NovelToon NovelToon

Buronan Tampan

Dikejar Polisi

Bag

Big

Bug

Pukulan bertubi-tubi melayang pada wajah seorang lelaki berseragam abu-abu tua dengan celana berwarna coklat tua pula. Kopel hitam melingkar posesif di perutnya yang buncit. Baret cokelat berlambangkan padi dan kapas terpasang ketat di kepala.

Termakan usia, lelaki itu sebenarnya tampak lebih senior dibandingkan yang lainnya. Namun, dia tetap bersemangat menjalankan tugas demi menangkap seorang pemuda yang baru saja dilaporkan seorang saksi atas kasus pembunuhan.

Seorang pemuda berhidung mancung, bermata tajam, alis dan bibir tebal, serta brewokan, tampak sedang berdiri dengan kuda-kuda sempurna. Pukulan yang dilayangkannya tadi benar-benar telak mengenai lawan. Bahkan pak polisi dengan gelar perwira dua itu berhasil dibuatkan terkapar di tepi jalan.

BRUUUGH

Si petugas berperut buncit langsung tak sadarkan diri.

"Tangkap dia!" teriak salah seorang polisi yang perawakannya lebih muda. Ia mengerahkan beberapa anggota polisi junior untuk melumpuhkan pertahanan pemuda itu, lalu menjebloskannya ke dalam penjara--niatnya.

Alih-alih melawan, pemuda itu malah pergi dengan gerakan cepat karena khawatir akan tertangkap. Sebelumnya ia sempat berpikir bahwa sekuat dan seperkasa apa pun dirinya, tetap saja tidak akan bisa melumpuhkan semua anggota polisi yang jika tidak salah hitung berjumlah sekitar satu peleton.

"Lari kemana dia?"

Anggota polisi yang lebih dulu tiba di tepi jalan raya tampak kelimpungan, karena kehilangan jejak buronannya.

"Itu dia!"

Salah seorang dari mereka menangkap pergerakan pemuda itu yang saat ini sedang menaiki sebuah jembatan penyeberangan. Hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang tak membuat pergerakannya terhambat. Dengan lihai ia menaiki satu per satu anak tangga hingga mencapai atas.

Tak ingin kehilangan jejak untuk yang kedua kalinya. Sebagian dari anggota kepolisian itu menunggu di ujung jembatan sebelah Utara, dan sebagiannya lagi berjaga di ujung selatan.

"Sial!" umpat pemuda itu karena sekarang posisinya sudah terjepit. Jika ia berlari ke kanan, maka akan tertangkap. Sedangkan, jika ia berlari ke kiri, maka akan disergap.

Dalam kondisi genting, tiba-tiba kedua netra tajamnya menangkap kelebat sebuah truk besar yang melintas dari arah timur. Dengan keberanian yang cukup besar, akhirnya ia memutuskan untuk terjun bebas ke dalam bak truk--itu baru rencananya.

Namun, akal pikiran pemuda itu seolah telah terbaca oleh beberapa anggota yang sudah berpengalaman dalam mengejar buronan. Dua orang pemuda berseragam dari arah kiri dan kanan bergerak cepat ke arahnya dengan todongan senjata mengarah ke depan.

Pemuda brewokan itu sudah berdiri pada besi pengaman jembatan, siap untuk terjun. Namun, karena dua orang polisi itu lebih dulu sampai di posisinya berdiri, alhasil pemuda itu gagal melompat. Ia pun jatuh karena terdorong, kemudian bergelantungan pada penyangga yang terbuat dari besi.

"Aaaarrgh!"

Teriakan histeris dari beberapa pengguna jembatan penyeberangan menambah kegugupan pemuda tersebut.

Truk yang tadinya menjadi sasaran terjun, kini sudah melewatinya. Sekarang rencananya gagal total.

Kaki masih menjulur ke bawah, sementara tangan masih kokoh menggenggam besi, sehingga menampakkan urat-urat besar pada otot kedua tangannya. Ia masih bertahan.

