NovelToon NovelToon

Senandung Rindu

Kisah Masa Lalu

Adam tengah duduk di belakang perpustakaan bersama Andi, teman semeja di kelas 12C.

Baginya di sana tempat yang lebih nyaman membaca buku di banding dalam perpustakaan itu sendiri. Selain sejuk juga tidak membosankan.

Tetapi walau tangannya memegang buku fisika, kedua matanya justru fokus ke arah lapangan melihat anak-anak lain yang asyik main Voli.

Andi pun jadi ikut-ikutan melirik, saat tahu ada seorang gadis yang bermain di antara pemain lelaki jadi tidak heran kenapa Adam gagal fokus.

"Dam, padahal kita semua tengah mati-matian belajar untuk UN sebulan lagi. Tapi aku heran kenapa Najwa malah asyik bermain-main, " gumam Andi.

"Biarlah dia melakukan apapun yang dimau, asalkan dia bahagia" jawab Adam tak menoleh sama sekali.

"Bukan itu maksudku, tapi Najwa yang tidak pernah serius belajar, jam kelas malah sering bolos atau tidur. Tapi kenapa ketika ulangan justru dia paling tenang dan mendapat nilai yang baik? Saat guru menyelidiki juga tidak ditemukan adanya kecurangan, " sela Andi.

Adam hanya tersenyum, dia sudah sangat mengenal Najwa sejak di bangku sekolah dasar. Gadis tomboi yang memiliki hobi olah raga, sering menjadi wakil sekolah dalam mengikuti berbagai kegiatan lomba, dari cerdas cermat, voli, lari maraton, kaligrafi, bacaan puisi dan menciptakan cerpen. Selain itu juga sering mendapat juara satu di kelas, hal yang membuat orang lain iri sebab Najwa yang tidak pernah serius dalam belajar. Isi kepala Najwa hanya bermain-main dan itu terbawa sampai SMA. Saat istirahat sekolah Najwa memilih bermain sepak bola atau Voli bersama teman lelaki lain.

Najwa, gadis yang lebih memikirkan isi perut dibandingkan penampilan. Tetapi anehnya keberadaanya menjadi pusat perhatian dan menarik hati lelaki karena sifatnya yang apa adanya no jaim-jaim. Meskipun begitu, sampai saat ini belum ada satupun lelaki yang bisa mendapatkan hatinya. Itulah yang membuat Adam merasa jika Najwa memang gadis yang layak diperjuangkan.

"Dam, kalau kamu cintanya sama Najwa kenapa kamu malah pacaran dengan Ana? Sadar nggak sih jika hal itu hanya melukaimu dan Ana? Hubungan tanpa cinta hanya menyiksa, " tanya Andi.

"Dan melukaimu juga kan? Ngaku deh, kamu juga suka Ana kan? " balas Adam.

"Sebagai lelaki sejati aku berani mengakuinya, benar sekali kalau aku memang menyukai Ana. Awalnya aku diam, karena Ana memang sangat mencintaimu. Tetapi karena aku tahu, kamu tidak sungguh-sungguh dengannya makanya aku memberanikan diri jujur padamu Sekarang bagaimana dengan dirimu? Kamu suka Najwa kan? " desak Andi sangat penasaran.

"Nanti sepulang sekolah aku akan memutuskan Ana, tapi untuk perasaanku sendiri, tidak ada kewajiban bagiku untuk menjawabnya, " balas Adam memilih pergi.

"Dam, sampai kapan kamu akan begitu? Kamu tidak takut kehilangan Najwa? " pekik Andi.

Adam diam saja, dia berlalu pergi tanpa menghiraukan Andi yang terus saja memanggil namanya.

Bukan karena Adam tak ingin mengungkapkan isi hatinya, bahkan buku diary, dinding kamar dan juga setiap barang yang dia sukai ada nama Najwa. Tapi karena alasan tidak ingin kehilangan itulah yang membuatnya tidak bisa menyatakan betapa dirinya mencintai Najwa sejak kecil.

Adam sangat ingat, begitu banyak lelaki yang mengungkapkan cinta tetapi pada akhirnya mereka semua hanya mendapat penghindaran dari Najwa.

Najwa mudah bergaul, entah itu lelaki atau perempuan semua sama saja. Tetapi jika ada lelaki yang berani menembaknya, Najwa langsung menghindarinya.

