NovelToon NovelToon

Lost Memories

Prolog: Kepingan Memori yang Hancur

Di malam yang tadinya sunyi, hanya dalam sekejap, hutan yang menyimpan ketenangan, langsung berubah menjadi lautan api. Gemuruh suara ledakan dan gemerincing suara besi yang bergesekan, membuat keadaan hutan itu semakin berisik.

"Sampai mana kita harus berlari?!" Seorang anak laki-laki muda yang terlihat berusia belasan tahun, tengah lari terengah-engah dari kekacauan di hutan itu. Tapi ia tidak berlari sendirian. Di sampingnya ada seseorang lagi yang ikut berlari bersamanya.

"Tentu saja sampai menjauh dari mereka." Seseorang—atau yang lebih tepatnya seorang wanita yang lebih tua dari laki-laki tersebut, melontarkan kalimat yang begitu santai. Seolah ia tidak paham atau tidak peduli dengan apa yang ada di belakang mereka.

Mereka terus berlari, berlari lurus tanpa arah tujuan. Yang terpikirkan dari mereka berdua hanyalah pergi menjauh dari "apa" yang mengejar mereka saat ini. 

Hingga pelarian mereka berdua harus terhenti akibat jurang yang membentang luas di hadapan mereka. 

Sang laki-laki mengintip ke bagian tepi jurang. Pandangannya terlihat pasrah ketika matanya tak bisa menangkap apa yang ada di bawah sana.

"Jurang ini sepertinya terlalu dalam. Mau melompat menggunakan sihir saja?"

Sang wanita mengintip sebentar ke bagian tepi jurang. Ia kemudian melemparkan pandangannya ke bagian belakang dan ikut memutar tubuhnya untuk berbalik arah.

"Yah, itu pun kalau kita punya waktu." 

Sang laki-laki langsung paham dengan maksud ucapan rekannya tersebut. Ia pun turut memutar tubuhnya menghadap ke belakang dan mempersiapkan segala kemungkinan yang akan mereka hadapi.

Dari balik rindangnya pepohonan hutan, mereka mulai menampakkan diri satu persatu. 

Di bawah sinar rembulan, terlihat jelas beberapa orang yang mengenakan pakaian zirah besi, lengkap dengan persenjataannya. Di belakang mereka, masih ada kumpulan orang berjubah yang membawa tongkat, maupun alat rapal sihir yang lain. Mereka semua menarik—menodongkan senjata mereka kepada kedua orang yang tengah berdiri di tepian jurang tersebut.

Kedua orang itu hanya menanggapi semua ancaman itu dengan mempersiapkan sebuah posisi kuda-kuda. Seolah mereka berdua sudah siap menghadapi semua musuh yang ada dengan bermodalkan tangan kosong.

Salah seorang dari mereka—dari barisan orang yang mengenakan zirah besi, maju ke hadapan kedua orang tersebut.

Ia memiliki tampang yang cukup tua. Terlihat dari kumis dan jambangnya yang sudah mulai menebal. Akan tetapi, aura yang dipancarkan orang ini bisa mengintimidasi hampir semua orang yang ada di sana. 

Pria itu kemudian menarik pedang miliknya dan mengarahkannya ke hadapan kedua orang tersebut.

"Menyerahlah dan kami tidak akan memberikan kematian yang menyakitkan."

Di mata orang lain, kondisi kedua orang ini sangat tidak menguntungkan. Malah, menerima tawaran pria itu untuk mati secara cepat bukanlah pilihan yang buruk. 

Sayangnya, bukan itu pilihan yang perempuan ini inginkan. Ia lantas menyerukan suaranya dengan begitu lantang.

"Hah? Menyerah? Kami tidak akan sudi melakukannya!" 

Rekan di sebelahnya hanya bisa tersenyum pasrah mendengar ucapan sang wanita. 

Dia ada benarnya. Jika kami menyerah sekarang, semua usaha kami untuk sampai kesini akan sia-sia.

Mendengar seruan sang wanita, pria itu menatap tajam kedua orang tersebut dengan gigi yang ia gertakkan dengan kuat. 

