Dia sang idola anak remaja, memang berkah dari Tuhan yang menciptakan dia menjadi manusia paling tampan se_kampus. Memiliki tubuh jangkung, dengan ketinggian di atas rata-rata 175. Kulitnya yang bersih meski berwarna sawo matang dan memiliki bentuk tubuh yang sangat atletis. Dia sang idola juga tidak sombong bahkan selalu ramah pada semua fansnya. Dia sang idola memiliki wajah yang selalu ceria dan selalu memenuhi keinginan para fansnya.
Namun siapa yang tau di balik semua keramahan dan senyuman yang indah itu malah menjadikannya seorang playboy di belakang layar. Selalu bergonta ganti pacar, dan senang berfoya-foya. Walaupun begitu ia tetap menjadi sang idola. Banyak yang antri ingin kencan dengannya. Namun banyak juga yang tak tahu, setiap wanita yang kencan dengannya tidak pernah ia sentuh. Melainkan mereka lah yang selalu menyentuhnya.
"Aryan, aku suka banget bunganya. Besok kita jalan-jalan ke pantai ya?" Wanita berpakaian minim itu menyusut lengan Aryan. Di depannya ada Tino, Anas, dan Gilang. Mereka hanya minum-minum sambil ngobrol seputar musik di sebuah room club malam.
"Dewi, badanku pegel-pegel banget nih, bisa nggak pijitin bahu sebelah kirikiri," ucap Aryan sembari mengurut bahunya.
"Ah, Aryan, suka deh kalau manja gini."
"Nah... Begini kan enakan."
Perempuan seksi yang di panggil Dewi itu menumbuk-numbuk bahu kiri Aryan pelan dan cepat-cepat. Mengurut dengandengan centil.
Suara remix DJ yang diputarpun menghanyutkan suasana mereka. Dalam keremangan lampu yang bertukar warna dalam hitungan sekelip mata. Berbaur dengan yang lainnya tanpa memikirkan dosa. Aryan terlihat sedikit risih sambil menenggak anggur merah di depannya.
"Cukup Dewi, ini tips malam ini!" Aryan meletakkan sebungkus uang atas meja seraya berkata lagi, "besok tidak perlu datang lagi." Setelah berkata seperti itu ia terus berdiri dan meninggalkan mereka dalam keadaan terhuyung-huyung.
"Lo ngerepotin banget sih. Pakai acara mabuk-mabuk segala, kalau begini kan gue yang susah." Anas, salah satu teman grupnya memapah tubuh Aryan. Padahal dia juga ikut mabuk.
"Aelah... Bro gue kan cuma ngilangin stres di studio."
Anas melepaskan Aryan disopa apartemennya, sambil nunggu sup pereda mabuk sampai.
"Capek gue dikerjain Aryan nih, untung aja ada si bidadari elo. Kalau enggak hidup Lo bisa kelar besok pagi." Karena besok pagi mereka harus masuk studio, merekam suara.
Anas bersungut-sungut sambil menyelimuti tubuh Aryan yang tertidur pulas. Anas adalah teman gengnya yang paling mengerti Aryan. Bahkan dia sering berhubungan dengan perempuan yang sangat mengidolakan Aryan secara diam-diam. Perempuan itu bahkan sangat menyayangi Aryan, hanya saja dia tidak mau identitasnya sebagai penggemar akut diketahui Aryan. Perempuan itu juga yang sering membuatkan sup pereda mabuk untuk Aryan. Bahkan perempuan itu juga yang paling tahu tentang Aryan. Hanya Anas yang selalu berhubungan dengan perempuan itu secara rahasia demi kebaikan bersama.
"Hallo bro, weekend kali ini mau ke mana?" tanya si pemilik hidung mancung dari seberang benda pipih di telinganya. Tampaknya sore ini jadwal Aryan sedang kosong.
Laki-laki berhidung mancung yang hanya mengenakan celana jin dan kaos oblong itu duduk santai di kursi balkon apartemennya melihat nuansa luar dengan wajah datar.
"Aryan, rencana Lo mau kemana? Gue sih ikut aja," balas lelaki yang di panggil bro dari balik ponsel gengamannya.
"Wah, Minggu ini gue harus ikut ibu ke acara sosialita teman-temannya. Gue nggak bisa nolak," balas pria berambut hitam belah tengah itu.
"Acara apaan? Band kita nggak di undang sekalian?"