Sampai saat ini Adam masih penasaran, kenapa Najwa tidak seperti gadis lain yang mengidolakan cowok populer atau jatuh cinta.

Tanpa sadar, langkah kakinya menuju ke tepi lapangan. Pada saat itu juga Najwa mendekatinya.

"Main yuk? " ajak Najwa.

"Tidakkah kamu merasa lelah? Sebentar lagi masuk kelas, lihatlah tubuhmu banyak keringat, " tolak Adam.

"Aku malas banget pelajaran bahasa Inggris, " keluh Najwa memanyunkan bibirnya yang mungil.

"Huft, kamu bilang malas tapi nilaimu bagus, " sindir Adam dengan tatapan iri.

"Itu hanya keberuntungan saja, yuk kita ke kantin aku sangat haus nih, " ajak Najwa dengan gaya tomboy nya.

"Beruntung kok setiap saat, kalau gitu beri aku sepuluh persen saja dari keberuntunganmu itu. Setidaknya aku bisa lulus ujian tanpa mati-matian belajar, " canda Adam.

"Menghadaplah pada yang maha kuasa, karena semua ini adalah anugerah darinya, " balas Najwa sambil berlari.

"Eh sialan, maksud kamu aku mati gitu?" teriak Adam sambil mengejar Najwa.

"Ha.. Ha.. Traktir aku minum dong, aku tidak bawa duit, " pinta Najwa mengedipkan sebelah matanya.

Adam segera merogoh sakunya menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan.

"Huh, kamu yang mengajak aku ke kantin tapi aku yang disuruh bayar, " sindir Adam.

"Ya aku mengajakmu karena aku nggak bawa duit, lebih tepatnya duitku sudah habis, " tawa Najwa renyah.

"Pasti buat beli novel kan? " duga Adam yang selalu tahu kesukaan Najwa.

"Ho-oh, kemarin saat aku lewat jalan ada seorang kakek tua menjual novel bekas. Masih bagus dan harganya murah- murah, mumpung ada kesempatan aku borong semua, " jawab Najwa antusias.

"Kamu beli apa saja? " tanya Adam ikut penasaran.

"Banyak pokoknya, kalau kamu mau membaca aku pinjamkan sebagai ucapan terima kasih untuk jus jeruk ini, " tawar Najwa dengan senang hati.

"Terima kasih, tapi aku tidak seberuntung kamu Najwa. Aku harus belajar siang malam agar bisa lulus, " tolak Adam secara lembut.

"Aku yakin kamu pasti lulus, " bujuk Najwa sambil menepuk pundak Adam perlahan.

"Yah, itu adalah sebuah keharusan. Karena jika tidak aku kena marah, kedua orang tuaku sudah menyuruh aku kuliah di tempat kakakku belajar. Biar kalau berangkat bisa bersamaan. Kamu kau kuliah dimana? " tanya Adam balik.

"Kayaknya aku enggak kuliah deh, " jawab Najwa santai.

"Apa? Kenapa? Kamu sangat cerdas dan juga berbakat, kamu memiliki banyak prestasi, " pekik Adam syok.

"Tapi dalam hal keluarga aku tidak seberuntung kamu, Dam, " balas Najwa masih tersenyum tegar.

Inilah sosok yang selama ini Adam kenal, dalam keadaan sulit apapun Najwa tidak pernah mengeluh atau bersedih. Mungkin rasa sedih ada, tetapi Najwa terlalu pandai untuk menutupinya.

"Najwa, kamu jangan menyerah di awal. Aku yakin dengan kemampuan kamu pasti bisa masuk ke Universitas, aku akan bantu kamu untuk mencari beasiswa, " bujuk Adam.

"Sudah jangan pikirkan aku, fokuslah pada ujianmu! Yuk kita masuk ke kelas, sudah berbunyi tuh bel nya. "

Adam segera membuntuti Najwa, begitulah sejak sekolah dasar Adam selalu berjalan di belakang Najwa. Melihat sosok mungil yang sangat tegar dan tangguh. Walau tidak bisa sekelas, tetapi Adam sudah sangat puas bisa sekolah mengikuti Najwa berada. Hanya saja, jawaban Najwa barusan mengenai masuk universitas sangat mengusik pikiran Adam. Dia sungguh tidak rela, jika Najwa sampai putus sekolah begitu saja.