"Beraninya kalian bicara seperti itu setelah semua perbuatan kalian pada Kekaisaran!"

Jari tangan sang wanita sedikit memberi instruksi dengan sebuah sentuhan kecil ke tubuh rekannya. Menandakan ia akan memulai sesuatu sebentar lagi.

"Dalam hitungan ketiga, kita bersiap."

Mendengar suara lirih dari sang wanita, laki-laki itu menaikkan salah satu alisnya. Ia sedikit bingung mencerna ucapan rekannya tersebut. 

"Satu, dua…"

"Bersiap untuk ap—!" 

Belum sempat hitungan ketiga terdengar, bahkan sang laki-laki juga tak sempat menyelesaikan kalimatnya, wanita itu langsung menarik kerah baju rekannya dan menempelkan bibirnya pada bibir rekannya. Membuat mereka melakukan ciuman singkat yang bahkan tidak sampai tiga detik. 

"Pergilah, dan mulai hidup barumu."

Setelah mengucapkannya lirih, wanita itu mendorong tubuh rekannya jatuh ke dasar jurang. 

Meskipun sang laki-laki sadar dengan perbuatan rekannya, ia masih belum paham sepenuhnya niat dan maksud dari rekannya tersebut. Bahkan, setelah tubuhnya sedikit masuk ke dalam jurang, ia terus memandang rekannya dengan tatapan bingung dan cemas.

Sang pria yang sedari tadi dibuat kesal langsung melontarkan seruan untuk menyerang.

"Jangan biarkan mereka kabur!" 

"Tidak akan ku biarkan!" 

Hanya dalam sekejap, sebuah ledakan hebat terjadi di tepian jurang itu. Asap dan debu bertebangan, membuat pandangan semua orang menjadi terbatas. 

Sementara ia yang terjatuh ke dasar jurang, terus menanyakan maksud dari rekannya itu di pikirannya. Hingga di titik dimana ia tak mampu lagi menjaga kesadarannya dan berakhir tertidur untuk waktu yang lama.

CH. 1 [Bab I : Desa Harapan]

Kekaisaran Kutai. Musim Semi, tahun 1358 -

Di dalam hutan yang tenang dan rindang, terdengar suara lantunan yang merdu dari dalam sana.

"Huum… huum~ ambil semua tanaman obatnya…"

Seorang gadis kecil. Memiliki paras imut dengan rambut merah muda miliknya. Ia mengenakan pakaian sederhana, namun begitu cocok dengan tubuh mungilnya.

Ia menunduk. Menghampiri sudut pohon ke pohon lain. Tak jarang ia membuka semak belukar demi mencari tanaman yang ia perlukan.

Sudah cukup lama ia berada di sekitar sana, hingga bakul yang ia bawa sudah penuh. 

"Ternyata sudah penuh ya? Baiklah, saatnya pulang… Eh—?"

Ketika gadis mungil itu hendak melangkahkan kakinya, matanya menatap sosok tak berdaya di ujung pandangannya. Dengan penasaran, ia perlahan mulai menghampiri sosok tersebut.

Tidak ada rasa takut yang terpancar dari raut wajahnya. Justru perasaan cemas dan kebingungan yang keluar. Setelah semakin dekat, ia semakin bisa melihat jelas siapa sosok tersebut. 

Seorang laki-laki remaja yang tubuhnya tersangkut di tepian sungai oleh akar pohon yang tumbuh. Kalau saja akar itu tidak mengakar sampai sana, bisa saja saat ini ia sudah tenggelam maupun hanyut oleh arus sungai.

Dengan cepat, gadis mungil itu segera meletakkan bakul miliknya dan mulai menarik tubuh laki-laki itu naik ke tepian. 

Ia tidak peduli apakah tubuh yang ia temukan itu masih bernyawa atau tidak. Dalam pikirannya saat ini, ia setidaknya harus melakukan pengecekan bila kalau tubuh yang ia temukan ini masih bernyawa.

