NovelToon NovelToon

Cinta Mas Sepupu

Larisa Bassta

“Jadi cewek jangan keluyuran nanti hamil duluan. Bukan cuman kamu yang nanggung beban malunya tapi orang tua!”

Teriak Seruni, ibu dari Nayla. Ia sengaja berbicara dengan keras untuk menyindir tetangganya yaitu Fitria yang sedang mengatur ulang letak pot bunga di halaman rumahnya.

Fitria bungkam, hanya bisa mengelus dada.

Nayla yang tak tega melihat wajah sedih ibu sahabatnya itu pun langsung melontarkan peringatan, “Bu, cukup! Nggak baik Ibu ngomong kayak begitu. Itu urusan mereka, kita nggak berhak menghakimi.”

Nayla berbicara dengan suara lemah.

Seruni mendelik sebal dan bersuara keras lagi, “Belain terus! Kamu sama Larisa  sahabatan dan mulai sekarang Ibu nggak mau itu berlanjut! Nanti kamu ketularan nakal kayak si Larisa.”

Seruni melotot, mencubit lengan Nayla yang sudah membuka mulut untuk menyahut. Nayla sekarang menunduk, ia takut dan hanya bisa melirik Fitria sebatas ekor matanya saja.

“Larisa, Larisa, nggak nyangka ya itu anak... kelihatan polos tapi ternyata liaaaaaarrr!” jerit Seruni begitu puasnya memaki.

Nayla lagi-lagi hanya bisa diam, sementara Fitria di seberang sudah tak tahan dan memutuskan masuk ke dalam rumah. Fitria duduk termenung di atas sofa, air matanya berlinang jatuh ke pangkuan. Bukan kali ini saja ia mendapatkan celaan, sudah berminggu-minggu lamanya caci maki dan hinaan menjadi santapan hangat pagi dan setiap waktu. Entah kapan berakhir atau memang tidak akan pernah berakhir. Apa yang dilakukan anaknya Larisa, benar-benar membuat keluarganya malu.

Perlahan, Fitria menoleh ke sebelah kiri, dia tatap foto anak keduanya di atas meja. Begitu tampak polos dan lugu. Fitria masih tak menyangka bahwa anak yang selalu ia banggakan bisa melakukan hal serendah itu.

Tangan Fitria terulur, ia peluk foto anaknya yang sudah tak ia lihat sejak anaknya diboyong oleh menantunya, Bassta. Entah bagaimana kabar Larisa, jangankan untuk menemuinya, untuk sekadar mendengar suaranya saja Fitria perlu izin dari suaminya Sadi. Dan entah izin itu akan dia dapatkan kapan, suaminya masih murka, kecewa dan tak mau mendengar hal apa pun yang menyangkut tentang Larisa.

***

Larisa, ia sedang sibuk mempersiapkan sarapan untuk suaminya. Meskipun masakannya sering kali ditolak, Larisa tidak akan berhenti untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang istri—mungkin tidak untuk kebutuhan biologis.

“Rajinnya Mbak Larisa, pagi-pagi sudah siapin sarapan buat Mas Bassta.” Asisten rumah tangga, Asih, bersuara dengan ramah.

Larisa menoleh, ia tersenyum.

“Ini sudah menjadi kewajiban seorang istri, kan, Bi?” kata Larisa begitu sopan dan Asih manggut-manggut.

Larisa melirik ke arah tangga, Bassta tak kunjung turun padahal sudah pukul enam. Biasanya, lelaki itu sudah turun sejak subuh untuk minta dibuatkan teh manis hangat oleh Bi Asih tapi kali ini, ia sepertinya terlambat bangun.

“Larisa mau bangunin mas Bassta dulu, ya, Bi,” kata Larisa izin pamit.

“Iya, Mbak. Silakan, biar sisanya Bibi yang beresin.” Asih tersenyum lebar.

“Makasih, Bi.” Larisa mengusap bahu Asih kemudian beranjak pergi meninggalkan dapur.

