NovelToon NovelToon

Bukan Pilihan

01

...~ Lamanya hubungan tidak menjamin cinta itu semakin tumbuh subur. Ada kalanya justru membuat jenuh dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu sendiri. ~...

...Arunika Pramesti...

...*******...

Senyum terukir di wajah cantik seorang gadis yang tengah memakai kebaya cantik berwarna hijau tosca. Dilengkapi toga yang tengah menempel di tubuhnya, ia berpose dengan manis di depan kamera. Satu buket bunga mawar putih kesukaannya pun tak lepas dari genggaman. Tidak lupa anggota keluarga juga turut bangga akan prestasi yang telah ia raih. Ucapan selamat atas gelar yang baru disandang pun tak surut dari banyak pihak.

Setelah puas melakukan sesi foto, sang ratu dalam anggota keluarga itu pun mengajak anggota keluarganya untuk makan bersama di sebuah resto dekat area kampus.

“Aku nanti nyusul, ya, Ma,” pinta gadis cantik itu. Pandangannya sudah tertuju pada teman satu jurusan yang sudah berkumpul di depan gedung fakultas mereka, siap untuk foto bersama.

“Mau ke mana?” Wanita paruh baya itu memicing curiga.

“Mau foto sama temen-temen seangkatan dulu,” terangnya.

“Jangan lama-lama,” pinta sang ayah.

“Siap, Bos!” Cengiran lebar ia berikan pada sang cinta pertama dalam hidupnya. Setelahnya, gadis cantik itu meninggalkan anggota keluarga dengan senyum yang terus mengembang.

“Mbak Runa cantik, ya, Ma. Kalau pakek kebaya gitu semakin terlihat anggun dan dewasa,” kata sang gadis kecil sesaat setelah kepergian sang kakak. Matanya berbinar penuh kekaguman.

“Siapa dulu mamanya,” jawab sang mama penuh kebanggaan, sedangkan sang kepala keluarga hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sang istri.

“Runi juga nggak kalah cantik dari Mbak Runa, kok,” hibur sang ayah, “kedua putri ayah itu cantik-cantik dan pintar. Nanti kalau bisa kamu juga harus cumlaude kayak Mbak Runa, ya, Sayang,” lanjut sang ayah. Elusan lembut ia berikan di pundak si bungsu.

“Runi usahakan, ya, Yah.” Binar mata itu tak mampu mengutarakan isi hati. Ada beban dalam benak sang gadis kecil atas pencapaian sang kakak. Ia takut tidak bisa mewujudkan ekspektasi kedua orang tuanya. Maka dari itu, ia akan berusaha sekuat tenaga agar tidak tertinggal jauh dari sang kakak. Kakaknya adalah wanita sempurna di mata Runi. Tidak terlihat cela sedikit pun di dalam diri Runa.

***

Senyum para wisudawan terus mengembang tatkala berpose di depan kamera. Berbagai gaya mereka lakukan untuk mengenang hari terakhir mereka bisa berkumpul bersama. Setelah hari ini, pasti semua akan sibuk dengan urusan masing-masing hingga sulit untuk melakukan janji temu.

Langkah berat seseorang menghampiri sang gadis yang memakai kebaya hijau tosca.

“Hay,” sapanya pada sang gadis, “selamat, ya, atas predikat cumlaude-nya, Arunika Pramesti,” ujarnya lagi. Senyumnya mengembang penuh kekaguman. Tangan kanan ia ulurkan untuk menjabat tangan gadis cantik itu. Gadis yang terlihat begitu memesona di matanya.

“Kamu juga selamat, ya, Byakta Kalingga. Akhirnya kita menyelesaikan satu babak lagi dalam bahtera kehidupan kita.” Arunika yang biasa dipanggil Runa membalas ucapan selamat yang diberikan padanya dengan menyebut nama lengkap sang pria. Sama seperti sang pria yang menyebut nama lengkapnya.

“Iya,” balasnya singkat.

“Mau foto bersama, Ata?” tanya Runa pada Byakta. Ia terbiasa memanggilnya dengan ‘Ata' panggilan kesayangan untuk Byakta.

