NovelToon NovelToon

AST

PHASE 1 . AWAL MULA

Bongkahan batu mulai menuruni bukit dan gunung. Menuju lembah dan dataran rendah. Dengan berbagai ukuran, mereka menghantam pondasi bangunan dan menerjang segala hal yang dilewati. Tanah turut bergetar mengiringi mereka. Mulanya perlahan, makin lama semakin mengguncang hebat. Permukaan tanah meretak tidak terbatas. Di penghujung daratan, air laut mulai surut. Banyak ikan tertinggal di permukaan. Sekali lagi, raung monyet dan binatang lain mulai bersahut-sahutan. Anjing menggonggong. Para kucing dan tikus sibuk melarikan diri. Para penerbang mulai memindahkan jalur perjalanan mereka. Mencoba memberi isyarat, tetapi tidak dimengerti oleh setiap insan.

Lagi. Bunyi debum terdengar dari tengah samudera. Sepersekian detik kemudian, cairan merah nyala memuncrat, dan bagai sebuah muntahan ia menyembur amat tinggi. Tidakterkecuali, suhu udara yang mulanya rendah, kini memanas bersamaan dengan gejolak tersebut. Membanjiri lautan dengan lava yang merengat bebas. Diikuti serentak oleh kerucut yang lain. Mereka meledak, membanjiri sekitar dengan luapan amukan yang tiada terkira. Habis. Musnah.

Apakah ini akhir dunia?

Jawabannya ... bukan.

Ini adalah ... wujud pembaruan dunia.

***

Seluruh stasiun televisi sedang gencar menyiarkan berita terhangat kini, termasuk sebuah layar televisi di salah satu kediaman seseorang. Riuh suara yang keluar darinya tidak terelakan. Berisik memenuhi volume ruangan yang bisa dijangkaunya. Sementara itu, seorang gadis dengan kilau rambut hitamnya yang terkuncir tengah melahap sepotong roti sambil memperhatikan layar televisi. Sebentar kemudian, ponselnya berdering—mengurai fokusnya.

“Ada apa, Nancy?” tanyanya pada seseorang di balik telepon.

“Apa kau melupakan sesuatu?” Nancy balik bertanya. “Yu!”

Gadis itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjentikkan jemari. “Ah, iya! Aku baru ingat!”

“Apa? Kecilkan volume televisimu, Bodoh!”bentak Nancy dari balik panggilan.

Yusagi Adara. Gadis dengan surai terkucir itu bergegas mematikan televisi yang dia tonton sejak tadi dan kembali sibuk dengan Nancy. Dengan lihai, dia bergegas mengenakan atribut sekolah sambil menerima panggilan dari rekannya itu sampai akhirnya keluar dari kediaman tersebut menuju ke sekolah. Untuk beberapa saat Adaramematikan panggilan dari Nancy sampai akhirnya mereka bertemu di sebuah persimpangan.

“Apa kau menderita amnesia, sampai kau tak ingat kalau Adnan akan pulang hari ini?” Nancy menyerobot bertanya sebelum Adara bebas membuka mulutnya. “Kenapa malah aku yang ingat akan hal itu?” dengkusnya kesal.

Adara tersenyum kuda membalasnya. “Dia tak menghubungiku sejak kemarin ....”

“Itu kejutan buatmu, Bodoh!” sela Nancy. “Adnan tahu kalau kedatangannya pasti akan membuatmu terkejut. Ah, aku sudah membayangkan kalau dia datang ke sekolah, lalu berlutut, dan memberikan sebuah kado terindah untukmu di depan para guru. Hmmm ... pasti manis sekali!”

“Jangan konyol!” Adara sigap menempeleng kepala rekannya itu sampai Nancy menggerutu. “Aku tak mau berurusan dengan guru konseling lagi setelah urusanku dengan Harumi waktu itu,” tambahnya sedikit kesal.

“Harumi terlalu kekanakan untukmu. Masa iya, seorang cowok  macho seperti dia menangis di tengah lapangan. Hanya karena, kau menolak cintanya. Hahaha. Menyedihkan sekali! Apa dia tidak malu dengan perut sixpack-nya itu? Apa jangan-jangan ... itu karena dia operasi plastik? Ya ampun, menyedihkannya kau, Harumi!”celoteh gadis berambut cokelat tersebut.

