NovelToon NovelToon

Dia Milikku (Mu)

ANAK-ANAK PLANKTON

"Congratulation!!!"

Semua orang bersorak dan bersulang. Dentingan gelas beradu menjadi alunan musik tersendiri di tengah pesta mewah yang telah menyita perhatian lebih dari setengah penduduk negeri ini.

Di atas podium dengan dekorasi yang indah bak di negeri dongeng. Sepasang pengantin tengah tersenyum, menutupi sesuatu yang tak banyak di ketahui oleh orang lain.

Sementara di sudut ruangan yang luput dari perhatian orang banyak, berdiri seorang pria dengan aura dingin yang mengelilinginya. Tangannya memegang segelas alkohol begitu erat hingga menimbulkan retakan pada gelas piala tersebut. Sorot matanya tajam hingga rasanya mampu untuk menghunus siapa saja yang ia tatap.

"Cukup sudah!" Geraman itu tertahan karena kewarasannya masih nyata terlihat saat ia menatap ke arah sepasang pengantin yang tengah berbahagia dari sudut pandangnya. "Aku selalu mengalah selama ini. Sekarang tidak lagi! Akan ku ambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku!"

PRANG ...

Akhirnya gelas itu hancur juga akibat tak mampu lagi menahan beban dari cengkraman tangan besar sang pria. Bersamaan dengan itu, mengalir darah segar yang menjadi jejak dari setiap langkah pria itu untuk merebut haknya kembali.

"Dia milikku, bukan milikmu ...."

***

"Sha ... Gil ... Biiiii ...."

Teriakan yang sama setiap paginya. Suara khas milik nyonya besar Stevano. Nyonya Lily Yovela Stevano. Wanita paruh baya bertubuh mungil dengan wajah lembut dan menenangkan. Namun, dengan bibir pedas dan pemikiran yang kritis. Ya, disanalah wanita penguasa keluarga Stevano itu tengah duduk dan menatap ke arah pintu kaca yang menghalangi dirinya dengan ketiga anaknya.

"Ck!!! Stop it, Mom! Jangan memanggil kami dengan sebutan seperti itu lagi!"

Itu Gil. Maichel Gilbert Kafeel. Sikap dingin dan cueknya memberi warna tersendiri di dalam keluarga besar Stevano.

Berbeda dengan Gilbert, di sampingnya sudah berdiri si sulung yang selalu memperlihatkan garis senyumnya yang menawan. Shaka Ryuichi Stevano. Mata biru dan rahangnya yang kokoh selalu menjadi kebanggaan tersendiri baginya.

"We are coming, Mommy!" sahut Shaka seraya merangkul bahu adiknya yang memasang wajah kesal.

Melihat kedua putranya datang membuat Lily mengulum senyuman dengan kebahagiaan yang tak bisa di sembunyikan.

"Dimana adik kalian?" tanya Lily, ketika tubuh besar kedua putranya sudah mendekat padanya.

Shaka dan Gilbert saling berpandangan dan menautkan kedua alis mereka secara bersamaan. Keduanya tiba-tiba bergerak ke samping dan memberi ruang bagi seseorang untuk muncul ke hadapan ibu mereka.

"I am here, Our Pretty Mommy!"

Gadis cantik bermata biru itu berhambur memeluk tubuh mungil sang ibu yang nyaris terjerembab. Beruntung, lengan kekar kedua putranya mampu menahan tubuh mungil ibu ratu.

"Bi!!!" bentak kedua kakak beradik itu kompak.

Yang mendapatkan bentakan itu justru tersenyum dan melingkarkan kedua tangannya di leher sang ibu. "Sorry, Mom! Aku tidak sengaja."

Nyonya besar Stevano tersenyum dan mengusap lembut pipi putrinya itu. "Lain kali, jangan melakukan hal seperti itu! Kau itu sudah dewasa, Bi."

Bi adalah panggilan sayang untuk putri bungsu keluarga Stevano. Berciia Kafeela Stevano. Wajah cantiknya merupakan perpaduan dari ayah dan ibunya. Bola mata dan warna kulit yang di turunkan dari sang ayah, sedangkan sisanya adalah warisan dari sang ibu.

