Kelahirannya ditandai dengan amukan lautan, dia adalah Kahar Muzakar - Si Anak Ikan dengan sisik. Seorang remaja biasa pada awalnya sampai satu per satu misteri datang dari ayahnya yang hilang.
Foto, puisi, kalung yang menyimpan kekuatan dari lautan ubah Kahar menjadi sosok pelindung atau juru hancur yang berusaha mengungkap jati dirinya.
Namun, seiring perjalanannya, Kahar menjadi bingung dan setiap keputusannya akan menuntunnya menemukan sang ayah.
Jangan pernah lewatkan petualangan Kahar bersama Clara, menemukan jawaban dari semua pertanyaan.
^^^Ada legenda yang mengatakan tentang sebuah bangsa yang mendiami laut. Mereka adalah penjaga sekaligus juru hancur. Kehadiran mereka ditandai dengan amukan badai – menghancurkan yang dia lewati. Legenda itu terus diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Legenda yang menceritakan kalung dan mantra pemanggil Laborasi.^^^
Sore yang menggantung di langit perlahan roboh, bukan karena waktu yang meminta selesai. Tapi sebab sebuah rintihan tangis di sebuah rumah tua di bibir pantai. Suara rintihan itu selalu terdengar di setiap petang saat sekolah beres, di mana ia dirundung oleh teman-temannya karena memiliki sisik seperti ikan di sekujur tubuhnya. Mereka tertawa dan mengejeknya, bahkan ada yang memanggilnya "Anak Ikan".
Pemilik rintihan tangis itu adalah Kahar Muzakar. Anak sekecil itu hanya bisa duduk di kamarnya, menangis. Kahar merasa terasing dan tidak punya teman. Semua ketidaknormalan yang berbeda dengan anak lain itu buat Kahar berharap bisa menghilangkan sisiknya. Fakta menyakitkan bahwa ibu Kahar tidak mau memeriksakan sisik Kahar ke dokter juga tambah panjang penderitaan anak itu.
Tapi Kahar tidak sendirian. Dia memiliki ibu yang mencintainya sepenuh hati, dan Kahar tahu ibunya akan menemukan cara untuk membuatnya merasa lebih baik. Ibu Kahar masuk ke kamar dan duduk di sampingnya, memeluknya erat. "Sayang, kamu tidak sendiri. Kamu spesial dan istimewa dengan dirimu yang unik. Jangan pernah merasa tidak normal," kata ibu Kahar dengan lembut.
Kahar tersenyum, merasa sedikit lebih baik. Ia tahu ibunya selalu ada untuknya, dan dia akan menemukan cara untuk menghadapi masalah di sekolah. Kahar memutuskan untuk tidak menyerah dan menunjukkan kepada teman-temannya bahwa dia adalah seorang pahlawan dengan sisik yang unik.
Sisik ini mungkinlah yang membuat ayah Kahar pergi. Ketika Kahar lahir, ayahnya sudah tidak ada. Kahar tidak pernah bertemu ayahnya, dan ibunya tidak pernah memberitahu apa pun. Kahar hanya tahu bahwa ayahnya menghilang misterius sejak ibunya hamil.
"Lupakan saja ayahmu, ada ibu yang selalu menyayangimu," ucap Ibu Kahar setiap kali ditanyakan soal ayah Kahar.
Tahun demi tahun berlalu, dan Kahar tidak pernah berhenti mencari tahu tentang ayahnya. Ia menanyakan kepada ibunya, tetangga, bahkan kepada orang-orang yang tidak dikenalnya. Tapi jawaban yang ia dapat hanya diam dan ketidaktahuannya. Setiap tahun juga, sisik di kulit Kahar perlahan menghilang, menyisakan sisik di punggung.
Kahar tidak pernah menyerah. Ia terus mencari tahu tentang ayahnya, meski harus menghadapi banyak rintangan. Suatu hari, ia menemukan sebuah foto kecil yang tampaknya menunjukkan ayahnya di kamar Ibunya dalam sebuah koper. Foto pria yang menggunakan setelan jas dan rusak di bagian wajahnya adalah petunjuk satu-satunya. Kahar merasa bersemangat dan bertekad untuk menemukan ayahnya, meski harus mencari hingga ke ujung samudera.
Di usianya yang menginjak kini 19 tahun, Kahar telah tumbuh menjadi pemuda yang teguh dan tidak mudah menyerah. Ia memiliki keinginan yang kuat untuk menemukan ayahnya yang hilang misterius, dan ia siap untuk melakukan apa pun untuk mewujudkannya.