"Kagak, cuma acara ibu-ibu doang kok. Sebenarnya sih gue males ikutan, cuma nggak enak sama ibu. Setiap kali gue di ajak selalu nolak."
"Piwiit... Jadi idola ibu-ibu di sana Lo ya. Atau jangan-jangan eli mau dijidohin ama anak temannya."
"Sialan Lo, awas aja kalau ketemu besok."
Hahhaha....
Terdengar tawa dari seberang dengan nada mengejek, dengan tanpa menyesal Aryan lansung mematikan benda pipih tersebut. Lalu mencampakkannya di meja, kesal.
Anas sialan! umpat Aryan geram. Dia paling benci yang namanya perjodohan.
Ia berdiri sambil memasukkan sebelah tangan dalam saku celana. Di ambilnya gelas berisi jus mangga menggunakan tangan satunya lagi lalu minum sambil jalan. Sementara sepasang mata elangnya menikmati keindahan sawah di seberang sana.
Pemandangan luar apartemen sore-sore gini lumayan juga. Terlihat dua gunung kokoh nun jauh di sana yang di kelilingi awan sore. Aryan jarang melewatkan suasana indah di sore hari seperti hari ini. Kecuali jika ia sangat sibuk sehingga tidak sempat cuci mata melihat alam. Apalagi momen melihat sunset setiap mau magrib, dengan paduan suara adzan di keliling kota menambah nuansa keindahan tersendiri bagi penikmat akan sepertinya.
***
Di sebuah komplek pedesaan masih termasuk elit, meski tak se_elit kawasan apartemen Aryan di taman safari. Seorang gadis remaja tengah sibuk memandangi poster besar di kamarnya. Gadis yang baru memasuki tahun pertama di universitas perguruan tinggi itu tak bosan-bosannya menatap gambaran pria dalam poster tersebut. Poster yang ia lukis sendiri menggunakan kreyon.
Pemilik rambut hitam panjang dengan tekstur kulit yang putih kemerahan itu sangat meng-idolakan potret dalam lukisan tersebut. Meski saat di luar rumah ia terlihat seperti akhwat yang Sholehah, sentiasa menutup aurat dan punya sifat malu. Ketika di rumah ia akan berubah menjadi tomboy dan seksi layaknya remaja lainnya. Namun itu hanya dalam rumah saja tidak di luar rumah.
Seperti saat ini, ia hanya mengenakan kaus lengan pendek dan celana sot panjang.
Dia tak sadar pintu kamarnya dibuka seseorang serta ikut duduk menatap lukisan karya tangan Seniman abal-abal tersebut. Meski masih abal-abal, tapi hasilnya sangat mirip.
"Apa agaknya keistimewaan lukisan itu ya?" gumam tamu tak diundang itu pelan yang dengan penuh kehati-hatian duduk di samping wanita beralis tebal tersebut, tapi berhasil membuat si gadis tomboy nanti seksi itu gelagapan.
"Ha? Nggak ada keistimewaan apa-apa kok." Ia mengalihkan matanya, tak lupa gegas menutup dinding dengan tirai yang bergambar pemandangan.
"Yeee... Dia malu-malu," ledek gadis yang diam-diam masuk tadi, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Ratih Al-Fahma.
"Apaan sih Lo? Udahlah masuk nggak pakai salam, ngomong sembarangan lagi. " Gadis yang tingginya mencapai 165 cm itu bergerak mencari alasan lain. Ia beralih ke meja belajar mengambil buku catatan.
"Ngaku aja Lo, udah cinta kan sama sang idola kampus. Gampang kok kalau mau ketemu dia, apalagi dia orangnya ramah sama semua orang."
"Nggak usah ngada-ngada deh, masih banyak kerjaan lain selain ngurusin dia," elaknya. Dia malu meski Ratih sering memergokinya sedang menatap dinding.
"Eh Ruqayyah, ngapain harus malu kan orangnya juga nggak di sini."
Ratih masih terus menggodanya.
Ratih membalikkan badan ke arah gadis yang bernama Ruqayyah tersebut. Ruqayyah masih sok sibuk dengan buku catatannya. Kamar Ruqayyah hanya sebesar 4x6, memiliki kasur dan meja belajar yang berada di dekat jendela. Sengaja ia letak meja belajar di jendela, karena bisa melihat langsung pemandangan taman bunga milik tetangga sebelah. Ruqayyah sangat menyukai keindahan, tapi dia sendiri malas.