"Of course, Mom! Cup!" jawab Bi, di iringi sebuah kecupan di pipi ibunya.

"Semudah itu, Mom?" tanya Gilbert ketus.

Lily menatap lembut putra keduanya itu. "Adikmu sudah menyesal dan meminta maaf, Gil. Jadi, apa lagi yang harus Mommy lakukan?"

Gilbert berdecak dan membalikkan tubuhnya. Berniat untuk meninggalkan ibunya yang tak pernah menganggap serius setiap perkataannya.

"Tunggu, Gil!" seru Lily, begitu tubuh Gilbert mencapai ambang pintu.

Tak ada jawaban dari mulut Gilbert. Hanya tatapan seolah menunggu kalimat berikutnya dari sang ibu.

"Pergilah bersama kakakmu ke kantor! Daddy menunggu kalian disana." Lily sudah akan menghampiri putranya itu, tapi urung ia lakukan saat Gilbert terdengar mendesah kesal.

"Mom, tanggung jawabku sudah banyak! Apakah Shaka saja tidak cukup untuk membantu Daddy?" sungut Gilbert, kemudian kembali melangkah tanpa menunggu jawaban dari ibunya.

Ada kesedihan yang nampak jelas di mata Lily. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, jika putra keduanya akan sedingin itu padanya.

"Mommy?" Sentuhan di bahunya membuat Lily terkesiap dan menatap wajah maskulin putra sulungnya. "Jangan di ambil hati apa yang di katakan Gil! Dia hanya sedang banyak pekerjaan di kantor, Mom. Aku akan bicara pada Daddy untuk menyelesaikan masalah ini."

Wajah dan senyuman Shaka, di wariskan langsung oleh daddynya. Daffin Miyaz Stevano. Terkadang, ketika menatap Shaka rasanya Lily seperti sedang melihat suaminya di masa lalu.

"Terima kasih, Sayang," ucap Lily lembut.

Shaka menatap lekat wajah ibunya yang menenangkan. Ada banyak hal yang sebenarnya ingin ia katakan, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat.

'Sepertinya aku harus menunda untuk membicarakan hal ini dengan mommy ...'

***

Ruang CEO DS Corp kini telah mengalami banyak perubahan. Ada banyak hal baru yang menggantikan hal-hal yang telah usang tergerus zaman.

"Morning, Dad!" sapa Shaka, begitu membuka pintu ruang kerja sang ayah.

Tuan besar Stevano yang sedang sibuk memeriksa beberapa berkas di mejanya pun langsung mendongak ketika mendengar suara khas putranya.

"Hai, Son! Apakah kau sudah sarapan?" tanya Daffin seraya menutup berkas di tangannya.

Shaka menghela nafas dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Aku sudah sarapan emosi pagi ini, Dad!"

Daffin mengernyit mendengar jawaban putranya itu. "Something happened?"

"Not something, Dad, but many things!" sergah Shaka, tanpa menatap wajah ayahnya yang kini terkejut bukan main.

"Aku harus menghubungi nyonya Stevano," gumam Daffin.

Shaka akhirnya menoleh dan melihat ayahnya sedang mencoba menghubungi seseorang yang ia duga adalah ibunya. "Tidak perlu, Dad! Mommy baik-baik saja, tapi akan tidak baik-baik saja jika Daddy menghubunginya."

"Maksudmu? Aku hanya akan menambah masalah untuknya?" tanya Daffin sinis, merasa di pandang sebelah mata oleh putranya sendiri.

Shaka memutar bola matanya jengah. "Kau tahu bukan itu maksudku, Dad! Kenapa kau selalu salah paham pada setiap ucapanku?"

"Itu karena kau selalu menyampaikan segala hal tanpa menjelaskannya!" sahut Daffin, nada bicaranya tak kalah tinggi dengan Shaka.

"Gil bahkan bicara lebih sedikit dariku, Dad, tapi kau mengerti setiap ucapan dan tindakan yang dia lakukan tanpa harus meminta penjelasan." Shaka melirik tajam ayahnya yang kini tengah kebingungan.

"Tell me!" Daffin mendekat dan duduk di samping Shaka yang sepertinya sedang dalam suasana hati yang kurang baik.

