NovelToon NovelToon

Dosenku, Majikanku

Bab 1

Ting tong! Ting tong!

Bell berbunyi terdengar sampai kamar tidur Nadia yang masih belum bisa terlelap memikirkan majikannya. sontak Nadia bangkit, terbirit-birit keluar kamar melangkah kaki dengan cepat menuju pintu utama kediaman ini.

Pintu ia buka ditengah derasnya hujan yang melanda ibukota beserta petir yang menggelegar kuat. Nadia terpaku menatap majikannya terkulai lemas menyandar pada pintu yang tertutup.

Tubuhnya yang basah, memamerkan bentuk otot-otot tubuh yang dilapisi kemeja ketat itu. Wajahnya yang dipenuhi air hujan, membuat kulit putih itu terlihat amat pucat. Lantas, Nadia bergegas memapah majikannya, Devan, yang sepertinya tengah mabuk. Jelas terlihat dari matanya yang sayu dan tubuhnya yang lemah.

"Pak, kenapa anda baru pulang jam segini? anda mabuk, ya?" cecar Nadia

Devan tidak menjawab. Ia asyik memperhatikan gadis 20 tahun ini dengan tatapan yang aneh. Indra penglihatannya menyisir tubuh Nadia dari pangkal rambut panjang yang tergerai bebas, kemudian menatap wajahnya yang nyaris sempurna tanpa ada benalu di sana. Pipi yang chubby, hidung mancung, bibir mungil merah ranum, seketika Devan menelan salivanya dengan kasar.

Lalu pandangannya menyapu tubuh Nadia, gadis ini mengenakan baju tidur yang sopan tanpa memperlihatkan benda-benda kenyal didalamnya. Namun, entah mengapa pandangan ini menatapnya lain, seolah tubuh itu memperlihatkan belahan dadanya.

Oh, ****! Sesuatu didalam sana mulai menegang.

Nadia sadar tengah diperhatikan, namun ia tidak terlalu menggubrisnya. Tujuannya hanya satu, berhasil membopong tubuh kekar ini hingga ke lantai atas. akhirnya berhasil, Nadia menaruh tubuh sang majikan ke atas ranjang berukuran king size ini. Buru-buru ia mengambil handuk, dengan telaten Nadia mengusak rambut Devan yang basah lalu mengeringkan wajahnya.

Tiba-tiba kegiatannya terhenti kala Devan merebut kembali handuk itu. Mencampakkannya ke sembarang arah, menjatuhkan tubuh Nadia ke dalam pangkuannya. Nadia terperanjat shock, kedua matanya membola dengan jantung berpacu berkali-kali lebih cepat.

Devan mengurung tubuhnya dalam pelukan ini, tak dapat berontak sekalipun kecuali kaki. Nadia ingin dilepaskan, namun bibir ini dengan lancangnya disumpal oleh milik lelaki itu

"Le--

Belum selesai menyudahi kalimatnya, Nadia terperanjat kala bibir mereka bertemu. Devan menciumnya, ******* bibirnya dengan rakus hingga memaksa pertahanan Nadia harus dibuka.

Ada apa dengan majikannya ini? Apa mabuknya benar-benar berat sampai tidak sadar sudah menodainya? Nadia ingin menangis, tak tertahankan air mata ini mengucur deras membasahi pipinya.

Tak sampai disitu, Devan yang telah diliputi kabut hasrat langsung membaringkan Nadia hingga melucuti seluruh brnang yang membaluti tubuhnya. Nadia memberontak, ia menggelengkan kepala dan berteriak ingin menyadarkan ulah sang majikan.

"Pak, sadar! Saya ini pembantumu, jangan perkosa saya!" lirihnya

Siapa yang peduli, Devan sama sekali tidak menggubrisnya. Entah setan apa yang bersemayam didalam tubuh pria ini hingga tidak sadar akan apa yang ia lakukan.

Tapi, siapa tahu saja dia sadar, bukan?

Nadia menangis semakin menjadi kala merasakan denyut menyesakkan saat sebuah rudal menghantam pertahanannya. Nadia meringis ngilu, kedua kakinya bergetar. Sakit tak tertahan, rasanya perih dihantam sekasar itu.

**

Pagi telah tiba, kicauan burung sahut menyahut di angkasa. Matahari mulai menunjukkan peradabannya dimuka bumi. sepasang kelopak mata mengerjap-ngerjap perlahan hingga dapat melihat keadaan disekitarnya.