Berdecak kesal, pemuda itu terus melihat ke bawah, mencari sasaran lain, namun tak kunjung ditemukan. Sementara beberapa anggota polisi sudah menunggunya di atas jembatan bersiap menembakkan peluru jika ia berani terjun bebas.

"Jangan bergerak!" instruksi salah seorang polisi. Todongan senjatanya tak lepas sama sekali.

Mendengar sebuah instruksi yang diarahkan padanya, pemuda itu sontak mendongak seraya berkata, "Sampai jumpa kembali, Komandan!"

Setelah mengatakan kalimat itu, ia pun melepaskan kedua tangannya dari besi pengaman. Tubuhnya langsung melayang, dan mendarat sempurna pada atap mobil sedan berwarna hitam mengkilat yang entah datangnya dari mana.

BRAAAK

Kelakuan si pemuda sontak membuat sang pengemudi sedan tersentak. Kepalanya refleks mendongak dengan kedua alis bertautan.

Apakah mobilnya kejatuhan durian runtuh? Mungkin seperti itu pikirnya.

Sedikit terusik, arah kemudi pun langsung melenceng dari garis awal. Tikungan di depannya menjadi jalan alternatif untuk mengecek apa sebenarnya yang mendarat telak di atas atap mobilnya.

Seorang gadis bermata bulat dengan bibir mungil langsung menepikan kendaraannya, ketika kemudinya sudah memasuki kawasan sepi. Ia melepas sabuk pengaman, lalu keluar dari mobil.

"Hei!"

Gadis itu tak segan-segan meneriaki pemuda tadi yang dengan berani menjadikan atap mobilnya sebagai tempat pendaratan.

"Kau pikir mobilku ini bandara darurat?" pekiknya seraya memelototi pemuda tersebut. Kedua tangan dibuat berkacak pinggang. Persis seperti posisi seorang preman pasar.

Si lawan bicara masih enggan berpindah tempat. Wajahnya seakan terpana dengan pemandangan indah di hadapan.

Sungguh sempurna ciptaan Tuhan, mungkin begitulah isi kepalanya.

Selama si gadis mengomel tanpa jeda, si pemuda malah asik memandangi bibir mungil yang tak berhenti mengucapkan banyak kata. Semilir angin yang membelai rambut depannya yang sedikit panjang membuat ia semakin lena dalam geming.

Ia terpesona.

Ia terkesima.

Sekarang, mata bulat dengan netra bening gadis itu menjadi sasaran pandangnya. Bisa ia tangkap kebeningan netra gadis itu melebihi embun yang jatuh di pagi buta.

Rambut panjang ikal si gadis yang tertiup angin membuat pergerakannya tampak sangat lamban di pelupuk mata. Pemuda itu kembali mengedipkan kedua netra seraya tersenyum tipis.

Inikah rasanya jatuh cinta? pikirnya.

"Itu dia, tangkaaap!"

Suara gerombolan petugas kepolisian sukses membuyarkan lamunannya. Untuk sesaat ia sempat melupakan bahwa diri adalah seorang buronan.

Dalam sekali hentakan, tubuhnya berpindah tempat. Melompat dengan lincah untuk mencapai daratan. Tangan sigap menggandeng lengan gadis di hadapan, lalu mendorongnya masuk ke kursi penumpang bagian depan. Sementara ia memutar posisi, lalu duduk di kursi kemudi.

"Hei, lancang sekali kau!" sergah gadis itu seraya menatap pemuda di sampingnya dengan penuh amarah.

Yang semakin membuatnya kesal adalah pemuda itu tak sedikit pun menggubris ocehannya. Ia malah terus menjalankan mobil dengan kecepatan penuh.

"Hei, kau sedang menculikku?" tanyanya dengan wajah yang mulai panik. "Tolong! Tolong! Aku diculik di dalam mobilku sendiri!" pekiknya sambil menggedor-gedor kaca jendela.

Pemuda itu sedikit melirik tingkah absurb si gadis dari ekor matanya. Tampak lengkungan tipis terbentuk di kedua sudut bibirnya.