Lagi, Shaka menghela nafasnya. Melepaskan sedikit beban di hatinya agar bibirnya mampu mengutarakan segala rasa yang ada di hatinya kepada sang ayah.

"Dad?" Shaka mulai menimbang, apakah keputusannya kali ini benar. Di lihatnya sang ayah yang kini sedang menatapnya. Menunggunya untuk berbicara. "Aku ingin bicara sebagai seorang pria dewasa. Dan aku hanya percaya padamu. Walaupun sebenarnya aku sedikit ragu ...."

Senyuman Daffin yang awalnya tersungging dengan indah, perlahan menghilang karena kalimat terakhir yang di ucapkan putranya.

"So?" Daffin menaikkan sebelah kakinya untuk bertumpu pada kakinya yang lain. "Jika kau tidak percaya padaku, lalu kenapa tidak bicara pada Mommy seperti biasanya?"

Ada setitik luka di hati Daffin setiap kali mengingat jarak yang di buat oleh Shaka untuk dirinya. Selama ini, putra sulung keluarga Stevano itu seolah tidak ingin berada di dekat ayahnya. Mereka bagaikan bulan dan matahari yang tak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa bersanding. Keduanya terpisah jarak yang terasa begitu jauh. Tak jarang, mereka hanya saling menatap dan bicara seperlunya menyangkut pekerjaan.

Shaka menyandarkan punggung tegapnya ke sofa serta menjatuhkan kepalanya pada sandaran sofa. "Andai aku bisa, Dad."

"Kau membuat kesalahan?" tanya Daffin, sebenarnya lebih kepada sebuah tuduhan.

Sudut mata Shaka membantah kata-kata ayahnya dengan tajam. "Aku sempurna! Kau tahu itu."

Daffin tertawa seraya menggelengkan kepalanya. Melihat sikap Shaka selalu membuatnya merasa sedang bercermin.

"Aku tahu! Lalu, kenapa kau tidak bisa bicara pada Mommy?" Daffin mengambil ponselnya dan menekan sebuah nomor yang selalu berada di urutan paling atas.

Tut ... Tut ... Klik ...

"Dad, aku -"

"Hallo, My Starfish! Sedang apa? Apa kau sibuk?" Daffin melihat Shaka yang terkejut bukan main dari sudut matanya. "Tidak! Aku hanya sedang berdiskusi dengan putramu. Dia ingin aku menyampaikan sesuatu padamu, Nyonya Stevano."

Bola mata Shaka nyaris saja melompat keluar saat Daffin menyerahkan ponselnya. "Ha- Hallo, Mom!"

Dengan santainya Daffin berjalan dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Tak peduli jika putranya kebingungan untuk mencari alasan agar bisa mengelabui ibunya.

"Iya, Mom. Maaf aku sedang meeting dengan Daddy." Shaka melemparkan tatapan kesalnya pada Daffin yang tidak terpengaruh sedikitpun. "Baiklah! Aku dan Daddy akan pulang tepat waktu. Bye, Mommy!"

Shaka meletakkan ponsel ayahnya ke atas meja dengan kasar. Setelahnya, pergi tanpa berpamitan kepada ayah sekaligus atasannya itu.

"Maaf, tapi aku masih belum bisa menghilangkan rasa bersalahku setiap kali aku menatapmu, Shaka ...."

Hallo semuanya 🤗

Apa kabar 😚 Semoga sehat selalu 🤗

Akhirnya setelah ribuan purnama, author amburadul kembali lagi dengan telur-telur Plankton dan Starfish 🥳

Sampai sini gimana nih? Lanjut gak😉

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian 'ya ❤️

ALASAN BAHAGIA

Sebuah papan besar bertuliskan "Panti Asuhan Kencana" menjadi tempat tujuan Gilbert pagi ini. Bukan hanya sekedar kegiatan sosial, melainkan hatinya ingin menemui seseorang yang selalu membuatnya ingin kembali ke tempat ini.

"Selamat pagi, Kakak!"

Suara riang anak-anak menyambut kedatangan Gilbert dengan penuh suka cita, tapi lagi-lagi bukan itu yang Gilbert harapkan. Namun, kakinya tetap melangkah dan membuka tangannya untuk menerima pelukan dari semua anak yang menyambutnya.

