NovelToon NovelToon

Lost Memories

CH. 1 [Arc: Desa Harapan]

"Haaah… haaah… sejauh mana kita akan pergi?!"

"Tentu saja sampai menjauh dari mereka."

Malam yang tenang kini terusik oleh suara gemuruh ledakan dan gemerincing suara pedang serta zirah.

Aku, bersama seorang lagi tengah lari dari kejaran orang-orang di kerajaan ini. Untunglah pakaian kami berwarna hitam yang selaras akan gelapnya malam, sedikit mempermudah kami untuk melarikan diri.

Tapi itu tak bertahan lama sebelum akhirnya kami menemui jalan buntu. Sebuah tebing curam yang di bawahnya terdapat aliran sungai yang cukup deras. Ditambah sisi tebing lain begitu jauh. Kami bisa saja melompat kesana menggunakan sihir. Tapi, energi kami sudah terkuras habis, hampir tak bersisa.

"Sekarang kalian tidak bisa lari lagi. Menyerahlah dan kami tidak akan memberikan kematian yang menyakitkan."

Sial, kami terkepung. Bukan hanya prajurit bersenjata saja, tapi beberapa penyihir juga turut bersiap merapal mantranya ke arah kami.

Dibawah sinar rembulan, orang— wanita di sebelahku ini malah menyeringai.

"Hah?! Menyerah?! Kami tidak akan sudi melakukannya!"

Dia benar. Kami sudah sejauh ini. Kalau kami menyerah, maka semua usaha kami akan sia-sia.

"Be— beraninya kau berbicara begitu setelah semua perbuatan yang kalian lakukan?!"

Sepertinya sang komandan mulai naik pitam.

"Hei, setelah hitungan ketiga, bersiaplah. Satu, dua—"

"Hah? Bersiap untuk ap—!" mulut kami langsung terhubung saat itu juga.

"Pergilah, dan mulai hidup barumu."

Tubuhku didorongnya jatuh ke dasar jurang. Perlahan, kesadaranku ikut hilang ketika tenggelam di aliran sungai di bawahnya.

"Jangan biarkan mereka kabur!"

Komandan itu mulai menyerukan perintahnya, anak buahnya langsung menyerang dan para penyihir di belakangnya mulai menembakkan sihir mereka.

"Tidak akan kubiarkan!"

Suara ledakan yang begitu keras terdengar, bahkan aku yang tenggelam di dalam air masih bisa mendengarnya, hingga kesadaranku lenyap sepenuhnya, aku tak mengetahui kelanjutan yang terjadi di atas sana.

- Kekaisaran Kutai, Musim Semi 1358 -

"Huum… huum… ambil semua tanaman obatnya." Di dalam hutan yang cukup rindang, sebuah senandung kecil terdengar.

Seorang gadis kecil yang tengah mengambil tanaman obat sendirian di tengah hutan tanpa rasa takut. Ia berjalan kesana kemari dengan santainya, hingga langkahnya terhenti ketika melihat seseorang tergeletak bersimbah darah di tepi sungai.

"Bangunlah, kelak tanganmu yang kosong akan di raih dan di genggam oleh seseorang yang kini mungkin kau tak mengenalnya." 

Perlahan aku membuka mataku. Pemandangan yang sangat asing langsung masuk ke mataku. Pepohonan yang rindang, serta berbaring di samping api unggun.

Dengan posisi terbaring disana, aku bangun dengan perlahan. Tubuhku rasanya sakit semua dan entah kenapa aku tak mengenakan baju sama sekali. Untunglah celanaku masih terpasang. 

"Ah, kau sudah bangun." suaranya begitu lembut. Seorang gadis kecil berambut merah mudah yang panjangnya sebahu dan memiliki mata berwarna biru langit. Ia mengenakan pakaian yang terkesan biasa namun kontras dengan warna rambutnya. 

Ia menenteng keranjang yang penuh dengan tanaman yang aku sendiri tidak tahu apa itu. Gadis itu mulai mengambil beberapa tanaman yang ia petik tadi lalu menumbuknya.

"Jadi, siapa namamu?"

Gadis ini tak punya rasa takut, dengan santainya ia bicara begitu pada orang yang baru ia temui.

"Hmm… Azura."

"Baiklah Azura, namaku Riri. Ngomong-ngomong, dari mana asalmu Azura?"

"Asalku… ugh—!" saat mencoba mengingat sesuatu, kepalaku terasa sangat sakit serasa mau pecah.

Setelah melihat kondisiku, gadis itu mempercepat pekerjaannya dan segera menghampiriku.

"Ini, minumlah." ia menyodorkan cairan hijau kental. Sepertinya ini hasil tumbukan tanaman tadi.

Aku mencoba meneguknya, tapi baru beberapa tetes cairan kental itu masuk ke tenggorokanku, mulutku langsung terkunci saking parah rasanya.

"Jangan protes karena rasanya pahit, kau mau sembuh kan?" seolah gadis ini tahu apa yang aku pikirkan dari ekspresiku.

Aku menatap dalam ke arah cairan itu, mengumpulkan semua niatku untuk meminumnya.