Menelisik ruangan yang tak pernah ia tempati ini, seketika memori beberapa waktu lalu mengingatkannya. Nadia membulatkan bola matanya, mulutnya ikut ternganga membayangkan kejadiaan naas tadi malam.

"Oh, tidak!"

Sontak saja Nadia mengintip tubuhnya dibalik selimut. Tubuh telanjangnya berhasil membuat air mata ini kembali mengucur. Ia menatap sengit pada pria disampingnya yang masih terlelap tanpa mengemban masalah. Seketika rasa benci memenuhi dadanya, bisa-bisanya Devan memperkosanya saat itu.

Tangisnya berlanjut didalam kamar mandi, membiarkan pancuran air menghantam kulit kepalanya. Nadia terduduk dilantai, menekuk kedua kakinya sembari membuang air kristal yang berharga.

"Ibu, Bapak, huhuhuhu," lirihnya menangisi diri yang sudah tidak suci lagi. Dengan kasar Nadia menggosok-gosok kulit tubuhnya penuh rasa jijik. Jijik karena sudah ternodai, tidak suci lagi. Padahal selama bekerja dengan sang majikan, pria itu tidak pernah bersikap kurang ajar padanya.

Apa alkohol benar-benar tidak menyisakan akal sehat sedikit saja? Sampai orang yang mengonsumsinya tidak sadar telah melakukan hal tersebut.

☆☆

Bab 2

"Nadia,"

Suara bariton milik Devan terdengar dari balik pintu kamar milik Nadia. Pria itu terus memanggil-manggil namanya berulang kali seraya mengetuk pintu.

Nadia enggan menggubrisnya. Ia telah hanyut dalam lamunan menatap ke arah jendela yang menampilkan taman dan kolam renang. Suasana diluar sangat cerah, namun tidak dengan hati dan hidupnya sejak kejadian menyesakkan itu

Hidupnya sudah hancur berkeping-keping, kehormatannya telah terengut oleh lelaki yang bukan suaminya. Kini, apa lagi yang ia banggakan, tubuhnya sudah tidak suci lagi, diri ini sudah tidak pantas untuk diberikan ke pria lain yang akan menjadi jodohnya kelak.

Betapa buruknya seorang Nadia, dirinya tidak berarti apa-apa lagi, baginya.

"Nad! buka pintunya!"

Seketika Nadia tersentak dari lamunan kala pintu diketuk dengan kasar. Nadia menoleh ke belakang, pria itu tampak barbar dan kalut karena tidak mendapatkan respon darinya.

Melihat benda itu, mendengar suara itu, dan membayangkan kejadian beberapa waktu lalu, air mata ini kembali menetes. Nadia menatap nanar ke sana penuh kebencian. Ia benci pada majikan sekaligus dosen yang mengajar dikelasnya

Nadia bangkit, ia menghampiri pintu yang dikunci, berdiri di sana tanpa berniat membukakannya.

"Saya nggak bikin sarapan. makan diluar aja. tenang aja, rumah ini juga bakal saya bersihkan." ucapnya dengan lantang sembari mengusap air matanya yang makin kian kencang mengucur

"Bukan itu, saya cuma-mau tahu keadaan kamu. Saya-saya mohon maaf, Nad," sahut Devan sedikit terbata-bata

Sejenak Nadia menghela napas panjang sembari memutar bola matanya

"Pergilah. usah hiraukan." balas Nadia

"Buka dulu, Nad. Saya mau bicara secara langsung denganmu,"

"Tidak ada yang mau dibicarakan! Saya baik-baik saja, jelas baik-baik saja!" tegas Nadia

Nadia geram, dirinya benar-benar marah, murka, kecewa, benci, sedih, semua bercampur menjadi satu. kedua tangannya mengepal, ingin sekali ia menghajar lelaki brengsek tersebut yang selama ini ia hormati. Namun rasa itu lenyap, berganti benci yang tidak mungkin berkesudahan.

Lama tak terdengar suara Devan, Nadia menyipitkan mata. menerka-nerka apakah lelaki itu sudah pergi atau belum. Ditengah tanda tanya yang hinggap dikepalanya, Nadia menemui jawaban kala sesuatu menyentuh kakinya.

Nadia menunduk, mengernyitkan dahi menatap selembar kertas disodorkan untuknya dari celah bawah pintu.