Begitu semua anak panti pergi setelah mendapatkan pelukannya, barulah sosok seseorang yang di nantikan terlihat. Gadis cantik dengan wajah yang lembut dan sikap yang pemalu berjalan menghampiri Gilbert. Di tangannya ada sebuah nampan berisi teh hangat dan juga biskuit.

"Selamat pagi, Tuan Gilbert!" Satu kata terlontar dari bibir manis gadis itu.

Gilbert berdecak cukup nyaring. "Cukup panggil aku Gil atau Gilbert saja! Apa kau lupa?"

Gadis itu menggeleng. "Tidak, tapi aku tahu bahwa kau pemilik tempat ini! Aku harus menghormatimu, Tuan."

"Terserah kau sajalah!" Gilbert mengambil teh yang di letakkan gadis itu di dekatnya. "Aku suka teh buatanmu. Rasanya mirip seperti buatan ibuku."

Setiap kali mengingat ibunya, Gilbert pasti akan merasa hatinya menghangat. Namun, sikap sang ibu yang lebih menyayangi kakaknya membuat Gilbert perlahan menjauh dan memberi jarak yang tanpa sadar telah memisahkan keduanya begitu jauh.

Senyuman seketika mengembang di wajah gadis cantik itu saat mendengar pujian Gilbert. Ia lantas mengambil posisi di seberang Gilbert dengan memangku nampan di atas pangkuannya.

"Maaf jika aku lancang, Tuan, tapi aku merasa jika -" Ucapan gadis itu berhenti saat pandangan Gilbert naik dan bertumpu padanya.

"Jika apa?" Gilbert bertanya dengan wajah datar. Terlihat sedikit guratan di dahinya yang menandakan bahwa ia cukup penasaran dengan apa yang akan di sampaikan gadis di hadapannya kini.

Kepala gadis itu menunduk. Ia tak lagi memiliki keberanian untuk menatap sepasang mata yang penuh dengan ketegasan itu.

"Shahnaz! Aku bicara padamu." Gilbert meletakkan cangkir di tangannya, sebelum melipat kedua tangannya di depan dada.

Shahnaz. Gadis cantik yang usianya sama dengan Berciia membuat Gilbert selalu ingin menjaganya seperti ia menjaga adiknya selama ini. Terlebih Shahnaz adalah gadis malang yang di tinggalkan orang tuanya sejak ia dilahirkan. Kisah hidup Shahnaz yang serupa dengan ibunya, menambah satu alasan lagi bagi Gilbert untuk melindungi gadis itu. Setidaknya untuk saat ini! Lagi-lagi ibunya menjadi alasan bagi Gilbert untuk berbuat kebaikan. Sayangnya, hal itu tak pernah terlihat oleh wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.

"Ma- Maaf, Tuan, saya hanya ...," Shahnaz menarik nafasnya sedalam mungkin agar bisa melanjutkan kata-katanya. "Hanya ingin mengatakan jika Anda terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu." Shahnaz mengangkat sedikit pandangannya untuk melihat perubahan raut wajah Gilbert. Namun, pria itu hanya memasang wajah datar dengan aura yang kurang menyenangkan di sekelilingnya.

Tatapan Gilbert lurus ke depan. Tepatnya pada sosok Shahnaz yang terlihat salah tingkah setelah mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Sebenarnya, Gilbert tidak marah atau apapun itu. Ia hanya tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap gadis itu. Setiap kali berada di dekat Shahnaz, Gilbert merasa menjadi seorang pria bodoh. Aneh memang!

Tiba-tiba Gilbert tertawa setelah cukup lama terdiam. Rahangnya yang tegas sedikit mengendur di barengi dengan binar keceriaan di sepasang mata hitamnya. "Kau ini bagaimana, Shahnaz! Tentu saja setiap hari aku berpikir. Setiap detik bahkan, kecuali saat aku sedang tertidur."

"Anda benar, Tuan." Shahnaz mencoba tertawa meski terasa hambar karena ia memang tidak mengerti apa yang sebenarnya di tertawakan oleh pria tampan dihadapannya ini.