Diam-diam Asih memerhatikan kepergian Larisa. Ia memekik karena setelah kehadiran istri dari Bassta itu, ada sesuatu yang mengganjal tapi sulit untuk dia lontarkan sebagai sebuah pertanyaan.

Asih takut dipecat jika dia lancang menanyakan hal yang mengganjal itu kepada Bassta ataupun kepada Larisa. Hanya saja Bassta berpesan bahwa setelah Larisa datang, apa pun yang ia lihat, jangan banyak tanya atau berani sesumbar ke para tetangga jika tidak mau menanggung risiko.

Asih hanya bisa menurut karena bekerja di rumah tersebut jauh lebih penting ketimbang jiwa keponya..

***

Di kamar, Larisa masuk perlahan dan melihat Bassta masih berkelung di dalam selimut. Mata tajam pria itu terpejam, wajahnya memperlihatkan betapa nyenyaknya ia tidur karena kelelahan lembur.

“Apa mas Sultan membuat masalah lagi sampai dia kecapean begini?” gumam Larisa, ia merasa tidak tega untuk membangunkan Bassta.

Tanpa berpikir panjang, Larisa meninggalkan kamar tersebut, mungkin mendiamkan Bassta tidur tiga puluh menit lagi tidak masalah, itu yang Larisa pikirkan.

Larisa kembali ke dapur, menunggu sampai waktu tiga puluh menit itu. Namun ternyata dua puluh menit kemudian Bassta turun, rahangnya mengeras, matanya menyorot tajam ke arah istrinya yang terus saja dengan polos mengembangkan senyuman manis.

Asih yang melihat aura akan muncratnya kemarahan Bassta merasa panik sendiri dan memilih pergi ke belakang, dia diam, menguping. Lebih takut lagi jikalau Bassta kelepasan menyakiti istrinya yang sedang hamil lima bulan itu.

“Tololll!” teriak Bassta, seketika bibir Larisa mengatup panik.

“Kenapa, Bass?” Larisa tercekat.

“Bego! Kamu buta, ya? Nggak bisa melihat jam? Kenapa kamu nggak bangunin aku, Larisa. Nggak guna!”

Bassta membentak-bentak sambil mengisi gelas dengan air putih.

Bibir Larisa yang seawalnya terhiasi senyuman merekah kini tampak bergetar, menahan tangis.

“Bass, kamu bisa, kan ngomong baik-baik?” Suara Larisa berat, air mata menggenang, ia tahan sekuat tenaga dengan memejamkan matanya tapi ternyata hal itu malah membuat air matanya jatuh mengaliri pipi. “Maaf, Bass...aku cuman nggak tega—” Kalimatnya menggantung, Bassta menyela.

“Alesan! Sengaja kan kamu biar aku kena omel si Sultan! Dia seenaknya setelah papah jadiin dia direktur di perusahaan, dan aku...aku turun jadi sekretaris Sultan, sekretaris yang terus disuruh ini dan itu kayak babu!”

Bassta terus berteriak, dadanya kembang-kempis memperlihatkan betapa memuncak amarahnya. Laila hanya bisa mengerutkan bahu, takut dan tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan bahwa niatannya baik, tidak ada maksud tertentu yang merugikan suaminya itu.

“Hidup kamu cuma bisa jadi biang masalah ya, Larisa? Benalu? Itu arti hidup kamu, hah!” bentak Bassta lagi, kemudian ia duduk dan menatapi makanan di atas meja.

“Buang-buang duit! Buat apa masak sebanyak ini, percuma! Aku nggak doyan masakan murahan ala kamu,” katanya dengan suara merendah tapi tetap saja kata-katanya hanya terisi dengan makian.

Larisa terus menangis, meremas jemari kuat-kuat, mempersiapkan diri untuk menjelaskan.

“Aku...” Baru sepatah kata Larisa berucap, ia sudah terhenti karena Bassta melirik begitu tajam ke arahnya.