Sekarang, impian Kahar melanjutkan pendidikannya terbuka lebar sejak surat undangan dari Universitas Garuda Nusantara diterimanya. Kahar tahu ini keputusan yang sulit untuk dia dan ibunya, tapi dia tahu kalau ini adalah kesempatan terbaiknya untuk mengubah nasib menjadi lebih baik. Siapa tahu ini juga sebuah kesempatan untuk mencari ayahnya. Satu hal yang Kahar tahu hanya bahwa ayahnya dulu bekerja di Universitas Garuda Nusantara, jadi dorongan Kahar untuk berkuliah di sana.
Sejak kecil, kehidupan tidak mudah bagi Kahar dan ibunya. Perundungan dan sosok ayah yang tak pernah hadir jadikan Kahar teguh hadapi impian.
Di malam ini, Kahar memberanikan diri mengajak ibunya berbicara perihal masa depannya. Ia mengajak ibunya makan di meja makan berdua. Dengan mata yang menatap penuh harap. Kahar berkata, "Ibu, aku ingin memberikan sesuatu yang penting denganmu."
"Apa itu, Kahar?" balas ibunya dengan penuh kasih sayang.
"Aku ingin berkuliah di luar kota, Jakarta tepatnya. Aku tahu ini sangat berat, terutama untuk ibu, tapi aku yakin ini adalah pilihan yang terbaik untukku," jelas Kahar.
Ibunya diam sejenak, lalu memberikan senyum yang Kahar nantikan. Ia mengerti Kahar akan menjalani kehidupan yang sulit dan tanpa kehadirannya.
"Kalau begitu, kau bersiap dengan tantangan yang lebih berat, sayang. Apalagi kau akan pergi ke kota orang. Jangan pernah lupakan kasih dan sayang, ibu akan selalu mendoakanmu," ucap Ibu Kahar diwarnai air mata haru.
"Paman Samsul, kau ingat dia, Nak?" tanya Ibu menghapus air matanya.
"Iya, dia tinggal di Jakarta, kan."
"Ibu akan segera menghubungi beliau."
Mata Kahar ikut berkaca-kaca, dari mulutnya muncul pelangi senyum. Kahar tahu kalau ibunya akan selalu mendukungnya walaupun mereka akan terpisah jauh.
"Ini." Kahar menyodorkan sebuah foto yang dia ambil.
"Ini?" Ibu Kahar diam sejenak saat dia disodorkan foto yang telah lama disimpan. Ia kaget dan tersentak karena telah lama tidak memikirkan ayah dari anaknya.
"Ini ayah, kan?" tanya Kahar dengan nada yang berhati-hati.
"Tampaknya ibu tidak bisa menyembunyikan sosok ayah darimu." Ibu mengangkat piring kotor. Matanya tak bisa lagi menyembunyikan rahasia yang dia pegang.
Ibu tampak bersalah karena telah menyembunyikan ayah anaknya selama ini. Akhirnya, ibu Kahar menceritakan kebenaran tentang ayahnya. Ia mengambil nafas dalam-dalam dan mulai bercerita tentang bagaimana mereka bertemu, bagaimana mereka saling jatuh cinta, dan bagaimana pada suatu malam ayah Kahar menghilang.
"Kami bertemu di pantai. Kami jatuh cinta di laut. Ayahmu bernama Zulkarnain Muzakar. Seorang pria yang baik. Teramat baik. Dia bekerja di Pindad dan hanya itu yang ibu tahu tentang pekerjaannya." Tangis mulai jatuh dari empat mata yang saling hadap. Foto ayah Kahar dia genggam erat.
"Ibu masih ingat bagaimana ayahmu melamar ibu, 'Apakah kau Maryam mau menjadi kapalku dalam amuk laut' dia sangat romantis."
"Dia menghilang di suatu malam saat kau masih dalam kandungan. Malam itu badai mengamuk, ketuban ibu telah pecah. Ibu tahu kau akan segera lahir. Ayahmu bilang akan pergi mencari bantuan, namun setelah itu dia menghilang."
Cerita selesai. Kahar memeluk ibunya. Tak ingin dia melihat ibunya bertambah sedih. Cukup dia mengetahui ayahnya. Namun, di dalam hati Kahar, dia akan tetap berusaha mencari ayahnya. Makan malam selesai. Amuk badai datang.
...----------------...
Kahar berdiri di pintu gerbang bandara. Memeluk ibunya erat-erat. Ini adalah saat terakhir Kahar melihat ibunya sebelum dia pergi ke Jakarta.
"Aku akan merindukan, Ibu," ujar Kahar dengan suara gemetar. Ibu mengelus lembut halus rambut anak semata wayangnya.