Gadis barbar, komentarnya dalam hati.

Selagi ia mempercepat laju mobil, semakin gadis itu berteriak histeris.

"Kau, berani sekali kau menculikku!" Tak segan-segan gadis itu menggigit lengan si pemuda dengan sekuat tenaga. Membuat konsentrasi pemuda itu terganggu dan kemudinya pun goyah.

CKIIIT

Hampir saja kendaraan roda empat itu menabrak bahu jalan. Namun, keahlian menyetir pemuda tersebut sangat tidak bisa diragukan. Mobil itu pun kembali pada poros yang sebenarnya dalam sekali kendali.

"Berhenti kubilang!" titahnya, namun sia-sia. "Hei, apa kau bisu?" pekik gadis itu lagi. "Tolong! Tolong! Siapa pun tolong aku! Aku diculik orang bisu." Ia kembali melolong.

Membuat pemuda di sebelahnya kembali tersenyum tipis. Ia terus membuang muka ke luar jendela agar si gadis tak menangkap raut wajahnya.

"Apa kau sedang menertawakanku?!" tuding si gadis dengan tatapan benci. Ia paling tidak suka jika ada orang yang menertawakannya. Sungguh, menyebalkan.

Seperti sebelum-sebelumnya, jawaban yang diharapkan tak juga didapatkan. Alih-alih merespon, pemuda itu malah membawanya ke suatu tempat yang ia sendiri pun tak tahu di mana.

"Kau membawaku kemana? Hei, kenapa kita melewati hutan belantara seperti ini?" tanya si gadis yang kembali disergap kepanikan.

Bersembunyi dan Mengancam

Setelah hampir dua jam berkendara, mobil yang ditunggangi oleh keduanya kini terparkir sempurna di tepian pantai. Ternyata kecepatan mobil polisi tak mampu menggagalkan aksi kabur pemuda brewok itu. Luar biasa.

Mesin mobil sudah dipadamkan. Namun, tak ada sedikit pun pergerakan dari gadis barbar di sebelahnya.

Pandangan digiring ke samping, sejenak untuk melihat kondisi gadis berisik yang sukses membuatnya tersenyum berkali-kali. Ternyata, gadis itu masih lelap dalam tidurnya. Tidak ada pergerakan, apalagi pekikan.

Untuk ke sekian kalinya pemuda itu tersenyum sendiri seraya menatap bibir merah muda menggemaskan milik sang gadis. Riasan wajah tipis membuat kecantikannya tampak sangat natural. Itulah yang membuat ia terhipnotis.

Namun, pemuda tersebut bukanlah tipe lelaki yang main sosor saja ketika mangsa sedang tertidur. Biar dikata buronan, dia juga masih punya harga diri.

Suara ombak terhempas di tepian pantai sukses menarik perhatian si pemuda. Tanpa membangunkan si empunya mobil, ia pun memutuskan untuk keluar.

Di hadapannya terhampar sebuah pantai pendek yang hanya berukuran sekitar satu kilometer. Berbentuk melengkung seperti bulan sabit. Sebut saja teluk.

Anehnya, di sekitaran pantai tersebut tak tampak aktivitas apa pun.

Pemuda brewok itu berjalan perlahan menuju sebuah gubuk kayu yang tampak sudah usang. Setelah kedua tungkainya tiba di teras gubuk, ia melihat dua buah kursi rotan dengan meja kayu di antara keduanya.

Dengan gerakan ragu, pemuda itu membuka pintu gubuk sedikit demi sedikit.

KRIEEET

Suara derit pintu menambah ketegangan luar biasa. Pemuda itu melengakkan kepala, namun tidak ada siapa-siapa di dalam.

Sontak ia langkahkan kaki memasuki ruangan. Di mana di dalamnya terdapat sebuah tempat tidur dengan ukuran sedang. Sebuah meja panjang lengkap dengan peralatan memasak dan sebuah lemari pakaian dengan satu cermin besar.

