Ajeng menatap nanar pada pelaminan di depan sana. Harusnya dia yang menikah dengan Erwin, tapi kemudian harus gagal karena Elis tiba-tiba mengaku hamil anak calon suaminya.
2 jam sebelum akad kegaduhan mucul tak bisa dicegah, sampai akhirnya seluruh keluarga setuju untuk mengganti mempelai wanita.
Akhirnya Erwin mengucapkan ijab kabul untuk Elis, wanita yang sejatinya adalah sepupu Ajeng.
"Mbak, masuk saja yuk, jangan duduk disini, apalagi Mbak masih pake baju pengantin," ucap Nia, adiknya Ajeng.
Wanita berkebaya putih itu menangis, namun buru-buru dia hapus.
Sesak sekali rasanya dadda gadis itu, sempat dia bersitatap dengan Erwin, namun Ajeng buru-buru menepis.
Bukankah ini pengkhianatan yang sangat menjijjikan?
Entahlah, rasanya Ajeng ingin menghilang dari sini.
"Ayo," balas Ajeng dengan lesu.
Malam harinya, Ajeng mengurung diri di kamar. Kamar yang sudah di hias untuk jadi kamar pengantin.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan gadis berusia 21 tahun itu. Ajeng tidak kuliah, lulus SMA dia langsung bekerja jadi pengasuh bayi untuk tetangga-tetangganya.
"Ajeng, kamu kok nggak keluar kamar, nggak mau makan to?" tanya ibu Tri-ibunya Ajeng.
"Nggak Bu, aku nggak lapar."
"Ya jangan gitu, sudahlah, kamu jangan pedulikan Erwin dan Elis lagi, jelas mereka mengkhianati kamu. Ibu juga nggak sudi punya menantu seperti itu!"
Ajeng menangis lagi.
Sesak di daddanya tak bisa dia ungkapkan.
"Aku mau pergi aja Bu, aku nggak mau tinggal disini lagi," ucap Ajeng dengan sungguh-sungguh, dia bicara di antara air mata yang mengalir.
"Kamu mau kemana?" tanya sang ibu.
"Ikut Bi Ratih ke Jakarta."
"Ya sudah, malam ini siap-siaplah, besok pagi kamu pergi ke Jakarta."
Ibu Tri mendukung keputusan anaknya itu, untuk apa tinggal disini jika akhirnya jadi gunjingan tetangga. Gosip mulai beredar dan sekarang malah menyudutkan Ajeng yang jadi orang ketiga.
Ibu Tri juga muak, maka ini lah keputusannya.
Ajeng mulai berkemas, meskipun besok hujan badai pun akan tetap dia terjang. Yang jelas Ajeng harus meninggalkan desa ini.
Meninggalkan semua kenangan pahit yang dia yakin tidak akan mudah untuk dilupakan.
Mengunakan Bus, Ajeng pergi menuju kota Jakarta.
Tak sumpahin pernikahan kalian nggak akan pernah bahagia. Sumpah Ajeng.
Sampai aku sukses, sampai aku bisa nemu calon suami yang sempurna aku nggak akan pernah kembali ke desa.
Tekad Ajeng sudah sangat kuat. Kini bahkan tidak ada lagi air bening yang mengalir dari kedua matanya.
Jam 5 sore Ajeng tiba di rumah bi Ratih. Penyalur tenaga kerja rumah tangga, pembantu dan pengasuh.
"Masya Allah, akhirnya kamu sampe juga Jeng, pikir bibi kok lama sekali."
"Aku bingung naik Bus disini bi, jalurnya beda-beda, untung nggak nyasar."
"Ayo masuk, ini sudah mau magrib."
Bi Ratih tahu alasan kenapa Ajeng datang kesini, dia juga geram, pasalnya Ajeng dan Elis adalah 2 keponakannya. Tak menyangka juga jika Elis sampai melakukan itu.
"Ajeng, bibi ada pekerjaan untuk kamu, tapi ini termasuk sulit."
"Pekerjaan apa Bi?"
"Jadi pengasuh."
"Kalau pengasuh ya gampang Bi."
"Ini anaknya nakal."
"Semua anak kecil juga nakal Bi."
"Jadi kamu mau?"
