“EMILIA! EMILIA!“ Suara seorang wanita yang sudah hapal sekali di telinga seorang perempuan yang sedang terbaring lemah tak berdaya di atas tikar depan tv, membuat perempuan bernama Emilia itu mengurungkan niatnya untuk memejamkan mata sejenak setelah membersihkan rumah. “Seharusnya kamu jadi istri itu tahu diri! Jangan hanya diam dirumah asyik menonton tv, sementara suami sibuk bekerja dari pagi sampai malam. Kamu hanya enak-enak menghabiskan gaji anakku saja!” Sonia yang baru saja datang kerumah anaknya, mendapati Emilia yang sedang berbaring didepan TV yang sedang menyala. Yang Sonia tidak tahu adalah, sang menantu, Emilia baru saja menyelesaikan tugasnya mencuci pakaian, memasak, dan membersihkan rumah seperti biasa. Tubuh Emilia yang sedang demam sejak tiga hari yang lalu, diabaikan begitu saja oleh sang suami, Roy, yang merupakan anak satu-satunya dari pasangan Sonia dan Arka.
“Ibu, aku baru saja beristirahat. Badanku juga sedang demam tapi aku memaksakan diri untuk membersihkan rumah sekaligus memasak untuk Roy.” Emilia tidak bermaksud untuk melakukan perlawanan pada ibu mertuanya yang selalu berpikiran negative padanya. Selalu memarahi Emilia dan merendahkannya dihadapan keluarga besar dengan mengatakan kalau Emilia adalah istri pemalas, tidak bekerja, hanya bisa menghambur-hamburkan uang suaminya, dan juga mandul. Sepuluh tahun sudah Emilia dan Roy menikah. Namun, tidak ada tanda-tanda kehamilan itu akan datang.
Emilia merupakan anak yatim piatu dan hanya dirawat oleh neneknya. Kedua orangtua kandung Emilia meninggal karena kecelakaan. Emilia dijodohkan dengan Roy karena neneknya Emilia berhutang banyak kepada keluarga Roy sehingga Emilia terpaksa harus menikah dengan Roy, pria yang tidak dicintainya itu.
Roy terkenal senang main perempuan, minum-minuman keras, dan berjudi. Namun kedua orangtua Roy selalu berusaha menutupi kelakuan anaknya dengan berbagai cara. Bahkan setelah menikah dengan Emilia pun, Roy tidak segan-segan menemui selingkuhannya dan bermain dibelakang Emilia.
“Oh, jadi kamu sekarang sudah berani menjawab semua pertanyaan saya, hmm?” Sorot mata Sonia melebar dan menatap sinis menantu yang tidak diharapkannya ini. Sonia dari dulu tidak pernah menyukai Emilia. Hanya suaminya lah, ayah dari Roy, yang menganggap Emilia sebagai anak perempuan yang pernah hilang. Arka sangat menyayangi Emilia melebihi rasa sayang ke anaknya sendiri. Karena mereka hampir memiliki seorang anak perempuan, adik dari Roy, namun sayangnya anak perempuan mereka itu meninggal saat masih bayi karena sakit demam tinggi.
“Bu-bukan begitu maksudku, bu. Aku hanya mengatakan …”
“Sudah sudah! Semakin kamu berbicara, semakin kesal aku dibuatnya. Kemana anakku? Sudah sore seperti ini apakah dia belum pulang?” Sonia langsung duduk di atas sofa yang ada di ruangan utama. Dengan tertatih-tatih, Emilia mencoba bangkit dari duduknya. Sendi tulangnya terasa linu dan ingin rasanya Emilia menangis meratapi nasibnya. Saat sehat saja, tenaga Emilia nyaris habis untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang entah mengapa tidak ada habisnya. Apalagi saat sakit seperti ini. Roy, seorang pegawai negeri sipil sering pergi keluar kota untuk urusan dinas. Dan, terkadang kepergiannya menghabiskan waktu berhari-hari.
Emilia berusaha berdiri dengan sisa tenaga yang dia miliki setelah habis untuk mencuci dan lain sebagainya. Perempuan malang itu beranjak ke dapur ingin menyuguhkan minuman untuk ibu mertuanya. Sonia, wanita yang diusia lima puluh tahunan, tampak menatap sinis rumah yang ditempati anak dan menantunya. Semua memang tampak rapih dan bersih. Namun, selalu saja ada yang kurang di mata Sonia.