“Awas kamu kalau begini lagi! Disuruh bangunin doang aja nggak becus!” Sentak Bassta lagi dan Larisa mengusap pipinya yang basah.

“Maaf, Bass.” Larisa tercekat. “Aku nggak bakalan begini lagi tapi apa kamu bisa ngomong baik-baik? Tegur aku dengan pelan kalau aku salah,” pintanya dengan lemah lembut.

Bassta terkekeh, mengejek.

“Udah untung kamu ini aku tampung. Jadi, nggak usah banyak nawar. Kamu cuman perlu nurut, toh semua kebutuhan kamu aku penuhi, kan? Berhenti sok-sokan bersikap seperti seorang istri yang baik atau Solehah, nggak penting!”

Larisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat, enggan menimpali yang malah akan membuat Bassta semakin menjadi-jadi mencelanya.

“Iya aku salah,” gumam Larisa dalam hati, menyesal dan juga sakit hati atas semua makian suaminya.

Bukan kali ini, bukan hanya itu saja, sejak awal keduanya tinggal bersama, Larisa sudah sering dihina dan terus dimarahi walaupun hanya karena masalah sepele dan tidak sengaja.

Asih di belakang hanya bisa mengurut dada, merasa kasihan tapi tak sanggup melakukan apa-apa.

Larisa sekarang diam, menunggu perintah Bassta sesuai kemauannya, ia takut bertindak dan salah lagi. Tetapi Bassta langsung pergi setelah meneguk air minumnya dengan kasar, ia terburu-buru dan Larisa mengekor di belakangnya untuk mengantar sampai ke depan pintu.

“Enggak perlu! Pergi! Muak aku lihat muka kamu itu,” kata Bassta dengan sesekali menoleh tapi Larisa membandel mengikutinya.

Bassta yang tidak memiliki waktu lagi untuk mencela dan memaki akhirnya membiarkan Larisa.

“Ingat-ingat, Bass. Takutnya ada yang ketinggalan,” kata Larisa mengingatkan tapi Bassta mengabaikannya.

Pria itu langsung memasuki mobil, Larisa diam menatapi kepergian suaminya dengan mata yang merah.

Tak lama, Larisa kembali ke dalam rumah. Ia duduk termenung di ruang tamu.

Semua kata-kata yang menyakitinya itu memang sangat menyiksa tetapi Larisa juga merasa pantas mendapatkannya. Ia sudah menjerumuskan pria yang sebetulnya tidak bersalah.

Antara Besan

“Minum dulu, Mbak. Jangan melamun.” Asih sudah mendekat, membawa segelas teh manis hangat, ia berharap itu bisa membuat Larisa tenang.

Larisa yang sedang menangis terkesiap, ia usap air matanya gelagapan kemudian menerima dengan senyuman yang dipaksa.

“Terima kasih, Bi.” Suaranya berat.

Asih mengangguk, hendak pergi tetapi Larisa meraih tangannya.

Asih menoleh, keduanya bersitatap dengan tegang.

“Apa bisa Bibi janji sama aku?” kata Larisa dan alis Asih mengerut, tak paham.

“Kenapa, Mbak?”

Larisa menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan.

“Tolong, apa pun yang Bi Asih lihat dan dengar antara aku sama mas Bassta jangan sampai orang di luar tahu. Tolong, ya, Bi,” ucap Larisa memohon.

Asih merasa tak tega, melihat wajah sembab Larisa juga sorot matanya yang memprihatinkan. Lekas ia mengangguk kemudian membalas genggaman tangan erat Larisa.

“Bibi janji,” kata Asih dan Larisa pun tersenyum setengah lega.

***

Di tempat lain, di rumah keluarga Bassta, mewah nan megah. Seorang wanita berdiri dengan wajah pucat di dekat jendela kamarnya, wajah itu bukan hanya pucat tetapi juga tersaput kesedihan. Bagaimana ia tak sedih ketika mengetahui anaknya menghamili anak dari adiknya. Pernikahan antara sepupu, Larisa dan Bassta.