"Sepertinya tidak masalah kalau bermalam di sini," ucapnya pada diri sendiri.

Setelah itu, tiba-tiba ....

"Hei, kau!"

Suara itu, ia mengenali suara itu. Siapa lagi kalau bukan si gadis barbar.

Pemuda tersebut langsung berbalik badan ketika mendengar suara gadis yang secara tidak langsung menjadi Dewi Penolongnya.

"Kembalikan kunci mobilku!" Si gadis bergerak maju dengan niat ingin merampas kontak mobil yang sedang digenggam oleh si pemuda.

Pemuda brewok itu menghindar dengan lincahnya, sehingga si gadis harus menelan kekecewaan. Bukannya berhasil, ia malah tersungkur ke lantai gubuk.

"Awww!" pekiknya. Ia berusaha untuk bangkit dari posisi tengkurap, namun gagal. Kedua telapak tangannya lecet karena bergesekan dengan lantai saat terjatuh tadi. "Aduh ... perih!" erangnya kesakitan seraya membalik badan.

Pemuda itu segera berjongkok di hadapan si gadis. Ia mengulurkan tangan, siap untuk membantu, namun gadis itu malah menepis tangannya.

"Aku bisa duduk sendiri," ucapnya dengan wajah cemberut. Seraya berusaha bangkit, ia terus menahan rasa perih di telapak tangannya yang sudah memerah. Dengan usaha yang gigih, akhirnya ia pun bisa duduk sempurna.

"Maaf!" ucap pemuda itu. Tatapannya lurus menubruk wajah sang gadis.

Mendengar kalimat yang pertama keluar dari mulut si pemuda yang tadi sempat dikiranya bisu itu, ia lantas mendongak.

"Jadi, kau tidak bisu?" tanyanya dengan nada antusias. Jangan lupakan ekspresi wajah meringis menahan perih akibat luka lecet.

Pemuda itu menggeleng, lalu mengangkat kontak mobil gadis itu, memosisikannya di depan wajah.

"Mulai hari ini kau tidak boleh memegang benda ini! Jika kau membatah, maka aku tidak akan segan-segan untuk ...." Jari telunjuk pemuda itu bergerak melewati lehernya. Bahasa isyarat yang bermakna bahwa sang gadis sedang berada dalam bahaya.

Dengan ekspresi wajah ketakutan, gadis itu menarik diri untuk menjauh, lalu memeluk kedua lututnya.

Pemuda itu sontak berdiri dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tak peduli dengan kondisi si gadis.

"Untuk beberapa hari kita akan menginap di sini," ucapnya dengan tatapan mengarah pada langit-langit. Kedua tangan dilipat ke belakang kepala sebagai bantalan.

Tak ada jawaban dari si gadis. Kemana perginya kebarbarannya tadi?

"Selama di sini, kau tidak boleh menghubungi siapa pun, mengerti?!" Bersamaan dengan kalimat itu si pemuda langsung terduduk sempurna. Membuat gadis itu kembali ketakutan. Namun, tetap menganggukkan kepala.

"Siapa namamu?" tanyanya.

Tidak ada jawaban.

"Hei, apa kau mulai bisu?" tanyanya lagi seolah sedang membalikkan dialog.

"A-aku ... na-namaku ...." Seteguk Saliva dengan susah payah melewati tenggorokannya. "Namaku Elmina," jawabnya cepat.

"Kau takut padaku?" tanya pemuda itu. Gadis tersebut mengangguk berkali-kali. "Bukankah tadi kau banyak bicara, kenapa sekarang berubah menjadi pendiam?" tanya pemuda itu lagi. Si gadis bernama Elmina itu hanya menggeleng tak jelas.

Pemuda brewok itu bangkit dari peraduan, kemudian berjalan mendekati Elmina. Dengan penuh kelembutan, ia menggendong tubuh gadis itu, lalu meletakkannya perlahan di tempat tidur.

"Aku bukan pembunuh, jadi kau tidak perlu takut," tuturnya di dekat telinga Elmina.