“Kalau saja kalian punya anak, rumah ini pasti tidak akan terasa sepi. Cih! Di keturunanku tidak ada yang mandul. Pasti kamu yang tidak bisa punya anak.” Ucap Sonia dengan wajah sinis menyindir sang menantu. Emilia menarik napas dan menghembuskan pelan dari bibirnya. Ucapan seperti ini sudah seperti ribuan kali dia dengar dari ibu mertua, juga dari orang-orang yang membencinya. Dimata keluarga besar Roy, Emilia hanyalah perempuan tidak berguna dan selalu menggantungkan hidupnya pada Roy.
Padahal, sebelum menikah dengan Roy, Emilia adalah seorang manager di perusahaan terkenal. Posisinya yang sangat strategis dan mapan, membuat Roy sang calon suami yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil merasa tidak percaya diri. Roy meminta Emilia untuk berhenti bekerja setelah menikah nanti. Roy tidak ingin penghasilannya dibandingkan dengan sang istri yang gajinya lima kali lipat dari gaji Roy. Emilia saat itu merasa sangat keberatan tapi sikap neneknya yang terus membujuknya untuk menuruti ucapan sang calon suami, membuat Emilia luluh juga. Emilia pun terpaksa meninggalkan pekerjaan yang sangat disukainya itu dan menjadi seorang ibu rumah tangga tanpa penghasilan sama sekali. Dan, yang lebih parahnya lagi, Roy hanya memberi uang harian padanya sebesar dua puluh ribu saja untuk kebutuhan masak dan lain-lain. Emilia tidak pernah diberikan gaji seluruhnya oleh Roy.
Dengan kondisi yang masih sangat lemas, Emilia membawa secangkir teh manis hangat dan menghidangkannya diatas meja dekat sang ibu mertua.
"Kapan anakku pulang dari tugas luar kota?” Tanya Sonia pada Emilia dengan pandangan sinis.
“Seharusnya hari ini, bu. Karena hari ini adalah akhir pekan.” Jawab Emilia masih dengan posisi berdiri. Layaknya seorang pembantu pada majikannya, sikap Emilia benar-benar patuh dan penuh kepasrahan.
“Cih! Lihat penampilan kamu yang kusut seperti ini. Anakku sangat malang sekali memiliki istri seperti kamu. Harusnya dia menikah dengan pacarnya yang seorang model. Kalau saja suamiku tidak memaksakan kehendaknya untuk memilih kamu, aku malas sekali memiliki menantu seperti kamu!” Semua ucapan kasar dan sinis yang bertubi-tubi diucapkan Sonia, hanya dibalas dengan senyuman getir perempuan yang tiba-tiba merasa kepalanya sangat pusing.
Beruntung sekali, tiba-tiba suara telpon masuk meredakan sesaat hawa panas yang terjadi.
“Lia, kamu bawakan dokumenku yang ada di atas meja kerjaku, sekarang juga! Alamatnya akan aku kirimkan di pesan tertulis.” Suara Roy yang tidak menanyakan kabar terlebih dahulu pada sang istri setelah lima hari berpisah itu, membuat Emilia sudah terbiasa dengan semuanya. Bahkan kondisi Emilia yang sedang sakit itu pun tidak dihiraukan Roy yang sudah mengetahuinya saat Emilia memberitahukan kondisi tubuhnya yang sedang sakit tidak berdaya dirumah sendirian.
“Baiklah.” Hanya satu kata jawaban Emilia dan panggilan tersebut pun dimatikan sang suami. “Setidaknya, aku bisa keluar rumah dan lepas sejenak dari ibu mertuaku.” Gumam Emilia dalam hati.
“Ibu, maafkan saya, mas Roy berkata kalau saya harus membawakan dokumen padanya ke satu tempat sekarang juga. Jadi, saya tidak bisa menemani ibu di rumah saat ini.” Ucap Emilia dengan senyumnya yang terpaksa dibuat.
“Pergilah! Aku juga akan pergi sebentar lagi.” Sonia yang sedang asyik dengan ponselnya sambil tersenyum-senyum sendiri itu, tidak peduli dengan apa yang dikatakan sang menantu. Emilia mengatupkan bibirnya dan beranjak pergi ke kamar untuk bersiap-siap.