Setelah menarik tubuh laki-laki itu ke tepian, ia mulai memeriksa tubuh laki-laki tersebut.

Ia sedikit kaget mendapati pakaian yang dikenakan oleh orang yang terbaring di hadapannya. Bagaimana tidak, yang ia tahu, pakaian yang dikenakan oleh laki-laki ini merupakan seragam pasukan kekaisaran. Apalagi, ditambah dengan beberapa ornamen yang terpasang di pakaian itu, sepertinya orang yang ia temukan punya pangkat yang cukup tinggi.

Mengesampingkan hal tersebut, ia segera membuka baju laki-laki tersebut. Ia menempelkan dua jari miliknya ke sekitar leher dan pergelangan lengan laki-laki itu guna mencari denyut nadi yang ada. Ia juga menempelkan telinganya ke dada laki-laki itu. Meskipun pelan, ia bisa tahu kalau orang yang ia temukan ini masih hidup. 

Orang ini, meskipun denyut jantung dan nadinya sangat lemah, tapi dia masih hidup.

Gadis mungil itu bergegas berdiri dan menelusuri area sekitar. Hal pertama yang ia bawa kembali adalah ranting kayu kering dalam jumlah yang banyak. 

Ia menumpuk semua ranting kayu itu. Ia lalu menjentikkan jari kanannya yang ia arahkan pada tumpukan ranting tersebut.

Dalam sekejap, sebuah percikan api tercipta dan membakar tumpukan ranting kayu itu.

Media penghangatnya sudah selesai. Sekarang tinggal pengecekan lebih lanjut.

Gadis mungil itu kembali mendekati tubuh yang tergeletak di dekat perapian itu. 

Ia mulai menyapukan pandangannya ke seluruh bagian tubuh sang laki-laki. Sudah cukup lama ia melakukan pengamatan, tapi ia justru dibuat bingung.

Tidak ada luka atau memar apapun di tubuhnya. Ini aneh, bahkan anggota terlemah di pasukan kekaisaran seharusnya bisa berenang atau menggunakan sihir air agar tidak tenggelam kan? 

Apa dia, mencoba bunuh diri? 

Gadis itu kemudian menggelengkan kepalanya dan menghela nafas panjang. 

                        

 *****

Bangunlah. Kelak tanganmu yang kosong akan diraih dan digenggam oleh seseorang yang saat ini mungkin kau tak mengenalnya.

Sebuah pesan singkat muncul di dalam kepalanya. Membuatnya kini bisa membuka mata yang sudah lama tertutup itu.

Ia mulai mengangkat tubuhnya yang kini dalam posisi duduk. Menyapukan pandangannya ke sekitar untuk mencerna apa yang terjadi.

"Ah, kau sudah siuman."

Sebuah suara yang lembut menusuk masuk ke dalam telinganya. Membuatnya menolehkan kepala ke sumber suara.

Seorang gadis kecil—atau itu yang ada di pikirannya saat ini. Ia menatap penuh bingung ke arah gadis mungil tersebut.

"Anak… kecil?"

Gadis mungil itu tersentak kaget mendengar dirinya dipanggil "anak kecil".

"Tidak sopan! Jadi ini kata-kata pertamamu setelah ku selamatkan?"

Laki-laki itu sedikit mengalihkan pandangannya. Ia mulai memijat area sekitar pelipisnya dan terus terlamun dalam pikirannya sendiri untuk beberapa saat.

"Hei, tingkah lakumu seperti orang yang habis hilang ingatan saja."

"Kau… siapa?" 

Gadis mungil ini segera mengerutkan kedua aliasnya.

Jangan-jangan, beneran hilang ingatan?!

Sebuah helaan nafas panjang keluar dari gadis itu.

"Apa kau ingat siapa namamu?"

"Namaku…—!" 

Hanya dengan mendengar kata "nama", isi kepala laki-laki itu kini dipenuhi oleh berbagai macam informasi yang bercampur aduk. Ia bahkan sampai harus memegangi kepalanya dengan kedua tangan karena mendapat rasa sakit yang teramat parah. 