"Si-siapa kau? Ke-kenapa tadi polisi mengejarmu?" tanya Elmina penasaran. Ia memang sempat melihat mobil polisi yang membuntuti mereka tadi.

Pemuda brewok itu tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Aku bukan siapa-siapa," jawabnya terkesan misterius.

"Paling tidak, kau pasti punya nama." Elmina tak mau bertindak bodoh, bagaimana pun ia harus mengetahui identitas pemuda yang sudah menculiknya.

"Panggil aku Bari." Pemuda itu langsung berdiri seperti hendak meninggalkan Elmina. Namun, cepat dicegah oleh gadis itu.

"Apa itu nama asli?" Elmina berkerut dahi.

Pemuda itu terkekeh kecil. "Selain barbar, ternyata kau juga cerdas rupanya." Tanpa merespon pertanyaan Elmina, pemuda yang mengaku bernama Bari itu melangkah ke luar gubuk.

"Hei, apa tujuanmu menculikku?" pekiknya dari dalam ruangan. Membuat Bari kembali tersenyum, karena kebarbaran gadis itu sudah kembali ke sarangnya.

***

"Kau dari mana saja?" Elmina bertanya seraya terus memegangi perutnya.

Hari sudah hampir gelap. Ia berjalan ke luar gubuk, menghampiri Bari yang baru saja kelihatan batang hidungnya. "Aku sudah sangat lapar, kenapa kau membawaku ke sini kalau tidak bisa memberiku makan?" tanyanya mulai kumat.

Bari tak merespon dengan kata-kata, ia lebih memilih untuk mengeluarkan beberapa ekor ikan dari kantong plastik yang ia bawa.

"Waaah!" Mata Elmina sontak berbinar setelah melihat empat ekor ikan karang dengan postur tubuh gendut tertenteng di tangan Bari. "Apa kau bisa memasak?" tanyanya ragu.

Bari mengangguk, lalu menarik pisau kecil dari sepatu boot-nya. Tentu saja untuk membersihkan si ikan.

Setelah bersih, ikannya langsung dipanggang di atas bara yang sudah disiapkan sebelumnya. Tidak menggunakan bumbu apa pun, cukup dicuci dengan air laut saja, asinnya sudah terasa.

"Apa kau sangat lapar?" Bari bertanya seraya memasukkan satu suap daging ikan ke dalam mulutnya.

"Ak-dkn snsbd jkdkj."

"Ternyata kau juga pintar bahasa bayi," komentar Bari dengan tampang mengejek. Ia kembali mencubit daging ikan, lalu memakannya.

Elmina dengan kondisi mulut penuh berisi daging ikan, tentu saja tidak bisa berbicara dengan jelas. Ia sangat lapar, sehingga makan dengan kalap.

Ketika keduanya sedang menikmati makan malam, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah mereka. Elmina menghentikan kunyahan, sementara Bari mulai celingukan.

Kepergok

Ketika keduanya sedang menikmati makan malam, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah mereka. Elmina menghentikan kunyahan, sementara Bari mulai celingukan.

"Itu mereka!" pekik beberapa orang dari arah selatan. Mereka tampak mengenakan pakaian preman.

Dari gelagatnya Bari bisa memastikan kalau orang-orang itu adalah anggota kepolisian.

"Sial!" Bari menghempaskan ikan panggang tadi ke dalam perapian. Sementara Elmina hanya bisa kebingungan.

"Kau kenapa, Bar?" tanyanya seraya melanjutkan makan malam.

Tanpa menjawab, Bari langsung menarik lengan Elmina, dan membawanya bersembunyi di balik gubuk. Ranting tusukan ikan panggang milik Elmina terpaksa dilemparnya ke sembarang arah.

"Bagaimana mereka bisa tahu tempat ini?" gumam pemuda brewok itu seraya menatap langit yang semakin temaram.

"Hehe, tadi aku sempat menelpon kakakku ketika kau pergi," aku Elmina--menjawab kebingungan Bari.