Alamat yang diberikan sang suami untuk Emilia datang menyerahkan dokumen, adalah sebuah hotel bintang empat yang berada di tengah kota. Meski tubuhnya masih menderita sakit dan demamnya juga belum turun, Emilia memaksakan diri untuk datang sendiri, tanpa mengirimkan lewat kurir online yang bisa saja dia lakukan. Setelah bertanya pada resepsionis, Emilia ditunjukkan ke sebuah ruangan khusus untuk menerima tamu yang berada di lobi. Pesan yang dikirimkan Emilia pada sang suami dengan mengabarkan kedatangannya yang sudah sampai di hotel, masih belum dibaca juga oleh sang suami.
Saat sedang menunggu kedatangan sang suami sambil duduk di lobi, sudut mata Emilia melihat sepasang pria dan wanita yang sedang berangkulan mesra berjalan keluar dari lift menuju pintu keluar hotel untuk menuju taksi yang sudah berhenti di depan mereka. Jantung Emilia mendadak berdegup kencang dan sakit demam yang dirasanya seperti hilang begitu saja, berganti dengan sesak napas yang membuatnya tidak bisa berdiri dengan tegak.
Pria yang sedang merangkul seorang wanita dengan pakaian seksi itu adalah suaminya, Roy. Emilia tidak mengenal siapa perempuannya. Hati Emilia seperti teriris perih dan ingin berteriak memanggil suaminya, namun apa daya, tenggorokannya seperti tercekat tidak bisa mengatakan apapun. Roy kembali masuk menuju lift setelah mengantarkan kepergian sang perempuan dan dengan santainya tanpa mengetahui kalau istrinya sudah memperhatikan gerak-geriknya sejak tadi. Emilia berjalan dengan langkah gontai mengikuti sang suami namun pintu lift sudah tertutup ketika dia ingin mengejar Roy.
Emilia mencoba menekan tombol lift yang ada di sebelahnya. Dia ingin mengejar sang suami dan mengkonfirmasi apa yang dilihatnya tadi itu. Emilia tahu di lantai mana kamar sang suami menginap dari nomer kamar yang dituliskan sang suami di pesan singkat. Hanya saja sang suami meminta Emilia untuk menunggu di lobi daripada masuk kedalam kamarnya yang katanya milik atasannya.
Emilia bergegas mengejar sang suami tanpa perlu memanggil namanya. Apa yang dilihatnya baru saja, membuatnya semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Dia berusaha untuk berpikiran positif pada sang suami yang tidak pernah dia cintai namun selalu dia hormati dan hargai.
Emilia bergegas mengejar sang suami tanpa perlu memanggil
namanya. Apa yang dilihatnya baru saja, membuatnya semakin penasaran dengan apa
yang sebenarnya terjadi saat ini. Dia berusaha untuk berpikiran positif pada
sang suami yang tidak pernah dia cintai namun selalu dia hormati dan hargai.
Meski tubuhnya lemas hampir tidak bertenaga, Emilia berjalan
mengekor sang suami yang menyadari ada istrinya berjalan dibelakangnya. Roy berhenti
di depan sebuah kamar dan langsung menempelkan kunci berbentuk kartu persegi
tersebut. Emilia bergegas ingin ikut masuk namun langkah kakinya terhenti
ketika mendengar suara sang suami sedang berbicara dengan orang lain.
“Apakah kamu sudah mengantarkan dia pulang?”
“Dia sudah pergi. Sekarang kita bebas. Aku masih punya waktu
satu jam lagi sebelum istri sialanku datang.” Ucapan Roy langsung membuat dada
Emilia terasa sesak. Tanpa terasa, Emilia menutup mulutnya dengan satu tangan.
“Kalau kamu sudah tidak mencintai istri kamu lagi, kamu
ceraikan saja dia.” Ucap suara seorang perempuan dari dalam kamar. Pintu kamar
hotel itu tidak tertutup rapat sehingga Emilia bisa mendengar dengan jelas
semuanya dari luar.
“Aku memang tidak pernah mencintainya. Aku menikah dengannya
hanya karena desakan dari ayahku. Kalau aku tidak menikah dengan perempuan
sialan itu, ayahku tidak akan pernah memberikan warisan padaku. Kamu sendiri
tahu kan? Beberapa hektar tanah, dua mobil, tiga rumah, dan deposito di bank, kalau
bukan untuk aku, untuk siapa lagi?” Emilia bisa membayangkan ekspresi wajah Roy
yang menyeringai sinis sambil mengucapkan semua kata yang perlahan namun pasti
sudah menghancurkan kepercayaan yang selama ini Emilia berikan untuk suaminya
seorang.