Gadis mungil itu segera mendekat dan mengambil sesuatu dari saku bajunya. Ia mengeluarkan sebuah botol kecil, membuka penutup botol itu dan mulai menyodorkannya pada laki-laki tersebut.

"Ini, minumlah."

Dengan perlahan, laki-laki itu mengambil dan mulai meneguk isi dari botol tersebut. Tapi, baru beberapa tetes cairan dari botol itu masuk ke kerongkongannya, mulutnya langsung terkunci rapat.

Laki-laki itu sedikit mengalihkan botol yang ia bawa dari depan mulutnya.

"Jangan mengeluh. Kau mau sembuh kan?"

Seolah tahu dari ekspresi dan gelagat yang diperlihatkan sang laki-laki, gadis mungil itu melontarkan kalimat yang tidak akan bisa ditolak.

Ia tidak punya pilihan. Dengan mulut yang ia buka lebar, ia langsung menumpahkan semua cairan di dalam botol itu ke dalam mulutnya.

Dalam satu tegukan, semua cairan itu habis.

Hanya beberapa detik setelah minum semacam obat itu, ia kini sudah tidak lagi merasakan rasa sakit di kepalanya.

"Sudah merasa lebih baik?"

"Azura."

"Hmm?"

"Kau tadi bertanya soal namaku kan? Namaku, Azura. Dan mungkin hanya itu satu-satunya hal penting yang bisa ku ingat untuk saat ini."

Setelah bergelut dengan rasa sakit di kepalanya, akhirnya pemuda itu mengingat kembali namanya dan memperkenalkan diri sebagai Azura. 

Gadis itu menarik ujung bibirnya dan menatap lembut ke arah Azura.

"Namaku Riri. Senang bertemu denganmu, Azura."

Gadis itu lalu mendongakkan kepalanya. Menatap langit yang kini sudah mulai berubah warna.

"Hari sudah mulai senja. Akan berbahaya jika terlalu lama di sini. Kau mau ikut denganku?"

Azura tidak terlalu mengerti maksud gadis itu. Lebih tepatnya, ia tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya.

Di dalam pikirannya, tidak ada informasi apapun selain tentang namanya dan cara sederhana untuk bertahan hidup. Bahkan instingnya mengatakan kalau entitasnya kini tak lebih dari orang asing yang tidak tahu jati dirinya. Tidak ada bedanya dengan monster. 

Meskipun begitu, ia juga paham, jika ia terus berada di tempat ini tanpa perlindungan, ia akan mati. Setidaknya itu yang instingnya katakan. 

"Aku… mau." 

Gadis mungil itu mengulurkan tangannya ke hadapan Azura untuk membantunya berdiri.

Ia menjabat tangan gadis mungil itu. Dengan perlahan, ia mulai mencoba berdiri. Azura sedikit kehilangan keseimbangan ketika ia mencoba untuk berdiri. Seperti anak yang baru saja menapakkan kakinya ke tanah.

Memang perlu waktu hingga tubuhnya kini kembali terbiasa. Ia juga mulai menggerakkan beberapa anggota tubuhnya yang lain seperti tangan dan badannya. 

Setelah merapikan semua peralatan dan Azura 'pun sudah mengenakan kembali bajunya dengan rapi, mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan untuk pulang.

CH. 2 [Bab I : Desa Harapan]

Selama perjalanan ini, Azura terus memperhatikan area di sekelilingnya. Semua hal yang ia lihat kini terasa baru dan langsung membekas di ingatannya yang kosong itu. 

Bahkan ia tak sadar kalau perutnya kini mengeluarkan suara aneh.

"Kau lapar? Tahan sebentar, kita hampir sampai kok.

Sambil memegangi perutnya yang keroncongan, Azura berpikir sejenak.

"Apa kau, tidak takut padaku?"

"Kalau kau sendiri bagaimana?"

Azura kini dibuat tidak bisa berucap dengan balasan dari gadis mungil itu. Belasan—bahkan ratusan jawaban yang tersisa di ingatannya tak bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan itu. Hanya ada satu hal yang bisa ia ucapkan.

