NovelToon NovelToon

Istri 108kg Tuan Bara

Bab 1. Sakit hati

"Kak Gavin!" Alice menatap tajam sepasang anak manusia yang gelagapan, panik ketahuan sedang bercumbu dengan mesra.

Spontan Alice menjatuhkan kantong yang berisi makanan yang ia bawa, khusus untuk makan malam Gavin, suaminya.

Kedua tangan Alice tergenggam di kedua sisi, geram. Seorang wanita duduk di atas pangkuan suaminya dan saling berhadapan berpangutan mesra. Bahkan bagian atas wanita itu tampak berantakan. Ia bukan anak kecil yang tak mengerti apa baru saja mereka lakukan.

Kesabaran Alice kembali diuji, selama setahun pernikahan mereka. Gavin tak pernah menyentuhnya, lelaki itu kerap pulang malam dengan alasan sibuk pekerjaan hingga tak jarang sering lembur. Di rumah pun sikapnya dingin dan cuek, tak selayaknya pengantin baru yang seharusnya selalu bersikap mesra.

Hari ini Alice datang ke kantor atas saran Mama mertuanya. Jelita menyarankan Alice untuk masak dan mengantarkan makan malam untuk suaminya. Dengan harapan hubungan mereka yang merenggang bisa sedikit mendekat. Tapi apa yang Alice dapatkan? Sebuah pertunjukan yang begitu mengoyak perasaan.

"Alice, kenapa kamu bisa ada di sini?" Gavin bertanya dengan santai. Seakan tak berdosa. Binar matanya tak memancarkan rasa bersalah sedikit pun

Tangan Gavin bergerak cepat mengancing celana dan bajunya. Mata Alice memicing melihat tanda-tanda merah yang tercetak di leher wanita itu. Hatinya semakin perih. Untuk sesaat Alice lupa bagaimana caranya bernafas.

Alice terpaku di tempat, ia tak ingin melangkah maju, ia tak ingin melihat lebih dekat noda-noda percintaan mereka yang mungkin saja berserakan di lantai yang tertutup dari balik meja itu.

"Jadi ini lembur yang selama ini kamu katakan, Kak? Lembur yang membawa kenikmatan dengan wanita itu?" cibir Alice.

Alice layangkan tatapan tajam pada ke dua bola mata wanita yang berdiri tepat di samping suaminya. Gisella menjatuhkan pandangan matanya ke arah sepatu Gavin seraya tersenyum bangga.

Alice memindai wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, wanita itu memang berbeda dengannya.

Tubuh ramping dan putih, mengenakan pakaian yang begitu ketat hingga mengekspos bagian-bagian yang memancing hasrat para lelaki manapun yang memandangnya. Belum lagi dua bukit kembar yang mencuat begitu menantang. Terlihat ingin tumpah dari tempatnya yang tampak tak sesuai ukuran.

"Ini ja-lang dari mana yang kamu pungut, Kak?" tanya Alice menahan rasa sesak di dada.

"Jaga ucapanmu Alice, dia punya nama. Nama nya Gisella, dia sekretarisku," sentak Gavin tak terima dengan ucapan Alice.

"Oh ... aku baru tau jika kamu memiliki sekretaris yang merangkap sebagai ja-lang pemuas hasrat. Berapa kamu gaji dia sebulan, kak? Kamu gaji dia hanya untuk melayani kamu sendiri atau juga sebagai bonus boneka pemuas bagi teman-teman kantormu yang lain?" Alice tersenyum sinis. Kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu tajam.

Gisella menegakkan kepalanya, dia membalas tatapan mata Alice sebagai bentuk tak terima dengan penghinaan yang dia berikan.

Gavin langsung berdiri dan mendekati istrinya. Kini mereka saling berhadapan. Mata mereka berdua saling melemparkan tatapan tajam yang begitu menusuk.