Wanita itu Novia, kakak dari Fitria ibunya Larisa. Dari segi ekonomi, kedua keluarga ini jelas jauh berbeda. Keluarga Larisa adalah keluarga yang sangat sederhana sementara keluarga Bassta, terpandang kaya raya.

Pernikahan besar yang diidam-idamkan Novia sirna, Larisa bukanlah sosok perempuan yang dia ingini sebagai menantu. Ia ingin menantu yang setara, setakhta agar tidak menurunkan standar tinggi kehidupannya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, takdir membolak-balikkan kehidupan juga keinginannya. Sosok menantu yang diidamkan Novia yaitu Jema hanya menjadi mimpi belaka.

“Bu, ada tamu.”

Suara seorang pelayan membuat Novia melirik sedikit, ia tak suka diganggu, ia ingin sendirian untuk waktu yang lama. Bahkan ia juga melarang siapa pun memadukan Bassta apalagi Larisa ke dalam rumahnya.

“Saya tidak mau diganggu,” kata Novia dengan tenang.

“Tapi, Bu...”Kalimatnya tersendat.

Novia berbalik, gelas sudah dia genggam, tak lama melayang dan menghantam lantai.

Brakkkkkkkk......Byaaaar...

Suara pecahan kaca berhamburan, beberapanya nyaris mengenai kaki sang pelayan. Wanita itu lekas mundur, menunduk, takut dan Novia terus menatapnya dengan emosi.

“Apa kamu tuli? Saya tidak mau dan tidak suka diganggu. Siapapun yang datang, biarkan mereka pergi!” teriaknya jengkel dan pelayan itu mengangguk patah-patah.

Di bibir pintu, Arif, suaminya itu sedang menatap dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.

“Adikmu yang datang, Novia. Bagaimana pun juga sekarang dia adalah besan kita,” seru Arif dan bahu Novia merosot loyo.

Arif melirik pelayan, melayangkan tatapan agar wanita itu pergi. Sekarang, tertinggal suami-istri tersebut dan Arif merasa perlu menenangkan istrinya lebih dulu sebelum dipertemukan dengan Novia.

“Aku nggak mau ketemu sama Fitria, Mas,” kata Novia dan Arif menggeleng, tak setuju.

“Itu akan membuat Sadi semakin bebas menghina kita. Setelah apa yang dilakukan Bassta kepada Larisa, lalu ditambah dengan sikapmu, bisa kamu bayangkan akan seperti apa mulutnya berbusa? Aku malas mendengar hinaan lagi, cukup, dan temui adik kamu itu.”

Novia menghela napas, sesaat berusaha membujuk tetapi Arif tetap menggeleng tidak sepakat.

“Baik, aku butuh beberapa menit untuk bersiap,” kata Novia dan Arif pun tersenyum.

***

Di ruang tamu, Fitria meremas genggaman tangan kirinya. Tangan berkeringat, memperlihatkan betapa gugupnya ia akan bertemu dengan Novia. Tetapi bukan hanya gugup melainkan juga takut karena ia tidak izin terlebih dahulu kepada suaminya untuk datang ke rumah tersebut. Jika suaminya tahu, mungkin ia akan dimarahi juga didiamkan untuk waktu yang lama.

Fitria menoleh saat mendengar suara langkah kaki, ia langsung bangkit dan sedikit menurunkan bahunya.

“Mas,” sapanya kepada Arif.

“Duduk, Novia sebentar lagi turun.” Arif tersenyum, Novia membalas dengan senyuman kaku.

“Bi, bereskan pecahan kaca di kamar saya. Secepatnya,” seru Novia di atas tangga, lalu bergerak turun dan pelayan yang ia minta langsung bergegas pergi.

Kening Fitria terlipat, pecahan kaca? Benaknya membatin penuh tanya.

