siapa ya? aku kenal nggak ya?"

"He he he, aku mengenalmu tapi kamu nggak kenal aku."

Terdengar suara seorang laki-laki serak-serak basah di sebrang sana.

Mardo terdiam, ia belum pernah mengobrol dengan seorang laki-laki kecuali dengan Papi, Mangara

dan teman sekolahnya Richi, Sulaiman serta Umar. Itu juga pembicaraan biasa saja.

"Bagaimana? betah ya di Papua? kayaknya betah banget."

"Gimana lagi, Papi aku kan bertugas di sini. Betah nggak betah, oia iya kamu siapa?"

"He he he, nanti juga kamu tau kok. Pokoknya orang ganteng dan keren. Pria Idola gitu."

"Idih, kok bilang dirinya sendiri ganteng dan keren sih? Pria Idola lagi,  belum tentu kali."

Mardo sinis, ia merasa iseng dan menaggapi saja laki-le he he, mending memuji diri sendiri, dari pada nggak ada yang memuji."

"Ih kasihan deh kamu."

"Nggak juga kok, gadis-gadis kota Eksotik yang bilang he he he, tanya aja Pria Idola, semua

gadis-gadis tau."

"Ngapain, nggak perlu. Ya udah ya."

Mardo akan memutus teleponnya, tapi laki-laki di sana menghentikannya.

"Tunggu! tunggu!"

"Apa? aku nggak kenal kamu percuma."

"Ayo kenalan, aku Pria Idola."

Mardo langsung meletakkan gagang teleponnya. Tapi kembali terdengar suara kring-kring.

Gadis itu mengacuhkannya. Hingga akhirnya berhenti sekali.

Jauh di sebuah tempat laki-laki muda itu tersenyum ceria.

"Dia menggemaskan sekali, dasar pemarah he he he."

'Tapi meski begitu, aku kok suka ya. Teringat terus padanya dan ingin menelpon mendengar

suaranya yang cempreng itu. He he he apa kabar ya buah dadanya? apa masih sakit."

Laki-laki muda itu melebarkan bibirnya lantas berbaring di tempat tidur king size. Ia bebas

telentang dengan kaki  membuka selebar-lebarnya. Ia berpikir untuk kembali ke kota Eksotik

agar bisa bertemu dengan gadis itu. Tapi bagaimana jika Papi bertanya. Kemarin ia sudah

sebulan penuh menghabiskan liburan di kota Eksotik.

Tetapi pucuk dicinta ulam tiba. Papinya menelpon dan menanyakan apakah ia bisa pulang

ke kota kecil itu. Bapak bupati mengundangnya di acara  ulang tahun kota Eksotik. Kontan

laki-laki muda itu bersorak dalam hati.

"Bisa Pi, kebetulan kuliahku baru dimulai  dua minggu lagi. Tidak ada kegiatan apa-apa."

"Kalau begitu segera pulang ya Nak, acaranya malam  minggu lusa."

"Ok Pi, aku pulang."

Ceria sekali laki-laki muda itu. Ia memberitahu temannya bahwa ia harus kembali ke kota

eksotik. Dan kedua temannya hanya terbengon, lantas berteriak, "Iya kami juga pulang!"

***

Ulang tahun kota Eksotik selalu dirayakan secara meriah. Sekolah-sekolah mendapat undangan

untuk merayakannya di sebuah lapangan. Dan malam harinya pesta seni dari berbagai instansi

dan juga sekolah.

Sebagai sekolah nomer satu di kota itu sekolah Mardo mendapat kehormatan sebagai penyelenggara

acara malam pesta ulang tahun kota tercinta. Berbagai latihan persiapan diadakan.  Di sela belajar dan

mengajar. Saat istirahat atau pulang sekolah, murid-murid pilihan berlatih di aula sekolah.

Waktu  terus berjalan.  Semua menyenangkan dan tidak ada problem.  Pelajaran berjalan dan latihan juga. Mardo mendapat nilai  bagus di semua pelajaran. Ternyata pelajaran di sekolah itu  lebih lambat jika dibandingkan di Jakarta. Tak aneh jika Mardo memperoleh nilai-nilai tinggi. Hal yang membuat Yulianti dan Mimi cemburu.

Yulianti dan Mimi sangat tak nyaman pada keberadaannya.  Dua cewe itu kerap berbisik bisik sembari memandang sinis pada Mardo. Apa lagi melihat kedekatan Mardo dan  Richi, dua cewe itu seperti terbakar, merah membara. Mereka sepakat mencari cara untuk menjatuhkan Mardo.

"Dia orang belum tau kita siapa, lihat saja nanti."

Mimi mengepalkan tangannya, menahan kebencian.

"Ia Mi, nggak sabar mengerjainya!, sok cantik! sok pintar! sok populer huh!"