"Kalau memang tidak suka, tidak usah di pak… sa." terlambat. Aku sudah meneguk semuanya sekaligus.

Rasanya benar-benar sangat parah. Aku tidak mau banyak berkomentar. 

Gadis itu mulai mengambil kembali wadah bekas obat tadi, lalu mulai mengemasi beberapa barangnya dan mematikan api unggun.

"Kau bisa berdiri, Azura?"

"Mungkin." setelah meminum cairan tadi, rasa sakit yang ku rasakan mulai sedikit menghilang, malah tubuhku terasa lebih segar. 

"Ini bajumu, sudah aku keringkan."

Gadis itu melempar baju berwarna hitam. Baju itu dilengkapi dengan sebuah tudung kepala dan beberapa ornamen. Walau begitu, aku benar-benar tidak ingat tentang baju ini. Tanpa berfikir lebih jauh, aku segera memakainya dan mencoba berdiri. 

"Azura, kau mau ikut denganku? Hari sudah senja, akan berbahaya jika terus di sini."

Saat gadis itu mencoba mengajakku, aku hanya diam tanpa menggubrisnya.

"Kau kenapa Azura?"

"Aku, tidak bisa mengingat apapun. Hampir semuanya tidak bisa aku ingat. Saat kupaksa mengingat sesuatu di masa lalu, kepalaku langsung sakit." 

Tangan gadis kecil itu meraih tanganku. Tangannya yang mungil itu terasa hangat, sedikit menyadarkanku saat pikiranku tidak fokus.

"Tidak apa, aku akan membantumu Azura."

"Kau, tidak takut padaku? Bisa jadi aku ini orang jahat."

Gadis itu menggeleng pelan. "Aku yakin, Azura bukanlah orang yang jahat." ia mulai tersenyum kearahku. 

Ia mulai berjalan pelan sembari menarik tanganku. Tangannya yang kecil itu menggenggam erat. Tinggi gadis ini kurang lebih hanya sedadaku saja.

"Riri…"

"Iya?"

"Kau ini, apa?"

Gadis itu langsung berhenti dan melepaskan genggaman tangannya.

"Apa maksudmu Azura?"

"Tidak— hanya saja, telingamu sedikit berbeda denganku. Aku hanya ingin memastikannya saja, mungkin ada hal yang bisa aku ingat lagi." 

"Benar, aku ini seorang elf. Lebih tepatnya half-elf. Kami berbeda dengan ras elf murni yang memiliki mana dan sihir yang luar biasa, kemampuan kami terbatas dan umur kami tak bisa selama ras elf murni. Kau paham, Azura?"

Aku hanya mengangguk. Semua hal yang dikatakan Riri terasa baru untukku, dan itu langsung memenuhi kepalaku. 

Gadis kecil itu kembali menarik tanganku dan melanjutkan perjalanan pulang.

Pohon demi pohon kami lewati, ditemani suara senandung burung dan semilir angin. Bahkan suara aneh juga turut keluar dari perutku.

"Kau lapar? Tahan ya, sebentar lagi kita sampai."

Selama sisa perjalanan, aku hanya bisa diam sambil memegangi perutku.

Dari kejauhan, nampak seorang laki-laki tengah bersandar di sebuah pohon. 

"Hai! Arnold!"

Saat disapa gadis kecil ini, laki-laki itu langsung menuju kemari. Dengan tinggi yang mungkin setara denganku, mengenakan sebuah pakaian berwarna biru dan coklat. Ia memiliki telinga mirip serigala dan sebuah ekor lebat, rambutnya berwarna biru yang selaras dengan warna matanya menatap tajam ke arahku.

"Aku bawakan tanaman ob—!"

"Riri, awas!"

Sebuah belati melesat ke arah kami. Entah kenapa respon tubuhku bisa begitu cepat saat belati itu mengarah kemari, berkat itu kami bisa menghindar— tidak, belati itu berhasil menggores pipiku.

Gadis kecil itu terkejut melihat hal yang baru saja terjadi.

"Apa yang kau lakukan Arnold?!"

"Seharusnya aku yang bicara begitu." 

Tubuhku memaksaku untuk mundur karena waspada. 

"Aku bisa menjelaskannya Arnold! Dia baru saja—"

"Baru saja terluka dan secara tak sengaja kau menolongnya? Huh, sangat menyentuh sekali. Tapi kewajibanku adalah melindungi kalian, sebagai laki-laki tertua di panti, inilah tanggung jawabku. Ditambah, aku ingin bertanya beberapa hal padanya."

Ia datang ke arahku dengan cepat. Mengambil sebuah belati yang di selipkan di punggungnya dan mulai menyerang. 

Tangannya sangat lihai dalam memainkan belati itu. Aku hanya bisa menghindarinya dan sesekali menepis serangannya. Beberapa luka sayatan tak bisa terelakkan. 

"Kenapa orang sepertimu bisa sampai di tempat terpencil seperti ini?! Apa maumu?!"

"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud."

Anak itu diam membatu. Ia mulai melempar belatinya. "Tidak mau mengaku ya…"

"Hentikan Arnold! Ibu Vega bisa marah!"