“Mbak nggak kenapa-kenapa, kan?” tanya Fitria dan Novia mendelik, duduk, dan Fitria menelan ludah.

“Ada apa kamu datang ke sini, Fitri?” balas Novia, mengabaikan pertanyaan tadi.

Fitria mengulum bibirnya, menelan saliva, ia sadar bahwa kedatangannya tidak diinginkan siapapun di rumah tersebut.

“Novia, tanyakan kabar adikmu ini. Santai saja,” tegur Arif dan Novia menoleh sinis. Kini, Arif menatap Fitria. “Santai saja, Fitri.”

“Aku ke sini kebetulan habis belanja, jadi ke pikiran buat mampir. Aku mendengar kabar kalau Mbak Novia sakit, jadi aku ke sini.”

Fitria berbicara dengan tenang, tetapi tanggapan Novia sangat tidak baik, ia berdecak sinis.

“Aku baik, Fitri.” Ketus Novia.

Fitria tersenyum samar kemudian berkata, “Syukurlah. Apa yang terjadi di keluarga kita memang nggak mudah buat diterima, tapi mau bagaimana lagi sekarang, sebagai orang tua... Kita hanya perlu mendoakan anak-anak.”

Novia mendelik sebal mendengarnya.

“Iya kamu benar, Fitri. Ngomong-ngomong gimana kabar Sadi?” sahut Arif ramah.

“Baik, Mas.”

“Ganta, aku dengar sekarang anak pertamamu itu sudah bekerja.” Arif tersenyum.

Fitria mengangguk pelan, “Iya Alhamdulillah.”

“Sudah pernah aku tawari buat kerja di perusahaan tapi anak itu nggak mau. Mandiri banget dia,” puji Arif dan Fitria tersenyum senang sambil mengangguk.

“Itu bagus, nambah aja beban keluarga kita kalau Ganta masuk di perusahaan. Nusuk mata, bikin iri mereka yang mati-matian ngajuin diri dengan formulir ini itu kalau anak itu masuk dengan mudahnya karena ikatan kekeluargaan,” balas Novia sarkasme.

Fitria meringis mendengarnya.

Arif langsung menyenggol sikut Novia tetapi Novia tidak peduli.

“Alhamdulillahnya Ganta enggak, kan, Mbak?” kata Fitria dengan suara sedikit sumbang.

Novia tidak membalas, senyuman sinisnya yang mewakili.

Novia dan Fitria saling menatap dalam sengit, keduanya memang tidak akur sejak dulu, nasib dan takdir yang begitu berbeda. Takdir dan nasib juga yang menentukan perilaku penikmatnya. Novia semakin berubah angkuh setelah dipersunting Arif yang berasal dari keluarga kaya raya, dan sebetulnya, yang diinginkan Arif dahulu adalah Fitria tetapi Fitria jauh lebih memilih Sadi.

Kisah cinta memang membuat segalanya rumit dan mumet.

“Sudah, sudah, kamu mau minum apa?” kata Arif memecah ketegangan.

Arif bangkit, berseru memanggil pelayan tapi tak ada satupun yang datang sampai ia harus pergi meninggalkan ruang tamu menuju dapur.

Di saat inilah Novia merasa leluasa untuk mengintrogasi Fitria, apa niat dan maksud kedatangan adiknya itu yang sesungguhnya.

“Nggak usah basa-basi lagi, Fitria. Apa yang kamu mau sekarang? Bassta sudah rela menurunkan harkat dan martabatnya dengan menikahi anak kamu. Apa itu belum cukup?” sinis Novia dan Fitria menggeleng kepala tak menyangka bahwa Novia bisa Setega itu berbicara.

“Yang salah dan hina bukan hanya anakku saja, Mbak. Tapi juga Bassta! Dia yang bikin Larisa hamil, apa itu hanya kesalahan Larisa?” tegas Fitria jengkel, mulai tak kuasa menahan emosi.