"Ibu juga akan merindukanmu. Ibu tahu kau telah tumbuh menjadi anak yang kuat dan tangguh. Kau akan kuat dalam menghadapi semua tantangan dan masalah," kata ibu dengan penuh percaya diri menghapus air mata anaknya.
Kahar tersenyum kecil. Ia merasa senang mendapatkan pujian dari ibunya. Ia telah berusaha keras untuk sampai titik ini, dan kini dia telah mendapatkannya, beasiswa dan undangan masuk universitas ternama di Indonesia.
"Terima kasih, Ibu. Aku akan berusaha semampuku," kata Kahar.
Tangan ibu terulur untuk mengelus pipi Kahar. "Ibu bangga padamu, jaga kesehatanmu di sana. Dan, jangan lupa selalu mengirimkan pesan dan menelpon ibumu ini," kata Ibu.
Kahar mengiyakan permintaan ibunya dengan senyum selebar yang dia bisa. Kini, tak ada lagi keraguan di mata ibunya.
*Mohon perhatian. Ini adalah panggilan boarding terakhir untuk para penumpang Maskapai Royan Air penerbangan 34 tujuan Jakarta, boarding di gerbang A-3. Pemeriksaan terakhir akan selesai dan pintu pesawat akan ditutup dalam waktu sekitar lima menit. Terima kasih.
Sebuah pengumuman jadi pengantar Kahar untuk segera pergi. Dia mencium tangan ibunya lalu segera berpaling menuju kehidupannya yang baru. Air matanya jatuh tak tertahan, dia tak sedikit pun memandang ke belakang karena tidak ingin ibunya menangis. Dia angkat tangannya yang terkepal tinggi tanda bahwa dia sudah siap bertarung dengan segala kemungkinan.
^^^Di Jakarta, mimpi akan dimulai. Semua hubungan dengan orang akan dimulai. Pertemuan tak terduga banyak terjadi di sini. Jakarta adalah sebuah rumah dan kota yang akan terkenang selalu.^^^
Sesampainya di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Kahar disuguhi pemandangan ibu kota yang baru pertama kali dia lihat. Ini merupakan pengalaman pertama kali Kahar meninggalkan kampung halamannya, Selayar, Sulawesi Selatan.
Di depan pintu kedatangan domestik, Kahar mengeluarkan secarik kertas dengan nama dan alamat yang tertulis:
Paman Samsul, Jl. Mudah No.888a, RT.03/RW.08, Rawamangun, Kec. Pulo Gading, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13225
0895-4233-3333
Nomor telepon dan alamat yang jadi singgahan Kahar selanjutnya. Paman Samsul, kakak ibunya yang telah lama tinggal di Jakarta.
Paman Samsul telah mengadu nasib duluan di Jakarta sebagai pengemudi ojek online dan tinggal di kos-kosan sederhana di dekat Universitas Garuda Nusantara. Dia sangat merindukan keluarganya di kampung halaman. Kedatangan Kahar disambut dengan tangan terbuka. Kahar akan tinggal bersamanya selama menempuh pendidikan. Paman Samsul juga telah berjanji akan menjemput Kahar di bandara.
30 menit Kahar menunggu dengan sabar sampai motor matic berwarna merah datang. Sosok pria tua paro baya dengan aroma matahari datang menghampiri Kahar.
"Kahar Muzakar?" tanyanya memastikan.
"Paman Samsul?" balas pertanyaan Kahar.
"Iya." Kahar datang memeluk pamannya yang telah lama sekali tidak dia temui. Terakhir kali mereka bertemu saat Kahar masih di sekolah dasar.
Air mata kembali ciptakan reuni keluarga yang lama tak bertemu. Paman Samsul seakan terobati rindunya dengan tanah Sulawesi. Dengan senyum, paman Samsul langsung mengajak Kahar pulang ke kos-kosannya.
Perjalanan yang ditempuh penuh macet, Kahar sontak terkejut dengan kondisi ibu kota. Seharusnya butuh waktu satu jam, sekarang harus sedikit lebih sabar di jalan.
"Aku selama ini cuman lihat Jakarta macet di televisi, ternyata itu benar adanya."
"Selamat datang di Jakarta."
...****************...
Kahar yang baru sampai tampak masih canggung dan takut. Bagaimana tidak, dia baru pertama kali berpisah dengan ibunya di kota kecil untuk mengejar mimpinya di Jakarta. Paman Samsul sadar kalau Kahar merasa canggung, mencoba memulai percakapan, "Bagaimana kabar ibumu?"
"Baik Paman," jawab Kahar.
"Sudah lama sekali paman tidak melihatnya. Bahkan paman tidak bisa mengenalimu awalnya." Paman Samsul mengeluarkan sebatang rokok merah lalu membakarnya.