Kau Yang Kucinta

Tak terasa ini adalah hari terakhir ujian sekolah. Semua anak di kelas tampak tegang. Beberapa anak terlihat menoleh ke sana kemari. Mencari celah saat guru lengah untuk meminta contekan.

Seperti biasa, Najwa yang terkenal paling pemalas keluar pertama kali dari kelas. Beberapa anak yang masih kurang banyak dalam pengerjaan soal tampak memandangi Najwa dengan iri. Mereka tak mengerti bagaimana anak yang tak pernah mau belajar bisa begitu lancar saat mengerjakan ujian.

Najwa memandang ke sekeliling. Rupanya, ia benar benar menjadi orang yang pertama keluar dari kelas. Najwa menunggu Adam di depan kelas. Berharap temannya itu akan segera menyusul. Sayang, hingga 15 menit kemudian, Adam belum juga kelihatan batang hidungnya.

Akhirnya, Najwa memutuskan duduk di taman sekolah, karena memang hari ini anak kelas 10 dan 11 diliburkan. Najwa menikmati kesendirian. Sesekali ia bermain dengan ponselnya, tapi lama lama ia bosan juga. Mau tak mau melamun jadi kegiatan yang tak sengaja Najwa lakukan. Ia kembali memikirkan tentang perkataan ibunya bahwa ia tak bisa meneruskan sekolah karena kendala biaya.

Menyedihkan memang, tapi Najwa juga tak bisa menolak. Kuliah pasti membutuhkan biaya yang banyak. Sedangkan, dalam keluarganya, hanya untuk biaya sekolah Najwa sampai SMA saja sudah sangat sulit.

"Hai, Najwa. Anak gadis jam segini melamun. Apa ada yang kau pikirkan?" tanya Adam sambil sambil menepuk pundak Najwa dengan agak keras.

"Aish! Mengapa kamu sangat lama, Dam? Aku sampai lumutan menunggumu di sini dari tadi," ucap Najwa sambil menoleh ke belakang.

"Kau tidak merasakan bagaimana rasanya punya otak standar seperti aku. Tidak seperri kamu, Najwa. Belajar tak pernah tapi ulangan dan ujian selalu nomor satu. Aku tidak mengerti terbuat dari apa kepala ini?'" ucap Adam sambil mengacak acak rambut Najwa.

"Kamu ini hobi sekali mengacak acak rambutku. Nanti rambutku jadi berantakan," tukas Najwa sambil merapikan kembali rambutnya yang cepak.

"Tumben kamu peduli masalah rambut. Biasanya juga kamu cuek."

"Aku ini cewek, Dam. Pasti nggak mau kalau punya penampilan yang awut-awutan."

Adam menatap Najwa dengan tatapan aneh. Lalu, tangan kanannya menyentuh kening Najwa dengan gadis berkerut.

"Hai, apa yang kau lakukan?" Najwa melayangkan protes pada Adam sambil sedikit melayangkan tatapan maut.

"Aku kaget mendengar perkataan mu. Biasanya juga kau tak peduli masalah penampilan. Tumben sekarang kamu heboh hanya karena masalah rambut." Adam tertawa saat mengucapkan kalimat itu. Tapi sebenarnya, dalam hati Dalam mengakui bahwa seperti apapun bentuk rambut Najwa, dia tetap selalu terlihat cantik dan menawan.

"Aku ini suka kerapian, Adam."

Adam hanya tersenyum sambil kembali mengacak rambut Najwa. Merasa dipermainkan, Najwa hanya melotot ke arah Adam.

"Aku perhatikan kau terus saja melamun. Ada apa? Apa ada masalah?" Wajah Adam tiba tiba berubah serius.

"Nggak. Aku nggak ngelamun kok. Cuma kok ngerasa nih perut udah teriak teriak minta jatah. Seharian mikir bikin cacing pada lesu."

"Ya sudah, kita ke kantin yuk! Biar aku yang traktir. Mau makan apa?"

"Kok kamu terus yang traktir. Kemarin kamu, kemarin lusa juga kamu. Aku kapan?"

Najwa merasa tak enak hati. Walaupun, sebenarnya di saku baju seragam Najwa memang hanya ada uang untuk naik angkot.

"Nggak apa. Buat yang tercinta apa sih yang nggak?"

"Apa?" Mata Najwa membulat.