"Aku, tidak tahu." 

Sambil mengalihkan sedikit pandangan, Azura mengusap pelan pelipisnya.

Gadis itu kini berhenti berjalan dan mengalihkan posisinya, berhadapan dengan Azura.

"Yah, daripada disebut takut, aku justru lebih merasa cemas dengan keadaanmu. Meski aku sedikit tidak yakin soal dirimu yang hilang ingatan itu. Akan tetapi, aku seperti di tuntun untuk menolongmu saat itu. Seolah, ini merupakan sebuah takdir yang sudah ditentukan. Lagipula, bukannya kau yang harusnya merasa takut. Bagaimana kalau aku berbohong telah menyelamatkanmu?"

Azura semakin dibuat tak bisa berucap. 

Dengan kedua tangan yang ia kepalkan kuat. Ia mulai menjawab pertanyaan itu dengan ragu.

"Insting—perasaanku saja yang mengatakan tidak masalah mengikutimu. Terlebih, kalimatmu tadi, tulus dari hati."

Azura tahu kalau jawabannya bukan jawaban pasti yang diinginkan gadis itu. Tapi ia tidak bisa memikirkan hal lain. Karena memang ia hanya bisa mengikuti instingnya untuk saat ini.

"Pffft—... hahaha…" gadis itu tertawa kecil mendengar jawaban Azura. "Nah, kalau begitu, tidak ada masalah kan kalau aku juga mengikuti perasaanku? Bagaimana? Apa kau puas?" 

Riri melempar sebuah senyum yang seolah mengejek Azura. 

Azura tahu, senyuman itu bukan bermaksud untuk merendahkannya. Tapi mengingatkannya kembali kalau gadis ini memang berniat tulus menolongnya.

Sebuah perasaan aneh ia rasakan untuk pertama kali di dalam dadanya. Rasa sesak yang mengganggu diikuti dengan sedikit rasa gelisah. Terutama ketika ia terus memandangi wajah manis gadis yang ada di hadapannya.

"Maaf."

"Tidak masalah. Aku sudah sering mendapat pertanyaan aneh setiap harinya." 

Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan mereka. Pohon demi pohon mereka lewati, ditemani dengan semilir angin dan beberapa cuitan burung di hutan.

Dari jauh, pelupuk mata mereka melihat seseorang tengah bersandar di sebuah pohon di depan jalur mereka.

Gadis ini justru semakin mempercepat laju kakinya ketika melihat seseorang di depan yang seolah menunggu kedatangan mereka.

Tapi, berbeda dengan orang yang ada di belakang Riri. Azura justru merasakan sesuatu yang sangat tidak nyaman ketika melihatnya. Terutama, aura yang dipancarkan orang itu.

Semakin mendekat, mereka semakin bisa melihat sosok orang itu.

Seorang anak laki-laki yang mungkin tingginya setara Azura—atau lebih. Ia memiliki sebuah telinga hewan—mirip seperti ras kucing atau lebih tepat mirip seperti serigala perak dengan ekor yang lebat pula. Warna rambut putih perak yang sama dengan warna mata yang menatap tajam ke arah dua orang yang berjalan menghampirinya.

Anak itu berjalan mendekat sambil mengambil sesuatu dari balik punggungnya.

"Arnold! Aku bawakan tanaman obat—..."

Sesuatu melintas cepat di dekat gadis itu. Sebuah proyektil yang dilempar. Tapi, gadis itu tak merasa ada sesuatu yang berbahaya di dekatnya. Kecuali proyektil itu sengaja dilempar menuju seseorang.

Benar saja, proyektil itu—yang merupakan sebuah belati menancap tepat di depan kaki Azura. Hal itu pula yang membuatnya terkejut dan mengambil langkah mundur. Sayangnya, kakinya tersandung akar pohon dan membuatnya terjatuh."

Sebuah sensasi dingin dari batang besi menempel pada leher Azura. Entah sejak kapan, Arnold kini berada di belakang Azura sambil memegang pisau belati tersebut.

