Senyuman indah terukis begitu jelas di kedua bola mata Jenson. Pria yang tengah menatap wajah cantik sang kekasih.
“Win, sebentar lagi kita lulus kuliah. Pacaran kita juga sudah cukup lama…” ucapan Jenson terdengar ragu-ragu hingga Windi menghilangkan senyumannya.
Yah, takut akan mendengar kata yang tidak pernah ia inginkan. Yaitu putus, Windi begitu sangat mencintai Jenson. Pria yang selalu menjadi teman curhat sekaligus kakak untuknya.
“Apa karena ada yang lain?” tanya Windi tanpa mau mendengar ucapan selanjutnya dari Jenson.
Sontak saja kening Jenson mengernyit. “Maksudnya? Ada yang lain apanya, Win? Aku ingin menikah denganmu.”
Kedua bola mata Windi seketika tampak berbinar bahagia. Ia sangat senang mendengar hal itu. Namun, di detik berikutnya ia tampak menghilangkan senyuman di wajah cantiknya.
“Jen, kita masih kuliah. Dan kerjaan kita…” ragu ia menjawab.
Bukan karena Windi matre, melainkan ia ingat akan tanggungannya untuk keluarga. Hidup pas-pasan membuatnya sulit untuk memutuskan kehidupannya seorang diri. Sebab, di rumah ada keluarga yang juga tengah bergantung padanya.
Jenson yang mengenal cukup lama tentu saja paham. Ia pun tersenyum tenang. “Menikah yang aku katakan bukan saat ini, Win. Aku juga seorang pria. Artinya harus mencari pekerjaan lebih dulu.”
Mendengar ucapan kekasihnya, Windi pun tampak menghela napas lega.
***
Perjanjian bersama yang baru saja beberapa hari lalu Windi dan Jenson ucapkan hari ini terpaksa harus pupus.
Air mata wanita itu menetes kala suara penghulu sudah menggema di mesjid pagi ini tepat pukul sembilan.
Terisak ia menundukkan kepala tanpa berniat melihat pria di sampingnya yang tengah menjabat tangan penghulu dengan menyuarakan ijab kabul. Tak ada kata yang bisa ia utarakan saat ini.
“Win, jadilah istri yang patuh. Maka aku akan memenuhi semua kebutuanmu dan keluargamu.” Pria yang berusia sekitar 48 tahun itu kini tampak tersenyum mencium punggung tangan sang istri yang baru saja sah menjadi istrinya.
“Tuan, bisakah saya melihat jenazah ayah saya utuk terakhir kalinya?” suara bergemetar milik Windi sungguh menggetarkan hati siapa pun yang mendengar, namun tidak dengan sosok pria kejam yang berdiri di depannya saat ini.
Sedikit pun Windi tidak melihat belas kasih dari sang suami.
“Ayo pulang sekarang juga. Ingat, jangan pernah mencoba membuat ulah atau pun kabur. Keluargamu ada di genggaman saya, Windi.” Air mata Windi jatuh untuk kesekian kalinya.
Ia tak bisa menahan apa pun lagi saat ini. Sungguh semua yang ada pada dirinya tak akan lagi bisa ia genggam. Pria inilah yang menjadi tempat untuknya mengabdikan seluruh hidupnya.
“Maafkan aku, Jen.” jerit hati Windi mengingat nama pria yang saat ini harus ia lupakan untuk selamanya.
Tanpa bisa melihat pemakaman sang ayah, Windi harus tetap kuat melangkahkan kaki menuju ke mobil dimana kendaraan roda empat itu telah siap melaju menuju kediaman sang suami.
Sepanjang perjalanan tak ada perbincangan apa pun yang terdengar dari dalam mobil.
“Siapa yang menelpon?” tanya pria di samping Windi kala risih mendengar ponsel sang istri beberapa kali berdering.
Tangannya yang semula sibuk dengan tab, kini harus beralih ke ponsel yang Windi genggam.
“Tuan, jangan!” Windi memohon sedikit berteriak. Namun naas benda pipih itu justru sudah terhempas jauh di jalan raya. Bahkan saat Windi menoleh ke belakang ia meneteskan air mata saat satu mobil di belakang mereka melindas hancur ponsel miliknya.
“Jenson, aku benar-benar minta maaf tidak sempat meminta kita putus. Aku minta maaf Jen, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana saat ini.” Windi terpejam menahan perih di dadanya.