"Nggak, kok. Cuma bercanda. Gitu aja kamu sewot. Dah ah! Yuk! Jangan sampai kamu pingsan karena kelaparan, aku takut nggak kuat ngangkat."

"Ih, kamu menghina aku ya. Aku tuh nggak gendut tahu!"

Adam hanya diam dan kembali mengacak acak rambut Najwa. Gadis ayu tapi tomboy itu hanya memanyunkan bibir saat Adam menarik tangannya.

Kantin sudah mulai penuh. Beberapa anak menatap kedatangan Najwa dan Adam.

"Cie cie! Dimana ada Najwa di situ ada Adam," ucap Salis. Murid yang kelasnya sama dengan Najwa.

"Ih, banyak omong kamu!" tukas Najwa sambil menoyor kepala Salis. Gadis itu hanya nyengir kuda.

Akhirnya, Adam dan Najwa memilih kursi yang ada di dekat jendela.

"Kamu mau pesan apa, Najwa?"

"Apa saja. Aku ikut yang mau bayarin."

"Oke!"

Adam memesan soto dan es teh. Tak lama setelah itu pesanan mereka datang. Seperti biasa, Najwa akan makan dengan cepat tanpa rasa malu dan jaim.

"Najwa, jujurlah! Sebenarnya kamu tau melamunkan apa?"

"Aku kan sudah bilang, aku nggak melamun, Dam. Aku hanya sedang merasa sangat tegang. Hari ini adalah hari terakhir ujian. Setelah ini, kita akan berpisah."

"Benar juga ya, Najwa. Setelah ini, aku nggak akan lihat cewek tengil kaya kamu lagi."

Najwa mendelik tapi tak berkomentar. Ia sudah sangat biasa mendengar ucapan sejenis itu dari mulut Adam.

"Eh, Najwa. Weekend ini bagaimana kalau kita liburan. Anggap saja itu liburan perpisahan."

"Liburan?" Najwa mengernyitkan dahi. "Ke mana?"

"Ke mana saja terserah. Kalau kamu kau pengen liburan ke mana? Pantai? Puncak? Atau ke mana? Asal kamu yang pilih, aku pasti setuju." Adam tampak bersemangat saat mengucapkannya.

"Maaf,Dan. Aku nggak bisa. Aku harus membantu orang tuaku," ucap Najwa dengan nada yang dibuat ceria. Padahal, Adam tahu gadis itu sebenarnya memendam kesedihan.

"Sekali-sekali tak apa kan, Najwa?"

"Nggak, Dam. Aku benar benar tidak bisa. Kenapa kau tidak mengajak pacar pacarmu. Oh ya, pacarmu yang sekarang Ana ya?"

Adam menelan ludah. Seandainya saja Najwa tahu, bahwa selama ini ia selalu berganti ganti pacar agar Najwa tak tahu perasaannya.

"Nggak ah! Aku sudah putus sama Ana kemarin sore."

"Hah?" Najwa melongo.

"Kalian kan baru jadian 1 bulan lalu. Kenapa sudah putus?"

"Bosan!" Adam menjawab dengan cuek.

Najwa dengan keras menonjok lengan Adam. Ia tak perduli dengan wajah Adam yang meringis karena mendapat bogem mentah darinya.

"Dasar playboy!"

Adam tersenyum simpul. "Itu karena aku terlalu tampan, Najwa. Makanya banyak yang mau. Aku hanya memberi kesempatan pada gadis yang lain yang mengantri jadi pacarku. Bukankah itu berarti aku adalah cowok yang baik?"

"Baik darimana. Setiap gadis itu punya perasaan, Dam. Dan perasaan itu bukan hal yang boleh dimainkan sembarangan. Kalau kamu seperti itu caranya, itu sama saja kamu mempermainkan perasaan mereka."

"Najwa, hari ini kamu tiba tiba berubah jadi pujangga. Yang pandai merangkai kata kata. Jangan jangan kamu kesambet setan cinta!"

"Ih, ngawur kamu!" Mata Najwa melotot. Adam kesenangan melihat ekspresi wajah Najwa.

"Najwa!" panggil Adam dengan wajah yang tiba tiba berubah serius.

"Ada apa? Kok tiba tiba wajahnya serius gitu."

"Aku pasti akan merindukan masa masa ini. Rindu teman teman, rindu sekolahan dan yang pasti, rindu kamu!"