Adara hanya tersenyum simpul menimpali. Seorang Nancy bisa saja melontarkan candaan yang berlebihan hanya untuk menjatuhkan harga diri seseorang. Seperti saat ini contohnya, Nancy tak pernah menyukai karakter Harumi dan dia amat santai mengejeknya sekarang. Beruntung sekali,Harumi—pemuda yang sempat menyukai Adara—sudah tidak bersekolah di tempat yang sama lagi. Jika saja Harumi mendengar celetuk canda Nancy, maka sudah dipastikan gadis berambut cokelat itu mendekam di ruang UKS atau menangis di depan guru konseling setelah bertemu dengan pemuda tersebut.

“Jadi ... apa yang akan kau lakukan saat bertemu dengan teman masa kecilmu nanti, Yu?” tanya Nancy mengubah topik pembicaraan. Yu, adalah panggilan darinya untuk Adara.

Adara berpikir sejenak. “Entahlah,” jawabnya singkat.

“Kau tak ingin mengajaknya berkeliling kota?” tanya Nancy lagi. “Dia sudah tidak pulang selama empat tahun, ‘kan?”

Gadis berambut hitam itu mengangguk, membenarkan pertanyaan Nancy. “Aku cuma takut kalau aku lupa pada wajahnya,” katanya.

“Ah, kau benar juga,” gumam Nancy. “Empat tahun itu sangat lama. Pasti Adnan sudah banyak berubah.”

***

Beberapa tahun belakangan, bencana mulai merenggut wilayah hidup manusia. Ada sekitar tiga sampai lima bencana—atau bahkan lebih—yang  terjadi dan meningkat setiap harinya hingga mengurangi area yang mulanya dijadikan tempat tinggal, kini menyempit karena efek dari bencana tersebut. Sebagian negara bagian yang wilayahnya hancur memilih untuk bergabung dan menghindari pembentukan aliansi yang bisa menjatuhkan sistem pemerintahan mereka. Ya, bergabung dengan negara adidaya adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan hidup, meskipun adapula sebagian negara yang  bergabung bersama negara lainnya hingga akhirnya terbentuk dua aliansi di dunia. Dunia sudah memasuki tahun 2085 dan banyak negara berkembang yang telah berubah menjadi negara maju. Barisan bencana yang semakin sering terjadi tak pelak dari kesalahan yang dilakukan oleh penghuni Bumi sendiri. Menolak gagasan apik demi melestarikan planet biru dan masih memakai metode lama adalah salah satu penyebabnya.

Sementara, Adara dan Nancy adalah sedikit dari berjuta-juta umat manusia yang berhasil selamat dari rentetan kerusakan Bumi berskala besar. Namun, demi mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, pemerintah pusat memutuskan untuk menggabungkan negara yang mereka tinggali dengan salah satu aliansi. Dengan begitu, pertumbuhan dan perkembangan penduduk masih bisa diatur sedemikian rupa sampai tidak terjadi himpitan yang mengganggu stabilisasi negara.

Bola mata Adara lagi-lagi terarah pada sebuah televisi yang sengaja di pasang di depan salah satu gedung sekolahnya. Berita mengenai bencana lagi-lagi tersiar. Tidaksedikit pula murid-murid yang saling berbisik membicarakan hal itu.

“Bencana makin sering terjadi,” ucap Nancy. “Gempa bumi bermagnitudo besar sampai menimbulkan tsunami, runtuhnya tanah, dan juga gunung meletus. Apa kita sudah memasuki akhir dunia?”

Adara memalingkan wajahnya pada Nancy. Wajah gadis berambut cokelat itu memandangnya sendu, sedikit tertunduk bagai sebuah kecemasan bertengger di tengkuknya.

“Dunia belum berakhir jika Bumi masih menyisakan segelintir orang bodoh seperti kita, Nancy.” Adara menimpali seraya menepuk-nepuk pundak Nancy. “Teruslah bersikap bodoh jika kau tak mau dunia musnah,” candanya kemudian.