Bagi Novia, hanya Larisa yang salah dan Bassta hanya terjerumus rayuan dan ilusi yang diciptakan oleh anak dari adiknya itu.

Manusia memang selalu pandai melihat keburukan orang lain dan selalu buta dengan kesalahannya sendiri meskipun di pelupuk mata.

 

Bassta dan Sultan

Saat Arif kembali, ia terkejut karena melihat Novia sedang mencengkeram kuat pergelangan tangan Fitria sampai Fitria meringis.

“Berhenti menyalahkan anakku, Fitri. Bassta nggak salah, tapi Larisa yang menjebaknya!” Novia melotot dan Fitria berusaha melepaskan diri tetapi tenaga kakaknya itu tak bisa ia kalahkan.

“Menjebak apanya, Mbak? Anak kita berdua yang salah. Cukup menyalahkan Larisa terus,” geram Fitria dan keduanya menengadah saat tangan Arif mendedah cengkeram tangan Novia sampai terlepas.

“Mas!” bentak Novia tidak terima.

Arif melotot, tak suka Novia menaikkan suaranya di hadapan orang lain padanya. Itu adalah sebuah penghinaan baginya.

Novia menunduk, sadar dia salah dan akan fatal akibatnya jika dia bersikeras dengan emosinya.

Fitria meringis, pergelangan tangannya sakit.

“Apa-apaan kalian ini?” tegas Arif, keduanya diam dan Fitria meraih tasnya, menunjukkan bahwa ia akan lekas pergi. “Novia,” tegur Arif sambil memegang siku istrinya dan Novia tidak mau berbicara.

“Maaf, Mas. Aku nggak bisa lama, maaf juga karena sudah mengganggu,” ucap Fitria sambil mengaitkan tali tas ke bahu kirinya.

Arif menggeleng, menunjuk sofa, meminta agar duduk kembali tapi Fitria sudah malas berlama-lama di rumah tersebut.

“Baik, ayo biar aku minta sopir supaya mengantar kamu sampai rumah,” kata Arif setelah mendelik kepada Novia.

Fitria berlalu pergi dan Arif menuntunnya. Novia yang jengkel juga cemburu pun akhirnya memilih kembali ke dalam kamar, mengurung diri sambil mengacak-ngacak meja riasnya seperti orang gila.

Di luar rumah, Fitria menolak saat sopir membukakan pintu dan membuat Arif urung untuk meninggalkannya.

“Ada apa, Fitria? Sikap kamu seolah ada yang tertinggal,” kata Arif dan Fitria mengangguk.

“Sebenarnya aku ke sini mau minta alamat rumahnya Bassta. Aku kepingin ketemu saja Larisa, Mas, aku pengin tahu gimana keadaan Bassta dan Larisa. Mas mau kan kasih alamat tempat tinggalnya Bassta?” ujar Fitria dan Arif terdiam sejenak. “Tolong, Mas.” Fitria memohon.

“Dengar, Fitri. Kalau suamimu tahu pasti akan jadi masalah, usahakan temui Bassta dan Larisa atas seizin Sadi. Aku sama Novia nggak mau kebawa-bawa lagi ke dalam masalah, akan aku kirimkan alamatnya sama kamu.”

Fitria tersenyum, merasa lega, Arif bersikeras agar ia menerima untuk diantarkan oleh sopir tapi lagi-lagi Fitria menolak. Alamat Bassta sudah sangat cukup baginya.

***

“Kamu udah bosan kerja, ya, Bass?” singgung Sultan, pria tukang mencari gara-gara.

Bassta yang sedang sibuk dengan laptopnya pun menoleh sinis.

“Kamu kesiangan karena sibuk semalaman sama si Larisa? Aku kira dia hamil karena kamu dijebak, ternyata karena kamu emang doyan sama modelan begituan, ya?” kata Sultan lagi dan Bassta menggeram kesal.

“Diem, nggak, lu!” bentak Bassta dan Sultan malah cengar-cengir.