Ingatan akan perjuangan mereka yang telah di rencakan akhirnya terputus begitu saja. Bahkan Windi telah membangun rumah tangga dengan pria lainnya.
Ini adalah malam pertama di mana pernikahan Windi dan seorang pria mapan yang bernama Arbiansyah Wibowo akan di mulai. Salah satu villa di puncak kala itu menjadi saksi bisu atas lenyapnya keperawanan seorang gadis bernama Windi Andini.
Erangan panjang serta sepasang mata tajam terpejam kala menikmati denyutan demi denyutan yang membuatnya termanjakan. Tanpa ada rasa perduli sedikit pun dengan wanita di bawah kungkungannya yang menangis merasakan sakit luar biasa bercampur nikmat.
"Tuan, saya ingin ke kamar mandi." ujar Windi terisak namun tubuhnya masih menyatu sempurna dengan milik sang suami.
Mendengar hal itu bukannya setuju, merasa miliknya masih ingin menikmati kenikmatan yang baru saja ia raih setelah sekian lama tak mendapatkannya. "Diamlah! Apa kau tidak bisa melihat kesenanganku saat ini? Silahkan saja pergi jika mau aku memulai untuk kedua kalinya dalam waktu dekat!" Arbi berkata sembari menyematkan senyuman smirk.
Bungkam Windi tak bisa melakukan apa pun selain menunggu perintah. Kini ia sadar, bukan hanya tubuhnya yang terbeli. Tetapi semua yang ada di dirinya sudah bukan miliknya lagi. Windi tak akan memiliki kesempatan untuk sekedar melirik ke arah lain saja. Ke kamar mandi pun ia tidak bisa tanpa mendapatkan ijin.
"Hah..." Arbi terdengar menghela napas lalu merubuhkan tubuhnya yang berpeluh di atas tubuh Windi. Beberapa menit Windi masih merasakan sesuatu di bawah sana sangat keras tak mengendur sedikit pun. Sungguh, pria yang berusia 48 tahun ini tidak bisa di remehkan sama sekali. Kekuatannya masih sangat stabil dalam urusan ranjang.
"Ayolah aku mohon beranjaklah..." gumam Windi berdoa sebab ia merasa sangat risih dengan tubuh polos mereka yang terkena keringat sekaligus takut jika sampai pria itu berubah pikiran.
Dan, semua yang ia takutkan kini ternyata benar. Sebuah bibir sudah kembali meraup bibir ranum milik Windi. Itu artinya pria ini bukan tengah menikmati malam pertama mereka barusan. Melainkan tengah menimbang apakah permainan kedua sudah bisa di mulai.
Belum kering rasanya air mata di kedua pipi gadis itu kini Windi sudah merasakan kembali tubuhnya di guncang dengan sangat hebat. Berbeda dengan yang pertama. Ia benar-benar merasakan tubuhnya begitu nyeri di dalam sana. Tak di pungkiri permainan Arbi begitu membuat Windi terasa melayang. Rasa sakit yang semula terasa sangat dalam, perlahan berganti menjadi rasa yang nikmat. Dan air mata di kedua pipi Windi tak lagi jatuh.
"Cih...mengapa kau berhenti menangis? Kau menikmatinya kan?" kekeh Arbi kala melihat Windi tak lagi merespon dengan kesedihan. Hanya diam yang wanita itu lakukan.
Sayang, keterdiaman Windi justru di salah artikan oleh Arbi. Pria itu kesal lantaran permainan yang seharnusnya ia nikmati bersama partner ranjangnya justru seolah hanya dirinya lah yang dominan.
"Gantian!" pintahnya membuat Windi tergagap.
"A-apa, Tuan?" tanya Windi bingung. Ia merasa hal sial padanya belum berakhir.
"Cepat kau di atas." pintah Arbi membuat Windi menurut dengan wajah gugup serta malu. Hanya duduk yang ia lakukan tanpa melakukan pergerakan.
"Astaga...seperti ini." Arbi tampak marah melihat Windi yang tidak bisa ia ajarkan dalam bergerak. Tak bisa menahan diri, ia pun membalikkan tubuh Windi kembali dan ia mengambil kendali.
Sungguh malam pertama yang begitu mengerikkan bagi Windi, sebab sepanjang malam ia harus berulang kali melayani sang suami hingga subuh menjelang. Tubuh langsing gadis itu sampai terlihat letih dalam tidur panjangnya.