Nancy merengutkan wajah pada Adara. Gadis itu selalu bersikap santai, padahal kecemasan sudah seperti benang kusut di sekitarnya. “Jangan bercanda di saat seperti ini, Yu!” gertak Nancy sambil berusaha menggapai ransel Adara karena gadis itu mulai meledek dirinya yang mudah cemas pada suatu hal. Sampai akhirnya, ponsel Adara

berdering dan mengurai konflik keduanya.

“Adnan?” gumam Adara sambil memandangi layar ponselnya.

“Hah? Adnan mengirim pesan? Seperti apa?” Nancy sontak mendekatkan dirinya pada Adara penuh keingintahuan.

[ Kejutan apa yang akan kau berikan padaku nanti? ]

Adara mengernyit. Pemuda itu tidak menghubunginya sejak kemarin dan kini dia mengirimkan pesan seperti itu padanya.

“Adnan pasti sudah mempersiapkan sesuatu untukmu, Yu. Makanya, dia bertanya padamu,” tebak Nancy semringah.

Sedetik kemudian, ponsel Adara kembali berdering. Adnan melakukan panggilan terhadap gadis 17 tahun itu. Nancy hampir saja merebut ponsel Adara sebelum akhirnya gadis berambut hitam itu berlalu menghindarinya. Ya, perasaan Nancy terlalu rumit untuk dijelaskan. Atau, tentu saja dia bahagia dengan hubungan dua sahabat yang masih erat sampai sekarang itu.

“Aku tunggu kau di kelas, Yu!” serunya pada Adara. Gadis berambuthitam itu berbalik sejenak dan menunjukkan isyarat ‘oke’ padanya.

“Ada apa, Adnan? Kenapa kau baru menghubungiku sekarang? Aku sedang di sekolah tahu!” celoteh Adara saat berhasil menerima panggilan dari Adnan. “Kau ada di mana sekarang?” tanyanya sembari bersandar pada salah satu sisi gedung sekolah.

“Aku barusan turun. Tadi sempat delay karena ada sedikit masalah.” Adnan menjawab sambil sesekali melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri.

“Turun?” Adara mengernyit.

“Iya. Landing maksudnya,” jawab Adnan lagi. “Memangnya,kau pikir aku tadi bisa naik pesawat dengan badai sekencang itu, huh! Dan juga ... ada gempa bumi barusan di dekat sini.” Suara Adnan perlahan mengecil. “Kau

baik-baik saja?” imbuhnya.

“Iya. Aku baik-baik saja.”

“Ya sudah. Aku akan menjemputmu sepulang sekolah nanti,”ucap pemuda di balik panggilan itu.

“Tak perlu. Kita bertemu besok saja,” elak Adara.

“Besok? Hanya butuh dua sampai tiga jam perjalanan kereta ke sana, ‘kan?”

“Iya, aku tahu. Tapi aku ada pelatihan tambahan nanti, jadi kemungkinan aku akan pulang malam.”

“Tak apalah. Aku kan bilang ingin menjemputmu, bukan ingin ketemuan denganmu. Lagipula mengurus surat kepindahanku juga lama dan pasti sampai malam. Jadi, jarak waktunya pas sampai kau selesai pelatihan nanti,” ujar Adnan. Matanya sesekali melihat ke satu arah di mana dia bisa menghentikan bus menuju ke stasiun. “Tunggu aku, ya!”

Adara tersenyum simpul. “Baiklah,” timpalnya. “Jangan salah alamat. Berjalanlah ke arah timur, nanti kau akan menemukan sekolahku.”

Senyum Adnan terukir jelas, menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi. Dia mengangguk, lalu berbisik

di sela deru bus yang datang dan berhenti di depannya. Adara mengernyit, menelaah sesuatu yang barusan diucapkan  oleh pemuda itu dan sama sekali tak terdengar jelas di telinganya. Sekian detik kemudian, Adnan tiba-tiba memutus panggilan.

“Apa yang dia ucapkan tadi, ya?” gumam gadis bersurai hitam itu seraya berbalik hendak menuju kelasnya.

Tungkai Adara mulai melangkah perlahan. Belum sempat menapak pada ubin lantai gedung sekolahnya, sebuah bunyi melengking amat keras terdengar. Membungkam pendengaran sampai semua orang di sana menutup kedua telinga mereka.