"Sabar Yan, ikuti aja dulu tingkah lakunya yang menyebalkan itu."

Tiba tiba seorang cewe menghampiri," hei kalian bisik bisik apa sambil menatap nona pendatang?"

"Eh Lee, sana jangan ikut campur!"

Yulianti mendorong cewe bernama Sarah Lee itu. Tapi Sarah Lee kembali ingin ikut berbisik bisik bertiga tapi Mimi dan Yulianti tak menginginkan kehadiran cewe itu. Jadilah mereka saling dorong mendorong dan berakhir dengan tertawa.

"Kalian sudah dengar?"

Sarah Lee masih berusaha berada diantara dua cewe yang bergaya dan modis itu.

"Apa? kalau mau kasih tau cepat bilang? jangan bikin pala berbie pusing."

"Pria Idola datang di acara ulang tahun kota kita!."

"Serius?"

"Wauuuu, Pria Idola pulang!"

Ketiga gadis itu saling berpandangan, wajah mereka dan senyum di bibir begitu sumringah.

Ada apa ya? kok mereka begitu senang.

Mardo sempat melihat tingkah laku ketiga teman sekelasnya itu. Tapi kemudian ia mengacuhkannya. Bukan urusannya. Lagi pula ia merasa tak cocok berteman dengan mereka. Hanya sekedar teman sekelas saja. Berbeda dengan Vana. Ia merasa nyaman. Tapi jelas tadi ia dengar Mimi menyebut-nyebut Pria Idola. Jadi memang benar ada Pria Idola di kota ini.

Apakah ia perlu bertanya pada Vana tentang Pria idola? Kalau Vana tak tahu masih ada Betty Sapacua gadis yang rumahnya tak jauh dari Vana. Tanya Vana atau Betty ya?

Saat istirahat Mardo mencari Vana dan Betty. Tetapi mereka  tidak ada di kelas. Hanya dua gadis yang

lantas mengajaknya ke kantin sebab Vana dan Betty tadi pamit ke  kantin. Gadis itu Zam-zam dan Rosse.

Mereka bertiga pergi ke kantin.

Suasana sekolah dan kota eksotik terasa berbeda.Kelas kelas seperti berlomba menyiapkan sajian istimewa. Ada yang berkelompok, ada yang berduet, solo, ada yang berbaur antar kelas. Sekolah sekolah lain pun juga sama. Mardo dengar acara itu tiga malam. Akan dihadiri oleh bapak dan ibu Bupati serta para pejabat pejabat, pengusaha dan banyak lagi. Panitia sangat disibukkan oleh acara akbar tersebut. Pesta itu adalah perwujutan persatuan remaja kota Eksotik.

Semua cewe cewe membicarakan pesta itu.

"Kitong orang berharap dapat pacar di pesta."

"Ya, kitong juga."

"Biarlah tak dapat pria idola, yang biasa saja tak apa."

"Ha ha ha, menyerah ya."

"Apa kamu tak menyerah?"

"Sekedar idola biarlah, cinta sendiri."

Cewe cewe itu tertawa sepertinya mentertawakan kemalangan mereka.

Tak habisnya pembicaran tentang pesta itu. Cewe cewe berbelanja kosmetik, gaun malam, sepatu dan tas.Semua ingin menjadi yang tercantik. Seperti ada seorang pangeran yang akan memilih putri.  Mardo menjadi tak sabar ingin tau seperti apa pesta itu. Teman-teman mengajaknya ikut terlibat tapi Mardo menolak, ia lebih suka menjadi pengamat saja. Lagi pula ia masih sangat baru di kota tersebut.

Dan akhirnya tiba. Pesta meriah ulang tahun kota Eksotik. Acara besar-besaran di pagi hari di lapangan. Lantas

lempar bunga ke laut raya. Pesta raya bersama bapak bupati serta para pengusaha kota eksotik. Menjelang dhuhur barulah acara itu selesai.  Malamnya akan berlanjut di gedung pertemuan. Gedung kebanggaan penduduk kota

itu. Gedung megah yang memuat seribu lebih manusia.

Sejak sore sekelompok demi sekelompok siswa berdatangan ke gedung pertemuan. Papi juga mendapat undangan ke acara tersebut. Rencananya setelah sholat magrib ia berangkat bersama Patricia. Mami sedang tak enak badan. Mardo menunggu jemputan  Vana dan Betty.