"Elmina!" erangnya.

DOR

DOR

DOR

Hujan tembakan menuju ke arah keduanya. Seraya terus menghindar, Bari langsung menarik lengan Elmina menuju mobil sedan milik gadis itu. Rencana untuk berlibur barang dua sampai tiga hari di pinggir pantai kini musnah sudah.

Mau tidak mau, mereka harus meninggalkan tempat itu bersama momen ganas yang hampir saja merenggut nyawa.

"Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan coba-coba menghubungi siapa pun!" Bari mendengus kesal seraya menghentak kemudi dengan sebelah tangannya. Mereka berhasil kabur dari kejaran orang-orang tadi.

Niat awalnya yang tak ingin menyita ponsel gadis itu, kini terpaksa dilakukan.

"Kesialan apa ini?" Elmina menghentakkan kedua kakinya dengan wajah memberengut kesal. Kedua tangan terlipat kuat di depan dada.

"Pertama, kau seenaknya mendarat di atas mobilku." Sepertinya Elmina kembali kumat. Entah, karena makan malam yang belum selesai, atau memang karena Bari sudah merebut ponselnya.

"Kedua, kau menculikku di dalam mobilku sendiri." Dia terus memelototi Bari yang sedang fokus mengemudi dengan kecepatan tinggi. Walaupun tubuhnya bergoyang ke sana kemari, tak membuatnya urung meluapkan emosi.

"Ketiga, kau merampas semua kebebasanku mulai hari ini," pekiknya sekuat tenaga di dekat telinga Bari.

Pemuda itu hanya berdecih. Ia tak menyangka jika gadis barbar tersebut akan berani berkata seperti itu padanya. Bukankah tadi Elmina sempat tergagap karena takut akan kegilaannya?

"Sebenarnya kau ini siapa?" pekik Elmina lagi. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bari.

Jika memang pemuda di sampingnya ini adalah pria baik-baik, kenapa anggota kepolisian ingin menangkapnya? Namun, jika memang benar Bari adalah orang jahat, mengapa hati kecilnya berkata lain?

"Kau benar-benar ingin tahu?" Bari bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan.

"Tentu saja, bukankah aku sudah menanyakannya berkali-kali? Tapi, kau tidak mau buka mulut sama sekali." Elmina masih memandang pemuda di sampingnya dengan tatapan mengintimidasi. Kedua alisnya tampak bertautan.

Apa susahnya mengaku, jika memang dia seorang buronan? batin Elmina tak habis pikir.

"Jika ada yang mengatakan bahwa aku ini adalah seorang pembunuh, apakah kau akan memercayainya?" tanya Bari seraya melirik tipis ke arah Elmina.

Kening gadis itu berkerut dalam. Alih-alih menjawab pertanyaannya, Bari malah memberinya pertanyaan balik. Pertanyaan yang cukup sukses menciutkan keberaniannya.

"Kau jangan asal bicara!" sergah Elmina seraya membuang pandangan ke luar jendela mobil.

"Gadis aneh!"

"Apa kau bilang?!" Pandangan gadis itu kembali terhunus pada Bari.

"Selain aneh ternyata kau juga tuli."

Kalimat Bari benar-benar sukses membuat kepala Elmina mendidih. Pemuda di sampingnya ini terkesan sedikit bicara, namun jika sudah berkata, maka langsung berhasil menyentil emosi.

"Hentikan mobilnya!" pekik Elmina.

Bari berpura-pura tidak mendengarkan. Ia tetap mengemudi sebagaimana mestinya. Ia sedikit melengak ke depan. Langit tampak sangat gelap dalam pandangan, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.

"Bari, hentikan mobilnya kubilang!" Elmina menarik lengan pemuda itu, sehingga membuat kemudinya bergeser dari titik awal.

Laju mobil kini menjadi tak terkendali. Kendaraan itu tampak meliuk ke kanan dan ke kiri, membuat Elmina terpukul mundur karena sebelumnya tidak sempat menggunakan sabuk pengaman.