Emilia mulai berpikir kalau perempuan yang ada didalam itu
adalah perempuan yang sudah lama dikenal oleh suaminya. Roy seperti akrab membicarakan
hal-hal pribadi, termasuk warisan orangtuanya. Jadi, tidak mungkin kalau
perempuan yang didalam bersamanya saat ini adalah perempuan yang baru dikenal.
“Kamu benar-benar hebat, sayang. Aku tahu kalau aku tidak
akan salah memilih kamu menjadi kekasihku sejak kamu pertama menikah. Tapi, aku
tidak ingin statusku tanpa kejelasan seperti saat ini. Anak kita butuh
pengakuan diatas kertas. Dan, aku ingin sekali menjadi istri kamu seutuhnya.” Suara
perempuan perebut suami orang yang terdengar manja dan penuh ******* itu,
membuat jantung Emilia semakin berdegup kencang tidak karuan. Anak? Suaminya memiliki
anak dengan perempuan lain dibelakangnya? Ini gila! Ini benar-benar gila!
Emilia sudah tidak tahan lagi untuk tidak melabrak pasangan
selingkuh yang sudah jelas-jelas terdengar dengan telinganya sendiri itu.
BRAK!!!
Emilia mendobrak pintu kamar hotel dengan sekali dorongan. Suara
kencang terdengar jelas hingga beberapa kamar terdekat.
“LIA! Apa yang kamu lakukan disini?” Penampilan Roy yang ternyata
sudah nyaris telanjang itu, terperanjat kaget melihat kedatangan Emilia yang tiba-tiba.
“LIA! Ka-kamu …”
Bukan hanya Roy yang kaget, Emilia lebih shock lagi begitu melihat
ternyata suara perempuan yang sangat familiar di telinganya itu adalah suara
sepupunya, anak dari om dan tante yang tinggalnya diluar kota namun perempuan
itu sering datang ke rumah Emilia setelah Emilia menikah dengan Roy. Siapa yang
menyangka kalau perempuan yang selingkuh dengan suaminya adalah sepupunya
sendiri.
“Netta, hah! Aku tidak pernah menduga kalau ternyata kamu
menyukai suamiku dan KALIAN diam-diam berselingkuh dibelakangku. Memang benar,
pria brengsek dan wanita ****** adalah pasangan yang serasi.” Emilia mengeraskan
rahangnya dan berkata dengan seringai sinis di bibirnya.
“TUTUP MULUT KAMU! Dasar perempuan tidak berguna! Kamu seharusnya
berterima kasih padaku karena berkat menikah denganku, semua hutang-hutang
nenek kamu lunas. Kalau tidak begitu, bagaimana kalian bisa membayar hutang keluarga
kalian pada kami?” Teriak Roy tidak kalah sengitnya.
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Emilia. Hal
itu membuat tubuhnya yang masih lemah, menjadi limbung dan terjatuh diatas
lantai. Namun Emilia tidak ingin menangis. Dia justru tersenyum getir merasakan
tamparan hebat ini.
“Aku berterima kasih padamu? Cih! Pengorbananku selama ini
lebih dari cukup untuk membayar semua hutang-hutang nenekku. Aku juga sudah
muak dengan pernikahan tidak berguna ini. Kamu ceraikan aku dan kitab isa hidup
tenang. Kalian juga sudah punya anak bukan? Lalu, apalagi yang kalian tunggu? Netta!
Aku kecewa padamu, sangat kecewa. Kamu adalah sepupuku yang sangat aku sayangi
tapi ternyata kamu menusukku dari belakang. Sejak kapan kalian berhubungan dibelakangku?”
Emilia masih bisa menahan emosinya, demi sebuah pernyataan yang sebenarnya
sudah tidak dia perlukan lagi. Emilia memantapkan hatinya untuk bercerai dengan
Roy.
“Huh, Emilia. Dasar perempuan yang naif. Aku dan Roy sudah
menjalin hubungan sejak malam pertama kalian. Kenapa? Kamu pasti merasa sedih
dan kecewa kan? HAHAHA, kamu sungguh istri yang menyedihkan. Bagaimana mungkin
selama sepuluh tahun kalian menikah, kamu belum hamil juga? Apakah kamu mandul?