Lengkingan itu terdengar selama beberapa detik. Adara melepaskan telapak tangan yang menutup kedua telinganya. Menelisik sekitar sejenak. Langkahnya kembali tergerak, sementara kedua matanya menyebarkan pandangan ke berbagai arah.

“Apa itu tadi?” gumamnya.

***

PHASE 2 . BENCANA

Degup jantung Adara mendadak kencang. Napasnya kian memburu. Terlebih saat lengkingan itu kembali terdengar. Layaknya pekikanpada pengeras suara beroktaf tinggi tanpa jeda. Suara itu kembali membungkam raut keingintahuan para jiwa yang mendengarnya. Selang beberapa detik setelahnya, debum menyahut. Diiringi tanah yang mulai retak dengan cepat. Kicau burung mulai saling bersahut-sahutan entah dari mana datangnya. Cara terbang mereka pun sudah seperti pemabuk, hingga pada akhirnya sebagian ada yang jatuh karena kehilangan

keseimbangan.

Adara mendelik. Melihat ubin yang dia pijaki mulai retak perlahan. Pandangannya mengedar di mana dia bisa melihat banyak retakan berbagai ukuran mulai terbentuk. Debum keras kembali tercipta dan membuat gadis ini memalingkan fokus ke satu arah.

Adara ingat sekali gunung yang membisu di salah satu sudut kotanya adalah gunung mati. Namun,yang dilihatnya detik ini amat berbeda. Menakutkan. Cairan merah memuncrat dari ujung kerucut gunung itu. Beberapa kali dan membentuk aliran sungai merah menyala. Luap asap mengepul dan mulai memenuhi langit kota.

Kekhawatiran Adara semakin bertambah tatkala tanah mulai goyah. Terasa bergeser dengan pelan. Dia masih bisa menjaga keseimbangan saat ini. Namun,untuk goyahan selanjutnya, Adara tak mampu lagi menahan tubuhnya. Tanah seakan bergoncang hebat—naik-turun—dan merusak semua hal yang berada di atasnya. Dinding mulai

retak dan runtuh sedikit demi sedikit, sementara cairan lava yang sejak tadi membentuk aliran sungai, kini mulai mengalir ganas menuju ke tengah kota di mana banyak pemukiman penduduk dan gedung utama pemerintahan di sana—termasuk sekolah Adara.

“Apa yang terjadi?”gumam gadis tersebut.

Teriakan histeris dan raung tangisan mulai bergejolak. Adara tak dapat mengelaknya. Namun,satu sisi pemikirannya

mulai mencemaskan Nancy.

“Di mana Nancy?” batin Adara.

Langkahnya terhuyung. Adara mulai mencoba berlari menuju kelasnya. Namun, sesuatu menghalanginya. Bukan sebuah hal kecil, tapi besar. Amat besar. Gedung kelasnya mendadak ambruk tepat sepuluh meter dari posisi Adara sebelum dia menghentikan langkahnya dan memandang nyalang ke sana dengan posisinya yang telah tersungkur

karena menghindari reruntuhan. Tangis dan teriak mulai merasuk ke lubang telinganya, menginvasi secara cepat langsung ke otaknya.

“TIDAK!!!”

Namun, dia tidak melihat Nancy di sana. Pandangannya seperti berpencar dan saling mencari keberadaan gadis berambut cokelat itu. Lagi-lagi sesuatu menghalangi Adara. Goncangan tanah memang tak lagi melanda. Namun,di salah satu arah, sungai merah menyala membanjiri kota perlahan.

Adara bangkit. Dia sadar jika dirinya terkunci di tempat ini. Sekelilingnya telah rumit dengan runtuhan gedung sekolahnya. Hanya ada satu celah di mana dia bisa kabur sebelum lava itu melahap dirinya.

Dalam tangisnya yang tertahan, gadis bersurai hitam itu mulai merangkak menaiki anak tangga yang masih berbentuk. Sampai dirasanya jika tempatnya berpijak kini adalah salah satu bagian dari rangkaian gedung bertingkat di sekolahnya yang masih tersisa. Adara menelisik ke belakang, melihat cairan merah menyala disertai panas mulai melahap reruntuhan gedung.

“Apa yang harus kulakukan? Kenapa jadi seperti ini?” gumamnyakalut.