Pupus Sekolah

Beberapa murid tampak berdesakan untuk melihat papan pengumuman. Bahkan anak yang jahil tampak menoyor noyor murid yang lain dan mendesak masuk ke dalam kerumunan agar bisa melihat hasil ujian.

Adam juga sedang berjuang mati-matian agar bisa masuk ke dalam kerumunan manusia yang sedang menatap papan pengumuman. Sesekali, kepalanya terkena toyoran dari murid lain. Namun, Adam tak peduli. Ia sama dengan mereka, ingin segera tahu apa ia lulus ujian atau tidak.

Adam berhasil berada di barisan paling depan. Ia mulai menatap barisan angka dan huruf yang tertera di atas kertas dan menempel di papan pengumuman. Seperti biasa nama Najwa ia temukan di urutan pertama.

Adam tersenyum. Ia selalu merasa kagum dengan gadis itu. Walaupun ia paling pemalas tapi kecerdasannya bisa membuat ia selalu berada di urutan pertama saat tes hingga ujian. Pandangan Adam beralih. Ia mulai mengurutkan dari atas ke bawah untuk mencari namanua.

Jantungnya berdebar cukup kencang. Ia takut jika ternyata tak ada namanya di papan pengumuman itu. Namun, setelah beberapa lama mencari dengan tubuhnya yang terhimpit tubuh para siswa lain, Adam merasa sangat lega karena ternyata namanya ada di urutan nomor 23.

Ia berulang kali mengucapkan rasa syukur dalam hati. Kemudian dengan usaha sedikit keras, akhirnya ia bisa keluar lagi dari gerombolan para murid pencari informasi kelulusan.

Orang yang pertama kali Adam yang cari adalah Najwa. Adam tahu kemana ia harus mencari gadis yang selama ini ia cintai itu. Najwa pasti berada di taman dan duduk di kursi yang ada di bawah pohon besar bagian ujung taman.

"Najwa! Kamu kok malah di sini?" tanya Adam sambil duduk di dekat Najwa.

"Memang, harusnya aku dimana?" Najwa balik bertanya.

"Kamu nggak penasaran sama pengumuman kelulusan?"

Najwa melirik ke arah Adam dan sedikit tersenyum. "Enggak! Lulus atau tidak sama saja. Aku juga tidak mungkin bisa melanjutkan kuliah."

Adam tahu, sebenarnya Najwa punya keinginan untuk kuliah, tapi entah kenapa ia tidak pernah mengatakan tentang keinginannya. kali ini Adam tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tak ingin kebahagiaan ini harus berubah karena kesedihan yang Najwa alami.

"Najwa, kamu tahu nggak nama kamu ada di urutan teratas lho! Seperti biasa kamu juara pertama."

Adam mengira bahwa Najwa akan senang saat ia memberi kabar itu. Namun, ternyata wajah Najwa terlihat datar saja.

"Kamu kok ekspresinya datar gitu? Udah macam mayat hidup?"

"Awwww! Sakit, Wa!" Sebuah cubitan berhasil membuat Adam meringis kesakitan.

"Makanya kalau ngomong diatur. Nih anak nggak ada sopan sopannya. Masa bilang aku mayah hidup," kaya Najwa dengan muka cemberutnya.

"Kan cuma bercanda. Habis kamu dikasih kabar bahagia kaya nggak ada respon gitu. Aku kan jadi gemes."

Adam kemudian menowel pipi Najwa dengan gemas. Ia bahkan memberi cubitan besar pada kedua pipi Najwa dan menggerakkannya ke kanan kiri hingga Najwa menjadi semakin cemberut.

"Adam! Kamu apaan sih. Jahil amat. Aku sudah tahu tentang itu. Jadi, itu bukan hal biasa yang harus aku tanggapi dengan salto."

"Bagaimana kamu tahu?"

"Tahu aja! Sudah hal biasa bukan kalau aku jadi juara."

Najwa tersenyum manis. Hati Adam tiba tiba berdebar debar dan jantungnya juga berdetak lebih cepat.

"Najwa! Kamu dicari Bu Nisa tuh! Katanya suruh ke kantor!" Seorang anak bernama Farda tampak menghampiri Najwa dan Adam.

"Dicari Bu Nisa? Ada apa?"