“Harusnya happy dong? Atau emang kamu nyesel ya karena udah khilaf bikin hamil si Larisa? Punya istri boleh tapi nggak ada yang bisa melarang kalau kamu mau main-main sama cewek lain di luar sana, Bass. Itung-itung menghilangkan penat,” kata Sultan begitu enteng. “Mau aku rekomendasiin, nggak?”

Braaaaakkkkkk.....

Bassta menggebrak meja, Sultan cengengesan, senang karena sudah berhasil memancing amarah adiknya.

Sultan tersenyum, menunduk menatap tangan Bassta yang kini sudah meremas kerah kemeja putihnya. Bassta sudah mengepal tangan, siap menuju bibir Sultan yang selalu sembarangan berbicara itu. Saat bibirnya terbuka untuk memberikan peringatan, pintu ruangan tersebut juga terbuka dan Hanung masuk.

“Maaf, ada Pak Arif menuju ke sini.” Hanung menatap keduanya intens, Bassta langsung melepaskan baju Sultan dan Sultan gelagapan merapikan diri juga meja kerjanya.

“Kenapa juga Papah datang mendadak,” gerutu Sultan dan Bassta mengusap tengkuknya, dia sudah jengkel sejak pagi karena telat bangun dan sekarang ditambahi dengan ocehan Sultan.

Arif masuk, disusul dua orang yang langsung dia minta berjaga di luar. Hanung juga keluar, meninggalkan ayah dan kedua anaknya.

“Pah,” sapa Sultan ramah.

Bassta diam, duduk dengan wajah tertekuk. Ia masih jengkel karena posisi direktur dialihkan kepada Sultan perkara dia dan Larisa.

“Gimana pekerjaan kamu, Sultan?” tanya Arif tapi matanya fokus pada Bassta yang bersikap acuh tak acuh.

“Lancar, Pah. Tenang.” Sultan membanggakan diri padahal Bassta yang mati-matian mengurus segalanya.

“Dan kamu, Bassta?” seru Arif dengan tubuh berputar menghadap kepada anaknya. Bassta diam, malas menjawab.

Arif menggeleng lalu dia duduk berseberangan dengan Bassta.

Dia tatap wajah anaknya yang begitu murung itu. Ia tahu Bassta marah tapi ia juga kecewa atas apa yang dilakukan Bassta dan Larisa. Sebuah kesalahan yang mencoreng nama keluarga.

“Sultan, bisa tinggalkan Papah dengan adikmu sebentar?” pinta Arif dan Sultan terdiam, tak suka.

“Baik, Pah.” Sultan mengalah dan dia terus memandangi Bassta yang hanya diam saja.

Setelah Sultan pergi, Arif berpindah tempat duduk ke sebelah Bassta dan barulah Bassta bersuara.

“Apa yang mau Papah bicarakan sekarang?”

Arif tersenyum samar.

“Bagaimana kabar istri kamu?” tanya Arif dan Bassta menoleh cepat, menahan napas atau entah menahan rasa jengkel mendengar kenyataan bahwa sekarang Larisa adalah istrinya.

“Dia baik,” singkat Bassta dengan nada yang malas.

“Dia sedang hamil, jaga dia dan calon bayimu itu. Bayi itu nggak salah, Papah harap kamu bisa jauh lebih dewasa karena peran sebagai seorang suami dan ayah itu nggak mudah.”

“Tanpa perlu Papah ingatkan, aku tahu apa yang harus aku lakukan.”

Arif menyungging senyum sinis.

“Jangan sombong, Bass. Terakhir kali kamu bilang begitu, kamu membuat kekeliruan. Dan kamu sekarang itu buah dari apa yang kamu lakukan. Papah tahu kamu nggak suka Sultan menggantikan kamu, tapi Papah harap kamu bisa belajar dari semua hal yang sepatutnya tidak pernah kamu lakukan,” tegas Arif sambil menepuk bahu anaknya itu berulang kali.