Padahal, Roy bisa memiliki anak ketika bersamaku. Hehehe,” Seringai sinis
terbit di bibir Netta yang merasa telah menjadi pemenang karena berhasil merebut
suami sepupunya sendiri.
Namun, Emilia justru tersenyum lebar dan tidak berapa lama
kemudian perempuan yang sedang sakit itu tertawa terbahak-bahak.
“HAHAHA, terima kasih padamu karena sekarang aku punya alasan
untuk bercerai dengan Roy. Kamu ambil saja dia. Aku sudah tidak peduli. Dan,
kalian nikmati hidup yang aku rasakan bagai di neraka!” Emilia melihat sebilah
pisau buah diatas meja dan mengambilnya karena hendak menusuk pria dan wanita
yang telah membuatnya menjadi merasa terhina dan tidak punya harga diri.
Namun sayangnya, gerakan itu bisa diketahui lebih dulu oleh
Roy. Keduanya bergulat dengan sebilah pisau yang sudah digenggam Emilia. Roy menahan
tangan Emilia agar pisau itu tidak menancap di tubuhnya. Meskipun begitu,
tenaga Emilia tentu saja masih kalah kuat dibandingkan tenaga Roy.
“Eugghhh, uhuk …” Ironisnya, pisau itu menusuk perut Emilia
dengan gerakan yang disengaja Roy. Netta yang melihat kejadian berdarah
didepannya, berteriak kencang dan tubuhnya bergetar.
“Ba-bagaimana ini? Aku tidak mau terlibat!” Netta pergi
melarikan diri dengan bergegas mengambil tas dan memakai sepatunya. Roy masih shock
dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya mematung dan matanya menatap tajam Emilia
yang memegang perutnya yang mengeluarkan banyak darah.
Emilia menatap tajam Roy dengan sisa tenaga yang dia miliki.
“Aku bersumpah, akan membalaskan dendam ini. Kamu … uhuk
uhuk, dan semua orang … yang telah menyakiti aku, aku bersumpah kalian tidak
akan bisa tidur dengan tenang.”
BRUK! Tubuh Emilia tersungkur ke atas lantai dengan menghembuskan
napas terakhirnya.
“Emilia! Emilia! Ada apa dengan kamu? Bangunlah!” Suara
berisik di belakang telinganya dan tepukan cukup kencang di bahunya, membuat
Emilia spontan membuka matanya lebar-lebar.
“AAAAARGGGHH!” Emilia berteriak bangun dari tidur pulasnya
diatas meja kerja. Airmata membasahi wajahnya dan keringat juga bersimbah ditubuhnya.
“Apakah kamu bermimpi buruk? Dari tadi aku lihat kamu tidur
sambil menangis tersedu-sedu. Aku membangunkan kamu berkali-kali tapi kamu
tidak juga bangun.” Sophia, teman kerja Emilia menatap khawatir teman akrabnya
ini. Sophia pergi makan siang sendirian karena Emilia memilih tidur. Pekerjaan kantor
yang dibawanya pulang dari semalam membuat Emilia sangat lelah dan sangat
mengantuk.
“Sophia? Kamu … masih hidup?” Emilia menatap teman akrabnya
yang dalam ingatannya telah meninggal karena tabrakan mobil.
“PLAK! Apa yang kamu katakan?” Sophia memukul lengan Emilia sekencangnya.
“Kalau kamu mimpi buruk, jangan bawa aku kedalam mimpi kamu itu. Kamu
benar-benar keterlaluan!” Sophia mengerutkan bibirnya cemberut. Emilia masih
belum yakin dengan apa yang sedang dialaminya ini.
“Apakah tadi aku benar-benar bermimpi?” Emilia langsung
mencari kalender untuk melihat tanggal hari ini. “Ya ampun, hari ini adalah
sepuluh tahun sebelum aku menikah dengan Roy. Di tanggal ini aku akan bertemu
dengan Roy untuk membicarakan tentang persiapan pernikahan. Dia akan menjemputku
pulang kerja dan aku akan dibawa kerumahnya. Ya Tuhan, apakah Engkau memberiku kesempatan
kedua untuk memperbaiki semua kesalahanku? Ya Tuha, terima kasih. terima kasih.