"Nggak tahu," ucap Farda sambil mengangkat kedua bahunya. "Aku ke kantin dulu, ya!"

Adam dan Najwa saling berpandangan. "Mungkin ada sesuatu yang penting. Buruan ke kantor gih! Aku tunggu di sini. Habis itu aku traktir di kantin."

Najwa hanya mengangguk dan bangun dari duduknya. Ia segera menuju ke kantor dengan hati bertanya tanya. Tak biasanya ia dipanggil ke kantor. Tapi, tentu saja Najwa tidak merasa takut. Karena ia tidak merasa melakukan kesalahan apapun.

"Tok! Tok! Tok!"

Najwa mengetuk pintu kantor yang sedikit terbuka perlahan. Di dalam ruangan yang cukup besar itu hanya ada Bu Nisa yang sedang memeriksa beberapa dokumen.

"Masuk!"

Najwa mendorong pintu perlahan dan masuk ke dalam ruang guru.

"Ibu mencari saya?" tanya Najwa dengan sopan. Walaupun ia murid yang pemalas, tapi Najwa selalu menjaga sopan santun.

"Iya. Silahkan duduk, Najwa!"

"Ya, Bu. Terima kasih."

"Sebentar ya! Ibu mau menyelesaikan ini."

Najwa mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian menunggu Bu Nisa menyelesaikan pemeriksaan dokumen hingga selesai.

"Jadi begini, Najwa! Ibu melihat prestasi kamu sungguh luar biasa. Tapi, ibu segar kamu nggak akan melanjutkan sampai bangku universitas. Padahal, sangat sayang kalau kamu hanya berhenti di sini saja. Jadi, ibu berencana untuk menguliahkan kamu. Semua biaya akan ibu tanggung, Najwa."

Mata Najwa membulat sempurna. Ia sungguh senang mendengar perkataan Bu Nisa. Cita citanya untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin sudah ada di depan mata.

"Benarkah, Bu?"

"Iya, Bisa. Ibu sangat menyayangkan kalau kamu nggak kuliah. Bagaimana?"

"Saya mau, Bu Nisa. Tapi, saya harus bicara dulu dengan ibu saya. Besok kalau sudah bicara dengan ibu, saya akan mengabari Bu Nisa."

"Lebih baik kamu bicara sekarang saja lewat telpon. Soalnya, ibu ingin segera tahu jawaban kamu."

"Tapi saya nggak bawa ponsel, Bu."

"Ini! Pakai hp Ibu."

Najwa menerima ponsel Bu Nisa dan segera melakukan panggilan ke nomor ibunya. Jantungnya berdebar takut, mengingat ucapan ibunya yang kemarin menolak untuk menguliahkannya.

Tak berapa lama, panggilan tersambung. Najwa segera mengutarakan maksudnya.

Nisa ; (Bu, ini Bu Guru Najwa ada yang menawarkan kuliah. Semua biaya akan ditanggung oleh beliau. Menurut ibu bagaimana?)

Tak ada jawaban dari ibu Najwa yang bernama Mila. Sepertinya, Mila sedang menimbang nimbang.

Mila ; (Tidak! Kamu nggak boleh kuliah! Apalagi dibiayai orang lain. Itu sangat memalukan, Najwa. Kita ini bukan orang miskin."

Najwa ; (Tapi, Bu. Najwa ingin kuliah.)

Mila ; (Nggak ada tapi-tapian. Kuliah hanya membuang waktu. Yang kuliah tapi jadi pengangguran juga banyak. Lebih baik kamu bekerja, Najwa)

Nada suara Mila yang menyerupai bentakan membuat Najwa tau bahwa ibunya tak bisa dibantah.

Najwa ; (Baik, Bu.)

Sambungan terputus. Najwa segera mengembalikan ponsel Bu Nisa dengan wajah murung. Air matanya hampir jatuh, tapi Najwa berusaha menahannya setengah mati.

"Bagaimana, Najwa?"

"Maaf, Bu Nisa. Ibu saya tidak membolehkan. Kalau begitu saya permisi!"

"Tunggu Najwa, ibu masih ingin bicara sama kamu!"

Najwa sudah bergegas meninggalkan ruang guru dengan air mata yang mulai menganak sungai. Ia tak lagi menoleh ke arah Bu Nisa. Adam yang sedari tadi ada di depan ruang guru dan melihat hal itu segera menyusul Najwa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!