"Jadi, ada keperluan apa seorang kesatria sihir kekaisaran datang ke tempat seperti ini?"

Dengan pikiran yang masih belum mencerna situasi, Azura justru menanggapi pertanyaan itu dengan santai meski sedikit kebingungan.

"Um... Aku tidak paham maksudmu..."

Sebelum keadaan menjadi semakin buruk, gadis mungil itu langsung menghentikannya.

"Arnold! Bisa tidak jangan lakukan hal berbahaya seperti itu!?"

"Aku hanya mencoba melindungi keluargaku."

"Yang kau lakukan justru sebaliknya tahu!" gadis itu sedikit memasang wajah kesal dengan tingkah laku Arnold.

Anak serigala itu menghela nafas. Menyarungkan kembali belatinya dan berdiri. Ia pun kini mengulurkan tangan kanannya ke arah Azura, bermaksud untuk membantunya berdiri.

"Maaf ya."

Meski tidak terlalu paham, Azura menjabat tangan Arnold yang membantunya untuk berdiri kembali.

Arnold lalu mendekat ke arah Riri dengan cepat. Kini, mereka berdua terlihat seperti sedang berbisik satu sama lain.

"Riri, bisa jelaskan padaku secara singkat?"

"Aku menemukannya hanyut di sungai, jadi ku coba untuk ku tolong. Tapi sepertinya, kepalanya sedikit bermasalah. Dia akan sakit kepala jika disuruh mengingat sesuatu yang ia tidak ketahui. Singkatnya, hilang ingatan."

"Jadi kau bermaksud membawanya ke rumah?"

"Memangnya tidak boleh? Bu Vega kan tidak melarangnya."

Arnold menghela nafas panjang. "Aku akan pulang duluan untuk memberitahu Bu Vega dan Kak Nein soal ini. Meski aku bertaruh mereka sudah menyadarinya duluan. Kalau begitu..."

"Eh... Main pergi saja. Ini bawa..." Riri menyerahkan sebakul penuh tanaman obat yang ia petik tadi kepada Arnold. "Tolong ya..."

Dengan ekspresi yang sedikit masam, Arnold menerima permintaan tersebut. "Satu hal lagi, meski aku tidak merasakan hawa mengancam darinya. Aku merasa sedikit tidak nyaman di dekatnya. Seperti... Membawa kenangan buruk... Kalau begitu, aku pergi duluan." Arnold dengan cepat pergi menjauh dari mereka berdua.

Riri lalu menghampiri Azura yang sedari tadi terlihat kebingungan.

"Aduh, maaf ya membuatmu menunggu. Dan tolong maafkan sikap kasarnya tadi. Sikapnya memang tempramental jika menyangkut masalah keluarga."

Azura hanya bisa mengangguk karena tidak terlalu paham.

"Kalau begitu, ayo kita lanjutkan..." gadis itu dengan cepat menggenggam tangan Azura dan memaksanya untuk berjalan mengikuti tempo kakinya yang semakin cepat.

Setelah berjalan beberapa saat, kedua pelupuk mata mereka melihat sebuah bangunan di balik rimbunnya pepohonan.

Mencapai pintu masuk di bagian belakang bangunan, Riri segera membuka pintu kayu tersebut.

Begitu Azura melangkah masuk, ia sedikit tertegun melihat bagian dalam bangunan. Kenangan nostalgia—atau hal semacam itu yang kini merasuk di dalam kepalanya.

"Kau lama sekali Riri. Aku sampai disuruh membantu Kak Nein mengurus pekerjaan dapur."

Di sana, sudah ada Arnold bersama seorang wanita yang berpakaian seperti pelayan yang menunggu kedatangan mereka berdua.

"Bukannya kau sendiri yang malah pulang duluan ya?" gadis mungil itu melempar sebuah senyum mengejek kepada Arnold.

"Riri, apa anak ini yang dimaksud?" ucap pelayan wanita tersebut. Rambut wanita ini berwarna merah menyala sama seperti warna kedua bola matanya. Penampilannya layaknya wanita dewasa yang begitu anggun meski mengenakan pakaian pelayan.