Adara masuk ke sebuah ruangan. Dia terdiam. Ruang perpustakaan yang mana salah satu sisinya yang menghadap ke luar telah runtuh. Bola matanya bisa melihat lautan lava panas telah melahap kota. Dia beringsut mundur bersama perasaannya yang sudah bercampur-aduk. Sebuah galon air minum yang bertengger di dispenser terpaksa Adararaih dan digunakan untuk mengguyur seluruh tubuh.

Gadis itu tidak tahu apa yang dipikirkannya sekarang. Dia melakukan semuanya secara reflektif. Adara bahkan tak sadar alasan dia mengguyur tubuhnya dengan galon berisi air setidaknya satu per tiga bagiannya itu. Refleksnya kembali mencerna keadaan sekitar. Adara mencoba meraih beberapa rak buku yang menempel di dinding dan berakhir dengan duduk di bagian paling atas dari rak kayu tersebut.

Adara benar-benar kacau. Otaknya tak bisa berpikir jernih. Bulir air mata yang sejak tadi menerjuni pipinya ia biarkan mengalir begitu saja. Matanya sembab memerah, sambil melihat ke arah luar di mana lautan lava mulai meninggi. Adara meringkuk pasrah. Berdoa dalam batinnya adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan sekarang.

***

“Ah, sial! Kenapa terputus, sih?” gerutu Adnan saat sambungan teleponnya terputus. Matanya menangkap sebuah bus yang baru saja datang. Dia segera naik dan duduk di salah satu kursi dalam bus tersebut.

Bola matanya sesekali memandang ke berbagai arah, mencerna segala hal yang dilakukan oleh penumpang bus. Ada yang tertidur pulas, bermain game di ponselnya, dan adapula yang asyik mengobrol. Tidakjarang, Adnan menangkap keluh-kesah dan juga gerutuan penumpang terhadap sesuatu yang baru saja membuatnya mendengkus kesal pula.

“Sinyal di sini seringkali putus secara mendadak. Sial! Aku jadi tak bisa menghubungi atasanku kalau seperti ini terus!”

“Apa aliansi barat yang memutus salurannya? Beberapa tahun belakangan ini mereka seperti sedang memusuhi kita.”

“Jika mereka memutus salurannya, apa kau pikir mereka sudah membuat saluran sendiri, huh? Jalur kabel optik dunia telah saling berhubungan. Mana mungkin mereka memutus jalur yang nantinya akan membunuh mereka sendiri!”

“Apa yang terjadi selama empat tahun di sini?” pikir Adnan aneh.

Kedua netranya melempar pandangan keluar jendela bus. Memandangi jalanan kota dan gedung bertingkat di sekitarnya. Fokusnya juga sempat tertuju pada sebuah gunung di salah satu sisi kota. Cukup jauh jaraknya dari posisi bus yang dia naiki saat ini. Adnan kembali melihat arlojinya. Sebuah perasaan aneh tiba-tiba menggelayuti pikiran. Dadanya terasa sesak.

“Mau ke mana?” tanya seorang pria yang baru saja naik bus dan duduk di sebelah Adnan. Keriput jelas menampak pada raut wajahnya. Dia tersenyum ramah.

“Kantor catatan sipil,” jawab pemuda bersurai hitam itu—membalas senyum si pria tua.

Hening sejenak. Helai surai Adnan sesekali terhempas anggun diterpa embusan angin yang menyeruak dari jendela yang sedikit terbuka. Dia menarik napas panjang sejenak. Menikmati udara yang bahkan tidak pernah dia hirup sejak empat tahun yang lalu. Sebuah peristiwa membuatnya harus pindah ke tempat yang berbeda dan menempa segala sesuatu di sana. Pendidikan, serangkaian kehidupan, dan bahkan karir. Namun, hanya ada satu yang membuatnya harus kembali ke kota ini. Gadis itu.

“Kantor catatan sipil cukup jauh dari sini. Kau harus menaiki kereta untuk sampai ke sana.” Pria tua itu kembali berucap. “Tapi tadi pagi kulihat di berita, stasiun menghentikan aktivitasnya sementara.”

Adnan menoleh kepada pria itu. “Kenapa?” tanyanya penasaran.