"Oh,"

Diluar kamar, Devan tampak menarik napas dalam-dalam lalu memghembuskannya dengan kasar. Sembari memijat keningnya, memikirkan kesalahan atas apa yang sudah ia perbuat malam itu. Dirinya menodai wanita yang ia hormati, assisten rumah tangga yang ia perlakukan bak adik sendiri. Namun kini, keadaan telah berubah karena kebiadapannya.

Sungguh, dirinya dipengaruhi alkohol kadar tinggi pada malam itu. Hingga melihat kecantikan Nadia, ditambah tubuhnya terasa dingin karna terkena hujan, parahnya lagi suatu masalah yang tengah ia hadapi membawanya untuk menarik gadis malang itu

"Baiklah, saya pergi." ucapnya dengan pasrah. Sebelum beranjakkan kaki dari sana, Devan meninggalkan secarik kertas, memasukkannya ke dalam celah dibawah pintu

Nadia menerima kertas tersebut, membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana.

'Saya beribu-ribu minta maaf padamu, Nadia. Saya kalut, saya berada dibawah pengaruh alkohol. Saya tidak sadar sedang melakukannya, kepala saya pusing, tubuh saya dingin, kamu berhak marah, Nad. Tolong beritahu saya apa yang harus saya tebus agar kamu memaafkan saya? Apa saya harus menikahimu?'

Deg!

Seketika Nadia menelan salivanya dengan susah payah membaca kalimat terakhir. Menikah? tak pernah terpikirkan olehnya untuk menikah dengan majikan. Lagi pula, untuk apa menikah? Tidak ada cinta diantara mereka, ikatan hanya akan membuat keduanya tidak bebas untuk melakukan sesuatu yang diinginkan.

Tidak, Nadia menggelengkan kepala menatap kertas itu. apa lagi Devan memiliki seorang kekasih, mana mungkin ia merebut lelaki bejat itu dari wanita lain.

Dirinya tak perlu dikasihani mentang-mentang sudah tidak perawan lagi. Nadia enggan menikah, kekasih saja tidak punya. Lebih baik ia mengejar karir dan membahagiakan orang tua dari pada mesti mengabdi kepada pria perengut yang jelas tidak ia cintai.

"Aku tidak akan mau menikah denganmu! Walau sebenarnya tujuan menikah hanya sebagai bentuk tanggung jawabmu!" gumam Nadia dengan penuh keyakinan

Sejenak, Nadia terdiam diatas ranjang. Untuk saat ini ia tidak menginginkan apa-apa. Jika bisa meminta, ia ingin kehormatannya dikembalikan lagi. Kekecewaan sudah mendarah daging, begitu pula dengan rasa benci.

Devan yang baik, yang terkadang turut membantu pekerjaannya, Devan yang ia anggap seperti teman curhat, kini sudah berbeda. Devan mengubah segalanya.

Ditengah kegundahan perasaannya, Nadia dikagetkan oleh dering ponsel yang menggelegar.

"Ibu?"

Nadia segera mengangkat panggilan sang ibu yang jauh di sana.

"Hallo, Bu, Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam, Nad. gimana keadaanmu di sana?"

Nadia tercenung. Ingin sekali mengadu, mencurahkan perasaannya, tampaknya tidak mungkin untuk ia katakan kepada ibu atau siapapun. Biarlah ini menjadi rahasianya sendiri.

"Baik, Bu, Nadia sehat. Ibu dan bapak gimana?"

"Sehat juga, Nad. Tadi malam ibu mimpiin kamu, perasaan ibu nggak enak gara-gara mimpi itu. Masa ibu mimpi kamu diperkosa saat pulang kuliah, oalah ... Ibu jadi khawatir karna mimpi itu,"

Deg!

Jantungnya berdegup cepat mendengar penuturan sang ibu

"Jaga diri kamu, Nak, hati-hati bergaul sama orang kota. Pilih-pilih dulu mana yang baik buat kamu. Hati-hati juga dijalan dimana pun kamu berada." nasehat ibu

"I-iya, Bu. Ibu tenang aja, sejauh ini Nadia nggak kenapa-napa. Nggak ada yang jahatin Nadia, di sini orangnya baik-baik kok," ucapnya dengan sedikit diselip kebohongan hanya demi menenangkan perasaan wanita yang amat ia cintai

Tapi tidak untuk majikanku, Bu. Pria itu memang baik, tapi dia udah merengut kesucian Nadia. Nadia kecewa! Batinnya tanpa ingin mengungkapkannya

"Syukurlah, Nak. Ibu tutup dulu telponnya. Ingat pesan ibu, ya?"