"Apa karena sisikku yang mulai berkurang?" kata Kahar diselingi tawa yang menandainya telah berdamai dengan kekurangannya.
"Sedikit jahat kalau paman ikut tertawa." Paman Samsul membuang asap ke langit. Sedikit senyum terlukis.
"Kosan paman dekat dengan kampusmu. Kau tidak perlu mengeluarkan biaya untuk transportasi, paman telah bertahun-tahun di sini. Kalau perlu apa pun, jangan pernah sungkan untuk bilang," kata Paman Samsul.
Kahar tersenyum dan mengangguk. Ia merasa lega karena paman terlihat baik dan ramah. Mereka terus mengobrol tentang perkuliahan dan kehidupan di kota besar, sambil sesekali ditemani oleh kucing peliharaan paman yang lucu bernama Opan. Kahar merasa semakin nyaman dan tidak canggung lagi. Ia merasa sangat beruntung bisa tinggal di kos paman Samsul yang ramah dan membantunya menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya.
...****************...
Perkuliahan akan dimulai satu bulan lagi. Namun, daftar ulang sudah dibuka, itulah yang membuat Kahar datang lebih cepat ke Jakarta. Kahar antusias mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan. Setelah sarapan, Kahar berangkat menuju kampus dengan berjalan kaki. Jarak kampus dengan kos bisa ditempuh hanya 10 menit berjalan kaki. Baguslah pikir Kahar, dia bisa menghemat uang.
Saat sampai di sana, manusia telah mengantre panjang mengular. Papan petunjuk bertuliskan "Barisan Daftar Ulang". Kahar tahu harus apa. Sendirian dia ikut berbaris, tidak lama kemudian datang lima sampai sepuluh orang berbaris di belakangnya.
Pendaftaran ulang yang melelahkan, tiga jam mengantri dan banyak dokumen fotocopy yang membingungkan. Untunglah kesabaran Kahar telah dipupuk sejak lama. Sekarang Kahar setengah resmi menjadi mahasiswa. Dia penasaran dengan gedung perkuliahannya.
"Apa aku ke fakultas dulu barangkali?"
Kahar berjalan sendirian di taman Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Dia melihat bangunan yang indah dan luas. Di sana juga ada laboratorium yang menarik. Dia juga melihat beberapa mahasiswa sedang berbincang-bincang di taman, hanya sedikit. Sebab perkuliahan masih libur, keadaan taman menjadi sepih. Di tengah taman fakultas, ada kolam dan di atas kolam ada jembatan yang biasa disebut sebagai jembatan kertapati.
"Cukup untuk hari ini," ujar Kahar memalingkan diri dari fakultas. Dia bersiap pulang.
"Tolongggg!" teriak seorang wanita. Kahar terkejut. Dia segera berlari menuju sumber suara. Dilihatnya seorang gadis tenggelam. Orang-orang di sekitar kolam hanya berteriak dan merekam tanpa usaha menolong.
Tanpa ragu, Kahar langsung melompat ke kolam setelah menaruh tas dan ponselnya. Dia berenang sangat cepat, sebelum gadis itu benar-benar tenggelam, Kahar sukses menariknya ke pinggir kolam. Awalnya orang-orang cemas karena gadis itu tak pingsan, namun Kahar mampu memberikan pertolongan pertama sehingga gadis itu kembali sadar.
Meskipun awalnya gadis itu tampak terkejut dan takut, dia akhirnya tenangkan diri setelah Kahar menjelaskan kejadian tadi.
"Clara, kau baik-baik saja?" tanya seorang temannya yang datang sambil membawakan jaket dan barang-barang Kahar.
"Pernah lebih baik," balas gadis tersebut yang ternyata bernama Clara. Tubuhnya menggigil, tangganya sedingin es, matanya terus memandangi Kahar yang menyelamatkannya.
"Terima kasih, kalau boleh tahu, siapa namamu?" tanya Clara menyodorkan tangannya.
Kahar menyambut sodoran tangan itu dengan jabat tangan yang hangat. Dia tersenyum meski juga kedinginan. Dengan ramah, dia memperkenalkan diri sebagai Kahar Muzakar dari jurusan ilmu kelautan. Clara tampak senang, dia ternyata juga berasal dari jurusan tersebut dan ini adalah tahun pertamanya.
"Agak lucu berkenalan dengan kondisi seperti ini."
"Sesuai jurusan kita yang tidak jauh dari laut," tawa Kahar.