“Boleh.”

Kedua insan itu pun berfoto ria dengan berbagai pose konyol. Senyum itu tercetak begitu jelas dalam gambar yang telah diambil. Mereka berdua berharap ini menjadi kenangan terindah bagi mereka.

“Aku mau ngomong bentar,” ucap Ata setelah menyelesaikan sesi foto. Ia pun menggenggam tangan Runa dengan mesra. Berjalan berdua menuju taman dengan senyum yang tak pernah pudar.

Runa merasa hidupnya begitu sempurna. Memiliki keluarga yang begitu mencintainya serta kekasih yang begitu menyayangi. Empat tahun sudah hubungan antara Runa dan sang kekasih berjalan tanpa ada hambatan yang berarti, meski mereka backstreet dari masing-masing keluarga, tetapi semua tetap berjalan dengan baik.

“Ada yang serius?” tanya Runa melihat ekspresi sang kekasih sesaat setelah duduk di bangku taman kampus.

“Aku mendapat beasiswa di Oxford untuk S-2.”

Hening untuk beberapa saat setelah pernyataan itu ke luar dari mulut sang kekasih. Tidak ada yang berbicara di antara mereka berdua. Runa selami wajah tampan sang pujaan hati hingga senyum terbit di bibirnya, “Selamat. Kamu memang hebat.”

“Makasih.”

“Aku bangga sama kamu. Kapan kamu berangkat?”

“Seminggu lagi.”

Runa terperanjat. Hal sepenting ini baru saja ia ketahui. Bukankah seharusnya hal ini bisa dibicarakan jauh-jauh hari dengannya. Jika memang sang kekasih berniat memberikan kejutan di hari mereka wisuda, Runa ingin memberikan selamat sekali lagi karena ini benar-benar membuatnya terkejut. Kejutan ini sukses membuat jantungnya berpacu cepat.

Satu yang disyukuri Runa, jantungnya sehat, sehingga kabar ini tidak membuatnya jatuh pingsan. “Seminggu lagi?” Runa kembali memastikan pernyataan yang baru saja didengarnya.

“Iya.”

Runa termangu untuk sesaat. “Ata, ini benar-benar mengejutkanku. Kenapa baru bilang sekarang?” protes Runa. Sedikit rasa kecewa menyeruak masuk ke dalam hati.

“Maafkan aku.”

Kembali keheningan menyelimuti dua insan yang tengah berkutat dengan pikiran masing-masing. Hingga suara Ata memecah keheningan.

“Run, kita akhiri hubungan kita sampai di sini saja, ya?”

Bak disambar petir di siang bolong. Ini kali ketiga sang kekasih membuatnya senam jantung. Runa terdiam. Mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Ata, hingga ia terkikik geli. “Kamu mau bikin prank? Mau bikin kejutan apa lagi?” Runa menatap Ata dengan pandangan yang sulit diartikan. Antara terkejut dan tidak percaya.

“Runa.” Ata meraih jemari Runa untuk ia genggam. Ia tatap lekat wajah cantik itu. Membingkainya dalam ingatan untuk ia simpan seumur hidup. Setelah hari ini, ia tidak tahu kapan akan bertemu lagi dengan wanita yang mampu membuat hatinya berdebar hebat jika berada di sampingnya. Wanita yang mampu memacu semangatnya untuk meraih semua prestasi. Wanita yang mampu membuatnya jatuh cinta berkali-kali.

Runa menghentikan tawanya. Ia balas meremat tangan Ata, menatap sang kekasih dengan lekat pula. “Jangan becanda, Ata. Ini semua nggak lucu. Oke kalau kamu mau menerima beasiswa di Oxford, aku mendukungmu penuh, meski hal ini benar-benar mengejutkanku. Berangkatlah! Aku akan menunggumu di sini. Kita masih bisa LDR, kan?”

“Run, Aku ingin fokus dengan kuliahku di sana. Jika kita masih menjalin hubungan, aku takut kuliahku terganggu.” Ata masih memandang lekat wajah Runa, sedangkan Runa mencoba memberi kesempatan bagi Ata untuk bicara. Ia mendengarkan dengan sepenuh hati.