Nadia mengangguk. Kemudian panggilan telepon diakhiri dengan kalimat salam.

Begitu dahsyatnya feeling seorang ibu, Nadia sampai tidak percaya ibu bisa merasakan apa yang ia alami. Ibu memang benar, dirinya diperkosa. Namun, Nadia memilih untuk tidak mengatakannya. Ini aibnya, ini takdir hidupnya, biarlah hanya tersimpan rapat tanpa ada yang mengetahui.

Nadia menatap jam diponselnya, sudah pukul setengah delapan pagi, rasanya begitu malas untuk bergerak. Pria itu pasti sudah pergi meninggalkan kediaman ini, tatkala harus mengajar seharian penuh di kampus. Walau ditengah jam kosong, Devan mesti berkunjung ke beberapa tempat usahanya untuk memeriksa keadaan, hingga memeriksa perkembangan usahanya melalui Macbook.

Ya, selain menjadi dosen, pemuda berusia 27 tahun itu juga mengabdi sebagai pengusaha sukses. Merintis usaha kafe, coffe shop, dan juga minimarket sejak jaman kuliah hingga kini.

Devan adalah sosok mandiri. Tumbuh menjadi anak kedua, membuatnya jauh dari kata penerus perusahaan sang ayah. Tatkala sang kakaklah yang mesti meneruskannya sebagai CEO di perusahaan keluarga.

☆☆

Bab 3

Sudah pukul sepuluh pagi, pekerjaan rumah telah selesai. Langkah Nadia telah tiba di kampus, tempat ia menimba ilmu demi mengejar cita-cita. Duduk dengan lemas dibangku miliknya, ia ditegur oleh kedua sahabatnya dengan raut wajah bingung

"Okey? Nampak nggak semangat," tegur salah seorang temannya

Nadia mengangguk. "Ya, gue okey. Cuma capek, banyak kerjaan di rumah," imbuhnya

"Apa Pak Devan ngasih lo tumpukkan tugas apa?" sahut teman yang lain

"Enggak juga. gue kurang enak badan, Guys. mana nggak selera makan," keluh Nadia

"What!" Rila dan Nina, yakni adalah sahabatnya, melototkan mata mendengar hal tersebut

"Kok lo belum makan? Emang nggak bikin sarapan?" tanya Rila

"Goblok! Jelas dia sakit!" Nina mengeplak kepala Rila. Gadis itu mengaduh kesakitan sedangkan Nadia hanya menatap datar saja.

"Sudah ah, mending kalian duduk yang bener, bentar lagi Pak Dev--datang!" ah, rasanya begitu malas menyebut nama pria itu. Nadia sadar, jam pertama ialah materi dari dosen ekonomi tersebut

Seketika Nadia menghela napas panjang, kini ia harus berhadapan lagi dengan pria bejat itu. ditengah rasa tak semangatnya, akhirnya pria itu datang dari balik pintu. ketampanannya, mengundang kehebohan dari para wanita-wanita yang begitu euforia melihat kehadirannya

"Selamat pagi!" sapanya kepada seluruh anak-anak didalam kelas ini

"Pagi, Pak!" sahut semuanya terkecuali Nadia yang tampak tak acuh. enggan menatap wujudnya, hanya berpaku pada buku diatas meja

Devan memperhatikan Nadia yang kebetulan duduk dibarisan kedua. Gadis itu tampak mencolok dari yang lain. Tidak seperti biasanya ketika ia masuk akan disambut senyuman dari Nadia, kini tidak lagi.

Rasanya begitu beda, berawal karena ulahnya. Jika Nadia menuntun untuk bertanggung jawab, dengan berat hati Devan melakukannya asal keceriaan itu bisa terbit lagi dari wajahnya.

"Pak! kok bengong!" salah satu mahasiswi membuyarkan lamunan Devan yang menatap lurus ke arah pembantunya itu

Devan tersadar, ia mengulas senyum seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ah, maaf. Baiklah, kita mulai materi selanjutnya," ucap Devan

**

"Lo pucat banget, Nad, ayo ah kita ke kantin!" ajak Nina dengan wajah khawatir menatap sahabatnya ini.

Ditengah-tengah para mahasiswa berbondong keluar kelas setelah Devan menyelesaikan materinya, Nadia tetap enggan beranjak dari tempatnya. Gadis itu asyik menggambar sesuatu diselembar kertas, sesekali menyeka keringat yang membasahi wajahnya.