"Jaga ucapanmu, Alice! Kamu tak punya hak untuk berbicara dan menghina Gisella seperti itu. Dia jauh lebih baik darimu, setidaknya ia bisa memberikan kepuasan padaku yang tak bisa kau berikan untuk suamimu sendiri," teriak Gavin membela gundiknya.

"Kamu menyalahkanku, Kak. Bukan aku yang tidak melakukan tanggung jawabku sebagai seorang istri. Tapi kamu sendiri yang menghindariku dan menolak untuk menyentuhku!" balas Alice dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Dia ingat setiap mereka berada dalam satu kamar, Gavin akan membuang muka saat tak sengaja melihat dirinya mengenakan handuk. Atau akan marah jika dia ingin tidur di ranjang yang sama dengannya. Alice selalu tidur di sofa jika mereka berdua berada di kamar yang sama atau Gavin akan tidur di kamar sebelah.

"Ckkk." Gavin berdecak seraya terkekeh mengejek. "Apa kamu tak berkaca, Alice? Lihat tubuhmu itu, sudah seperti babi putih. Bulat tak ada lekukan. Ukuranmu yang besar itu sudah membuatku jijik. Jangankan untuk menyentuhmu, senjataku saja tak mau berdiri saat melihatmu mengenakan pakaian minim di kamar. Apa pun yang kamu kenakan untuk merayuku, tak mampu membuatku berhasrat padamu. Apa kau mengerti!" jelas Gavin dengan begitu lantang.

Ucapannya seperti ribuan jarum yang menusuk gendang telinganya. Begitu kasar dan tajam membuat harga diri Alice sebagai seorang wanita dan istri terkapar.

"Kamu lihat, Gisella! Ini baru wanita, sedangkan kamu ...," Gavin menunjuk ke arah wanita ramping itu dan kembali mengayunkan tangannya menunjuk tampilan Alice dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Aku bingung harus mendeskripsikan kamu ini wanita atau tong bekas minyak. Badan bulat, wajah dekil dan berminyak. Tak ada menariknya sebagai seorang wanita. Aku menyesal menikahimu sebagai istri. Andai kakek tidak memaksaku, aku tak akan pernah menikahi wanita buruk sepertimu!"

Bibir Alice terkatup tak mampu lagi berkata, hatinya bergemuruh dengan amarah yang membuncah. Bulir kristal itu mengalir mulus di pipi. Dia benar-benar merasa terhina dengan ucapan suaminya.

Sudut matanya menatap senyum simpul dari selingkuhan suaminya itu. Langkah kaki jenjang dan anggun itu terayun mendekati Gavin. Dengan lancangnya wanita centil itu merangkul pinggul Gavin saat istri sahnya masih berada di hadapannya.

"Sayang, aku lapar. Kita makan di restoran kesukaan aku, ya!" pintanya dengan manja.

"Dasar wanita tidak tahu malu, berani sekali kamu menggoda suamiku di depan mataku sendiri!" sungut Alice. Ia tak mampu untuk bersabar lagi.

Di tariknya rambut Gisella dengan keras agar menjauh dari Gavin. Gisella salah memilih lawan, Alice bukan wanita yang akan diam saja saat miliknya akan di rebut.

Jambakan tangan Alice yang begitu kuat membuat Gisella berteriak histeris dan meringis. Kulit kepala wanita itu terasa mau lepas dari kepala.

"Lepaskan Alice! Apa kamu gila, lepaskan!" Gavin mencoba untuk melerai. Ia menatap tajam istri sahnya itu. Mencengkram erat pergelangan tangan Alice hingga membuat wanita gembul itu melepaskan jambakan tangannya.

"Mas kepalaku sakit sekali ini! Istrimu ini benar-benar gila!" adu Gisella. Wanita itu pun menangis dan merintih merasakan kepalanya yang berdenyut nyeri. Gavin tak tega.

Gavin melayangkan tangannya yang lebar untuk menampar istrinya. Cap lima jari tampak jelas memenuhi hampir seluruh pipi kiri istrinya.