Dari arah belakang terdengar suara langkah kaki seseorang di tengah kecanggungan yang terjadi antara Shahnaz dan Gilbert. "Gil? Oh, astaga cucuku yang tampan."

Gilbert lantas berdiri dan memeluk sosok wanita tua yang berjalan menghampirinya. "Apa kabar, Nenek Ratih?"

Wanita tua itu tidak lain adalah nyonya Ratih Kafeel. Istri dari mendiang Reinhard Kafeel. Paman dari Lily Stevano.

Ratih memperlihatkan senyumnya yang tak pernah berubah meski usia senja sudah menghampirinya. "Aku baik. Bahkan, sangat baik. Terlebih saat aku melihatmu."

Gilbert lagi-lagi tertawa. Entahlah, apa yang sebenarnya membuat pria dingin itu begitu mudah tertawa hari ini.

"Kalau begitu, saya permisi ke belakang, Tuan, Nyonya." Shahnaz membalikkan tubuhnya tanpa menunggu jawaban dari Gilbert ataupun Ratih.

Mata Gilbert tak lepas dari sosok Shahnaz yang menghilang di balik dinding menuju halaman belakang. Hal itu di sadari benar oleh Ratih yang lantas menepuk bahu Gilbert untuk menarik kembali kesadaran cucunya itu.

"Kau menyukainya?" Ratih bukan sedang bertanya, tapi ia sedang menegaskan dugaannya.

Gilbert tersenyum dengan wajah merona, tapi ia tidak memberikan jawaban apapun.

"Jika kau menyukainya, cepat katakan! Jangan menunggu takdir mempermainkan dirimu!"

***

Siang hari yang lengang di rumah besar Stevano. Langkah kaki yang menapaki anak tangga begitu nyaring terdengar karena tidak ada siapapun di rumah itu, selain nyonya Stevano tentunya.

"Hah!" Lily menghembuskan nafasnya. Matanya menyapu seluruh ruangan yang kini terasa begitu sepi. Sebelumnya, rumah besar ini akan sangat ramai setiap harinya. Tapi kini, semuanya telah berubah. Ketiga anaknya yang biasanya membuat kehebohan sudah beranjak dewasa dan memiliki kesibukan masing-masing. Begitu juga dengan kedua orangtuanya dan juga ayah mertuanya yang telah tiada. Di tambah belum lama ini, pamannya juga telah meninggalkan dunia ini untuk selamanya. "Ayah, Ibu, Daddy, Om Rei, aku merindukan kalian semua ...."

Tanpa sadar, langkah Lily sudah membawanya ke sebuah potret berukuran cukup besar yang tergantung rapih di salah satu sudut rumahnya. Disana terlihat jelas betapa bahagianya ia bersama seluruh keluarganya saat hari ulang tahun Berciia yang pertama. Semuanya begitu sempurna. Namun, lambat laun semua kebahagiaan itu meninggalkan dirinya. Ya, memang tidak semuanya! Lily masih memiliki Daffin dan juga ketiga anaknya yang sangat sibuk.

"Aku ingin menyusul kalian saja. Aku kesepian," ucap Lily begitu lirih. Suaranya nyaris tercekat karena desakan air mata. Entah mengapa, akhir-akhir ini ia begitu merasa kesepian dan juga di tinggalkan. "Apa yang kau pikirkan, Lily? Hidupmu begitu sempurna hingga hari ini. Kau hanya perlu sedikit kesibukan sepertinya." Tangan Lily menghapus air mata yang sayangnya tidak ingin berhenti mengalir.

"Kesibukan seperti apa yang kau inginkan, Nyonya Stevano?" Sepasang tangan besar sudah melingkar di tubuh Lily bersamaan dengan hembusan hangat di telinganya.

Lily memejamkan matanya dan tersenyum, sebelum menggelengkan kepalanya. "Berhenti bersikap mesum, Tuan Plankton!"

Daffin membalikkan tubuh Lily sehingga kini mereka sudah berhadapan. "Mesum?"

Kepala Lily mengangguk. Namun, ia tahu pasti jika setelah ini suaminya akan mengejek dirinya. Seperti yang biasa ia lakukan.