“Dan LDR itu nggak semudah yang kamu bayangkan. Dalam LDR kita harus percaya sepenuhnya pada pasangan kita, juga komunikasi yang harus terjaga dengan baik. Perbedaan waktu akan menghambat komunikasi kita dan aku yakin itu akan menjadi riak dalam hubungan kita.”

Ata menghela napasnya berat. Ini adalah keputusan tersulit yang ia ambil. Melepaskan wanita yang paling ia cintai setelah ibunya. Setelah menerima kabar pengajuan beasiswanya diterima, ia memikirkan ulang hubungannya dengan Runa. Ia sungguh-sungguh ingin mengejar mimpinya menjadi arsitek terkenal.

“Jadi, sebelum kita mengakhiri hubungan kita dengan tidak baik-baik karena pertengkaran, aku berinisiatif mengakhiri hubungan kita dalam kondisi baik-baik seperti sekarang. Bicara dari hati ke hati. Jika kelak kita berjodoh, pasti akan ada jalan untuk kita kembali bersama. Untuk sekarang, kita akhiri hubungan ini sampai di sini.”

Semua kalimat panjang lebar yang ke luar dari mulut Ata seakan berdengung di indera pendengaran Runa. Ia putar kembali memori bersama Ata selama empat tahun. Hampir tidak pernah mereka bertengkar. Kini, tiba-tiba saja Ata meminta perpisahan. Dadanya terasa sesak. Rasa kecewa mengimpit, membuatnya susah untuk bernapas.

“Seriously? Setelah semua yang telah kita lewati bersama kamu meminta untuk berpisah? Kamu nggak yakin dengan cinta kita? Atau memang cintamu sudah memudar hingga kamu meminta untuk berpisah?” Runa menatap Ata dengan tajam. Napasnya memburu menahan amarah yang mulai menguasai diri.

Pertanyaan Runa menghujam ulu hati Ata. Tiba-tiba kesakitan melanda jiwanya. Ia mengingat semua, semua yang sudah terlewati bersama sang pujaan hati. Bukan karena cintanya memudar ia memutuskan ini semua. Justru karena ia tidak ingin menyakiti Runa.

“Maafkan aku, Runa! Aku tidak mau menyakitimu bukan karena cintaku memudar. Aku masih sangat mencintai kamu,” lirihnya.

Setetes butiran kristal jatuh membasahi pipi, disusul butiran selanjutnya. Runa segera menghapus dengan kasar air yang merembas dari sudut mata, tetapi sayangnya, butiran-butiran bening itu tidak mau berhenti mengalir.

Ata turut merasakan sakit yang Runa rasakan. Ia mendekap Runa dalam pelukan. Runa menangis sesenggukan dalam hangat dekapan sang kekasih, di mana esok tidak akan bisa ia rasakan kembali kehangatan itu.

“Tapi aku tetap bukan pilihanmu, kan? Aku bukan prioritasmu, meski sudah banyak yang terlewati antara kita.” Runa memelas. Cinta yang begitu besar itu telah membuatnya jatuh. Jatuh sejatuh-jatuhnya, hingga ia merasa tak sanggup lagi berdiri sendiri saat Ata tak lagi di sisinya.

“Maafkan aku, Run. Aku terpaksa. Tapi kamu harus percaya, cintaku nggak pernah hilang dari hatiku buat kamu. Dulu, sekarang, bahkan mungkin nanti.” Ata mengecup puncak kepala Runa bertubi-tubi.

“Kamu jahat, Ata. Kamu menyakitiku,” lirih Runa.

...****...

...To be continued...

...Hai, Hai .... ketemu lagi dengan Eskaer. Mohon dukungannya dengan karya ini, ya. Semoga kalian suka, dan selamat membaca 🥰...

...Jangan lupa like, komentar, dan favoritnya untuk dukung karya kami ini 🙏...

02

...****...

...~ Jika kamu adalah kenangan, kamu adalah kenangan terindah yang mewarnai hidupku. Namun aku berharap, semoga kamu bukan hanya menjadi kenangan, tetapi sebuah harapan yang kelak mampu aku halalkan. ~...