Alice tertegun, tangannya meraba pipi putih yang kini memerah dan terasa panas. Bahkan rasa panasnya pun menjalar hingga ke dasar hati. Bulir-bulir kristal bening itu turun dengan deras tanpa suara.

"Apa kamu pikir kantor ini hutan. Hingga kamu bebas bersikap bar-bar seperti ini?" hardik Gavin kembali.

"Mas," Dengan manja Gisella menghambur ke pelukan suaminya. Tangan lelaki itu terulur merapikan rambut selingkuhannya yang berantakan, mengabaikan perasaan istri sendiri.

"Ka-kamu lebih membela dia dari pada aku, Kak. Aku istrimu sedangkan dia ...,"

"Cukup Alice! Aku tak mau mendengar omong kosongmu lagi. Kamu tak perlu memasang wajah seakan tersakiti di sini. Karena dari awal aku tak pernah mencintaimu. Aku mencintai Gisella dan aku berniat untuk menikahinya!"

Mata Alice melebar sempurna. "Kamu pikir aku akan setuju! Tidak, aku tak mau di madu. Apalagi dengan wanita itu. Aku tak mau, Kak!" tolak Alice cepat.

"Aku tak butuh persetujuanmu. Karena aku laki-laki, aku bisa menikah dengan wanita manapun yang aku mau. Jika kamu tak terima, aku bisa menalakmu! Kau tinggal pilih, setuju atau kita berpisah?!" jelas Gavin membuat tubuh Alis lemas.

Kakinya terasa seakan tak bertenaga, jiwanya melayang terhempas dengan kenyataan pahit yang kembali menyesakkan dada. Alice terduduk di lantai seketika.

Bab 2. Noda di malam itu

Hujan turun dengan derasnya disertai gemuruh yang mengedor-gedor langit seakan menumpahkan amarahnya. Langit seakan dapat merasakan kesedihan yang dirasakan Alice.

Wanita itu turun dari taksi online dalam keadaan mabuk berat. Langkah kakinya sempoyongan memasuki kediaman keluarga Apsara, sesekali terjatuh dan tertawa.

Setelah memergoki suaminya yang berselingkuh untuk kesekian kalinya, Alice pergi ke bar meluapkan semua rasa sedihnya dengan menenggak beberapa gelas minuman beralkohol.

Ini kedua kalinya wanita bertubuh tambun itu melakukan hal bodoh itu. Pertama, karena patah hati melihat suaminya kedapatan berjalan dengan mesra bersama model cantik yang lelaki itu akui sebagai kekasihnya.

Sekarang pria itu justru ingin menikah lagi dengan perempuan lain dan mengabaikan perasaannya sebagai seorang istri. Alice tak terima tapi dirinya juga tak ingin berganti status dari seorang istri menjadi seorang janda.

Janda perawan yang mendengarnya saja membuat Alice malu. Sebegitu jelekkah dirinya? Apakah orang gendut tak boleh dicintai?

"Astagfirullah al'azim, Non Alice. Anda kenapa bisa mabuk seperti ini lagi, Non. Apa Tuan Gavin menyakiti Non Alice lagi?"

Satpam yang baru datang dari belakang rumah menatap Alice iba. Alice berdiri di teras dengan kondisi basah kuyup dan setengah sadar.

Pria berumur 37 tahun itu tahu apa yang dialami wanita ini dalam rumah tangganya. Satpam ini jugalah yang membantu Alice ke kamarnya. Ketika mabuk dulu dan menyembunyikan peristiwa itu rapat-rapat agar wanita muda ini tak malu pada keluarga mertuanya.

"Dia mengkhianati aku lagi, Pak Iman. Bahkan dia akan menikahi wanita lain. Apa aku seburuk itu, Pak? Hingga suamiku sendiri jijik padaku. Apa aku tak patut untuk dicintai? Padahal aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, hik hik!" racau Alice meluapkan apa yang ada di hatinya saat ini. Isak tangisnya semakin membuat Pak Iman sedih.