Tangan besar Daffin menyelipkan rambut Lily di kedua telinganya, kemudian bibirnya mendarat di kening sang istri. "Otak kecilmu ini yang sudah di penuhi oleh pemikiran mesum."

Benar bukan? Daffin pasti akan mengatakan hal itu. Ia sangat suka memancing amarah istrinya yang memang terkenal mudah marah.

"Aku sedang memikirkan hal yang lebih penting daripada hal-hal mesum, Daffin!" Lily mencubit perut Daffin dengan gemas. Beruntung, sekarang tubuh suaminya itu tidak sekekar dulu sehingga ia bisa dengan mudah mencubitnya.

Pekikan kesakitan dari bibir Daffin justru memancing tawa Lily yang mana membuat dirinya begitu bahagia.

'Bahagialah selalu, My Starfish! Kebahagiaanmu adalah alasan bagiku untuk tetap hidup ...'

Hallo semuanya 🤗

Stay healthy and happy 😘

MAKAN MALAM

Keceriaan dan kebahagiaan akan begitu lengkap terasa saat orang yang dicintai senantiasa berdiri dengan tegak di sisi.

Gelak tawa yang tercipta dari bibir tipis menggoda yang selama ini menemani setiap langkah perjalanan, nyatanya tak pernah mendatangkan perasaan jenuh sedikitpun.

PLAK ...

Tangan mungil Lily mendarat di lengan Daffin yang masih terlihat kekar di usianya yang mulai menua. "Daffin!!!"

"Astaga, Nyonya Stevano! Kebiasaanmu itu." Daffin mengusap lengannya yang terasa panas. Ya, memang tidak sepanas itu!

"Kau yang memancingku melakukan itu!" sungut Lily, tak terima jika suaminya mengingatkan ia akan perilaku buruknya yang satu itu.

Daffin terkekeh dengan gerakan kedua alisnya yang naik turun. "Bagaimana caraku memancing bintang laut? Aku hanya tahu cara memancing ikan. Oh, aku lupa! Kau juga bisa berubah menjadi ikan buntal. Hahaha ...."

Betapa kesalnya Lily saat melihat kedua pipi Daffin menggembung untuk mengejeknya. Dengan cepat gerakan tangannya mencubit kedua pipi Daffin yang langsung menjerit karena terkejut.

"Rasakan!!!" Lily menatap tajam ke arah Daffin yang kesakitan tanpa rasa kasihan sedikitpun. "Aku sedang memikirkan hal penting, tapi kau terus saja menggangguku."

Daffin mengernyitkan dahinya. "Hal apa yang lebih penting daripada aku, Nyonya Stevano?"

"Tentang anak-anak," jawab Lily ambigu.

Sepertinya jawaban Lily kurang jelas karena Daffin justru melingkarkan tangan besarnya di pinggang sang istri. "Kau ingin menambah anak, Nyonya Stevano?"

Tangan Lily yang terangkat untuk kembali mencubit langsung di raih Daffin. "Daffin, lepaskan!"

"Akan aku lepaskan, saat kau setuju untuk memberi Bi seorang adik." Daffin mengecup tangan Lily penuh cinta.

"Tidak, Daffin! Sudah saatnya kita memiliki cucu, bukannya menambah anak lagi." Lily mencoba menarik tangannya, tapi tak bisa karena Daffin menggenggamnya dengan erat.

"Cucu? Dari siapa?" Daffin masih belum memahami arah pembicaraan sang istri.

Lily berdecak kesal. "Entahlah! Mungkin Shaka, Gil, atau mungkin Bi lebih dulu. Walaupun aku sebenarnya ingin mereka menikah sesuai usia mereka dan tidak saling mendahului."

"Biarkan mereka menentukan masa depan mereka, Nyonya Stevano. Kita tidak perlu ikut campur." Daffin mengecup puncak kepala Lily.

"Tapi, Daffin, aku tidak yakin Shaka akan menikah jika tidak dipaksa dan juga Gil -" Lily terpaksa menghentikan ucapannya saat Daffin memilih untuk menggunakan bibirnya untuk membungkam mulut pedas istrinya itu.