"Raja binatang buas, datang dan telan jiwaku!" aura aneh mulai menyelimutinya, beberapa bagian tubuhnya juga mulai mengalami perubahan sedikit.

Hanya dengan sebuah kedipan mata ia langsung berpindah tempat— ia sudah tepat berada di depanku dengan posisi tangan kanan yang sudah mengepal.

Responku cukup cepat untuk bisa menahan pukulannya dengan kedua tanganku agar tidak tepat mengenai tubuh. Tapi, kekuatannya jauh di luar perkiraanku, membuatku harus terhempas cukup jauh hingga tubuhku menghantam sebuah pohon di belakang dengan sangat keras, dan itu membuat rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Bahkan, tanganku seperti mati rasa untuk sesaat.

Ia mulai datang kembali, kini dengan cakarnya yang ia arahkan padaku dengan cepat.

Tepat sebelum cakarnya mengenai tubuhku, ia berhenti— di hentikan oleh seseorang yang tiba-tiba berada di tengah-tengah kami sambil memegangi pergelangan tangan anak itu. 

"Apa yang kau lakukan Arnold?"

"I— Ibu Vega!"

"Bukankah aku sudah melarangmu untuk tak menggunakan sihir itu?"

Seorang wanita, cukup tua bagiku. Ia mengenakan setelan berwarna orange dan putih dengan rambut serta ekor yang berwarna kuning keemasan, ia juga punya telinga hewan. Di sekitar matanya terdapat tanda berwarna merah, namun ia selalu menutup matanya.

"Maaf…" perlahan wujud anak itu mulai kembali seperti sebelumnya.

Wanita itu mendekat ke arahku, ia meletakkan salah satu tangannya di kepalaku dan diam sejenak.

Tubuhku tak bisa banyak bertingkah di hadapannya. Seperti akan dalam bahaya jika aku malah melawan. 

"Jadi begitu ya. Riri, kau yang membawanya kan? Ajak dia ke dalam untuk makan bersama yang lainnya."

"Baik."

"Kau juga Arnold. Makanlah bersama yang lain dan dinginkan kepalamu."

"Baik, Bu." 

CH. 2 [Arc: Desa Harapan]

Setelah mengais kembali beberapa tanaman obat yang jatuh, gadis kecil itu mendekat kemari. Sementara Arnold dan wanita yang di panggil Ibu Vega itu berjalan pergi terlebih dahulu.

"Kau tidak apa-apa Azura?"

"Huum, hanya sedikit nyeri di beberapa bagian, tapi tidak masalah." 

Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat Riri tinggal. Anak yang menyerangku tadi mengatakan hal unik, 'panti', mungkin aku bisa menemukan maksud dari kata itu.

Sebuah rumah yang sedikit tua terlihat, kami masuk dari pintu belakang. Di balik pintu itu, Arnold sudah menungguku. Ia melemparkan sebuah pakaian dengan setelan berwarna hitam.

"Ini perintah Ibu Vega untuk jangan memakai pakaian itu disini, sebagai gantinya aku memberimu pakaianku. Cepat pakai dan segera ke ruang makan."

"Syukurlah kepalanya cepat dingin. Kamar mandinya ada di sebelah kiri. Aku akan menunggu sambil mencuci tanaman ini."

Tanpa pikir panjang aku segera mengganti pakaian. Tak butuh waktu lama, pakaiannya benar-benar cocok denganku.

Saat aku keluar kamar mandi, Ibu Vega sudah berada di dekat sana. Padahal ia tadi menghilang entah kemana.

"Kau benar-benar cocok."

Meskipun ia bicara begitu, matanya terus tertutup. Aku tidak yakin dia benar-benar melihatku dan asal bicara.

"Untuk pakaian lamamu, biar Ibu yang simpan. Akan jadi masalah besar jika orang lain tahu siapa dirimu yang sebenarnya." 

Ia tersenyum. Aku memang tak punya banyak pilihan dengan keadaanku yang hampir tak bisa mengingat apa-apa. Lantas kuberikan pakaian lamaku kepadanya.

"Anak pintar. Riri, ajak dia makan bersama yang lain."

"Baik, Bu."

Gadis kecil itu menarik kembali tanganku menuju ruangan lain. Suara riuh dari balik ruangan itu, aku bisa mendengarnya dengan jelas. Sebuah kain digunakan untuk membatasi antar ruang, dan begitu kami melewatinya, mataku disuguhkan dengan banyaknya anak yang sedang bersenda gurau di atas kursi yang menghadap ke meja makan.

Suara tawa itu menjadi hening ketika mereka menatap kehadiran kami— kehadiranku. 

"Kak Riri, siapa orang disampingmu?"

"E— anu, dia ini…"

"Pacarmu ya kak?"

Nampaknya gadis di sebelahku ini nampak kebingungan akan jawaban yang harus ia berikan. 

"Dia anggota keluarga baru kita, namanya Azura. Semoga kalian akrab dengannya."

"Eh?"

Datang entah dari mana, Bu Vega langsung berbicara seperti itu. Dan ia tahu namaku? Ah, mungkin ia mendengar Riri menyebut namaku. Sepertinya ia memang sudah merencanakan hal ini ketika Riri membawaku kemari. 