Kahar meminjamkan jaketnya kepada Clara yang tampak lebih pucat. Mata gadis mungil yang memiliki rambut panjang dan kulit putih itu tampak kebingungan. Bibir merah mudahnya seakan ingin mengatakan sesuatu tapi ragu.
"Kau yakin?" tanya Clara.
"Iya, pinjam saja, aku terbiasa dengan kondisi basah seperti ini." jawab Kahar. Dia perhatikan dirinya yang basah kuyup. Sudah lama dia tidak begini.
"Tapi kau tidak bisa pulang ke tempatmu dengan kondisi seperti itu, kan."
"Benar juga."
"Mampirlah sejenak ke tempatku."
Kahar tidak bisa menolak ajakan Clara. Dia sebenarnya hanya sok kuat menahan dingin. Clara segera berdiri, berbicara dengan temannya dan mengatakan dia benar-benar baik saja. Clara akan pulang dengan Kahar dengan menaiki motor Clara.
Karena kondisi basah, mereka berdua menjadi perhatian orang-orang yang lewat, untunglah keadaan kampus sedang sepih. Mereka terus dipandangi saat menuju parkiran motor.
"Kau biasakan bawa motor?" tanya Clara.
"Tidak." Kahar langsung naik ke jok belakang motor. Clara menarik nafas dalam lalu berkata, "Aku rasa ini lebih memalukan daripada tenggelam di kolam."
...****************...
Clara dan Kahar akhirnya tiba di kosan milik Clara yang terletak cukup jauh dari kampus. Kosan campur yang buat Kahar kembali terkena shock culture. Kamar Clara ada di lantai tiga, lantai paling atas.
Di lantai pertama, Kahar melihat kamar-kamar yang di pintunya tersusun sepatu rak tinggi dan botol minuman keras. Naik di lantai dua, bau obat khas rumah sakit penuhi hidung Kahar. Dan, di lantai tiga ini hanya ada Clara yang menetap. "Kabarnya di lantai sini berhantu, setan bahkan takut untuk tinggal. Makanya murah."
Clara baru dua bulan tinggal di kosan ini. Dia datang lebih dulu dari Kahar karena itu dia lebih mengenal Jakarta.
Clara yang basah, masuk duluan ke kamar mandi yang terletak di dalam, sedangkan Kahar membuka atasannya dan memperhatikan tubuhnya yang masih memiliki sisik di bagian punggung. Tubuh setinggi 170 Cm dan memiliki berat badan proporsional, terpampang jelas di cermin bundar Clara. Roti sobek yang dilatih Kahar yang terpantul di cermin tiba-tiba tertutup handuk yang dilemparkan tanpa sepengetahuan Kahar. Kahar terkejut dan langsung menutup tubuhnya.
"Kau melihatnya?" tanya panik Kahar pada Clara yang tertutup handuk putih di sekujur tubuhnya.
"Aku hanya melihat perutmu," jawab Clara lalu mengambilkan kaos hitam polos dan celana training.
"Ini, pakai yang ini saja jika sudah mandi."
"Kau tidak melihat punggungku kan?" tanya sekali lagi Kahar memastikan.
"Tidak," jawabnya dengan enteng.
Kahar merasakan sedikit dikit nyaman hanya berdua dengan gadis yang baru dia kenal yang hanya tertutup handuk. Dia segera mandi dan menggunakan baju pemberian Clara. Kahar tampak canggung saat keluar kamar mandi, dia gugup melihat Clara yang telah berganti baju lengan panjang merah muda.
"Aku akan pulang."
"Di mana kosanmu?" tanya Clara dengan senyum seakan sudah melupakan kejadian yang hampir merenggut nyawanya.
"Di dekat kampus, aku lupa nama jalannya," jawab Kahar dengan nada yang sedikit terbata-bata.
"Akan kuantar kau." Clara segera mengambil kunci motor. Kali ini Kahar ragu untuk menerima ajakan gadis manis itu.
"Tidak dulu, terima kasih."
"Ayolah, ini kota keras, Bang."
^^^Puisi dan kalung ditemukan dengan misteri yang tak terjawab. Ini tidak menjelaskan apa pun. Pertemuan pertama dengan seorang profesor yang bisa jadi kunci keberadaan ayah, cambuk semangat Kahar.^^^
Satu hari setelah kejadian kemarin, Kahar masih tak bisa menahan malu ketika membahasnya dengan paman Samsul. Paman Samsul hanya tertawa saat Kahar menceritakan tentang dia yang melompat masuk ke kolam, sampai pengalaman buruk Kahar dengan handuk.
“Ayolah, ini Jakarta. Apakah paman harus bilang ‘selamat datang di Jakarta’ lagi?” ledek paman Samsul sambil menikmati kopi hitamnya.