...Byakta Kalingga...

...****...

Ata masih setia mendekap sang pujaan hati. Ia biarkan Runa meluapkan kesedihan. Mungkin, ini terakhir kalinya ia menjadi tempat bersandar bagi Runa. Ia pun ingin menikmati moment ini.

Tidak ada umpatan yang ke luar dari bibir manis itu. Bibir yang senantiasa menjadi candu untuk Ata. Bibir yang selalu mengatakan cinta dengan penuh kasih. Ata membelai lembut surai milik Runa. Sebutir bening itu juga lolos dari sudut matanya, tetapi segera ia seka.

“Jika saat aku kembali dan telah menggapai cita-citaku kamu masih sendiri, aku berjanji akan memperjuangkan kamu, Run. Akan kujadikan kamu istriku, ibu dari anak-anakku.” Sebuah janji yang hanya mampu Ata utarakan dalam hatinya.

“Kamu boleh maki-maki aku, Run. Keluarin semua kekecewaanmu. Jangan cuma nangis kayak gini. Hatiku semakin sakit lihat kamu kayak gini,” pinta Ata.

Hanya ada suara isak yang ke luar dari bibir mungil itu. Runa sendiri kesulitan untuk meluapkan segala emosi yang mendera di dalam dada. Rasanya teramat sakit, hingga Runa tak mampu menjabarkan.

Marah, kecewa, putus asa, semua bergumul menjadi satu. Menghantam dengan keras hatinya yang rapuh. Hanya ada secuil harapan yang tersisa. Runa berharap, Ata merubah keputusannya.

Setelah puas menangis, Runa melepaskan diri dari Ata. Manik mereka bertemu. Menyelami luka masing-masing lewat sorot sendu yang membayang.

“Ata,” lirih Runa.

“Ya, Run.” Ata menghapus sisa air mata di pipi Runa.

“Tidak adakah harapan untuk hubungan kita?”

Ata termangu. Ia menggeleng lemah. “Maafkan aku, Run.”

“Pikirkan sekali lagi, Ta. Empat tahun kita selalu bersama. Sekarang tiba-tiba kita harus berpisah, menjalani kehidupan masing-masing. Apa menurut kamu, kita bisa melewatinya? Kalau seandainya kamu bisa, apa kamu nggak mau mikirin aku? Apa aku bisa tanpa kamu?” Runa mengiba. Menatap Ata dengan memelas.

Ata menangkup pipi Runa dengan kedua telapak tangannya. Ia kecup kening itu begitu lama. “Sekali lagi maafkan aku, Run. Aku nggak bisa. Kita tetap harus mengakhiri hubungan kita.”

Lagi, butiran bening itu kembali menganak sungai. Mata yang sembab juga pipi yang basah adalah bukti kesakitan yang Runa alami. “Sungguh semuanya tidak berarti?” racau Runa. Pertanyaan itu ia tujukan pada dirinya sendiri, tetapi Ata ikut menanggapi.

“Bukan seperti itu, Run. Kamu sangat berarti buat aku.”

“Bohong!” sanggah Runa, “jika aku berarti buat kamu, kamu nggak akan seenaknya untuk mengakhiri hubungan kita.”

Hening. Ata tidak sanggup lagi menyangkal. Runa hempaskan tangan Ata yang masih setia melingkupi pipinya. Kembali Runa menghapus kasar air mata yang setia mengalir.

Runa dan Ata sama-sama tertunduk. Menatap rumput hijau yang berayun mengikuti arah sang bayu. Rumput yang selalu setia tanpa pernah bertanya ke mana arah sang bayu menerpa. Seakan mengejek mereka berdua yang tengah dirundung duka.

Sekarang Runa tidak akan mengiba lagi. Sudah cukup ia tahu arti dirinya bagi Ata. Dirinya tidak lebih penting bagi ambisi Ata sendiri.

“Baik, jika memang itu yang kamu inginkan.”

Ata mengangkat kepala, menoleh ke arah Runa yang masih setia melihat rumput.