Beberapa anak langsung terlihat antusias setelah mendengar jawaban itu. Mereka terlihat senang.

"Kakak! Ayo main bersamaku!"

"Ayo tarung denganku, kak!"

Berbagai macam pertanyaan keluar dari anak-anak disana. Namun ada satu orang yang duduk termenung sambil memegangi kepalanya. Dia Arnold. 

Mereka semua terlihat berbeda, ada yang sama sepertiku, ada yang terlihat seperti Arnold dan Bu Vega, ada juga yang punya tanduk di kepalanya.

"Tahan dulu pertanyaan kalian. Sekarang waktunya makan."

Anak-anak tadi langsung kembali ke posisinya masing-masing. Sebuah kursi kosong tersedia di dekat Arnold. Ya, aku tau kursi itu untukku. Tanpa pikir panjang, aku langsung duduk di sebelahnya.

"Kenapa pula Bu Vega harus menampungmu juga." gumam Arnold di sampingku.

Aku hanya bisa diam sambil menundukan kepala. Aku tak bisa banyak berkomentar.

"Nein, bawakan makanannya." Bu Vega menepuk tangannya dan menyebut sebuah nama.

Tak lama, seorang wanita berambut merah sebahu yang mengenakan seragam pelayan datang dengan membawa meja dorong yang di atasnya penuh dengan panci panas dan makanan. Ia meletakkan makanan berjejer di atas meja makan, dan menuangkan sup ke atas mangkuk yang di bagikan pada setiap orang di sana. 

Jika ditotal, ada 12 orang yang sedang ada disini, termasuk aku. 

"Baiklah semuanya, saatnya makan."

"Selamat makan!"

Semuanya makan dengan lahap. Hanya sang pelayan yang berdiri diam di samping Bu Vega tanpa menyentuh makanan. 

Aku menatap mangkuk supku. Memandang pantulan wajahku dari sup itu dan kembali berpikir siapa aku ini sebenarnya.

"Kau tidak mau makan, Azura?"

"Ah—" aku terlarut dalam lamunanku. Dengan cepat aku menyendok sup itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Rasa yang begitu kaya, aku tidak bisa menjelaskannya secara rinci tapi ini sangat enak. "Ini… enak."

"Cobalah kentang dan daging rebus ini juga. Masakan Kak Nein sangat enak lho." 

Satu persatu makanan itu masuk ke dalam mulutku. Mulutku tidak mau berhenti mengunyah karena saking enaknya. 

"Aku selesai makan. Aku mau pergi tidur." 

Arnold berdiri dari tempatnya, dan mulai melangkah pergi.

"Kau tidak mau tambah?"

"Aku tidak selera makan hari ini Bu." 

Aku berhenti mengunyah. Aku merasa kalau sikap Arnold disebabkan ia masih tak bisa menerimaku. 

Tangan gadis mungil itu mulai memegang tanganku.

"Jangan dipikirkan. Ia butuh waktu untuk sendiri." 

"Riri benar, Azura. Biar Ibu yang mengurus Arnold. Kalian makan saja dengan tenang." 

Meskipun di perintah begitu. Aku tak bisa menikmati makananku sama seperti sebelumnya.

Beberapa waktu berlalu dan kami semua selesai makan.

"Baiklah anak-anak, cuci muka dan tangan kalian lalu pergi tidur."

"Baik, Bu."

Satu-persatu dari mereka mulai pergi untuk membersihkan diri. Tersisa aku, Riri dan Bu Vega saja yang masih duduk di kursi, sementara Kak Nein pergi ke dapur untuk mencuci wadah bekas makan kami. 

"Aku pergi ke belakang sebentar untuk membantu Kak Nein."

Kini Riri juga mulai pergi. Tersisa aku dan Bu Vega saja. Ugh— suasananya jadi canggung.

"Bagaimana menurutmu panti ini, Azura? Apa kau merasa nyaman?"

"Ah, itu. Bagaimana mengatakannya ya. Sebelum sampai disini, aku benar-benar tak ingat apa-apa. Bahkan aku tak yakin siapa diriku sebenarnya. Tapi, setelah bertemu Riri— tidak, semua yang ada di sini, sesuatu yang hangat menyentuh dadaku. Aku tak tahu apa itu, tapi rasanya nyaman."

"Begitu ya. Apa ada hal lain yang ingin kau tanyakan?"

Benar. Aku hampir lupa untuk menanyakan tentang tempat ini.

"Apa itu 'panti'?"

"Jadi itu yang membuatmu penasaran ya. Panti adalah tempat bernaung bagi mereka yang tidak punya keluarga. Singkatnya, ini adalah tempat untuk orang yang dibuang keluarganya. Mereka tak punya orang lain sebagai tempat bernaung, sebagai gantinya, kami mengumpulkan mereka di satu tempat dan merawatnya sebagai bagian keluarga kami."

"Keluarga… apa itu keluarga?"

"Itu dimana Ayah, Ibu dan anak berada di satu tempat. Atau juga bisa diartikan orang-orang yang saling mencintai tinggal bersama." 