Kahar hanya bisa diam dan masih tak percaya dengan apa yang dia alami. Ternyata kota Jakarta memang sekeras itu untuk dirinya yang begitu polos. Pagi ini paman Samsul akan segera berangkat mengais rezeki. Sebelum itu, paman Samsul hendak membeli sarapan untuk mereka berdua.
“Aku saja, Paman.” Kahar mengajukan diri untuk membeli sarapan.
“Apa kau yakin? Kau tidak akan melompat ke kolam lagi ‘kan?” tanya sekali lagi paman Samsul yang masih saja membahas hal kemarin.
Kahar ikut tertawa dan lanjut menyambar jaket birunya yang tergantung di lemari. Kahar keluar dari kos yang terletak di bagian ujung gang. Dia mencari di sekitar kos-nya tempat makan yang terlihat ramai. Setelah berjalan tidak jauh, Kahar menemukan penjual bubur ayam dengan pengunjung yang cukup ramai.
“Ini pasti enak.”
Kahar tanpa berpikir panjang langsung masuk. Dia memesan dua bungkus bubur untuk dibawa pulang. Pelayan melayaninya dengan ramah, dan mempersilahkan Kahar duduk sejenak.
Kahar duduk sambil memperhatikan telepon genggamnya yang retak di bagian atas. Saat sedang fokus-fokusnya, di hadapannya hadir seorang laki-laki sebayanya. Kahar merasa pernah melihatnya kemarin, tapi dia tidak ingat. Laki-laki itu juga memperhatikan Kahar, dia tersenyum ramah sebelum membuka pembicaraan, “Halo, kau pasti penunggu baru kosan paman Samsul?” tanya pria itu mendekat duduk di samping Kahar. Kahar menoleh ke arahnya, bersiap untuk sedikit basa-basi.
“Iya, sebenarnya aku keponakan paman Samsul,” Kata Kahar.
“Aku Zico Zahara, dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester tiga. Abaikan nama Zahara yang tampak seperti perempuan. Aku tetangga sebelah kosmu.” Sodoran tangan Zico langsung Kahar sambut. Ini adalah kali pertama Kahar berkenalan dengan orang dengan normal.
“Aku Kahar Muzakar, Ilmu Kelautan. Mahasiswa baru. Salam kenal, ya..., Bang.”
Zico sepertinya tidak senang dipanggil ‘bang’ dahinya langsung mengernyitkan.
“Zico, panggil Zico saja.”
Kahar mengangguk tanda paham. Setelah bercakap cukup panjang tentang perkuliahan dan Kahar tidak sedikit pun membahas tentang kolam kemarin.
“Kau suka puisi?” tanya Zico.
“Tidak, aku tidak suka membaca atau menulis puisi.”
“Kau harus membaca setidaknya karya Widji Thukul, dia aktivis yang hilang sekitar dua puluh tahun lalu.”
Obrolan yang harusnya sederhana, mengingat mereka baru saja bertemu, berubah menjadi berat sejak Zico membahas mengenai para penyair dan karya-karyanya yang mengkritisi pemerintah.
Kepala Kahar mulai memanas, ingin segera dia pergi.
“Permisi, Mas. Bubur ayam dua.” Untunglah pesanan bubur telah siap. Kahar segera berpamitan dengan Zico dan pulang. Saat sampai kos, Kahar menceritakan tentang pertemuannya dengan Zico.
Paman Samsul berkata, “Hati-hati, dia sering mabuk puisi.”
...****************...
Satu bulan berlalu. Perkuliahan akhirnya resmi dibuka. Dua ribu lima ratus mahasiswa baru diterima. Dan, di antara semua mahasiswa baru itu ada Kahar Muzakar yang siap berlayar di jurusan Ilmu Perikanan dan Kelautan. Kahar berjalan sendirian menuju kampus melewati jembatan kertapati. Sejak kejadian tenggelamnya Clara, Kahar belum pernah lagi menyelusuri kampusnya.
“Sepertinya aku jangan lewat di atas sini lagi sampai lulus.”
Kahar menyelusuri koridor, membaca tiap papan nama kelas. Dia cari kelas 2.5. Sialnya Kahar belum pernah masuk ke dalam gedung fakultas. Sempat frustrasi tidak menemukan kelas yang dia cari. Datang suara teriakan yang bisa Kahar kenali.
“Kahar!” teriak suara gadis dari ujung koridor.
Kahar membalikkan badan, dari ujung datang dengan cepat Clara dengan kemeja merah dan dalaman kaos hitam polos serta celana panjang. Kahar mengembuskan nafas berat saat melihat gadis itu.
“Hai, aku suka kemejamu,” sapa Clara berbasa-basi.