Malam pertama yang ia rasakan sama sakitnya dengan seorang pria yang tengah meneteskan air mata usai mendatangi rumah keluarga Windi. Yah, dia adalah Jenson. Beberapa kali melakukan panggilan tanpa mendapat jawaban, akhirnya ia memilih untuk segera ke rumah Windi tanpa perduli malam sudah semakin larut.
Rasa khawatir yang ia rasakan nyatanya benar terjadi pada sang kekasih. Jenson terdiam membisu kala mendengar penuturan sang ibu Windi.
"Nak Jenson tolong jangan cari Windi lagi. Dia sudah menikah tadi bersama pria pilihannya." ujar wanita paruh baya itu tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya pada sang anak.
Tentu saja mendengar hal itu Jenson menggelengkan kepala tidak percaya. "Menikah? Tidak, Bu. Windi tidak mungkin menikah dengan pria lain. Saya pacarnya, saya calon suaminya, Bu. Kami sudah berjanji untuk segera menikah ketika saja berhasil mengumpulkan uang untuk membeli rumah." tutur Jenson mengingat bagaimana ia dan Windi menyetujui kesepakatan untuk membeli rumah lebih dulu.
"Ibu tidak tahu, sebab Ibu sudah menasehati Windi juga, tapi dia kekeuh menikah dengan pria itu. Dan sekarang mereka sudah pergi keluar kota." tutur ibu Windi sesuai dengan apa yang ia dengar dari sang anak. Tentu saja semua adalah kebohongan yang Windi katakan tanpa ingin di tahu sang ibu jika dirinya dalam hidup yang tertekan saat ini.
Memilih pergi yang Jenson lakukan saat ini. Sepanjang jalan ia hanya melamun, sekali air matanya menetes untuk pertama kali. Selama ini hidup dalam kesunyian tanpa kasih sayang orangtua membuatnya berusaha tetap kuat dan memilih diam menjalani semuanya. Tapi kali ini tidak ada lagi pertahanan itu yang ia miliki. Windi telah meninggalkannya.
"Apa yang membuat kamu memilih pria lain, Win? Aku yakin ini tidak akan benar. Kamu pasti menyembunyikan sesuatu padaku. Kita berpacaran lama dan kamu tidak pernah melakukan satu kesalahan pun sama aku." gumamnya seraya menaikkan lagi laju motor besar miliknya.
Bukan pulang ke rumah, Jenson memilih untuk menuju sebuah rumah yang tengah ia rencakanan untuk memberi dp. Tatapan Jenson begitu kosong pada bangunan yang baru jadi sekitar beberapa minggu lalu itu. Tidak besar namun cukup untuk mereka tinggali berdua.
"Apa karena ukuran rumah ini, Win?" ia terkekeh meneteskan air mata melihat rumah yang ingin ia persembahkan untuk sang kekasih memang tidak ada mewahnya sama sekali. Dan perumahan itu merupakan perumahan yang sederhana di sekelilingnya. Tak ada rumah yang berukuran besar.
Hingga jam menunjuk angka dua, barulah Jenson memutuskan pulang ke rumah dengan wajah kusut. Meski dalam keadaan sedih ia masih ingat jika besok adalah jadwalnya untuk tetap bekerja.
Waktu subuh berganti dengan pagi. Dimana keadaan rumah tampak sunyi dan Jenson sudah bersiap ke tempat kerjanya. Bekerja di perusahaan ayah temannya membuatnya tak ingin membuat nama sang teman rusak. Sebab itulah Jenson berusaha menunjukkan kualitas dirinya sebagai seorang akuntan.
"Bi, kenapa sarapannya banyak sekali?" tanya Jenson saat duduk di meja makan mendapati makanan di rumah itu begitu banyak macam.
Sang bibi yang mendapatkan pertanyaan itu tampak bingung. Haruskah ia memberi tahu dengan wajah senang atau sedih.
"Em Tuan..." jawabnya ragu-ragu dan Jenson bersuara.
"Bukankah Papah masih di luar kota, Bi?" tanyanya lagi.
Bibi tampak menarik napas panjang lalu hendak menghela. Namun, suara bariton sang pemilik rumah tiba-tiba terdengar.
"Bibi, antar koper ini dan tasnya ke kamar saya." pintah Arbi dingin. Tanpa memberikan sapaan pada sang anak.