“Aku melepaskan kamu. Pergilah! Aku bukan siapa-siapa kamu lagi. Anggap saja apa yang telah kita lewati bersama kemarin hanya sebuah permainan yang tak berarti.”

“Run?” Kalimat pedas yang diucapkan Runa mampu menggetarkan sudut hati Ata. Bagai belati yang mengiris hingga membuatnya meringis.

“Mulai sekarang hapuslah nama Runa dalam hati, pikiran, dan lisanmu, agar tidak membebani langkahmu. Semoga kamu sukses meraih cita-citamu.” Runa bangkit dari duduk tanpa berniat melihat wajah Ata untuk terakhir kalinya. “Selamat tinggal, Byakta Kalingga.”

Dengan langkah mantap, Runa pergi meninggalkan Ata yang termangu. Sebutir kristal kembali jatuh dari sudut mata Ata. Rasa sesak menghimpit hati, hingga rasanya Ata tidak sanggup melalui. Ata menatap punggung kecil Runa yang semakin menjauh hingga hilang dari pandangan.

“Maafkan aku, Run. Sungguh maafkan aku,” lirihnya dalam sejuta sesal. Ia menangkup wajahnya sendiri untuk menyembunyikan air mata yang masih setia menetes.

“Kamu adalah kenangan terindah yang pernah singgah di hidupku. Kamu adalah warna yang mampu menghadirkan cerita dalam langkahku. Aku pun tak tahu seandainya aku tanpamu apa jadinya aku, karena kamu adalah detak dalam nadiku. Aku akan sangat merindukanmu, Run. Tunggu aku kembali.”

...***...

“Sayang, kenapa lama sekali?” Suara itu menyapa indera pendengaran Runa setelah ia menghampiri anggota keluarganya.

“Maaf, Ma.”

“Mbak Runa habis nangis?” tanya Runi setelah menelisik mata Rina yang sembab.

Ayah serta mamanya turut memicing memperhatikan Runa. “Ada yang tidak beres, Nak?”

“Enggak ada, Yah. Tadi sedih karena perpisahan sama temen-temen aja,” kilah Runa, “banyak banget makanannya, Ma?” Runa mencoba mengalihkan perhatian. Ia tak mau keluarganya semakin curiga akan keadaannya. Senyum manis ia hadirkan untuk menutupi kekalutan.

“Sengaja mama pesen banyak, biar kamu gendutan dikit.”

“Emangnya aku kurang gendut?” Runa mengambil sesendok cumi asam manis kesukaannya untuk ia letakkan di piringnya.

“Kamu kelihatan kurus banget, loh, Mbak. Beda sama adek kamu yang terlihat lebih berisi,” papar sang mama.

“Runi gendut, ya, Ma?” Runi yang dikatakan berisi oleh sang mama turut memperhatikan tubuhnya hingga mengundang senyum sang ayah.

“Kamu nggak gendut tapi bohay, Dek,” ejek Runa.

“Ish ... Mbak Runa. Biarin Runi bohay, daripada Mbak Runa kurus kerempeng. Sekali banting langsung patah semua, tuh, tulangnya.”

Saling mengejek antara adik dan kakak itu terus berlanjut hingga acara makan siang itu selesai. Mereka semua terlihat bahagia. Orang lain sudah pasti bisa menebak jika mereka adalah keluarga yang harmonis. Lina dan Lukman begitu bangga memiliki putri-putri cantik dan pintar seperti Runa dan Runi.

...***...

“Semuanya sudah disiapkan, Nak?” Maya menghampiri sang putra yang tengah berkemas.

“Sudah, Ma.”

Tanpa terasa hari ini adalah hari keberangkatannya. Ingin sekali Ata menemui Runa untuk terakhir kalinya, tetapi sayang, sejak pertemuan terakhirnya di kampus, Runa tidak bisa lagi dihubungi. Ata sudah mencoba menghubungi teman terdekat Runa, tetapi nihil karena Ayu –teman dekat Runa –sudah pulang ke kota asalnya setelah wisuda dan tidak mengetahui perihal Runa.

“Ayo berangkat!” ajak Hasan.