Nadia tidak konsentrasi selama pembelajaran tadi, ia lebih banyak melamun dan melukis. Tidak seceria biasanya. Bahkan, banyak anak-anak yang berbisik, mengapa Nadia seaneh itu, apakah dia sakit? Hal itu tak luput dari perhatian Devan, pria itu juga merasa khawatir, bahkan semakin merasa bersalah melihat keadaan perempuan yang ia nodai.

"Ayo, Nad! Lo jangan diam aja kayak patung, lo mesti cerita ama kita," sahut Rila

Nadia mendongak menatap kedua sahabatnya, kemudian mengangguk dan bangkit berdiri.

"Yasudah," ucapnya, singkat nan dingin

Ketiga gadis itu bergegas ke kantin. Rila yang tidak sabaran, memberondongi Nadia dengan pertanyaan disela langkah ketiganya.

"Lo ada masalah apa, Nad? kayaknya bukan sakit aja, deh, pasti ada yang lo pikirin sampai mendemam begini." teman Nadia ini memang terlihat risau sekali

"Iya, Nad, cerita ama kita, jangan ada yang lo sembunyiin, siapa tahu kita bisa ngebantu lo," seru Nina

Sejenak Nadia menghela napas panjang. Ini begitu sulit untuk diungkapkan.

"Ada masalah dikit sama--

"Nadia!"

Belum usai menyelesaikan kalimatnya, seseorang berteriak memanggil nama Nadia dari jarak lima meter didepan. Nadia termanggu menatap pria yang menghampirinya.

"Nad, lo dipanggil sama dosen sastra," ucapnya

"Hah? ngapain?" Nadia bingung, memang ada urusan apa dirinya dengan dosen wanita itu

Pria yang menyampaikan pesan itu hanya mengendikkan bahu, tidak tahu menahu.

"Meneketehe! udah, lo kesana aja, gue mau ke kantin, bye!" pria itu pamit seraya melambaikan tangan kepada ketiga gadis tersebut

Nadia dan kedua temannya saling melempar pandangan. ada apa gerangan Nadia dipanggil oleh dosen killer itu?

"Serem ih kalau nggak nuruti kemauan dosen itu. Mending lo samperin aja, Nad, biar kita mesan makanan dulu. Supaya lo nyampe nanti, pesanan kita udah datang," usul Nina

Nadia mengangguk. Ketiganya melanjutkan langkah menuju kantor untuk bertemu dengan dosen tersebut. Sesampainya di sana-Nadia tampak ragu. pasalnya ini juga kantor yang ditempati majikannya. Sejenak Nadia menarik napas dalam-dalam sebelum menekan handle pintu.

"Semangat! Kita tunggu di kantin!" ucap temannya. Nadia mengangguk. dengan keberanian yang timbul, Nadia bergegas masuk ke dalam ruangan tersebut

Didalam ruangan ini, sudah tampak beberapa kepala hitam dengan tubuh bersembunyi dibalik sekat. Diantara mereka ada yang masih sibuk dengan laptopnya, dan ada pula yang keluar masuk untuk sekedar menaruh buku dan pergi mencari makanan

Nadia menatap satu persatu di mana meja dosen sastra, yang namanya tentu saja ia hafal. Setelah menemuinya, Nadia bergegas melangkah dengan jantung yang berdegup cepat.

Benar saja, dosen wanita itu berada ditempatnya tampak fokus dengan laptop

"Permisi, Buk, apa ibu manggil saya?" sapa Nadia

Dosen itu menghentikan kegiatannya sejenak. Ia menoleh menatap Nadia dalam pandangan tidak mengerti dan aneh

"Manggil kamu? tidak, untuk apa saya manggil kamu. Sudah, pergi sana!" elaknya, yang kemudian mengusir Nadia dengan kibasan tangan

Nadia mengerutkan dahinya, apa temannya tadi mengerjai dirinya? Ah, rasanya tidak mungkin, pria itu bukan tipe yang suka menjahili orang.

"Ah, aneh, apa-apaan sih, pake ngerjai segala!" decak Nadia sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Nadia melangkah pelan, memikirkan apa maksud anak itu mengerjainya sekaligus memalukannya. Nadia mengeram kesal, buru-buru ia melangkahkan kaki dengan cepat ingin melabrak lelaki tersebut.