"Jen," lirih Windi syok melihat siapa yang duduk di meja makan depan sana.
Begitu pun dengan kedua manik mata Jenson yang membulat lebar melihat siapa wanita yang datang bersama sang ayah.
"Sayang, ayo sarapan kau pasti kelelahan." tutur Arbi semakin menyalakan api amarah di dada sang anak.
Brak!!
Suara tangan yang menghempas meja makan serta sendok yang di banting di atas piring putih itu membuat Arbi dan juga Windi sama-sama kaget. Bahkan Windi sampai terlonjak kaget, namun ia sadar dirinya tidak akan ada benarnya di depan Jenson saat ini. Dan Windi memilih tetap menjalani semuanya tanpa memberi tahu hal yang sebenarnya.
"Jenson! Apa yang kau lakukan?" Arbi berteriak marah mendapat perlakuan buruk dari sang anak. Untuk pertama kalinya Jenson memperlihatkan amarahnya di depan sang papah.
Suara barang pecah beberapa kali menggema di dalam kamar milik Jenson. Kali ini ia tidak bisa menahan diri lagi. Tentu saja perlakuannya itu membuat sang pelayan ketakutan hingga berlari melaporkan keadaan di dalam kamar Jenson pada sang tuan.
Tubuhnya gemetar dengan kepala menunduk. "Tuan, Tuan muda Jenson mengamuk di kamarnya." lapor sang pelayan dengan hati-hati.
Arbi tampak menikmati makannya dengan santai di temani gadis cantik yang kini berstatus nyonya di rumah itu, yaitu Windi. "Biarkan saja...mungkin sedang mencari barangnya di kamar atau ada masalah dengan kantor." ucapnya tampak masa bodoh.
Kening Windi mengernyit mendengar penuturan sang suami. Ada apa dengan hubungan anak dan ayah ini? Mengapa mereka tampak sangat acuh satu sama lain?
"Itu pekerjaan dia yang pilih dengan meninggalkan perusahaan ayahnya. Biarkan dia menerima konsekuensinya." Arbi pun kembali meminta Windi untuk menambahkan lauk di piringnya.
"Win, tambahkan lauk yang itu." ujarnya dan Windi tanpa mengatakan apa pun akhirnya patuh.
Makan dengan rasa tak selera rasanya begitu menyiksa. Beberapa kali Windi tampak meneguk air demi mendorong makanan di tenggorokannya. Tak lama setelah itu tampak Jenson berlalu cepat dari ruang makan menuju keluar rumah.
"Jenson!" panggil Arbi namun tak mendapat respon apa pun. Mata Jenson terlihat merah saat sekilas ia melirik ke arah Windi.
Tanpa berani mencegah atau melakukan hal lain, Windi hanya bisa menunduk di meja makan. Ini bukan perihal rasa takutnya pada amarah Jenson, namun lebih pada rasa malu mengingat dirinya meninggalkan Jenson demi menikahi sang ayah. Begitu hina rasanya, meski tak dapat di pungkiri wajah sang ayah yang mapan justru lebih mempesona di kalangan wanita. Sementara Jenson masih begitu muda untuk menjadi pria idaman.
"Bi, tolong antar dia ke kamar. Sepertinya dia kelelahan karena semalam." tutur Arbi membuat sang pelayan patuh dan mengajak Windi.
"Nyonya, mari saya antar." tutur pelayan sopan.
Tak ada suara dari Windi. Gadis itu masih tetap diam dan berjalan meninggalkan sang suami yang entah ingin kemana. Sekedar bertanya pun ia tidak berani pada Arbi. Di sini Arbi usai memastikan kepergian sang istri barulah ia bergegas ke ruang kerja untuk melanjutkan pekerjaan dari rumah.
Berbeda halnya dengan keadaan di tempat Jenson saat ini. Sesampai di perusahaan kepalanya pusing memikirkan apa yang terjadi barusan. Berusaha tetap fokus bekerja sungguh sulit, namun sekali lagi. Perusahaan ini bukanlah perusahaan sang ayah atau miliknya yang bisa sesuka hati ia malas-malasan.
"Aku harus pergi dari rumah itu." gumamnya memantapkan hati untuk angkat kaki dari rumah itu.
Hingga satu hari penuh ia bekerja dengan perasaan gelisah, kini sudah waktunya Jenson kembali ke rumah. Seperti biasa selepas pulang kerja ia selalu kembali ke rumah jika tidak ada janjian pada sang kekasih. Namun, hari ini adalah hari pertama ia menyandang status jomblo.