“Entahlah. Pria tua sepertiku sangat jarang mengerti berita di televisi, Nak. Banyak bencana telah meluluhlantakan Bumi selama beberapa tahun belakangan ini. Banjir, gunung meletus, gempa bumi. Dan bahkan ada isu yang bermunculan kalau aliansi barat mendeklarasikan perang,” ujar pria itu. “Ah, pria tua sepertiku ini lebih baik

mati sekarang saja daripada harus merasakan kematian karena perang ataupun bencana.”

“Tapi ... kudengar kota ini baik-baik saja.”Adnan bergumam sembari sesekali mengedarkan pandangan.

“Aku menghidu anyir sejak tadi pagi. Ini apa, ya, artinya?”

Pria itu menggumam sambil menyisir helai jenggot putih dengan jemarinya. Sementara Adnan, dia kembali terdiam sambil memikirkan ucapan pria tua itu. Ya, ucapan yang dilontarkan orang yang sudah lanjut usia biasanya benar dan akan menjadi kenyataan. Firasat buruk mungkin saja telah pria itu rasakan. Begitu pun Adnan yang kini merasa cemas. Kecemasannya semakin meningkat tatkala bus berhenti mendadak dan menyurai lamunannya.

***

PHASE 3 . KEMBALI KE AWAL

“Ada apa ini?”

“Kenapa berhenti?”

Seluruh penumpang saling bertanya, memandang ke berbagai arah. Teriakan menggema saat sang sopir bus memutar laju kendaraan yang dia kemudikan. Penumpang saling berjatuhan. Mereka bertanya-tanya alasan sang sopir memutarbalikkan bus dan bahkan bermanuver kilat di jalan raya yang kini berubah riuh.

“Pak! Apa yang terjadi?” seru salah satu penumpang.

“Apa kalian pikir aku mau mati, huh? Ada lava panas di sana!” Sang sopir berteriak menimpali.

Adnan tersentak. Dia berbalik dan melihat ke arah belakang. Sungai merah menyala dengan kepul asap di sekitarnya mulai menuruni gunung yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Sebuah dentuman terdengar dan mengurai fokusnya. Tubuh Adnan mengguling beberapa kali, bertabrakan dengan tubuh para penumpang lain dan mendarat secara tidak wajar.

Roda bus yang dirinya tumpangi terjerembab ke sebuah retakan besar, membuat bus itu terguling beberapa kali dan berakhir setelah menerobos beberapa bangunan. Ledakan yang berasal dari satu-satunya gunung di wilayah

tersebutterdengar keras. Diiringi dengan raung tangis para penduduk yang menyelamatkan diri mereka masing-masing.

Adnan tersadar saat ponselnya berdering. Matanya terbuka perlahan, memandang ponsel yang telah terlempar dari saku celananya dan mendarat tidak jauh dari posisinya kini. Dia berusaha meraih ponsel itu sembari meringis menahan sakit karena tubuhnya tertimpa bilah besi kerangka bus. Sementara di sekitarnya, banyak jasad bergelimpangan bagai bangkai ikan. Netranya melonjak kaget saat melihat pria tua yang mengobrol dengannya tadi tengah meregang nyawa, mendelik ke arahnya. Mulutnya menganga seperti hendak mengatakan sesuatu pada pemuda itu, tetapi urung karena sekian detik selanjutnya, dia benar-benar tiada.

Adnan kembali meraih ponselnya dengan susah payah dan bergegas mengangkat panggilan yang sejak tadi telah meributkan telinganya.

“Kapten!” Seseorang berseru dari balik telepon. “Aku baru tahu kalau kau mengundurkan diri. Apa kau kembali ke sana? Kau akan pindah ke sana?”

Pemuda berambut hitam itu tahu betul siapa yang menghubunginya sekarang. Dia mendengkus di sela ringisan sakitnya. Berusaha untuk membalas ucapan lawan bicaranya.

“Kapten, aku mendeteksi adanya gempa bermagnitudo besar di rumah lamamu barusan. Kau sudah berada di sana?”tanya suara di balik panggilan itu.

“Bocah brengsek ini ....” Adnan menggerutu kesal dalam batinnya. “Aku kan sudah mengirim surat resign padanya, sudah pasti aku berada di sini sekarang. Memangnya aku ini penipu sampai dia tidak percaya begitu? Bodoh sekali!”