“Wah, sudah lama aku tidak melihatmu. Sejak terakhir kali bertemu, aku tidak pernah melihatmu.”
“Aku lupa meminta nomormu.” Clara memberikan telepon genggam berwarna biru laut.
“Biru laut? Aku suka warna ini.” Kahar memasukkan nomornya. Clara tampak bahagia sekali, ada kerinduan yang mungkin terkubur di hatinya.
Kahar dan Clara berdua berjalan mencari kelasnya. Setelah naik turun tangga, mereka menemukan kelasnya di lantai empat. Kelas dengan dua pintu, pendingin udara, papan tulis kapur, susunan kursi yang memanjang ke belakang, dan proyektor telah disesaki mahasiswa baru lainnya yang telah siap.
“Kita duduk di belakang saja.” Kahar langsung mengiyakan ajakan Clara. Kahar sedikit gugup dan di kelas ini sialnya hanya Clara yang dia kenal.
“Apa kau telah punya teman?” tanya Kahar.
“Baru kau.”
“Bagus.”
Kahar hanya diam saja mendengarkan semua hal yang Clara ceritakan. Mulut Clara seperti tidak ada lelahnya, dia bercerita tentang semua hal sepele. Dia baru berhenti setelah seorang profesor tua datang. Perawakannya kurus tinggi dengan rambut yang tinggal putih, uban. Jari-jarinya panjang. Matanya sangat tajam, hanya dengan mata dia bisa membuat seisi kelas diam.
“Selamat pagi semua, perkenalkan nama saya Prof. Setiawan, S.Pi., M.Si. Kalian panggil saja Profesor. Saya pengampu mata kuliah Pengantar Ilmu Perikanan dan Kelautan.” Seisi kelas bungkam. Dari tiga puluh mahasiswa, hanya Clara yang memberikan tepuk tangan.
“Terima kasih.”
Dari dalam tas kulit hitamnya, Profesor tua itu mengeluarkan map kuning yang berisikan nama-nama mahasiswa baru tahun ini. Satu per satu nama dipanggil.
“Andika Pratama..., Lisha..., Bagus.”
Sampailah beliau di nama Clara, “Clara Lautina.” Clara langsung mengangkat tangan dengan bangga dan berteriak, “Hadir!”
“Lautina? Benar-benar terlahir untuk masuk jurusan ini, menarik.” Kahar tertawa mendengar nama belakang Clara.
“Kahar Muzakar”
“Hadir, Prof.” Mata Profesor Setiawan menatap mata Kahar. Dia merasakan ada yang unik dari nama ‘Muzakar’.
“Dari mana kau berasal?”
“Pelayar, Sulawesi Selatan, Prof.”
“Muzakar? Zulkarnain?” suara Profesor terdengar perlahan. Hanya Kahar yang mampu mendengarnya.
Kahar sontak kaget, dia ingat nama itu, Zulkarnain. Ayahnya! Zulkarnain Muzakar. Kenapa Profesor menyebutkan nama itu. Apakah dia kenal ayah Kahar? Kahar diam. Dari mulutnya berlompatan pertanyaan.
“Apa Profesor kenal nama itu?”
“Nanti temui saya di ruang prodi.” Profesor Setiawan tampak masih terkejut.
Clara melihat Kahar dengan penasaran. Kahar menatap balik Clara dengan tatapan yang penuh harap dengan Profesor Setiawan. Kahar menunjuk ke arah buku, tanda pada Clara untuk belajar terlebih dahulu.
Kelas dimulai dengan ceramah selama satu jam lalu pertanyaan yang tiba-tiba bisa diberikan kepada siapa pun. Seisi kelas yang baru saja memasuki dunia perkuliahan tertunduk lesu, berharap jari Profesor Setiawan tidak menunjuk.
Hanya Clara dan Kahar yang tetap tegar mengangkat kepala sampai kelas selesai. Dua orang itu baru saja mencuri perhatian Profesor Setiawan. Kahar yang telah belajar dari jauh hari bisa menjawab semua pertanyaan dan Clara tidak mau kalah. Dia menjelaskan semua ruang lingkup, konsep, dan manfaat mata kuliah ini.
“Kau hebat Kutu Buku,” puji Clara.
“kau juga.”
Kelas ditutup dengan sebuah tugas individu. Perasaan campur aduk memenuhi hati para mahasiswa. Di luar semua itu, Kahar ingin segera menemui Profesor Setiawan untuk menanyakan perihal ayahnya.
Mahasiswa lain sibuk meninggalkan kelas dan menyisakan Kahar, Clara, dan Profesor Setiawan yang sedang merapikan barangnya. Kahar datang menghampiri Profesor diikuti Clara.