Jadi itu yang disebut keluarga. Aku penasaran, apa aku juga punya hal yang disebut 'keluarga' itu. 

Sesaat, sebuah kilatan masa lalu terlintas cepat di kepalaku. Seorang perempuan berambut hitam panjang, mengulurkan tangannya ke arahku. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Bersamaan dengan itu juga, kepalaku langsung terasa begitu sakit. 

"Aaarrrrggh— ugh!" kedua tanganku memegangi kepalaku, berharap rasa sakit ini cepat hilang. Tapi tidak, justru rasa sakitnya semakin parah. Pandanganku mulai kabur dan dadaku terasa sesak, membuat nafasku tak beraturan.

Bu Vega yang melihatku kesakitan langsung bergegas mendekat. Ia mulai meraba-raba punggungku. 

Riri yang mendengar eranganku juga mulai datang menghampiri. "Azura!"

Tangan Bu Vega mulai menyentuh tengkuk leherku. Aku merasakan sebuah sengatan kecil di tengkuk leherku. Aku tak tahu apa yang dilakukan Bu Vega. Tapi, perlahan rasa sakit yang menjalar di tubuhku mulai menghilang. Aliran nafasku mulai kembali normal. 

"Sekarang sudah tak perlu khawatir. Riri, lebih baik kau antar Azura ke kamar kosong agar dia bisa beristirahat."

"Mari, Azura. Aku antar kau ke kamarmu." 

Aku mulai berdiri dan berjalan sambil di tatih Riri karena keadaan yang masih lemas. 

Kami mulai menaiki anak tangga dengan perlahan. Sepertinya lantai satu bangunan ini digunakan sebagai tempat berkumpul, sedangkan lantai dua sebagai tempat beristirahat. 

Kami berhenti di depan sebuah ruangan. Riri mulai membuka pintunya. Ruangan gelap dan dingin mulai terlihat.

"Ah, sebentar ya."

Gadis mungil itu mulai menepukkan tangannya dua kali. Tak lama, sesuatu mulai bersinar di langit-langit kamar. Cahaya itu perlahan semakin terang dan akhirnya menerangi seluruh ruangan kamar. 

Aku tidak bisa melihat benda bersinar apa itu, yang jelas, ada sesuatu yang digantung di atas sana. 

"Riri, apa itu tadi?"

"Itu namanya batu sihir. Sebuah batu yang memiliki daya sihir dalam jumlah tertentu." 

Aku tidak terlalu paham, tapi sepertinya itu benda yang hebat. 

Kami mulai melangkah masuk. Ruangannya memang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk memuat dua orang kurasa. Terdapat sebuah ranjang tidur dan lemari kecil di dalam sini.

"Mungkin akan sedikit berdebu karena sudah lama tak terpakai. Jadi mohon dimaklumi, hehehe." 

"Terimakasih. Ini lebih dari cukup." 

"Baiklah, aku pergi dulu. Kalau mau mematikan kembali lampunya, tinggal tepuk tanganmu dua kali seperti aku tadi." Gadis mungil itu mulai melangkah keluar. "Selamat malam." Ia mulai menutup kembali pintu ruangan. 

Aku membaringkan tubuhku di atas kasur. Entah kenapa badanku begitu lelah hari ini. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepalaku. Semakin ku pikirkan, kepalaku terasa sakit.

Tangan kananku ku arahkan ke atas seperti ingin menggenggam sesuatu. 

"Sebenarnya aku ini, siapa?" mataku mulai menutup perlahan dan tangan kananku mulai kubaringkan ke atas mataku. 

Semilir angin mulai menerpa tubuhku. Aku mulai membuka mataku dan mendapati pemandangan yang begitu berbeda. 

Wilayah hijau yang begitu luas serta ditumbuhi berbagai macam bunga. Pikiranku mencoba mencernanya, tapi ini benar-benar tak masuk akal. Bagaimana mungkin aku yang tadinya berada di sebuah kamar, bisa berakhir di tengah padang rumput seperti ini. 

"Siapa pun! Apa ada orang di sekitar sini?! Riri?! Arnold?!" aku mencoba meneriakkan nama orang yang aku kenal, mungkin mereka berakhir sama sepertiku. Tapi tidak ada yang menyahut. 

"Percuma saja."

Ada yang menyahut. 

"Siapa kau?!" aku menyapukan pandanganku ke sekitar, tapi yang terlihat hanya pemandangan hijau sejauh mata memandang.

"Sudah kubilang percuma." 

Aku menoleh ke belakang. Tempat yang tadinya kosong, kini berdiri seorang gadis berambut hitam panjang hingga ke punggung, serta mengenakan pakaian serba putih. Tingginya kurang lebih sama sepertiku. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena terhalang poni.

Meskipun aku sedang berada di tempat asing dan bertemu orang aneh, aku tak merasakan hawa mengancam darinya. 

"Siapa kau? Dan aku ini ada dimana?" 

"Kau ini bodoh ya, Azura."

Dia tau namaku?! "Kenapa kau bisa tahu namaku?" 