Aku pastikan, aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.” Emilia
mengepalkan tangannya dan tersenyum lebar bahagia karena kehidupannya yang
menyedihkan ternyata hanya petunjuk yang diberikan Tuhan padanya lewat mimpi jika
dia menikah kelak dengan Roy. Entah itu mimpi atau melakukan perjalanan waktu,
Emilia sangat bersyukur bisa diberikan kesempatan kedua untuk menghindari
hidupnya yang akan hancur kalau menikah dengan Roy.
“Aku harus ke toilet.”
“Ya, kamu benar-benar harus ke toilet untuk membasuh mukamu
yang pucat itu.” Jawab Sophia setengah berteriak.
BRUK!
“Aaahh, maafkan aku. Aku tidak sengaja.” Emilia reflek
meminta maaf bahkan sebelum mengetahui siapa yang dia tabrak karena berjalan
cepat tanpa melihat kearah depan dengan baik.
“Hmm,” Hanya deheman yang menjadi jawaban permintaan maaf Emilia.
“Aahh, tuan Julian. Maafkan aku, aku tidak melihat tuan
disini.” Emilia membungkukkan badan berkali-kali meminta maaf pada direktur
tempatnya bekerja. Mungkin tuan Julian sedang menuju toilet lelaki yang letaknya
di sebelah toilet perempuan, makanya bisa tabrakan dengan Emilia tanpa sengaja.
“Aaahh, maafkan aku. Aku tidak sengaja.” Emilia reflek
meminta maaf bahkan sebelum mengetahui siapa yang dia tabrak karena berjalan
cepat tanpa melihat kearah depan dengan baik.
“Hmm,” Hanya deheman yang menjadi jawaban permintaan maaf
Emilia.
“Aahh, tuan Julian. Maafkan aku, aku tidak melihat tuan
disini.” Emilia membungkukkan badan berkali-kali meminta maaf pada direktur
tempatnya bekerja. Mungkin tuan Julian sedang menuju toilet lelaki yang
letaknya di sebelah toilet perempuan, makanya bisa tabrakan dengan Emilia tanpa
sengaja.
Pria bernama Julian itu tidak menjawab atau mengatakan
apapun. Dia berjalan lurus melewati Emilia dan masuk ke dalam toilet pria.
“Huft, dia selalu arogan dan sikapnya tidak bersahabat dari pertama
aku bekerja.” Emilia bergumam sendiri dan masuk kedalam toilet wanita.
Gumaman Emilia ternyata terdengar oleh Julian yang belum
menutup rapat pintunya. Pria itu menghela napasnya dan berjalan menuju wastafel
untuk mencuci tangannya.
Sebenarnya, begitu melihat Emilia berjalan menuju ke toilet,
Julian reflek ingin berjalan menuju ke toilet agar bisa berpapasan dengan karyawan
perempuan yang langsung memikat hatinya sejak pertama kali bertemu. Saat itu
Julian baru saja di tempatkan di kantor cabang yang ada di Indonesia, setelah
sebelumnya pria itu menempati posisi penting di kantor pusat yang berada di
Italia. Emilia yang sudah bekerja sebagai manajer marketing di perusahaan itu,
mendapatkan kesempatan untuk sering bertemu dan rapat dengan Julian. Seiring berjalannya
waktu, Julian mulai merasakan benih-benih cinta pada perempuan yang sangat
sederhana namun memiliki prinsip yang tegas dan kuat.
Sayangnya, pernyataan cinta Julian pada Emilia harus
dipendam dalam-dalam karena Emilia sudah menerima lamaran dari pria yang bukan
pacarnya. Ya, Julian tahu kalau lamaran itu terjadi karena factor paksaan dari
keluarga Emilia. Tapi, biar bagaimanapun, Julian tidak akan pernah berniat
merebut apa yang sudah menjadi keputusan orang lain. Terlebih lagi, dia sendiri
belum menyatakan cinta pada Emilia dan Emilia juga belum mengetahui kalau
sebenarnya Julian menyukainya.
Saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Emilia sudah menunggu
di kafe tempat dimana dia dan Roy berjanji untuk bertemu sepulang bekerja. Tidak
dapat dipungkiri, kalau jantung Emilia berdegup kencang menunggu pria yang akan
menjadi suaminya itu. Pria yang bahkan tidak pantas disebut sebagai seorang suami
karena sikap dan sifatnya yang membuat Emilia jijik mendengarnya. Dulu Emiilia menyetujui
saja permintaan neneknya untuk menikah dengan Roy, karena Emilia berkeyakinan
kalau Roy adalah tipe pria yang ideal untuk menjadi seorang suami.