"Minggu besok ada acara di rumah bibiku, kamu ikut aku ya. Sekitar dua hari lagi lah."
"Acara apaan lagi, kan kemaren udah arisan. Bibimu itu hobi banget ya buat acara-acara."
"Nggak tau sih, tapi kata bunda, bibi ngundang semua temen-temen kuliahnya dulu beserta anak-anaknya. Semacam reunian gitu, nah kebetulan bibi memesan baju tak jauh dari rumahku. Makanya disuruh datang sekalian anter pesanannya."
Kini Ruqayyah sudah menghadap Ratih, mereka saling bercerita. Dua sahabat yang berbeda karakter dan watak itu selalu meluangkan waktu bersama jika tidak ada jadwal belajar.
"Mau buat acara perjodohan kali buat anak-anaknya."
"Kali iya, tapi kan Gio sama Rina masih SMA, mau dijodohin sama siapa coba."
"Mana gue tau, " Ratih mengakat bahu tanda tak mengerti.
Ratih mengambil bantal lalu merebahkan tubuhnya atas kasur. Wanita yang memiliki mata lebar dengan hidung sedikit mancung itu tak mempedulikan tuan kamar yang menolak aksinya.
"Kamu pakai baju apa besok? Apa, pakai gaun malam seperti kayak di cindrella itu?"
"Nggak usah ngawur deh, biar gue seksi dalam rumah tapi saat keluar harus tertutup rapi. Biarin aja terlihat Kuno yang penting kulit gue nggak gosong."
"Salah niat kamu pakainya."
"Terserah apa kata dunia, yang make' gue, yang beli gue."
Kalau udah begitu ucapan Ruqayyah, maka Ratih tak bisa lagi menyangkal. Ada benarnya dalam ucapan Ruqayyah, setidaknya Ruqayyah tidak memamerkan kecantikannya di luar rumah. Dan bila dalam rumahnya kedatangan tamu, entah itu sepupu-sepupunya yang laki-laki atau saudara maranya yang jauh ia pun tetap menutup auratnya dengan sempurna. Ruqayyah sudah di ajarkan tata Krama dan adab-adab akhlak yang baik oleh ayahnya. Ayahnya seorang dosen fakultas kedokteran, tapi di sisi lain ayahnya adalah seorang da'i yang sangat di cintai mahasiswanya.
Profesor Musa namanya.
*****
"Qayyah, ayahmu seorang dosen ples da'i tapi kamu kok meng-idolakan bintang pop sih," tanya Ratih suatu hari, heran aja lihat Ruqayyah tergila-gila sama bintang pop, Aryan sang idola anak remaja.
Gadis berambut panjang itu sangking fansnya sama sang idola Sampai hafal semua tentang hobi dan apa yang tidak di sukai sang idola. Bahkan sampai memasang lukisan besar di kamarnya. Tapi jangan salah, ayah Ruqayyah tidak tau sama sekali tentang kelakuan anaknya yang satu ini. Dan Ruqayyah juga tau bahwasanya sang ayah tidak pernah suka melihat anaknya meng-idolakan manusia lain selain Nabi besar kita MUHAMMAD s.a.w.
Tapi apa boleh buat, Ruqayyah terlalu mengidolakan sang bintang pop tersebut. Hingga setiap hari ia berdo'a semoga sang bintang pop dapat hidayah dan masuk Islam.
Hahaha... Nggak ada yang tau kan kalau sang idola ternyata bukan beragama Islam. Karena yang muncul dalam berita tidak pernah menyebutkan agama sang idola. Dan sang idola pun ngampus di universitas muslim sama dengan Ruqayyah.
"Entahlah..." jawabnya dengan tersenyum sambil melamun.
Keduanya sedang duduk di hamparan rumput Jepang bawah pohon rindang. Ratih masih mengetik-ngetik laptop dipangkuannya. Dan Ruqayyah sendiri bersandar dipohon dengan menyelonjorkan kaki serta matanya manatap langit yang membiru. Gadis itu mulai membayangkan wajah Aryan.
"Aku terpesona dengan wajahnya yang ganteng, tampan, apalagi dengan potangan rambutnya yang berbelah. Melihat senyumnya yang menawan, hatiku lansung meleleh."
"Apa kamu juga berhayal mau jadi istrinya?" Pancing Ratih.