Ata menghela napas panjang. Pupus sudah harapannya bertemu Runa. Semua tinggal kenangan yang tidak bisa terlupakan. Ata hanya berharap, kelak ia bisa bertemu Runa kembali untuk memulai semuanya kembali dari awal.

Mobil Inova hitam yang dikendarai Ata dan keluarganya tiba di Bandara Juanda tepat waktu. Hasan dan Maya melepas putra semata wayangnya dengan haru. Seorang gadis kecil yang turut ada di sana pun ikut terharu.

“Tante dan Om titip Ata, ya, Al.” Maya mengusap lembut pundak seorang gadis yang dipanggilnya Al.

Gadis itu tersenyum manis, “Tante sama Om tenang aja. Al akan jagain Mas Ata dengan baik selama Al di sana.”

“Berapa lama liburan di sana, Al?” tanya Hasan.

“Sebulan, Om. Sambil nunggu masuk kuliah.”

“Salam buat oma kamu, ya.”

“Baik, Om. Nanti Al sampaikan sama oma."

Ata hanya diam menyaksikan interaksi kedua orang tuanya dengan gadis yang ia ketahui namanya Alea. Seorang gadis kecil yang ikut membersamainya dalam perjalanan menuju negeri Ratu Elizabeth.

Baru sebulan yang lalu Ata mengenal gadis itu melalui budenya saat diminta sang bude mengantar ke acara dinas. Bagi Ata, Alea adalah gadis yang menyenangkan. Kelembutannya membuat Ata mengagumi sosok Alea. Tutur katanya, cantik parasnya, body-nya yang aduhai merupakan paket komplit yang bisa menarik simpati kaum adam tanpa bersusah payah.

...***...

Setelah seminggu menenangkan diri, Runa mencoba bangkit dari keterpurukan. Sekali lagi ia akan mencoba untuk mencegah kepergian Ata dari hidupnya. Ia tidak yakin mampu melewati harinya tanpa Ata.

Berkali-kali Runa mencoba menghubungi nomor Ata, tetapi tak sekalipun terhubung hingga ia menghubungi David –sahabat Ata. Runa bersimpuh saat mendengar kabar dari David. Satu kata yang ia sesali. Terlambat. Ata-nya telah pergi.

...****...

...To be Continued .... ...

...Jangan lupa tinggalkan jejaknya. 🤗...

03

...****...

...~ Seperti senja yang hadirnya hanya sesaat tapi mampu mengalihkan waktu. Seperti itu pula hadirku yang mampu mengalihkan duniamu. Akan tetapi, aku berharap hadirku tidak seperti senja. Aku ingin terus menetap seperti Langit yang selalu setia menemani bumi. ~...

...Sandyakala...

...****...

“Kamu sudah makan?” Pertanyaan dari seberang sana membuat Runa tersenyum. Segala perhatian yang ia dapatkan dari pemilik suara itu mampu memicu semangatnya kembali saat ia terpuruk.

“Mas sudah makan?” tanyanya balik.

“Kebiasaan, ya, kamu itu. Setiap kali ditanya pasti nanya balik.” Suara yang terdengar sedikit kesal itu justru membuat Runa terkikik geli. “Jangan ketawa kamu. Buruan makan!”

“Iya- iya. Habis ini Runa makan. Mas juga jangan telat makannya.”

“Awas kalau kamu lupa makan. Kalau pingsan aku nggak mau bopong kamu lagi.”

“Ck! Siapa juga yang mau dibopong sama Mas?”

“Eh, sudah berani ngeledek, ya, sama orang yang lebih tua.”

Runa semakin tertawa mendengar kekesalan orang di seberang sana. Bahagia—satu kata yang menggambarkan kehidupannya saat ini. Setelah ia mampu melewati semua cobaan dalam hidup. Tiba-tiba ingatannya kembali berputar ke masa lalu.

Tujuh tahun yang lalu, ia terseok meniti tangga kehidupan setelah ditinggalkan orang yang dicintai. Bahkan ia lebih sering merasakan perih dan sakit karena terjatuh. Runa muda bahkan sempat mati rasa saat menelan pil pahit kehidupan.