Sikap pria itu yang santun pada neneknya, tidak pernah
keberatan jika Emilia harus bekerja lembur bahkan saat harus masuk kerja di
akhir pekan. Emilia seolah menemukan pria yang membuatnya yakin untuk melepaskan
masa lajangnya dan juga karirnya. Namun, itu adalah Emilia yang dulu. Setelah mimpi
menyeramkan itu, bahkan Emilia tidak yakin kalau itu disebut mimpi. Mimpi itu
lebih tepatnya adalah kehidupan di masa depan dan kini dia dilemparkan kembali
ke kehidupan saat ini untuk memperbaiki dirinya.
“Emilia, apakah kamu sudah menunggu dari tadi?” Suara Roy
dari kejauhan yang menyapanya, membuyarkan lamunan Emilia. Baru saja Emilia ingin
menjawab pertanyaan Roy, tiba-tiba dia mengurungkannya karena melihat seseorang
dibelakang Roy ikut masuk dan tersenyum lebar padanya.
“Lia, lama tidak berjumpa. Aku tadi kebetulan bertemu dengan
Roy di luar dan ternyata kalian akan bertemu disini. Jadi, aku sekalian mampir
saja. Apakah aku tidak mengganggu kalian?” Perempuan yang berselingkuh dengan
suaminya, sekaligus sepupunya, Netta, tersenyum penuh ceria pada Emilia dan
Roy.
“Tentu saja tidak. Ini kan tempat umum. Siapapun berhak
untuk masuk. Bukan begitu, Emilia?” Tanya Roy pada Lia yang tersenyum getir.
“Iya, tentu saja.” Jawab Emilia. “Topeng yang kalian mainkan
ternyata sudah dimulai dari sekarang. Aku tidak akan pernah bodoh lagi
menganggap semua itu hanya pertemanan biasa. Netta, aku kecewa padamu.” Ucap Emilia
dalam hati.
Roy duduk disebelah Emilia sedangkan Netta duduk dihadapan
Roy. Mereka bertiga masih ingin menikmati sensasi minum kopi di kafe dengan
suasana yang nyaman dan menenangkan.
“Oya, ibuku sudah tidak sabar untuk bertemu kamu. Sepertinya
kalian akan akrab karena kalian memiliki persamaan satu sama lain.” Ucap Roy,
masih dengan sikap santai dan sesekali tersenyum lebar. Emilia tidak tertarik
dengan ucapan Roy, dia justru tertarik dengan ekspresi yang ditunjukkan Netta. Sepupunya
itu tampak diam sambil tersenyum terpaksa. Ekspresi yang mengartikan kalau dia
tidak nyaman dengan situasi yang ada sekarang dan tidak ingin mendengarnya.
Emilia tergoda untuk memancing respond Netta lebih jauh.
“Oh begitu. Oya, setelah kita menikah, kemana kita akan berbulan
madu? Lalu, kita akan tinggal dimana?” Emilia bertanya pada Roy dengan senyum
lebar, seolah-olah dia tertarik dengan pernikahan ini. Lagi-lagi ekspresi Netta
tampak kesal dan bibirnya menyeringai sinis. Perempuan itu tidak pandai menutupi
perasaan yang ada didalam hatinya.
“Oh itu, aku belum memutuskan kita akan berbulan madu
dimana. Tapi, aku sudah mengambil cuti untuk hari pernikahan kita dan liburan bulan
madu. Kamu mau kemana, aku terserah kamu saja.” Ucapan manis Roy inilah yang
membuat Emilia mabuk kepayang dan lupa akan jati dirinya.
“Baiklah. Apakah kita bisa pergi sekarang?” Emilia bertanya
pada Roy dan Netta dengan senyum lebar seolah dia tidak mengetahui siasat licik
dua orang yang ada didekatnya ini.
“Tentu saja, lebih cepat lebih baik. Aku akan membayar kopinya.
Kalian tunggu disini saja.” Roy pun bergegas menuju meja kasir untuk membayar
tagihan kopi mereka bertiga.
“Lia, aku iri padamu.” Tiba-tiba Netta berkata yang membuat
Emilia cukup kaget mendengarnya.
“Iri? Kenapa kamu iri?” Emilia tersenyum dalam hati.