"Ck ... Ck ... Ck ...," Decakan nyaring yang berasal dari arah pintu utama menarik perhatian keduanya. Di sana, sudah berdiri si bungsu Berciia dengan wajah jengah. "Mommy dan Daddy sudah tidak pantas bertingkah seperti itu."

Raut wajah Lily seketika berubah ketika melihat putrinya mendekat. "Apakah Mommy sudah melewatkan jam makan malam?"

"Mom ...," geram Berciia. Mengerti maksud sang ibu yang hanya menggunakan kata-kata bermakna sindiran untuk dirinya.

"Sudah! Sudah!" Daffin merentangkan tangannya dan memeluk Berciia sesaat. "Kebetulan Bi pulang cepat hari ini. Bagaimana jika kita makan malam bersama?"

Lily hanya mengangkat bahunya seraya berjalan ke arah halaman belakang rumahnya. Sementara, Daffin dan Berciia saling pandang sebelum menghela nafas bersama.

"Dad, tugasmu." Berciia mendorong punggung kokoh ayahnya ke arah yang sama dengan ibunya.

Daffin menoleh sedikit pada putrinya. "Bukankah ini tugas kita bersama?"

"No, Daddy! Menaklukkan mommy adalah keahlianmu."

***

Matahari sudah mulai kembali ke peraduannya. Meninggalkan pancaran jingga yang menyilaukan mata dengan keindahannya. Namun, seorang pekerja keras yang bahkan tak memiliki alasan untuk pulang tak pernah peduli dengan semua itu.

Tok ... Tok ...

Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasi seorang pria yang tengah larut dalam pekerjaannya.

"Masuk!" Suara khas bariton itu memberi izin pada seseorang di balik pintu ruang kerjanya.

"Tuan Shaka, apa Anda ingin saya pesankan makanan untuk makan malam?" Pertanyaan yang sederhana, tapi mampu menarik pandangan sepasang mata biru itu.

Shaka menegakkan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di kursi. "Tidak, terima kasih. Kau pulang saja! Aku juga akan pulang cepat hari ini."

"Baik, Tuan."

Begitu pintu kembali tertutup, Shaka memejamkan matanya sesaat. Pikirannya melayang entah kemana hingga ponselnya berdering yang menandakan pesan masuk.

"Mommy?" gumamnya, kemudian membaca pesan yang dikirimkan oleh sang ibu. "Makan malam bersama? Dalam rangka apa?" Dahinya berkerut memikirkan apa yang sedang terjadi atau mungkin saja akan terjadi pada acara makan malam kali ini.

Meskipun belum menemukan jawaban atas pertanyaannya, tapi Shaka tetap bersiap untuk pulang. Lagipula, ia juga ingin membicarakan sesuatu dengan kedua orangtuanya. Terlebih kepada ibunya. Tekadnya sudah bulat. Ia akan berbicara pada ibunya malam ini. Sudah terlalu lama ia menundanya.

***

Suasana ruang makan rumah besar Stevano terasa berbeda malam ini karena seluruh keluarga Stevano sudah berkumpul di meja makan.

"Dimana, Gil?" Daffin mengedarkan pandangannya saat tak melihat putra keduanya itu di meja makan.

Berciia meletakkan ponselnya ke atas meja dan menatap kedua orang tuanya bergantian. "Kak Gil mengatakan jika dia akan datang terlambat. Kita bisa memulai makan malam tanpa dirinya."

Daffin menghela nafas berat, terlebih saat ia melirik Lily dari sudut matanya. Wanita itu terlihat seperti akan menelan siapa saja yang ada di dekatnya. "Baiklah! Kalau begitu, kita mulai makan saja. Gil akan menyusul nanti."

Walaupun Daffin sudah memberikan perintah seperti itu, tapi kenyataannya ia juga tidak berniat untuk menyentuh makanan yang ada di depannya. Hal itu membuat kedua anaknya menautkan alis mereka.

"Dad?" Berciia yang memilih untuk bersuara.

Tidak ada jawaban, melainkan hanya gerakan ekor mata Daffin yang menunjuk ke arah Lily.

Shaka yang melihat hal itu pun, akhirnya berdiri dan menukar posisi duduknya dengan Berciia. "Mom, ayo, makan!"

Lily memaksakan senyumnya. "Kalian makan saja! Mommy sedang tidak ingin makan."