"Aaargh!" erangnya menahan sakit pada punggung.

Bari tak bisa lagi mengambil alih kendali. Laju mobil terlalu cepat, sehingga membuatnya juga diserang kepanikan.

Di tengah-tengah kegentingan yang melanda, tiba-tiba tampak barisan mobil petugas kepolisian sudah menutup jalan di hadapan mereka.

"Oh, ****!" Bari membanting stir ke kanan, lalu menginjak rem sekuat tenaga.

CKIIIT

"Aaargh!" Pekikan Elmina pun mengudara seraya menutupi wajahnya dengan kedua lengan.

BRAAAK

BRAAAK

Hantaman keras tak bisa dihindari. Mobil sedan itu menabrak sebuah pohon besar yang berdiri kokoh di pinggir jalan.

***

Cahaya putih tampak samar dalam pandangan Bari. Perlahan ia membuka kelopak matanya, lalu mengenali tempat di mana ia berada. Tangannya terangkat, sekadar untuk memastikan asumsi. Ternyata benar, ia sedang berada di rumah sakit. Pasti petugas kepolisian yang sudah membawanya ke sini.

Wajah diajak celingukan--mencari keberadaan gadis yang tadi bersamanya.

Diangkatnya tipis kepala yang tadinya berbaring nyaman di atas bantal, lalu mengambil posisi setengah duduk.

Senyuman seketika terukir samar tatkala pandangannya menangkap keberadaan Elmina yang juga terbaring di atas sebuah brankar--di kamar yang sama.

Kepala gadis itu tampak diperban. Tak hanya itu saja, lengan kirinya juga diperban dan menampakkan bercak merah di beberapa titik.

Seketika itu juga rasa bersalah mulai bergelayut di hati Bari. Jika bukan karena ulah tololnya, gadis itu tidak akan mungkin bisa terluka.

Salahnya, sudah menempatkan gadis itu pada posisi yang tidak seharusnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang, keselamatan gadis itu adalah tugasnya. Elmina harus tetap bersamanya.

"Hei!" Bari menepuk lembut pipi Elmina dengan pelan. Suaranya sengaja dibuat berbisik. "Bangun, Gadis Barbar!" Ia kembali menepuk pipi gadis itu, kali ini lebih dari dua tepukan.

Elmina tampak mengerjap, lalu perlahan membuka kelopak matanya. Pemandangan pertama yang ditangkapnya adalah wajah Bari yang masih tetap tampan walaupun kepalanya terlilit perban.

"Kau!" teriak Elmina di depan wajah Bari.

Pemuda brewok dengan rambut depan yang sedikit panjang itu lantas membekap mulut Elmina dengan telapak tangannya.

"Hmmp ... hmmp ... hmmp!" Elmina berontak sebisanya. Ia tidak mau jika Bari menculiknya untuk yang kedua kali.

"Jangan berisik! Kalau tidak, akan mencekikmu" ancam Bari.

Elmina mengangguk. Ia langsung patuh dengan wajah panik yang kentara. Gadis itu berpikir bahwa jika ia tak mau bekerjasama, maka hari ini bisa menjadi hari terakhirnya berada di dunia.

"Ayo, kita harus pergi dari sini," bisik Bari seraya melepaskan tangannya dari mulut gadis berisik itu.

Untung saja, kaki keduanya tidak cedera sehingga membuat mereka masih bisa berjalan dengan sempurna.

Tangan Elmina terus digenggam Bari seraya melangkahkan kaki mendekati pintu. Kenop diputarnya perlahan, lalu mengintip ke luar ruangan.

Tampak tiga orang berbaju preman berjaga di depan ruangan tersebut dengan masing-masing orang menggendong senjata laras panjang.

Bari kembali menutup pintu, lalu menoleh ke arah Elmina yang masih memasang wajah panik.

"Kau jago acting?" tanyanya pada gadis itu.

"Hah?" Bukannya menjawab iya atau tidak, Elmina malah tampak kebingungan.

"Ayo bermain peran!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!