Seandainya saja Adnan bisa membuka mulut, pasti dia langsung memarahi lawan bicaranya itu. Namun, dia lebih baik mematikan panggilan dan segera menekan sebuah ikondi layar ponsel. Sementara pemuda yang menjadi lawan bicara Adnan barusan mendapat sebuah notifikasi pada ponselnya.

“Share location?” gumamnya. Sepersekian detik kemudian matanya memelotot.

“ADNAN!!!”

***

Iris kecokelatan itu baru saja terbuka perlahan. Pemiliknya menggeliat, merasakan persentimeter tubuhnya yang mendadak seperti remahan kerupuk. Hampir saja dia mati rasa. Pandangannya menyapu sekitar ruangan bercat putih tempatnya terbaring kini dan berakhir pada beberapa selang infus yang mengekangnya.

“Anda sudah sadar?” tanya seseorang yang baru saja masuk ruangan. “Kapten Unit 3—Adnan Harris.”

Adnan berdeham sejenak. “Di mana ... aku?” tanyanya serak.

“Ruang perawatan Cosmo Unit 1,” jawab wanita berpakaian serba putih itu. “Anda mengalami kecelakaan akibat bencana yang terjadi di kota tempat tinggal lama Anda, Kapten.”

Pemuda itu mengernyit. “Bencana?” selisiknya. Sepersekian detik kemudian, dia terlonjak—teringat sesuatu—dan hampir saja terjatuh dari ranjang sebelum akhirnya wanita itu menolongnya.

“Anda masih dalam perawatan dan dilarang untuk bergerak, Kapten.”

“Aku bukan kapten lagi!” serunya kesal sembari meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya. “Aku harus keluar,” imbuhnya.

“Tapi, Kapten ....”

“Sudah kubilang, aku bukan kapten lagi!”

Wanita yang merupakan seorang perawat itu tercekat sejenak. “Maaf, Tuan. Tapi Anda dilarang untuk keluar selama masa perawatan,” ucapnya. “Besi kerangka bus yang menimpa tubuh Anda menyebabkan beberapa ruas tulang punggung Anda hancur.”

Adnan tersentak, memelotot. “Apa?” tanyanya lirih—tidak percaya.

“Itu benar, Tuan. Saya adalah perawat di sini, jadi saya tidak mungkin menipu Anda. Anda bahkan sudah satu minggu tak sadarkan diri sejak peristiwa itu.”

Pemuda berambut hitam itu kembali terlonjak kaget. “Bagaimana? Bagaimana aku bisa kembali ke sini lagi?” tanyanya.

Suara pintu ruangan yang terbuka mengurai fokus Adnan dan perawat tersebut. Seorang pemuda berambut cokelat tampak memasuki ruangan dan sigap menghampiri ranjang Adnan. Sedetik kemudian, dia mengernyit aneh pada

pemuda yang baru saja tersadar dari tidur panjangnya itu.

“Kau sudah sadar?” tanyanya.

Adnan tidak menyahut. Sementara sang perawat menoleh dan memberi isyarat pada pemuda berambut cokelat itu. Namun, sekian detik selanjutnya, perawat tersebut keluar ruangan setelah diberi isyarat oleh pemuda tersebut.

“Kau mengirim titik lokasimu padaku saat itu, Kapten. Jadi kami langsung bisa mengirim bantuan untukmu. Lagipula, kenapa kau mengundurkan diri dari pekerjaanmu?”tanya pemuda seusia Adnan itu.

Adnan masih bergeming dan membuang muka.

“Kapten.”

Detik ini, Adnan mengembuskan napas panjang yang amat kasar. “Aku, kan, sudah resign kemarin. Kenapa masih memanggilku seperti itu?” tanyanya masih tak mau memandang pemuda berambutcokelat itu.

“Komandan memintamu untuk kembali setelah kau sehat nanti,” timpal pemuda itu menghiraukan pertanyaan Adnan.

“Frederick Add.”

Pemuda itu tersentak saat Adnan menyebutkan namanya. Terlebih saat Adnan memandang ke arahnya dengan kedua mata birunya yang misterius.

“Erick,” panggil Adnan. “Jelaskan padaku, kenapa Komandan memintaku untuk kembali?”