“Aku iri karena kamu mendapatkan calon suami yang mapan karirnya,
keluarganya pun sangat menerima kamu, dan Roy adalah lelaki yang sangat diidolakan
banyak wanita.” Ucap Netta sambil mengaduk-aduk dan menatap kopi machiattonya
dengan sendu. Emilia tersenyum tipis mendengar ucapan sepupunya.
“Bagaimana hubungan kamu dengan Bram? Bukankah kalian sudah
berpacaran cukup lama?” Emilia memanfaatkan kesempatan ini dengan mengorek
urusan pribadi Netta.
“Bram tidak seperti Roy yang berani untuk serius melangkah
ke jenjang selanjutnya. Dia masih fokus ke pekerjaannya dan tidak mau menikah
dalam waktu dekat ini. Padahal, aku ingin sekali segera menikah dan memiliki
anak.” Jawab Netta lagi.
“Kalau begitu, kamu putuskan saja hubungan kamu dengan Bram
dan mulai menjalin hubungan dengan lelaki lain. Mudah kan?”
“Itu tidak semudah yang kamu katakana, Lia. Aku dan Bram sudah
berhubungan sangat jauh dan … aku rasa, tidak aka nada pria yang mau menerima wanita
yang sudah tidak perawan seperti aku.” Jawab Netta, sambil mengerutkan
bibirnya.
Emilia sesungguhnya sangat terkejut. Bram yang terlihat lugu
itu ternyata sudah berhubungan jauh layaknya suami istri dengan Netta. Memang,
jangan pernah menilai seseorang dari tampilan luarnya saja.
“Ayo, kita langsung menuju rumah ibuku.” Roy datang dengan
wajah cerianya dan mengajak Emilia dan Netta untuk keluar dari kafe.
“Aku boleh ijin menumpang di mobil kamu? Karena hari ini aku
sedang tidak membawa mobil.” Netta bertanya dengan wajah memelas pada Roy. Roy menatap
Emilia untuk meminta persetujuannya.
“Tentu saja, kenapa tidak?” Jawab Emilia.
“Ah benarkah? Terima kasih banyak. Kalau begitu, ayo kita
segera keluar. Ibu kamu pasti sudah tidak sabar untuk bertemu calon menantunya.”
Netta mengedipkan satu mata pada Emilia dengan senyum bersahabat. Namun, siapa
sangka dibalik topeng ramahnya, tersimpan kebencian yang teramat sangat yang
ada di dalam hati Netta untuk Emilia.
Netta sangat membenci Emilia sejak merea masih kecil karena
Emilia selalu mendapatkan juara kelas dan di setiap lomba yang diikutinya. Semua
orang memujinya, begitu juga dengan kedua orangtua Netta yang merupakan om dan
tante Emilia. Namun, tidak dengan Netta yang selalu kalah dalam segala hal. Netta
mendekati Emilia hanya agar bisa ikut terkenal dan ikut menjadi pusat perhatian
saja.
Emilia tersenyum sinis melihat senyuman yang diberikan Netta.
Tentu saja Netta tidak melihat ekspresi yang diberikan Emilia. Roy berjalan
dibelakang dua perempuan. Tanpa sepengetahuan mereka, seorang pria menenggak
kopi dalam satu napas. Rahangnya mengeras dibalik topi baseball yang
dikenakannya. Dialah Julian yang mengganti setelan jas kerjanya dengan kaos dan
jaket juga topi casual. Pria itu telah berada didalam kafe saat Emilia masih
duduk sendiri menunggu calon suaminya, Roy.
Emilia duduk di sebelah Roy yang mengemudikan mobil,
sementara Netta duduk di kursi penumpang tepat di belakang Roy. Emilia bisa
melihat dari sudut matanya kalau Roy sesekali melirik kearah Netta duduk dari
kaca spionnya. Namun, daripada cemburu, Emilia justru menyeringai sinis dan
tersenyum sambil memalingkan wajahnya kesebelah kirinya.
“Aku berhenti didepan saja. Terima kasih, Roy dan Emilia. Maaf
kalau aku sudah mengganggu kalian.” Ucap Netta sebelum turun di tempat yang
ditunjukkan olehnya.
“Hati-hati dijalan, Net. Kamu yakin kamu tidak apa-apa
sendirian kan? Langit menjelang malam, kamu cepat pulang ya.” Ucap Emilia
sambil tersenyum lebar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!