Pak Iman memiliki dua orang putri di kampung yang mulai beranjak dewasa, kebayang jika putrinya menikah nanti mendapatkan perlakuan buruk dari suaminya seperti yang dialami Alice saat ini.

Membayangkannya saja hati Pak Iman sudah berdenyut nyeri. Begitupun dengan orang tua Alice. Tapi lelaki tua itu tak dapat berkata dan membantunya, dia hanya orang luar yang tak memiliki hak untuk ikut campur.

"Sabar, Non ... sabar! Nanti juga Tuan Gavin sadar dengan kesalahannya dan menyesali apa yang sudah dia perbuat pada Non Alice. Sekarang Non Alice masuk ke kamar dulu, ya! Nanti masuk angin kalau basah kuyup begini!" ajak Pak Iman.

Baru saja ingin beranjak, pintu rumah besar itu pun terbuka. Pak Iman terkejut melihat siapa yang ada di balik pintu tersebut.

"Ada apa dengannya? Kenapa kondisinya berantakan begitu? Apa tak sadar umurnya yang sudah tua, tapi masih main hujan-hujanan seperti bocah saja!" cibir lelaki tinggi putih dengan binar mata yang dingin.

Tubuhnya yang berotot sebagai tanda kalau ia rajin menjaga pola makannya dan berolah raga.

Bara Alwan Apsara putra tertua dari pasangan Imanuel dan Jenita Apsara. Seorang pengacara handal yang memiliki segudang prestasi. Namun masih betah menyendiri di usianya yang sudah menginjak 28 tahun.

"Non Alice mabuk Tuan. Sepertinya dia sedang sedih, saya akan mengantarnya ke kamarnya segera," jelas Pak Iman gugup.

Tatapan mata Bara yang tajam membuat siapa pun lawan bicaranya menjadi tak berkutik. Wajahnya tampan bahkan lebih tampan dari pada adiknya Gavin. Sudut mata yang tajam ditambah rahang yang tegas menambah aura tak biasa pada dirinya.

Bara menaikkan satu alisnya, ia menahan lengan Pak Iman, menghentikan langkah kaki pria tua itu untuk merangkul tubuh Alice. Tubuh tuanya tak kuat jika harus membopong wanita tersebut

"Nggak ... aku nggak mabuk kok. Aku hanya minum sedikiiiittt saja. Aku juga tidak nakal, tapi Kak Gavin yang jahat padaku! Disini rasanya sakit sekali!" racau Alice kembali dengan nada manja.

Alice memukuli dadanya beberapa kali tanpa sadar. Meluapkan segala kekesalan hatinya. Air mata terus mengalir di pipi gadis itu, sebagai bentuk rasa kecewa yang tak dapat dia ungkapkan.

"Biar aku yang urus, Pak Iman kembali ke pos jaga saja!" titah Bara. Ia mengambil alih tubuh adik iparnya.

"Baik Tuan." Lelaki tua itu mengangguk sopan seraya pergi menuruti keinginan Tuannya.

"Kak Gavin brengsek, mata keranjang, lelaki tak setia. Apa aku begitu buruknya hingga kamu menghinaku seperti ini. Jika tak mencintaiku, kenapa dulu menikahiku?" gumam Alice mulai lemah, ia bersandar di dada bidang Bara.

Kaos hitam yang dikenakan pria itu pun ikut basah karena tertempel baju Alice yang sudah basah kuyup.

"Dasar wanita bodoh!" ejeknya sambil membawa Alice masuk. Tak lupa menutup pintu.

"Untung Mama dan Papa tak ada di rumah. Jika tidak, rumah ini akan heboh karena menantu kesayangan mereka pulang dalam kondisi seperti kucing terlempar ke sungai. Menyedihkan sekali. Mana berat lagi!" Gerutu Bara geram.

"Kenapa perempuan terlalu mudah patah hati hanya perkara cinta. Sudah tahu Gavin tak setia, tapi masih saja dimaafkan dan kembali lagi padanya. Bego!" Bara mulai mengomeli wanita yang ia papah.