Bassta terbungkam, tapi rasa angkuh dalam dirinya tak semudah itu untuk padam.

Lagi, Bassta mengabaikan peringatan yang diberikan Arif.

****

Setelah Arif pergi meninggalkan perusahaan, Sultan yang penasaran pun mendekati Bassta untuk menyelidiki apa yang sebetulnya terjadi di dalam ruangan selama tiga puluh menit tersebut.

“Bass,” seru Sultan saat melihat adiknya melangkah di lorong sendirian.

Bassta diam, menunggu Sultan sampai padanya.

“Apa yang kamu bicarakan sama Papah? Kamu berusaha menghasut Papah supaya kamu kembali dipercaya memimpin perusahaan, kamu mau melengserkan kedudukan kakakmu, Bass?” tegas Sultan dengan sorot mata mengancam.

Bassta terkekeh-kekeh melihat ekspresi takut di wajah Sultan.

“Nggak percaya sama kemampuan diri sendiri, ya, sampai takut tersaingi adik sendiri?” balas Bassta dengan senyuman kemenangan karena sudah berhasil membuat Sultan memerah murka wajahnya.

“Aku lebih baik dari kamu, Bass. Hanya saja Papah telat menyadarinya,” kata Sultan dengan angkuh.

“Kita pastikan saja itu nanti,” ketus Bassta kemudian pergi, Sultan berdecak murka dan terus menatapi kepergian adiknya.

Bassta yang merasa penat pergi menemui Hanung di ruangannya. Keduanya adalah kawan lama, saat Bassta menjabat sebagai direktur, Hanung adalah sekretarisnya.

Perubahan kedudukan yang disandang Bassta saat ini juga mempengaruhi posisi Hanung yang juga tidak disukai oleh Sultan. Hanung tidak mudah disogok, menjunjung tinggi ikatan persahabatannya dengan Bassta.

“Kamu harus lebih sabar menghadapi Sultan, Bass,” kata Hanung penuh peringat.

Bassta yang sedang mengisap rokok sambil memangku satu kakinya pun menoleh.

“Ngomong tinggal ngomong, menjalaninya yang susah.”

Hanung tersenyum mendengarnya.

“Aku yakin pak Arif juga menyesal karena sudah salah memberikan perusahaan kepada Sultan. Papahmu hanya sedang emosi waktu itu, dan para karyawan pun masih membahas hal ini dan bertanya-tanya apa penyebabnya posisimu diganti.”

Bassta kini terpancing untuk menatap Hanung baik-baik.

“Jangan kamu bilang kalau mereka semua tahu bahwa aku sudah menikah apalagi dengan Larisa,” ucap Bassta panik.

Hanung menggeleng, menepuk bahu Bassta, menenangkan.

“Pernikahan kalian ditutup-tutupi hanya saja entah akan sampai kapan bisa selalu tertutup rapat. Mungkin sebentar lagi semua orang akan tahu. Oh, ya, gimana kabar Larisa?”

Mata Hanung berbinar tatkala menyebut nama Larisa.

“Aku berharap semuanya tetap dalam kendali sampai aku dan Larisa bisa berpisah,” lirih Bassta dan kening Hanung mengerut. “Hmmm, ya, dia baik. Sangat baik karena kerjaannya cuman bikin masalah, aku yang nggak baik-baik aja setelah nikah sama dia.” Bassta melanjutkan dengan air muka yang malas.

“Tidak baik meniatkan perceraian. Ini bukan hubungan berpacaran, bosan putus sesukamu tapi ini ikatan suci pernikahan.”

Hanung menyahut dengan sangat serius.

Bassta tersenyum miring, tidak mengindahkan ucapan Hanung. Sekarang, ia malah membuka ponselnya yang tiba-tiba berdering dan menampilkan panggilan masuk dari sebuah nomor yang ia beri nama dengan emoticon ‘Love’ tiga biji.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!