"Aku tidak terlalu paham maksud Kak Nein. Tapi, Azura ini adalah orang yang ku selamatkan di dalam hutan sana. Untuk lebih detailnya akan ku jelaskan nanti. Yang terpenting... Dia boleh tinggal di sini kan?"

"Aku tidak bisa menjamin. Jika satu malam kurasa tidak masalah. Tetapi, jika dia ingin tinggal lebih lama, kurasa kita perlu menunggu persetujuan Nyonya soal ini."

"Begitu ya..." entah mengapa, raut wajah Riri sedikit merasa khawatir.

"Untuk sekarang, Azura... Bisa tolong ganti baju dulu? Aku sudah menyiapkan baju ganti untukmu. Meski aku tidak yakin soal ukurannya, seharusnya mirip seperti Arnold."

Azura menerima baju pemberian pelayan yang bernama Nein tersebut. Baju itu terlihat seperti baju orang pedesaan pada umumnya dengan warna dominan hitam.

Azura lagi-lagi hanya mengangguk.

Ia mulai melepas satu persatu kancing bajunya saat ini. Saat bajunya sudah hampir terlepas, gadis mungil di dekatnya itu langsung tersadar.

"Hei, hei! Tunggu dulu! Kenapa kau melepas bajumu disini!?"

Azura sedikit memiringkan kepalanya. "Tidak boleh?"

"Tidak boleh! Ganti baju di kamar mandi sana!" jari telunjuknya menunjuk sebuah ruangan lain di dekat sana.

"Um... Baiklah..." Azura dengan kebingungan berjalan menuju ruangan yang dimaksud oleh Riri.

Di dalam kamar mandi, Azura mulai mengganti pakaiannya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk berganti pakaian. Ia juga menyempatkan diri untuk membasuh wajahnya dengan air yang ada di dalam gentong.

Menghadap ke sebuah cermin di dalam sana, ia memperhatikan dirinya sendiri. Mata berwarna hitam yang sama seperti rambutnya itu menatap ke arah bayangan dirinya dengan sangat dalam. Seberapapun ia bersikeras untuk mengingat siapa dirinya ini, tidak ada yang bisa ia ingat selain namanya.

Menyudahi berkelahi dengan pikirannya, ia akhirnya keluar dari kamar mandi.

Begitu ia keluar, ia sudah disambut oleh seseorang.

Seorang wanita dewasa dari ras Wild Beast—sebuah ras dengan ciri khas berupa telinga hewan dan sebuah ekor itu berdiri di dekat sana. Rambut kepala dan ekor yang berwarna emas, serta sebuah setelan baju yang dominan berwarna orange dengan selingan warna putih itu menatap ke arah Azura—meski begitu, matanya selalu tertutup.

"Hmmm... Jadi kau anak yang dimaksud itu ya? Heee... Menarik. Perkenalkan, namaku Vega. Aku adalah pemilik sekaligus pengurus rumah panti asuhan ini. Jika tidak keberatan, mau kah ananda Azura mau makan malam bersama kami?"

Kembali, Azura hanya mengangguk.

"Kalau begitu, pakaian itu... Bisa kau berikan padaku? Tenang saja, akan ku simpan dengan baik kok." Vega menunjuk pakaian yang kini ada di dekapan Azura—baju lama miliknya.

Lagi-lagi mengangguk. Azura memberikan pakaian lamanya secara percuma. Lagipula, Azura juga berpikiran pakaian itu tidak penting—setidaknya untuk sekarang. Jadi biarlah pakaian itu disimpan oleh orang yang lebih paham.

"Anak pintar... Nein, bisa ke sini sebentar?"

Begitu dipanggil, Nein segera datang menghampiri Vega.

"Tolong, simpankan baju ini."

"Dapat di mengerti, Nyonya." sambil membawa baju lama Azura, Nein melangkah pergi.

"Kalau begitu, mari, kita makan bersama..."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!