Namun, baru dua langkah berjalan, tiba-tiba sesuatu menarik lengan Nadia, menyeretnya entah kemana. Nadia berbalik, sontak ia terkejut melihat tubuh Devan dari belakang.

"Le-lepas!" Nadia berusaha menyentak tangan keduanya agar saling terlepas. Namun, cekalan pria itu semakin kuat, membawanya masuk ke dalam ruangan yang hanya dibatasi sekat itu

"Duduk, Nad," titah Devan dengan lembut

"Enggak!"

"Ssssttt!!" refleks Devan menjulurkan jari telunjuknya dibibir mungil milik Nadia. Nadia terpaku, sejenak tatapannya memperhatikan ketampanan lelaki yang lebih tua tujuh tahun darinya. "Pelankan suaramu, tidak enak sama dosen lain," ucapnya dengan pelan

Nadia melengos, menepis jari lelaki yang sudah merengut kesuciannya ini. Bahkan, menyentuh kulitnya saja Nadia sudah merasa jijik. Nadia mundur selangkah, memberi jarak untuk keduanya. Untung saja ruangan ini cukup luas, sekitar 2x2 meter.

"Kalau tidak mau ketahuan, jangan simpan saya di sini! Anda mau memperko-

"Diamlah, Nadia! saya tidak ada maksud seperti itu."

"Duduk! dan makanlah ini, saya tahu kamu pasti sedang sakit dan tidak sarapan sebelum berangkat." Devan menyodorkan sekotak makanan yang ia dapatkan dari kafe miliknya. Tentu saja salah seorang pegawainya yang mengantarkan

Nadia menatap makanan itu, chicken katsu dengan dua saos yang menggoda, ini termasuk menu kesukaannya ketika singgah ke kafe milik majikannya ini.

Nadia masih diam membeku, berat sekali bokong ini untuk duduk dikursi yang telah disiapkan.

"Duduklah, sekalian ada yang mau saya bicarakan." titah Devan

"Tidak untuk saat ini. dan terima kasih atas makanannya. Saya mau ke kantin, teman-teman sudah menunggu, permisi!"

Nadia beranjak pergi tanpa ingin mengambil makanan yang Devan berikan. Devan terdiam, membiarkan gadis itu pergi tanpa mencegahnya. Mungkin bukan sekaranglah saatnya untuk memperbaiki hubungan mereka, Devan masih memaklumi jika Nadia sangat membencinya.

Lagi pula, jika pada akhirnya amarah Nadia meledak-ledak ditempat ini, pasti akan menimbulkan persepsi aneh dari dosen-dosen yang masih betah berdiam diri diruangan ini.

Devan menghela napas panjang, membuangnya dengan berat seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Sungguh, ia merasa amat bersalah telah bersikap kurang ajar malam itu. Apa lagi Nadia masih suci, kehormatan itu masih melekat pada diri gadis tersebut. Dan-dirinyalah yang malah merampasnya dengan kasar dan tanpa ampun.

"Semua ini gara-gara Karin!"

**

"Lama amat, Nad," ucap Rila kala melihat sahabatnya telah datang mendekat. Saking lamanya Nadia, terpaksa kedua gadis itu menahan hasrat untuk menyantap makanan yang menggoda dihadapannya

"Masa sih? Gue tinggal berapa menit?" tanya Nadia seraya menunduk menatap jam yang melingkar dilengan kirinya

"Setengah jam, tahu! emang sepenting apa urusan lo sama dosen itu?" tanya Nina, ingin tahu

"Hmmm," Nadia bergumam, bingung menjawab. "Cuma ngasih materi yang harus dibaca, soalnya nanti ada ulangan," ucapnya dengan alasan yang mengada-ngada

"Ulangan? kok mendadak?" sahut Rila

"Meneketehe! Udah ah, ayuk makan, gue lapar banget," Nadia langsung meraup sendok yang tersedia diatas meja

Selama menikmati hidangan, Nadia hanya menunduk dan fokus dengan santapannya. Nadia merasa takut jika teman-temannya menangkap kantung matanya yang sedikit membengkak karena habis menangis di toilet.

Ya, alasannya lama berada di kantor, bukanlah mengobrol banyak hal ataupun membahas perihal materi. Melainkan, setelah dari ruangan Devan, Nadia memilih pergi ke toilet untuk menumpah segala kekecewaannya, kebencian dan amarahnya.

☆☆

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!