Erick menundukkan pandangannya sejenak. Dia mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya menarik sebuah kursi dan duduk di dekat ranjang Adnan.

“Bumi hancur,” katanya.

“Hah?”

“Peristiwa yang terjadi satu minggu yang lalu telah meluluhlantakkan banyak wilayah, termasuk tempat tinggal lamamu. Aliansi timur berada di ambang kehancuran saat ini. Setidaknya, itulah yang kudapat dari berita yang tersebar di Cosmo sampai detik ini,” ujar Erick. “Pemimpin aliansi barat melihat momen ini sebagai kesempatan untuk melancarkan deklarasi itu. Dia menghubungi Cosmo dan meminta kita untuk mendukung keputusannya. Kupikir, tadinya Komandan tidak menghiraukannya. Tapi ternyata semua di luar dugaan. Komandan menyetujui hal itu dan dia menghubungiku untuk memintamu kembali ke militer lagi.”

Kedua mata Adnan membola seketika. “Apa? Jadi ....”

Erick mengangguk. “Seperti yang kau sadari sekarang. Komandan hanya memutuskan hal itu secara sepihak. Dan ... perdamaian mungkin sudah tak berlaku lagi sekarang.”

Adnan berdecih. Pikirannya seketika kacau.

“Lalu ... mengenai jumlah korban di tempat tinggal lamamu, tercatat sekitar 25.000 jiwa meninggal,”lanjut Erick.

“Apa ada nama Adara di daftar itu?” Adnan menyerobot bertanya hingga membuat Erick sedikit mengernyit padanya. “Adara. Yusagi Adara namanya.”

“Yusagi ... Adara ....” Erick menggumam sambil berpikir sejenak. “Kurasa ... tidak ada.”

“Wilayah mana yang terparah di kotaku?” Adnan kembali menyerobot tak sabar. “Cepat katakan!”

Erick mendelik kepada Adnan. Pemuda itu sepertinya mencemaskan sosok bernama Yusagi Adara sampai harus mencecarnya seganas ini. “Aku kurang tahu, Adnan. Tapi ... sekolah dan juga kantor pusat pemerintahan masuk ke dalam daftar. Aku melihatnya di berita tadi pagi,” jawabnya.

Adnan mendadak lemas. Gurat senyum setengah terbentuk di bibirnya yang bergetar. Otaknya kacau parah. Mengingat sosok seseorang dan juga kejadian yang menimpanya merupakan hal yang tak bisa dia percayai kini.

“Tak mungkin, kan?” gumamnya seorang diri. Dia terkekeh, lalu kembali diam. “Aku baru akan menjemputnya. Aku telah berjanji padanya.”

Sementara itu, Erick memilih untuk membiarkan pemuda itu merenungi nasibnya. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuknya di Cosmo, dan kali ini—saat Adnan kembali ke kampung halamannya—semua impian pemuda itu seakan lenyap begitu cepat. Terlebih saat dia menyebutkan nama Yusagi Adara. Erick sangat yakin kalau Yusagi Adara adalah sosok yang sangat ingin Adnan temui seminggu yang lalu, tetapi gagal.

Sesuatu mengurai lamunan Erick. Sebuah kode terdengar dari earphone yang dipasang di salah satu telinganya. Erick bangkit dari kursi dan bergegas menjauh dari ranjang Adnan.

“Di sini Frederick Add,” ucapnya lirih.

“Kau sudah mengatakannya pada Harris?” tanya seseorang dari balik panggilan. “Bagaimana tanggapannya?”

Erick berpikir sejenak. “Adnan belum menjawabnya, Pak,” jawabnya masih melirih—berharap Adnan tak mendengarnya.

“Kenapa? Kenapa lama sekali?” gertak sang lawan bicara Erick tersebut.

“Maaf, Pak. Adnan baru saja tersadar dan masih butuh waktu perawatan yang lama baginya untuk kembali ke militer.”

Pria yang menjadi lawan bicara Erick berdecih. “Katakan padanya, jika ia tak menyetujui rencana ini maka sampai kapan pun dia takkan bisa kembali ke Bumi. Katakan pula, kalau orang seperti dia tidak akan bisa bertahan hidup dengan kondisi tubuh seperti itu,” tegasnya, “dia harus menyetujui rencananya jika ingin kembali hidup normal.”

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!