Pintu gerbang gedung di jaga oleh cewe cewe panitia yang berbaju indah dan fantasi. Setiap tamu yang datang di sambut dan diantar ke tempatnya. Begitu pun ketika Papi dan Patricia tiba segera  di sambut hangat. Mardo dan teman temannya berada tak jauh di belakang Papi. Tiba tiba Mardo mendengar banyak suara yang memanggil namanya. Gadis itu tercekat.  Cowo cowo dari sekolah lain banyak yang tahu namanya. Mereka melambai ke arah Mardo sembari menyebut namanya. Gadis itu jengah lantas buru buru mengajak teman temannya duduk tak jauh dari barisan Papi. Masih di bagian depan. Di panggung beberapa penari sudah bergantian muncul. Tari tarian khas kota Papua. Tetabuhan serta jerit jerit penarinya. Indah sekali tarian mereka dan nyanyian tentang kota itu.

'Ini Negeri kami ya Tuhan.

Biarkanlah kami tetap berjalan, bersama janjimu  ibu leluhur sampai napas ini berakhir.

Idung idung marina kami selalu hidup dengan tenang

Idung idung marina kami selalu hidup dengan damai.

Ini Teluk kami, laut kami, kami lahir untuk negeri ini.

Ini gunung kami tanjung kami, bukan pilihan tapi karena takdir

Di bangun atas falsapah satu tungku tiga batu.

Negeri ini akan selalu menghiburmu'

Semua remaja mengikuti lagu tersebut, betapa mereka mecintai kota eksotik. Lagu itu di putar berulang ulang hingga acara berakhir.  Bapak bupati dan rombongan telah menempati bangku masing masing. Hening serta hikmat saat doa pembuka dibacakan.

Selanjutnya berjalan santai. Acara demi acara diselingi hiburan dari remaja kota eksotik. Lalu terdengar gadis gadis hesteris.  Ada apa lagi nih? Mardo penasaran.

"Pria Idola kota eksotik, kak Raka! kak Raka!"

Vana dan Betty ikutan hesteris.

"Siapa dia Van?"

Mardo berbisik di telinga Vana.

"Kak Raka, dia penyanyi dan pemain gitar handal kota Eksotik, dia Pria idola gadis-gadis Do."

Sahut Vana dengan mimik senang. Di pintu gerbang ramai sekali serta hesteris gadis-gadis. Semua

mata menatap ke sana. Seorang laki-laki muda yang di jaga beberapa body guard. Mardo tak berkedip

menatap ke arah iring-iringan itu.

"Pria Idola telah tiba, kita sambut yang meriah, Pria Idola!"

Usai Host berkata terdengar hesteris gadis-gadis yang berada di gedung itu.

Sementara iring-iringan lelaki  itu berhenti di depan  bapak bupati. Terjadi salam menyalam dan berpelukkan.

Rupanya pria idola itu tengah memohon restu untuk naik ke panggung.

Sorai sorai semakin meriah. " Raka, Raka Raka!"

Gadis gadis memanggil namanya.

Hemmm, Mardo  terpaku dan terhanyut oleh suasana gegap gempita, Pria Idola! pria Idola.

Diakah si penelepon misterius itu? Gadis itu tak bisa berkata-kata. Ia tertegun menatap dan

menikmati permainan gitar laki-laki muda di sana.

Lagu selamat ulang tahun dilantunkan indah. Dan seluruh yang ada di gedung itu ikut menyanyi. Dan Mardo

baru menyadari kalau Betty sejak lama tak ada. Betty bernyanyi di depan bersama si Pria Idola. Suara Betty

sangat merdu. Ia menolehi Vana.

"Betty pemenang kedua lomba penyanyi kota Eksotik tahun ini."

"Wah."

Mardo terkesiap, ia tak menyangka Betty adalah seorang calon penyanyi berbakat. Suaranya lantang

tinggi dan ia bisa mengimbangi permainan gitar si pria Idola. Gadis-gadis hesteris dan tak berhenti bersorak dan bertepuk tangan.

"Hei, tak  memberi tepukkan buat kak Raka, dia pria idola kota ini loh. Bapak bupati yang memberinya nama itu."

"Jadi, Pria idola itu nama pemberian dari bapak bupati?"

"Iya."

Terdengar lagi hesteris gadis gadis. Sosok itu sekarang sudah mulai memetik gitarnya.

Terdengar nada panjang yang menyayat-nyayat.  Membuat semua dalam gedung itu terpukau dan tersihir.  Permainan gitarnya dan sesekali lantunan lagu memang luar biasa.

Hingga lagu terakhir ia mainkan dengan penghayatan, Merpati putih, membuat semua yang hadir di gedung itu nyaris menangis seolah turut merasakan pedihnya isi syair tersebut. Lantas gedung pertemuan itu serasa roboh oleh hesteris dan tepuk tangan bergemuruh. Pria idola membungkukkan tubuhnya lantas turun meninggalkan panggung. Pak bupati menyambut dan memeluknya hangat. Ia duduk diantara rombongan bapak bupati.

Memang benarlah, bapak bupati menyukai Pria Idola.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!