Benar apa kata orang, hidup itu berputar seperti roda. Kadang di bawah, kadang juga di atas. Setelah 22 tahun hidup di dunia yang terasa begitu sempurna bagi Runa, tepat setelah kepergian Ata, hidup Runa dijungkir balikkan oleh ujian.

Runa berjalan sendirian. Tidak ada lagi tawa yang biasa ia dengar. Tidak ada lagi celoteh Runi yang biasanya ia ajak bertengkar. Juga tidak ada lagi omelan kedua orang tuanya yang selalu menginginkannya menjadi sempurna.

Di balik duka yang mendekapnya, Runa bersyukur bertemu dengan seseorang yang memberikan bahunya untuk ia jadikan tempat bersandar. Ya, bahu seseorang yang tengah kesal di ujung sana.

“Mas,” panggilnya setelah tersadar dari lamunan panjang.

“Ya, Run.”

“Makasih banyak untuk semuanya.” Suara Runa terdengar lirih di seberang sana.

“Kenapa tiba-tiba jadi mellow? Terjadi sesuatu?”

“Kenapa berpikir begitu?”

“Runa!” erangnya kesal saat lagi-lagi Runa balik bertanya padanya. Sedangkan Runa tertawa terbahak setelah mematikan sambungan teleponnya.

...****...

“Khan! Jangan lari-lari, awas jatuh!” ucap seorang wanita paruh baya yang baru saja menjemput dari sekolah.

Khan berhenti setelah mendengar peringatan dari neneknya. Keduanya baru saja turun dari mobil yang berhenti tepat di depan warung makan.

“Khan ingin ketemu sama ayah, Nek. Bukannya Nenek bilang tadi di sekolah, kalau sampai rumah, Khan perlihatkan ini sama ayah?” ujar anak kecil laki-laki berusia enam tahun seraya menunjukkan hasil gambarnya yang mendapat nilai seratus.

Wanita paruh baya yang berbalut kacamata itu tersenyum mendengar penuturan sang cucu. Ia pun berjongkok di depan Khan, seraya mengelus rambut anak yang berbalut seragam sekolah putih merah.

“Iya, Sayang. Tetapi tidak dengan berlarian seperti tadi. Kalau kamu nanti jatuh gimana? Nenek, kan, jadi sedih.”

“Maafin, Khan, ya, Nek. Khan janji tidak akan nakal dan buat Nenek sedih lagi,” tutur Khan sambil menunduk.

Bu Mira tersenyum dan memeluk Khan. “Iya, Sayang. Nah, sekarang ayo kita masuk ke rumah, ayah sepertinya belum ke resto.”

Sementara itu, Sandy masih duduk di depan meja kerja mengecek laporan pemasukan bulanan restoran yang dikelolanya sejak lima tahun terakhir. Dengan konsep tradisional berpadu modern.

Sandy membuka restoran di kawasan wisata Dieng yang hampir tiap hari ramai di kunjungi wisatawan. Restoran yang ia bangun bersambung langsung dengan rumah tempat tinggalnya. Area parkir untuk pengunjung luas dan tidak memakai bahu jalan, karena sebelumnya Sandy membeli lahan di samping rumahnya sebagai tempat parkir bagi pengunjung yang datang singgah.

Di tengah keseriusannya berkutat dengan laporan, suara anak kecil mengalihkan konsentrasinya.

“Ayah, Khan boleh masuk nggak?” tanya Khan di balik pintu berbahan jati putih.

“Masuk aja, Khan.”

Setelah mendapat persetujuan dari dalam, anak kecil yang masih berseragam sekolah itu pun masuk dengan membawa hasil gambarnya.

“Ayah, tangkap, Khan.” Khan berlari menuju Sandy yang duduk di kursi kerjanya.

Sandy lekas bangkit dari tempatnya dan menangkap Khan seperti biasa.

“Sepertinya hari ini kamu senang banget, yah! Apa ada hal baru lagi yang membuat Khan ceria?” tanya Sandy penasaran. Sandy yang hafal sikap Khan tentu paham jika anak itu ceria pulang sekolah pasti ada satu hal yang menjadi penyebabnya.