“Permisi, Prof,” ucap Kahar. Profesor Setiawan menoleh. Mengangkat wajah dan memandangi Clara dan Kahar.
“Zulkarnain Muzakar, iya aku kenal dia. Tapi aku harap dia bukan orang yang kau panggil ayah,” jelas Profesor Setiawan. Kahar menyodorkan foto ayahnya yang dia ambil tempo hari.
“Tidak mungkin.” Profesor Setiawan menjadi yakin bahwa Zulkarnain Muzakar yang dicari Kahar dengan yang dia kenal adalah sama.
“Aku keluar dulu, sepertinya ini sensitif.” Clara hendak keluar kelas, namun tangannya ditahan oleh Kahar.
“Aku butuh kau.”
“Zul, begitu aku sering memanggilnya. Dia pernah bekerja untukku sebagai asisten lab beberapa tahun sebelum dia menikah dan pulang kampung. Setahun aku tidak mendengarkan kabar tentang dia sampai suatu malam dia datang padaku sembilan belas tahun lalu untuk menitipkan ini.”
Profesor Setiawan mengeluarkan sebuah kalung yang terlihat seperti jimat. Kalung berwarna emas, dengan hiasan segitiga yang di tengahnya berhiaskan permata berwarna hijau.
“Ini mungkin milikmu.” Profesor Setiawan memberikan kalung itu. Mimik wajah Clara begitu tercengang melihat keindahan kalungnya. Kahar mengambil kalung itu dan tidak langsung memakainya, dia menyimpan di dalam tas untuk dilihat nanti.
Belum selesai. Profesor Setiawan belum beranjak dari duduknya di kursi sambil mengeluarkan secarik kertas usang yang berisi sebuah puisi. Ia menatap Kahar dan Clara yang berdiri di depannya.
“Aku sama sekali tidak mengerti puisi ini,” ucap Profesor Setiawan. “Kahar, ini adalah titipan dari Zul, sebelum dia menghilang malam itu,” tuntas Profesor Setiawan sambil menyerahkan kertas tersebut kepada Kahar.
Kahar terkejut saat menerima kertas itu. Ia merasa seperti mendapatkan sebuah misteri baru yang harus ia selesaikan. Ia membuka kertas tersebut dan mulai membacanya:
“Laborasi tekuklah laut
bersama mantra badai
Dan yang mati, matilah
Dan yang hidup
hiduplah
Laborasi, hidup dan mati
mati dan hiduplah lagi
Laborasi hiduplah.”
Puisi itu tidak bisa Kahar dan Clara pahami. Kahar bingung saat membaca puisi itu. Ia merasakan sebuah pesan yang hendak sampaikan melalui puisi tersebut.
“Terima kasih, Profesor,” ucap Kahar sambil menatap Profesor Setiawan dengan penuh terima kasih.
Profesor Setiawan tersenyum dan mengangguk. Ia merasa bahagia karena dapat memberikan titipan Zulkarnain kepada Kahar.
Profesor Setiawan berpamitan kepada Kahar dan Clara. Kahar tetap saja tidak berhenti mengucap beribu terima kasih. Pria tua itu untuk sekali menatap Kahar sebelum pergi menghilang dari mata.
Dengan puisi itu, Kahar mendapatkan petunjuk lain tentang ayahnya. Kahar berjanji akan terus mencari ayahnya dan membawanya kembali agar mereka dapat bersama kembali.
“Jika kau berkenan, ceritakan padaku,” mohon Clara.
“Iya.” Kahar menceritakan kepada Clara tentang ayahnya yang menghilang sejak dia di dalam kandungan. Setelah diberikan kalung dan puisi oleh Profesor Setiawan.
"Astaga, Kahar," kata Clara terkejut. "Kita harus mencari tahu tentang hubungan antara kalung dan puisi yang diberikan oleh Profesor Setiawan. Mungkin ini bisa membantumu menemukan ayahmu."
Kahar dan Clara segera membicarakan hal ini lebih lanjut. Mereka berusaha mencari tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah Kahar dan mengapa ia memberikan puisi dan kalung misterius kepada anaknya melalui Profesor Setiawan.
Mereka berdiskusi panjang lebar dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kalung dan puisi tersebut mungkin memiliki makna yang lebih dalam, dan mungkin bisa membantu mereka menemukan ayah Kahar. Kahar dan Clara segera mencari tahu lebih lanjut tentang hal ini dan berusaha mengungkap misteri yang terjadi.
“Aku kenal seorang yang mungkin bisa bantu memecahkan puisi ini.” kata Kahar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!