"Iya, mau banget, sampe bonyok dibuat anak itu nanti aku nggak akan nyerah. Aku bener-bener nggak mau balik ke Desa Bi."
"Ya sudah, besok bibi langsung bawa kamu kesana."
Bi Ratih kemudian menjelaskan jika Ajeng harus jadi pengasuh seorang bocah berusia 6 tahun, Sean Aditama yang baru saja masuk ke Sekolah Taman Kanak-kanak .
Keluarga Aditama adalah keluarga kaya raya, pemilik salah satu perusahaan perkebunan sawit terbesar di Indonesia.
Bahkan salah satu cabangnya ada di kota kelahiran Ajeng.
"Orang kaya raya kok cari pengasuhnya dadakan begini Bi?"
"Nah nggak tau juga, bibi baru dapat kabar tadi pagi, kebetulan kamu datang."
"Oke deh, Ajeng siap."
Pagi-pagi buta Ajeng dan Bi Ratih sudah mendatangi rumah kediaman keluarga Aditama. Sepanjang perjalanan itu, Ajeng menghapal seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut.
Sean Aditama yang akan jadi anak asuhnya.
Reza Aditama adalah ayahnya Sean, seorang duda, bercerai 2 tahun lalu dari istrinya Monalisa.
Masalah cerainya tidak dijelaskan dalam catatan itu.
Agung Aditama adalah kakek Sean.
Putri Kirana Aditama adalah nenek Sean.
Ryan Aditama adalah adik pertama Reza Aditama.
Rilly Aditama adalah adik kedua Reza Aditama.
Diantara adik beradik itu hanya selisih umur 3 tahun, sementara saat ini usia Reza Aditama adalah 33 tahun.
Dalam berkas itu lengkap pula dengan foto-fotonya. Ajeng sudah mengingatnya baik-baik.
Setelah menempuh perjalanan Akhirnya kini mereka berdua tiba di rumah megah itu.
"Masya Allah, rumahnya besar banget Bi."
"Jangan norak Jeng, kerja kerja kerja."
"Iya Bi."
Mereka berdua masuk ke dalam rumah megah itu. Sudah bulat tekad Ajeng untuk tidak akan pernah keluar dari rumah ini meski apapun yang terjadi, dia akan berkerja sebaik mungkin.
Tapi Ajeng tidak tahu, jika dia adalah pengasuh ke 100 untuk sang Tuan Muda.
Sean tersenyum miring, ketika melihat pengasuhnya yang baru tiba di rumah ini.
"Dari penampilannya dia hanya akan bertahan 1 bulan," gumam Sean dengan seringai licik di bibirnya. Dia mengintip dari celah-celah tangga bagian paling atas. Tangan kanannya memegang mainan robot, hero kesukaannya Batman.
Hero yang kalau pakai cellana dallam sukanya diluar, Sean sering mengikutinya hingga membuat semua orang geram.
Kedua mata anak kecil itu menelisik penampilan pengasuhnya yang baru.
Di bawah sana pengasuhnya yang baru dan bi Ratih langsung menghadap Oma Putri.
Ajeng pagi itu terlihat sangat sederhana, hanya menggunakan kaos panjang berwarna abu-abu dan rok payung setinggi lutut berwarna hitam tanpa corak.
Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda dan dia membawa tas pakaian berukuran sedang.
Dari tempatnya tempatnya bersembunyi itu, Sean menghitung mundur dari 10. Menunggu namanya di panggil oleh sang Oma ...
3
2
1
"Seaan!!" pekik Oma putri.
Meskipun sudah tahu jika dia di panggil tapi Sean tidak menyahut, dia malah perlahan mundur dengan membungkuk lalu masuk ke dalam kamarnya.
"SEAN!"
"Sudah Nyonya, mungkin Den Sean tidak dengar." Ajeng jadi tidak enak hati sendiri, dengan sendirinya dia bicara seperti itu, reflek.
"Jangan panggil Nyonya, nanti Sean ikut-ikut panggil saya Nyonya. Panggil saja sesuai dengan cara Sean memanggil, Oma untuk saya, kakek untuk suami saya. Papa untuk Reza, kalau tidak ada Sean ya kamu panggil Pak. Om untuk Ryan dan Kak untuk Rilly. Paham ya?"