Entah itu Khan juara di kelas mendapatkan nilai bagus, atau bisa juga karena Khan senang mendapatkan teman baru lagi. Ada saja cerita Khan yang ia bawa pulang dan diceritakan kembali pada Sandy.

Anak kecil yang berada di pelukan Sandy mengulurkan tangan memperlihatkan hasil gambarnya yang mendapatkan nilai sempurna.

“Ini, Yah ... Khan dapat nilai seratus lagi dari guru,” terangnya dengan semringah menampilkan lesung di pipi kanannya.

“Wah, Khan pintar. Hebat lagi. Siapa dulu dong? Sayangnya, ayah.” Sandy mengusap dan mencium kepala Khan yang berada dipelukannya.

“Karena Khan, sudah dapat nilai seratus, gimana kalau weekend nanti ayah bawa Khan ke time zone sebagai hadiah karena Khan sudah rajin belajar.”

“Mau, Yah. Khan mau,” ucap anak tersebut dengan riang.

“Kalau gitu, sekarang Khan ganti baju dulu. Habis itu makan dan tidur siang, yah!”

“Oke, Yah!” balas Khan dengan menaikkan ibu jarinya, lalu berlalu keluar.

Sandy tersenyum memandang Khan yang sudah menghilang di balik pintu. Ada kebahagiaan tersendiri bagi Sandy saat sang anak berceloteh padanya.

...****...

Suasana resto ‘Madang’ menjelang makan siang cukup ramai dipadati pengunjung. Berhubung karena akhir pekan, jumlah pengunjung membludak dua kali lipat dibanding hari biasanya.

Seorang wanita muda memakai apron hitam tengah sibuk berkutat di balik dapur menyiapkan pesanan pengunjung. Peluh yang membanjiri dahi dan pelipisnya sesekali ia seka dengan handuk putih yang ia sampirkan di bahu kanannya. Karena bagi seorang juru masak, kebersihan adalah yang utama. Jadi, Ia selalu menjaga keringatnya agar tidak sampai jatuh ke dalam makanan yang dia buat.

“Mbak Runa, pesanan meja nomor empat sudah siap?” tanya salah satu pegawai yang bertugas sebagai pelayan.

“Iya, sudah. Itu ada di meja.” Sahutnya tanpa menoleh karena tengah serius meracik bumbu kari yang akan dituangkan ke dalam masakan.

“Oke. Kalau pesanan meja nomor sepuluh apa juga sudah siap, Mbak?” tanya pelayan perempuan yang usianya lebih muda.

“Sementara diproses!”

Yah, wanita itu adalah Arunika. Wanita yang sibuk berkutat di depan kompor itu memutuskan pindah ke Wonosobo tujuh tahun lalu dan sekarang di sinilah ia melanjutkan kembali kehidupannya setelah pergi dari kota kelahirannya.

Tepat jam lima sore, Runa melepas apron yang melekat di tubuhnya. Ia pun bersiap-siap untuk kembali pulang dan membersihkan diri.

“Mbak Wati, semua bumbu yang diperlukan sudah saya buat dan saya taruh di dalam kulkas, ya!” kata Runa pada wanita paruh baya yang berada di sampingnya, “saya pulang dulu. Nanti habis isya saya kembali.”

“Baik, Mbak.”

Runa bergegas pulang ke rumah yang tak jauh dari resto ‘Madang’ dengan jalan kaki.

“Assalamualaikum,” ucapnya saat memasuki rumah.

“Wa’alaikumsalam.” Terdengar sahutan dari dalam. Runa segera menghampiri pemilik suara.

“Sudah makan, Sayang?” tanya Runa sembari mengecup singkat pipi yang membuat Runa gemas itu.

“Sudah, dong.”

Sekali lagi Runa megecup pipi itu sebelum meninggalkannya menuju kamar.

“Ish ... selalu seperti itu. Nggak ada yang lain apa?” gerutunya setelah kepergian Runa. Runa yang masih bisa mendengar gerutuan itu hanya tertawa renyah.

...****...

...To be continued...

...Jangan lupa tinggalkan jejak 🥰...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!