Hanya dengan sebuah kedipan mata, gadis tadi langsung menghilang dari pandanganku. 

"Kau masih belum paham juga?" Ia berpindah ke belakangku. 

"Aku tak paham maksudmu." 

"Baiklah, aku akan menjawab rasa penasaranmu. Pertama, ini adalah alam bawah sadarmu. Lalu, jika kau tanya aku ini siapa? Aku tidak bisa memberitahumu. Tugasku disini hanya untuk mengawasimu." 

"Mengawasiku? Aku benar-benar tak paham ucapanmu."

"Makanya aku bilang kau ini bodoh. Yah, bukan salahmu juga karena sebagian besar ingatanmu hilang. Seseorang sudah menghapus ingatanmu, dan 'dia' memintaku untuk mengawasimu." 

'Dia'? jadi 'dia' yang ia maksud ini yang bertanggung jawab atas semua ingatanku yang lenyap? 

"Siapa 'dia' yang kau maksud ini?"

"Entahlah, aku tak bisa memberitahumu. Kau harus mencari jawabannya sendiri. Tapi, Azura, jika kau berniat mencarinya, kau akan memikul beban yang besar." 

CH. 3 [Arc: Desa Harapan]

Angin kencang mulai menerpa, bunga-bunga mulai berterbangan ditiup angin. Gadis tadi perlahan menghilang di balik hembusan angin kencang ini.

"Tunggu! Aku belum selesai!" saat tanganku hampir menggapainya, aku terbangun dari mimpiku. Ya, benar-benar terbangun di ruangan yang sama saat aku tidur.

Cahaya mentari sudah mulai masuk ke dalam ruangan melalui jendela kamar, ini berarti sudah pagi.

Aku perlahan bangun. Dengan posisi yang masih duduk di atas kasur sambil merenungkan perkataan gadis yang muncul di mimpiku tadi. 

Dengan ingatanku yang sebagian besar hilang ini, mustahil aku mencari keberadaan 'dia' ini. Yang berarti, aku harus memulihkan kembali ingatanku secara perlahan. Ditambah "beban yang besar" ini, sebenarnya apa yang dimaksud gadis itu. Nomor duakan perihal beban itu, untuk sekarang, aku harus banyak belajar untuk menyerap semua informasi yang ada. 

Suara ketukan pintu mulai terdengar. "Azura? Kau sudah bangun? Kalau sudah, segera turun, kita akan sarapan." Suara ini, milik Riri.

"Baik, aku akan menyusul." 

Aku segera menyusul Riri ke lantai bawah. Baru menuruni beberapa anak tangga, aku sudah disuguhkan dengan suara ceria anak-anak disini. Mereka sudah bersiap di sekitar meja makan. 

"Selamat pagi, Kak Azura!" mereka kompak menyapaku yang baru datang.

"Pagi." aku masih canggung untuk berbincang dengan mereka.

"Baiklah, anak-anak. Makanan hampir siap, jadi tolong duduk yang baik." Bu Vega datang, hanya dengan satu suruhan, seluruh anak duduk dengan rapi. 

Aku ingin bergabung dengan mereka, tapi mataku masih terasa berat. Aku mau mencuci wajahku dulu. 

Di dapur terlihat Kak Nein dan Riri yang tengah mempersiapkan makanan. Aromanya begitu enak. Aku tak sabar untuk mencicipinya.

Aku melangkah menuju kamar mandi. Kubasuh wajahku dengan air dingin dan menatap sebuah cermin yang ada di sana. Aku menatap dalam ke arah bayanganku yang terpantul dari cermin.

Untuk sesaat, aku kembali teringat akan ucapan gadis yang ada di mimpiku. Tapi, aku tak mau memikirkannya secara berlebihan. 

Dengan rambut hitam dan warna mata yang senada akan warna rambut. Serta, kupikir aku ini cukup tampan. Yah, beginilah penampilanku. 

Aku kembali membasuh wajah untuk kedua kalinya dan sedikit mengeringkannya dengan kain handuk di dekat sana. Setelah usai mengeringkan wajah, aku segera bergabung dengan yang lain.

Sebuah kursi kuambil dan mulai duduk. Aku merasakan ada yang hilang disini.

"Kemana Arnold pergi?"

"Kak Arnold sedang berlatih."

"Benar, ini kegiatan rutin Kak Arnold. Biarkan saja dia, kita makan dulu saja." 

Para anak kecil ini bergantian menjawab pertanyaanku. Aku penasaran dengan latihan yang Arnold lakukan.

Tak lama, Kak Nein dan Riri datang dengan membawa makanan. 

"Duduk yang rapi ya, makanannya sudah siap." 

"Yeeeaaaay!!!" anak-anak begitu girang.

Riri dan Kak Nein mulai membagikan makanan. Setelah semuanya mendapat jatah, Riri mulai duduk di sebelahku dan Kak Nein seperti biasa hanya duduk berdiri di samping Bu Vega. 

"Selamat makan!" 

Kami mulai makan. Walaupun makanannya terlihat sederhana, rasanya begitu enak.