"Paham Oma."
"Rilly harusnya dipanggil tante, tapi dia tidak mau, jadilah dipanggil Kak, ya?"
"Baik Oma."
"Tidak banyak yang Oma minta dari kamu Jeng, pokoknya buatlah Sean jadi anak yang baik, nurut gitu lo sama orang Tua. Ya?"
"Baik Oma."
Oma Putri kemudian memanggil seorang pelayan untuk mengantarkan Ajeng ke kamarnya. Sementara oma Putri masih bertukar kata dengan bi Ratih di ruang tengah.
Tak sampai lama kemudian bi Ratih pamit untuk pergi, dia memeluk Ajeng dengan erat sebagai tanda pisah. Ajeng harus bisa mandiri dan menyelesaikan semua tugasnya disini dengan baik.
Meskipun mereka berada di kota yang sama, tapi tidak akan membuat mereka jadi sering bertemu. Keduanya punya pekerjaan dan tanggung jawabnya masing-masing.
"Jangan lupa Bismilah, mengabdilah dengan sungguh-sungguh untuk keluarga ini. Jangan lupa tugas mu hanya mengasuh Den Sean." Pesan bi Ratih. Dia tidak ingin Ajeng lupa tanggung jawab, atau malah tiba-tiba naksir anak lanang keluarga ini dan berharap jadi nyonya juga. Bi Ratih tidak ingin seperti itu. Dia sangat berharap Ajeng memahami pesannya ini.
Menjaga nama baik, harkat dan martabatnya sendiri.
Ajeng pun mengangguk dengan patuh, "Baik Bi."
Ajeng masih berdiri di teras rumah itu sampai bi Ratih benar-benar tak terlihat Lagi dari pandangannya.
Lalu terdengar suara Oma Putri bicara ...
"Ayo sekarang kita masuk, Oma akan perkenalkan kamu dengan Sean."
"Baik Oma," balas Ajeng patuh.
Saking patuhnya pada semua orang, Ajeng tanpa sadar jika dia selalu menjawab dengan kata 'Baik'. Baik Oma, Baik Bi, Baik Baik Baik, Baik terus.
Masuk kembali ke dalam rumah itu, Oma Putri pun menjelaskan setiap ruangan di rumah ini. Sampai akhirnya mereka tiba di lantai 2, tempat dimana kamar anak-anaknya berada. Mulai dari Reza, Ryan dan juga Rilly, kini Sean juga, semuanya menempati lantai 2 ini.
"Ini kamarnya Sean, dia tidak suka di panggil Den, kamu cukup panggil namanya saja, Sean, gitu ya?" jelas Oma Putri sekali lagi, sungguh dia tidak ingin Ajeng salah tentang hal ini.
Dan lagi-lagi, Ajeng menjawab dengan dua kata ... "Baik Oma."
Mereka berdua masuk dan langsung di sambut dengan senyum hangat milik bocah tampan itu, oma Putri bahkan sampai berkerut dahinya melihat sang cucu tersenyum seperti itu.
Malah terkesan mencurigakan.
"Sean, ini mbak Ajeng, pengasuh kamu yang baru. Oma harap, sangat berharap, kali ini kamu cocok dengan mbak Ajeng, ya?"
"Siap Oma," balas Sean dengan antusias.
Ajeng tersenyum lebar. Katanya Sean adalah anak yang nakal, tapi ternyata tidak, anak itu bahkan mau menyambut dia dengan antusias. Dengan senyum ramah dan wajah tampan.
"Oma tinggal dulu ya Jeng, mumpung ini hari minggu kalian kenalan saja dulu."
"Baik Oma."
Oma Putri keluar, pintu kamar itu tetap dia buka.
Ajeng berjongkok dan mensejajarkan diri dengan Sean.
"Hai Sean, salam kenal, saya mbak Ajeng." Ajeng mengulurkan tangannya, isyarat memperkenalkan diri.
"Salam kenal juga mbak Ajeng, aku Sean. Oh iya, ini aku kenalin sama temenku juga."
Kedua mata Ajeng melebar, ingin tahu teman apa yang dimaksudkan oleh Sean, setelah melepas tangannya berjabat, bocah itu lantas meletakkan robot Batman miliknya di atas ranjang, lalu berlari ke meja belajar dan mengambil tas.