"Yah, nggak sampai kesitu juga kelles. Gini-gini gue juga masih waras, orang macam gue mana di pandang sama dia. Apalagi dengan pakaian gue dan agama kita, nggak deh."
"Agama kita?" Ratih menghentikan tangannya yang sibuk mengetik dan ia memandang wajah Ruqayyah penasaran. "Maksud kamu apa?"
"Nggak. Nggak ada apa-apa kok. Maksudku, dia dan aku tidak mungkin bersatu karena jarak kita terlalu jauh." Ruqayyah berbohong.
"Ohh. " Lanjut mengetik lagi, "emang bener sih, meski pun dipikir secara logika itu tidak mungkin terjadi. Secara Profesor Musa adalah seorang dosen da'i."
"Dia paling suka nila bakar lalu di cocol sambal kicap manis. Tapi dia nggak suka media meliput makanan kesukaannya tersebut."
"Yaelah Qayaah, setiap orang juga nggak suka masalah pribadinya di ekspos media. Jangankan media, dengan tetangga aja bisa. Tapi ngomong-ngomong elo tau dari mana makanan kesukaannya itu?."
"Ada deh, rahasia!" Padahal Ruqayyah melihat sendiri. Diam-diam dia sering mengantar makanan untuk sang idola tanpa sepengetahuan orang lain termasuk sahabatnya sendiri.
"Yah, ama sahabat sendiri berahasia, awas Lo ya kalau minta bantuan gue buat ngantri lontong pecel pagi-pagi subuh."
"Hmmm." Mengeluh panjang.
"Tapi aku kok heran ya sama kamu, dia kan sekampus sama kita dan di kampus dia dikenal dengan julukan sang idola playboy. Tapi kamu masih juga suka sama dia ya, di kampus kalian sering berpapasan nggak?"
"Sering, tapi aku selalu menghindar. Aku bisa kalap kalau berpapasan sama dia. Di tambah pakaianku yang menutup, dia tak akan pernah sadar dengan aku."
"Kasian amat sih kamu jadi fans tapi nggak di akui. Hahaha," ledek Ratih.
Ruqayyah hanya tersenyum kecut mendapat ejekan Ratih barusan. Memang ia adalah fans yang tak di akui. Berbeda dengan teman-temannya di kampus. Mereka bisa ngobrol atau kadang bisa mendapatkan tanda tangan sang idola dengan mudah. Karena sang idola juga ngampus di sana, dan tahun ini adalah tahun terakhirnya. Kadang mereka juga dapat giliran bisa jalan bareng sang idola. Sebenarnya Ruqayyah iri, tapi mau gimana lagi. Dia juga menjaga nama baik pakaiannya dan juga profesi ayahnya di kampus itu. Kan nggak baik kalau seorang putri pendakwah kampus berjalan atau bermesraan dengan laki-laki ajnabi.
***
Aryaaan!
Aryaaan!
Aryaaan!
Teriak anak-anak antusias begitu Aryan keluar dari mobil sedannya. Suasana kampus menjadi riuh menyambut kedatangan sang idola. Tiga teman se_band Aryan mengikuti di belakang. Aryan berjalan memasuki gedung kampus dengan segak bergaya. Ia melepaskan kacamatanya dan memasukkan dalam kerah baju sambil melangkah dengan membusung dada.
Aryan!
Aryan!
Aryan!
Aryan membalas dengan senyum dan lambaian tangan ke arah para fans. Dari jauh Ruqayyah tak berkedip melihat Aryan yang melewati para fansnya saat masuk ke kelas.
Ruqayyah segera berlari ke kantin lalu memesan sarapan buat Aryan. Aryan tidak menyukai sarapan roti di rumahnya, itu sebabnya ia datang pagi-pagi ke kampus demi makan lontong pecel. Namun Aryan tidak tahu, kemudahan dia bisa sarapan lontong pecel itu hasil Ruqayyah mengantri panjang.
"Qayyah,"
Seseorang menepuk bahu Ruqayyah dari belakang. Suasana kantin sangat ramai, apalagi menu lontong pecel spesial simbok bertubuh gemuk itu sangat laris.
"Eh Anas. Lama nggak jumpa ya." Qayyah hanya menoleh sebentar lalu fokus ke penjual lontong yang sedang merapikan pesanannya.
"Maklum, band lagi sibuk rekaman lagu baru."