^^^^^^^^

Alice terbangun dari tidurnya saat cahaya matahari masuk menembus gorden kamar menerpa wajahnya. Kepalanya terasa begitu berat. Alice menoleh ke ke kiri, ia langsung bangkit saat menyadari ada lelaki lain yang tidur di atas ranjang bersamanya.

Tubuhnya menegang seketika melihat wajah pria yang ada di sebelahnya itu. Ia terdiam, mencoba mengingat kembali kejadian yang terjadi semalam.

Alice ingat semalam pria itu mengantarkan dia yang mabuk hingga ke kamar. Karena lelah dan letih membopong tubuhnya yang berat dari lantai bawah hingga ke kamarnya di lantai dua. Membuat Bara kehausan dan tanpa izin ataupun bertanya, lelaki itu pun meminum air pada teko kecil yang terletak di atas nakas sebelah ranjangnya.

Air putih yang sengaja Alice campur aphrodisiac dua hari yang lalu untuk menjebak suaminya. Namun sayang, selama dua hari itu Gavin yang datang tak kunjung meminumnya. Walau Alice sudah mencoba untuk menawarkannya. Bodohnya lagi, Alice lupa untuk menyingkirkan minuman itu setelah rencananya gagal.

Setelah gai-rah yang memuncak disertai udara dingin serta guyuran hujan. Kondisinya yang mabuk pun menjadi salah satu alasan terjadinya apa yang seharusnya tak terjadi semalam.

Mereka berdua tidur dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun. Tubuhnya yang pegal serta perih di pusat inti cukup menjelaskan pada Alice apa yang telah terjadi semalam.

Pergulatan panas itu nyata, bukan hanya khayalan ataupun ilusinya semata. Wajah Alice memerah. Di tambah potongan-potongan ingatan yang muncul di kepala membuatnya menyadari satu hal. Kegadisannya telah hilang pada lelaki yang kini berada di samping.

Alice menunduk menatap nanar tubuhnya dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Matanya melebar mendapati banyaknya hickey di atas dada. Ia bingung harus bereaksi seperti apa?

Menangis atau tertawa, saat suaminya sendiri jijik menyentuhnya. Dia justru berakhir dalam dekapan lelaki yang tak pernah bisa dia tebak hati dan pikirannya.

Pria di samping Alice terbangun karena gerakan yang disebabkan olehnya. Mata mereka berdua bertemu pandang dan terdiam untuk sesaat.

"Apa yang kau berikan di dalam minuman itu?"

Degh.

Alice menelan ludah, tatapan tajam pria itu membuat bibirnya kelu. Dia bingung harus mengatakan apa pada pria itu. Satu sisi malu, di sisi lain seharunya dialah yang dirugikan dalam hal ini.

Bab 3. Acara makan keluarga

"Minuman itu milik Kak Gavin, aku tak sadar saat Kak Bara meminumnya, seharusnya aku mencegahnya. A-aku ...," ucapan Alice terputus.

Ia menggigit bibirnya seraya membuang muka. Ia sangat malu untuk menjelaskan semua itu. Rasanya ia ingin sekali membenamkan tubuhnya ke dalam tanah sekarang juga.

Demi mendapatkan perhatian dan belaian suaminya sendiri, ia harus melakukan hal konyol dan memalukan seperti itu.

Bara bangkit dan bersandar pada sandaran ranjang. Melirik ke arah punggung putih polos Alice lalu melemparkan pandangannya ke selimut yang ia kenakan untuk menutupi aset prianya.

"Apa kau membutuhkan itu hanya untuk menjerat suamimu sendiri. Aku tak habis pikir sebegitu kesepiannya dirimu," ujarnya dengan raut wajah datar.

"Tolong keluar kamar ini segera, Kak. Sebelum semua orang di rumah ini melihat. Anggap saja tak ada yang terjadi di antara kita. Aku cukup tahu diri, sekarang pergilah!"