Bukan janjian bertemu, justru kepulangannya tentu akan bertemu dengan Windi di rumah. Selama beberapa menit menempuh perjalanan dengan motor, tampak Jenson merubah pikirannya untuk pergi dari rumah.
Senyuman sinis terukir di wajah tampannya saat ini. "Ibu tiri...cih sungguh menggelikkan. Apa ini sifat aslimu, Win? mencintai pria seperti apa sebenarnya dirimu? Tampan? atau yang kaya? Atau yang tua? Sungguh menggelikkan. Untuk apa aku justru kacau karena wanita sepertimu?" Tak pernah Jenson sangka jika hatinya bertambat pada wanita murahan seperti Windi.
Rasa cinta yang semula mengobarkan api cemburu, kini tak terlihat lagi. Berganti dengan rasa benci yang teramat sangat. Bahkan Jenson tak akan lagi mau menghargai Windi di depannya. Ia menganggap Windi hanyalah wanita yang rela menjual tubuhnya demi harta dan nama. Yah, nama Nyonya Wibowo tentu saja akan sangat di pandang oleh orang-orang menjadi wanita terhormat.
"Sudah pulang rupanya? Bagaimana masalah di kantor mu itu?" Kepulangan Jenson di sapa oleh sang ayah dengan pertanyaan bersuara lantang itu.
"Masalah apa? Aku tidak memiliki masalah." ketus Jenson enggan berbicara baik dengan sang ayah yang terasa seperti orang asing selama ini.
Arbi tersenyum kecil. "Mau kemana kau? Bergabunglah di sini. Ibumu ingin berkenalan denganmu, Jen." panggil Arbi dengan berdiri bersedekap dada.
Windi tak berani menatap Jenson saat ini. Ia hanya duduk di sofa ruang tv sembari menundukkan kepalanya. "Pergilah, Jen. Aku tidak sanggup melihatmu saat ini. Ku mohon." doa Windi yang justru tak terjabahkan.
Langkah kaki Jenson yang di harapkan menjauh justru kini sudah mendekat dan di detik berikutnya pria itu mendaratkan bokongnya di sofa tepat di samping Windi pula. Tentu saja hal itu tak membuat Arbi curiga sama sekali. Justru ia tampak tersenyum senang. Berharap Windi dan Jenson akan berbaikan dan ia tak perduli bagaimana dirinya dengan Jenson. Yang terpenting pernikahannya akan di terima oleh sang anak seiring berjalannya waktu.
"Kalian berdua berbicaralah. Mengapa saling diam? Win, ini anak kita satu-satunya." perkenalan Arbi dengan angkuh.
Satu hari di rumah megah ini, tak sekali pun Windi mengeluarkan suaranya sampai saat ini. Hanya senyuman kaku yang ia berikan pada Jenson saat menoleh ke samping.
"Perkenalkan, aku anak tirimu. Jenson." sebut pria tampan itu seraya mengulurkan tangannya.
Satu senyuman sinis Jenson perlihatkan saat Windi menatap kedua manik mata sang mantan. "Maaf..." Windi membungkam bibirnya cepat saat kelepasan bicara.
"Maksud ku...em namaku Windi." jawabnya membalas uluran tangan Jenson.
Ada air mata yang menggenang di kelopak mata Windi saat melihat aura kebencian di mata sang mantan.
"Ku mohon jangan menatapku seperti itu, Jen. Jangan membuatku semakin sakit." jerit hati Windi namun tak terdengar siapa pun saat ini.
Hingga pada akhirnya Windi yang tak kuasa menahan diri, ia berpamitan untuk segera ke kamar. "Tuan, saya ijin ke kamar." tuturnya menatap Arbi.
Tentu saja panggilan itu membuat Arbi merasa tak nyaman. "Panggilan apa itu, Win? Aku suami mu." ujarnya.
Windi yang hendak bergegas pergi tampak meneguk kasar salivahnya. Matanya menatap sekali lagi ke arah Jenson yang membuang wajah.
Keheningan pun terjadi beberapa saat hingga akhirnya Arbi bergerak mendekati sang istri. Tangannya tampak mengusap pelan lengan Windi dan sebelah tangannya merangkul pinggang langsing sang istri. "Panggil aku Honey." bisiknya namun masih dapat terdengar oleh Jenson.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!