"Riri, setelah selesai makan. Aku ingin kau mengajak Azura berkeliling desa. Sekalian dia berkenalan dengan yang lain." celetuk Bu Vega. 

"Baik, Bu."

Kesempatan bagus agar aku bisa menambah pengetahuanku kembali, dan jika beruntung, aku bisa mendapatkan ingatan tentang masa laluku.

Kami semua selesai makan. Peralatan makan kami rapikan terlebih dahulu. Setelah itu, aku dan Riri mulai pergi ke luar.

Kami melewati pintu depan. Untuk sesaat, aku diam membatu ketika keluar dari panti. Aku melihat berbagai macam orang yang sedang melakukan aktivitas disini. 

"Ayo." tangan kecil Riri mulai menggenggam tanganku dan mulai menarikku untuk berkeliling.

Satu persatu kami menemui warga desa untuk berkenalan. Aku benar-benar merasa canggung, sesekali aku menggaruk-garuk kepalaku karena bingung ingin berkata apa. Bukan hanya itu, Riri juga menjelaskan berbagai macam kegiatan yang aku tak ketahui, berbagai macam fungsi benda dan bangunan, serta masih banyak lagi.

"Selanjutnya, kita pergi ke penangkaran hewan ternak."

"Riri, kumohon, beri aku waktu istirahat." 

Aku memang senang bisa mendapatkan hal-hal baru, tapi gadis mungil ini tak memberiku waktu istirahat. Begitu selesai di satu tempat, ia langsung menarikku ke tempat lain. Ditambah, desa ini cukup besar. 

"Kau ini laki-laki tapi tenagamu hanya segitu? Baiklah, kita berjalan santai saja menuju tempat penangkarannya." 

Tidak Riri. Bukan aku yang lemah, tapi kaunya yang seperti monster. 

Untuk sesaat, aku bisa bernafas lega. Tak lama, aku melihat bangunan memanjang.

"Ah, itu tempat penangkarannya." 

Kami akhirnya sampai di tempat penangkaran. Baru melangkah beberapa langkah, aroma aneh mulai masuk ke dalam hidungku. 

Secara reflek aku langsung menutup hidungku dengan tangan.

"Bau apa ini?!"

Riri yang melihat gelagatku hanya tertawa. "Hahaha! Bagaimana? Apa baunya enak? Yah, lama-kelamaan kau akan terbiasa dengan aroma ini."

Tidak. Aku tak akan terbiasa dengan bau ini. 

Kesampingkan masalah bau, ada hal lain yang menarik perhatianku. Seekor makhluk hitam yang cukup besar, serta memiliki dua tanduk panjang yang tumbuh di kepala mereka. Mirip seperti kerbau.

"Riri, mereka ini apa?"

"Mereka hewan ternak disini, namanya Anoa. Mereka pemakan tumbuhan. Anoa-anoa disini di ternak untuk diambil susu dan dagingnya."

Banyak anoa yang di ternak disini, ada beberapa orang juga yang terlihat membawakan pakan untuk para anoa ini.

"Um, Riri. Bisa kita pergi sekarang. Aku tak tahan dengan baunya."

"Iya, iya. Tapi sebelum itu, ada yang harus kau lihat lagi."

"Masih ada lagi?! Tu— tunggu!" tanpa banyak basa-basi, gadis mungil itu kembali menyeretku.

"Nah, kali ini kita ke tempat penangkaran hewan yang biasa digunakan sebagai alat transportasi disini."

Tidak terlalu jauh dari tempat penangkaran anoa tadi, aku kembali melihat hewan lain. Kali ini wujudnya benar-benar berbeda dari anoa.

Ada dua hewan di tempat ini. Yang satu berwujud seperti kadal dengan ukuran yang sangat besar. Lidahnya juga sering menjulur keluar. Sedangkan satunya lebih mirip seperti ayam, dengan 2 kaki depan yang kecil, sementara 2 kaki utamanya sangat besar. Bukan ditumbuhi bulu, hewan ini memiliki kulit yang tebal, ukuran tubuhnya juga besar.

"Kali ini, apa?"

"Nah, yang berkaki empat, suka menjulurkan lidah dan berjalan merayap ini namanya Komodo. Komodo ini biasa digunakan warga desa untuk menarik gerobak yang mengangkut bahan-bahan untuk di jual ke kota, maupun sebaliknya. Sedangkan yang berdiri dengan dua kaki ini, namanya Rushmodo. Tenaganya tak sebesar komodo, tapi kecepatan larinya lebih cepat. Rushmodo biasa digunakan warga desa untuk berpergian jauh ataupun sebagai tunggangan penjaga desa."

Semua informasi ini langsung masuk ke dalam kepalaku. Mereka begitu eksotis, aku jadi ingin memegang mereka.

"Lebih baik jangan terlalu dekat. Mereka ini pemakan daging lho. Nanti kau bisa dimakan."

Aku langsung menarik tanganku begitu Riri berkata demikian.

"Selamat pagi, kalian berdua." 

Dari arah samping, ada seorang pria bertelinga hewan datang dengan membawa seekor rushmodo. 

"Selamat pagi, Cak Ade."

"Wah, kau tidak berubah ya, Riri."