"Kau mengusirku?!" tanya Bara tak percaya mendengarnya.

Saat seorang wanita kehilangan kehormatannya akan menangis dan meminta tanggung jawab. Wanita yang ada di sampingnya ini justru mengusirnya begitu saja.

"Aku tak berani, tapi kumohon keluarlah! Demi kebaikan kita bersama. Kamu tenang saja, aku akan menutup mulutku dengan rapat," jelas Alice kembali. Masih dengan posisi yang sama, memunggungi Bara.

Mata wanita itu kian berkabut. Ia tahu ini pasti merupakan aib yang paling memalukan bagi pria itu. Semua yang terjadi pada mereka hanya semata karena ketidaksengajaan. Mana ada lelaki yang mau menyentuh wanita sepertinya dengan suka rela. Tidak ada satu bagian pun di tubuhnya yang dapat menggoda pria tampan itu.

Bara yang bingung harus mengatakan apa lebih memilih untuk diam. Ia beranjak dari ranjang, mengumpulkan pakaiannya dan mengenakannya dengan cepat lalu pergi.

Pria itu sempat menoleh sejenak pada Alice, tapi wanita itu tetap mengalihkan pandangan dan tak ingin melihatnya.

Setelah kepergian Bara dari kamarnya, Alice segera beranjak dari ranjang dengan tertatih menahan perih. Ia mengunci pintu kamarnya dengan rapat dan beralih masuk ke dalam kamar mandi.

Ia tak ingin ada orang yang masuk ke dalam kamarnya sebelum semua bekas percintaan mereka semalam ia bersihkan.

Di bawah pancuran air yang dingin Alice menangis. Air matanya berlomba-lomba turun dan bercampur jadi satu dengan tetesan air yang jatuh dari shower.

Ia tahu menangis tak ada gunanya bagi dirinya saat ini, air matanya tak mampu mengubah keadaan yang begitu rumit. Tapi hatinya yang begitu sakit, membutuhkan pelampiasan agar rasa sesaknya sedikit berkurang. Tak ada yang bisa ia salahkan selain dirinya sendiri.

^^^^^^^

Malam ini semuanya berkumpul di meja makan, kecuali Gavin. Jenita dan Imanuel tampak bahagia sehabis berkunjung ke rumah sanak saudaranya yang ada di luar kota. Mereka baru tiba siang tadi.

"Gavin di mana, Sayang. Kenapa dia tidak gabung bersama kita di meja makan ini?" tanya Wanita tua yang tetap fashionable walau sudah tak lagi muda. Baju serta potongan rambutnya membuat ia tampak lebih muda dari umurnya.

"Mungkin masih ada kerjaan yang harus di kerjakan, Ma," jawab Alice berbohong. Bahkan ia sendiri tak tahu suaminya akan pulang ke rumah malam ini atau tidak, Seperti biasanya.

Ujung mata Alice menangkap wajah Bara yang duduk jarak dua kursi kosong di sebelahnya. Pria itu tampak santai menikmati makannya, tak ada canggung dan tak ada rasa bersalah. Alice sedikit kecewa, walau ia sendiri tak tahu apa yang ia harapkan dari pria tersebut.

"Setelah apa yang terjadi di antara kami, dia tetap santai seakan tak ada masalah apa-apa. Kenapa aku bisa terjebak dengan dua kakak-adik yang mengacaukan hidupku!" rutuk Alice di dalam hati. Raut wajahnya berubah sedih. Ia menundukkan kepala, menjatuhkan pandangan pada makanan yang ia aduk tak berselera.

Bara menatap Alice saat wanita itu tak lagi menatapnya. Pria itu menangkap binar kesedihan di wajah manis itu. Entah apa yang bergelayut di dalam pikirannya saat ini. Bahkan Bara pun bingung harus memulai obrolan dari mana.

"Selamat malam semuanya!" seru Gavin dengan ceria. Semua mata menoleh padanya yang baru saja datang. Langkah kaki pria itu begitu santai. Ia memakai kemeja berwarna biru, kemeja berbeda yang ia kenakan kemarin.