"Ini seperti biasa, sambalnya di pisah dan susu Milo," serah Qayyah pada Anas. Ia melihat-lihat sekeling takut ada yang memperhatikannya, tapi siapa yang peduli dengan Ruqayyah. Gadis itu tidak pernah mengundang perhatian seperti perempuan lain. Meski dia berkomunikasi dengan Anas salah satu personal band yang sama dengan Aryan, anak-anak tidak peduli.
"Ternyata kamu masih ingat, kirain lupa karena lama nggak jumpa."
"Udah, sana bawa! Nanti keburu maghnya kambuh."
"Ok. Thank you, Ruqayyah." Anas segera membawa nampan berisi sarapan Aryan, pemberian Ruqayyah tadi.
"Yap, sama-sama Anas," balas Ruqayyah setelah Anas sudah menjauh. Gadis berjilbab biru muda itu kemudian balik ke kelas karena jam pelajaran akan di mulai.
Begitulah hariannya bila sang idola masuk kampus. Setiap pagi ia akan memesankan lontong pecel khas Mbok Darsih untuk Aryan. Entah itu bentuk tanda sayang atau cinta dia juga sulit membedakannya. Yang Ruqayyah tahu, setiap makanan pesanannya disukai Aryan, dua jauh lebih bahagia daripada menemukan yang tabungan yang hilang.
"Jeng jeng jeng ... Bro, ini sarapan Lo."
Anas meletakkan nampan yang berisi makanan untuk Aryan. Aryan pun tak sabar lalu mengambil nampan tersebut. Mereka berempat sedang duduk santai di ruang istirahat khusus. Demi kenyamanan mereka, keluarga Aryan memesan kamar khusus untuk anaknya supaya bisa belajar dengan konsentrasi.
"Tumben, cepet banget kamu pesannya."
Anas duduk di sofa lain, di kampus mereka memiliki ruangan sendiri untuk istirahat. Aryan tidak suka antri memanjang oleh itu dia selalu merepotkan Anas.
"Anas gitu lho, ya cepatlah kan udah dipesan kian sebelum Lo sampai sini.")perhatian ya," ledek si Tino lelaki berambut cepak dan sedikit pendek dari Aryan.
"Gue iri sama Lo Yan. Dalam banyak-banyak fans di luar sana ternyata ada yang sangat perhatian," timpal Gilang pemilik tubuh gempal dan berkulit putih. Memang dia berbeda dengan Aryan yang memiliki kulit sawo matang. Meski ketampanan Aryan melebihinya.
"Terserah deh kalian mau ngomong apa yang penting gue kenyang." Aryan tak peduli dengan sindiran para teman bandnya sekaligus sahabat sejak SMP itu.
"Aryan, cepat makannya. Pagi ini kelasnya Profesor Musa lho."
"Lalu kenapa kalau Profesor Musa yang masuk?" Terus mengunyah tanpa mempedulikan orang yang di ajak bicara.
"Lo lupa? Beliau itu sangat tegas dan nggak pandang bulu. Dan pelajaran hari ini adalah tentang halal dan haram."
Aryan menghabiskan kuah terakhir lalu mengambil tisu dan mengelap mulutnya.
"Ayo masuk. Nanti ada pula yang kena hukum khuruj tiga hari," ujarnya seraya berdiri lalu diikuti ketiga temannya yang lain.
Khusus kelas Profesor Musa jika ada yang melanggar peraturan kelasnya maka akan di hukum khuruj tiga hari, untuk memperbaiki diri. Beliau terkenal ramah dan juga tegas di antara dosen-dosen lain.
"Palingan Lo nginep di bar kan kalau di hukum khuruj lagi," timpal Anas, ia menyugar rambutnya kebelakang sambil jalan keluar.
"Apa serunya nginep di bar tanpa kalian."
Mereka menjawab ucapan Aryan dengan tertawa. Dalam hati Anas, Aryan takut juga di hukum khuruj. Padahal kalau dihukum khuruj itu adalah hukuman yang paling seru. Bisa jalan-jalan menambah wawasan, makan gratis dan menambah ilmu tentang Islam. Bahkan bisa menjelajah ke berbagai masjid-masjid atau musholla-musholla dari berbagai kota pula. Aryan tahu bahwa sahabat-sahabatnya itu beragama muslim, tapi nggak solat juga sama seoertinya, meski beragama Kristen tapi malas ke gereja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!