"Cak Ade mengejekku ya? Maaf saja kalau tubuhku terlihat seperti anak kecil, tapi umurku sudah 20 tahun. Lagipula, Cak Ade hampir tiap hari kan bertemu denganku."

"Ya, soalnya kau jarang datang ke penangkaran. Paling-paling juga di suruh Bu Vega. Ngomong-ngomong Riri, siapa anak di sampingmu ini? Aku baru pertama kali melihatnya."

"Kenalkan, Azura. Dia anggota keluarga baru kami. Azura, ini Cak Ade. Dia yang bertanggung jawab menjaga dan merawat semua hewan ternak disini."

Cak Ade mengulurkan tangan kanannya. Aku membalas uluran tangannya dengan berjabat tangan. 

Aku penasaran dengan rushmodo yang dibawa Cak Ade. 

"Anu, Cak mau apakan rushmodo ini?"

"Ah ini, aku ingin mengajaknya jalan-jalan. Rushmodo ini harus sesekali diajak berjalan agar kondisinya tetap prima."

"Bolehkah aku menaikinya?

Benar, aku penasaran bagaimana rasanya menaiki seekor hewan. 

"Tentu."

"Dia tidak akan memakanku kan?"

"Tentu saja tidak. Mereka sudah jinak. Selama kau memperlakukannya dengan lembut, mereka tidak akan jadi ganas."

Kuharap apa yang dikatakan orang ini benar. Akan kubuat dia menderita kalau berbohong. 

Aku mulai berjalan mendekati rushmodo itu. Tangan kananku perlahan kudekatkan ke arahnya. Rushmodo itu menatap ke arahku, lalu ia memekik. "Kwak!" 

Aku sedikit terkejut. Namun, aku mengingat ucapan Paman tadi, aku harus melakukannya dengan lembut. Aku mencoba untuk tetap tenang dan tidak panik.

Tanganku kembali kuarahkan ke rushmodo tersebut. Perlahan namun pasti, hingga akhirnya tanganku berhasil memegang kepalanya. Kubelai dengan pelan, rushmodo itu membalas dengan menggosokkan kepalanya ke telapak tanganku sambil mengeram. 

"Bohong." Riri seakan tak percaya dengan yang barusan terjadi. "Rushmodo ini sangat susah didekati oleh orang asing."

"Sepertinya anak ini disukainya. Apa kau mau memberi namanya? Kebetulan dia belum punya nama."

"Benarkah? Boleh aku memberi nama?"

"Tentu." 

Kepalaku mulai mencari nama yang cocok untuknya. "Ginger. Akan kuberi kau nama, Ginger! Apa kau menyukainya?"

Rushmodo ini langsung mendekatkan kepalanya ke wajahku lalu menggosokkan wajahnya ke arahku sambil mengeram. "Ku anggap itu jawaban iya. Baiklah kawan, bolehkah aku menaikimu?"

Ginger mulai merendahkan kakinya, membuatku dapat menaikinya dengan mudah. Di punggung Ginger sudah terdapat pelana dan di sekitar wajahnya sudah dipasangi sebuah tali, nampaknya Cak Ade sudah memasang semua ini.

Aku mulai naik ke atas Ginger. Tapi, aku tak mau naik sendirian. Aku mengulurkan tanganku ke arah Riri. 

Gadis mungil itu membalas uluran tanganku. Aku langsung menariknya, membuatnya jatuh tepat di dekapanku. Raut wajah Riri sedikit berubah menjadi merah.

Tubuh Riri lebih kecil dibandingkan diriku, aku membuatnya untuk duduk di depan agar ia tak terpelanting saat Ginger berlari.

"Sekarang, bagaimana caranya agar Ginger mau berjalan?"

Aku bingung. Cak Ade dan Riri sama sekali tak menjelaskan cara mengendarai seekor rushmodo.

"Biar aku saja." Riri mulai menepuk pelan tubuh Ginger. Tak lama, Ginger langsung berdiri ke posisi sebelumnya. Kedua tangan Riri mulai meraih tali yang mengikat di sekitar kepala Ginger. Mungkin tali itu untuk mengendalikannya. "Khu khu, meskipun tubuhku kecil begini, aku sudah sering menunggangi rushmodo."

"Tapi kau kan sering jatuh ketika menaiki rushmodo sendirian." sahut Cak Ade.

"Cak Ade!" 

"Iya iya, maaf." 

Aku menggenggam tangan Riri. "Tidak apa, aku bersamamu."

Wajah gadis ini kembali memerah. "Huum." 

"Baiklah. Ayo Ginger, kita berjalan. Tapi pelan-pelan saja." 

Hanya dengan sebuah gerakan kecil di tali pengendali, Ginger sudah mulai berjalan. Pada awalnya, agak susah untuk menyeimbangkan posisi ketika Ginger berjalan, tapi lambat laun, aku sudah mulai terbiasa. Dan tak terasa, kami sudah berjalan cukup jauh.

"Jangan lupa! Kembalikan Ginger ke kandang saat sudah petang!" teriak Cak Ade.

"Siap, Paman!" 

"Dasar masa muda." 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!