Gavin mencium sang Mama dan memilih duduk di sebelah Jelita dan berhadapan dengan Bara. Hati Alice tercubit sakit, ia begitu yakin suaminya enggan untuk duduk di dekatnya.

"Kenapa baru pulang, Nak? Kami menunggumu untuk makan bersama sedari tadi."

"Aku sudah kenyang, Ma. Tadi makan sama teman dulu di luar," balasnya. Alice mengumpat di dalam hati. Teman yang di sebut lelaki itu pasti selingkuhannya yang gatal.

Makanan yang ada di mulut Alice terasa susah untuk lolos dalam tenggorokannya. Wanita itu makan dengan begitu lambat.

"Ma, Pa ... aku mau ngomong serius malam ini," ucap Gavin ragu-ragu. Davan memicingkan matanya, memperhatikan gelagat aneh adiknya itu.

Alice mencoba untuk tenang walau tangannya sudah mencengkram sendok makannya dengan erat.

"Katakanlah! Kamu mau ngomong apa?" tanya Jelita antusias dan melirik ke arah Alice dengan senyum cerah. Entah kabar apa yang diharapkan wanita paruh baya itu.

"Aku ingin menikah lagi. Menikahi kekasihku!" ujar Gavin mantap.

Alice tersentak kaget begitupun Jelita. Dentingan sendok yang jatuh menghantam piring terdengar dari arah Alice. Ucapan pria itu bagai petir yang menyambar hatinya. Wajahnya seketika berubah merah karena menahan amarah dengan yang hati yang merenggas.

"Apa kamu masih waras Gavin?! Kamu mengucapkan ingin menikah lagi pada kami dengan entengnya dan tanpa beban. Apa kamu sadar wanita yang ada di hadapanmu itu adalah istrimu!" marah Imanuel pada putranya. Tentu ia tak suka mendengarnya.

"Aku waras Pa, bahkan sangat-sangat waras!"

"Jika kamu waras dan sadar, kamu seharusnya tidak mengatakan hal sembarang seperti itu. Apa kamu tak memikirkan perasaan istrimu?" tegur lelaki berdarah eropa tersebut.

"Aku tak mencintai Alice, Papa dan Mama sejak awal sudah tahu itu. Ini semua karena permintaan konyol Almarhum Kakek. Kenapa harus aku yang menikahi wanita gemuk dan jelek ini. Kenapa bukan orang lain!"

"Cukup Gavin, jaga ucapanmu! Wanita yang kamu hina ini adalah istrimu!" balas pria paruh baya itu cepat dan geram.

Jelita memandang iba pada menantunya. Menatap binar mata yang mendung itu. Sebagai seorang wanita, ia juga tak tahan mendengar perdebatan antara suami dan anaknya. Ucapan Gavin yang terus mengungkit tentang perjodohan serta fisik Alice yang tak sesuai dengan kriteria wanita idamannya.

"Sudah Gavin, jangan lanjutkan lagi pertengkaran ini. Pokoknya Mama dan Papa tidak merestui kamu untuk menikah lagi dengan wanita manapun. Alice pun juga pasti sama pendapatnya dengan kami."

"Aku tidak peduli Mama dan Papa setuju atau tidak. Apalagi persetujuan wanita gemuk ini. Aku, aku tak membutuhkannya. Aku akan tetap menikahi Gisella dan keputusanku sudah bulat!" tekad Gavin sudah bulat.

Alice menghela napas berat. Hal ini sudah ia prediksi sebelumnya. Berulang kali ia memikirkan jawaban jika seandainya hari ini akan tiba.

"Aku tak mau dimadu. Jika kamu mau menikah lagi silakan. Tapi tolong ceraikan aku terlebih dahulu. Talak aku sekarang dan kamu akan bebas menikah dengan siapa pun yang kamu inginkan!" ujar Alice tegas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!