Hah!

Ketiganya menghela nafas panjang dan saling berpandangan. Bagaimana mereka bisa makan jika nyonya besar Stevano tidak makan? Bukankah segala sesuatu yang terjadi di rumah ini atas kehendaknya?

"Mom, Gil akan datang sebentar lagi. Dia sudah mengatakan itu. Pasti dia akan menepati janjinya." Shaka masih mencoba untuk membujuk ibunya yang keras kepala.

Bukan lagi menjadi rahasia jika seorang Lily Stevano memiliki sifat yang keras dan kekanak-kanakan. Tak jarang, ketiga anaknya harus mengalah pada setiap keputusan yang di buat olehnya. Namun, mereka semua tahu jika Lily adalah ibu yang terbaik. Ia hanya memiliki cara yang berbeda dengan wanita kebanyakan untuk menyayangi anak-anaknya.

"Dia tidak menepatinya pun tidak masalah. Mommy hanya sedikit, sedikit saja merasa kecewa padanya." Lily kembali menarik senyuman di wajahnya. "Kalian makanlah! Mommy hanya takut berat badan Mommy akan naik."

Bohong! Jelas itu sebuah kebohongan. Tanpa dijelaskan sekalipun, semuanya sudah tahu jika itu hanya alasan Lily saja untuk menutupi kesedihannya.

Entahlah! Apa yang sebenarnya terjadi antara Lily dan putra keduanya itu? Mereka saling menyayangi, tapi seolah berjarak. Semakin Lily mencoba untuk berbicara dengan Gilbert, semakin putranya itu tidak bisa memahami dirinya. Mungkin sifat keras kepala keduanya yang sulit untuk disatukan.

"Nyonya Stevano, aku rasa akan baik jika berat badanmu bertambah." Daffin menggembungkan pipinya sesaat. "Kau akan semakin menggemaskan."

Tatapan tajam itu tak bisa terelakkan. "Aku tidak ingin jadi ikan buntal!"

"Ya! Ya, Baiklah! Kau jadilah bintang lautku selamanya." Daffin tertawa begitu lepas, terlebih saat Lily benar-benar tanpa sadar menggembungkan pipinya.

Shaka dan Berciia hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah kedua orangtuanya. Di usia keduanya yang tak lagi muda, tapi mereka masih sering bercanda dan tertawa bersama seperti anak remaja.

"Keluarga yang sangat bahagia, meski tanpa aku!" seru seseorang yang melangkah menuju meja makan terdengar di tengah tawa Daffin dan kedua anaknya

Tatapan semuanya tertuju pada sosok Gilbert yang baru saja datang bersama seseorang. Untuk sesaat hanya ada kebisuan hingga terdengar isak tangis Lily yang berhambur ke pelukan seseorang di samping Gilbert.

"Aku rindu, Tante." ungkap Lily di sela isak tangisnya. "Kenapa tidak memberi kabar jika akan datang? Aku dan Daffin bisa menjemput Tante." protesnya, saat melepaskan pelukannya.

Ya! Seseorang yang di bawa Gilbert pulang malam ini adalah Ratih. Wanita yang juga memiliki arti penting dalam kehidupan ibunya.

"Aku tidak ada niat untuk datang, tapi Gil yang mengajakku untuk ikut bersamanya. Dia mengatakan jika keluargamu akan makan malam bersama." Ratih membelai lembut rambut Lily.

Lily tersenyum. Kali ini senyuman bahagia dan bukan karena terpaksa. Ia menatap putranya yang baru saja melepaskan jasnya dan menggulung lengan kemejanya.

"Terima kasih, Sayang," ucap Lily saat pandangannya beradu dengan Gilbert.

Gilbert membalas tatapan ibunya untuk sesaat. "Biasa saja, Mom. Jangan berlebihan!"

Hah? Apa ini? Suasana haru yang sempat tercipta seketika hilang karena jawaban dingin dari putra kedua keluarga Stevano.

'Rasanya aku ingin memasukkanmu ke dalam botol dan melemparnya ke tengah lautan, Plankton kecil ....'

Hallo semuanya 🤗

Stay enjoy dan jangan lupa jejaknya ❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!