Berdiri lagi di hadapan sang pengasuh dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya.
Seekor kodok yang langsung melompat ke tubuh Ajeng. Gadis itu langsung berteriak dengan kuat.
"KYA!!! OMAAA!!!!"
Di bawah sana oma Putri memijat kepalanya yang berdenyut, belum ada 5 menit dia pergi dan sudah mendengar teriakan Ajeng.
Oma Putri berbalik dan menatap ke arah tangga, dia menunggu apakah Ajeng akan berlari keluar dari dalam kamar sang cucu, kemudian lari terbirit-birit menuruni anak tangga itu.
Tapi sampai 1 menit waktu berlalu ternyata teriakan Ajeng hanya terdengar satu kali, kemudian di atas sana mulai terasa hening, tenang lagi.
Ajeng juga tidak berlari keluar.
"Huh, syukurlah, sepertinya Ajeng bisa mengatasi masalah pertamanya," gumam Oma Putri, meski dia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi di atas sana.
Tapi yang terpenting adalah Ajeng bisa bertahan.
Di kamar Sean.
Bocah itu awalnya tertawa terbahak-bahak, namun kini tawanya sudah hilang.
Diganti dengan tatapan sinis pada sang pengasuh.
"Mbak Ajeng nggak takut sama kodok?" tanya Sean dengan kedua mata yang menelisik, dia adalah anak Genius, kecerdasannya menurun langsung dari sang ayah.
Sean sebenarnya sudah lancar membaca, mahir matematika dan fasih beberapa bahasa.
Tapi kepintaran itu hanya dia yang tahu, sementara semua orang hanya menilai jika dia adalah anak nakal dan bodoh, bahkan Sean pura-pura tidak bisa menulis.
"Tidak kok, kenapa harus takut, dia menggemaskan kan? ini squishy-nya orang kampung," balas Ajeng, dengan santainya dia mengelus kodok milik bocah ini, tidak merasa takut sedikit pun.
"Squishy?" tanya Sean dengan dahi berkerut.
"Iya, nih kalau dipencet kan lembut."
Kwek! bunyi kodok itu gara-gara di tekan Ajeng.
Sean tidak terima kodoknya di sakiti, jadi langsung dia rebut dan dipeluk.
"Lalu kenapa tadi teriak?" balas Sean lagi.
"Kaget." Ajeng menjawab singkat, lengkap dengan senyum yang terukir lebar.
Herg! geram Sean di dalam hati.
Pagi itu Sean pura-pura sudah jadi teman Ajeng, mereka bicara banyak hal, tentang sekolah, tentang makanan kesukaan dan masih banyak lagi.
Ajeng merasa telah berhasil menaklukan bocah ini. Dia merasa pekerjaannya sangat mudah, tidak semenakutkan yang bi Ratih bilang.
Jam 10 Reza pulang dari bermain golf bersama dengan Ryan.
Sedangkan Rilly sejak tadi berada di kamarnya dan tidak mau keluar, gadis itu anak kamar.
"Oma, apa pengasuhnya Sean sudah datang?" tanya Reza.
Ryan naik lebih dulu ke dalam kamarnya, sementara Reza menghampiri sang ibu yang sedang berada di ruang tengah. Oma Putri dan kakek Agung sedang dipijat kakinya oleh tukang urut, santai sambil menonton televisi.
"Sudah, Ajeng namanya, dari tadi masih di kamar Sean, sepertinya yang ini akan cocok," jawab Oma Putri.
Reza tidak menjawabi lagi, pria berwajah dingin itu hanya mengangguk kecil. Mengaminkan ucapan sang ibu.
Semenjak perceraian itu hubungannya dengan Sean tidak begitu baik.
"Lebih baik kamu temui dulu itu si Ajeng, bagaimana pun sekarang dia yang akan mengasuh anak mu. Oma sudah tua, nggak sanggup kalau sendirian_"
"Iya Oma," potong Reza dengan cepat, sebelum Oma Putri bicara panjang kali lebar.
Pria itu bahkan segera berlalu dari sana dan menaiki anak tangga.
Tiba di kamar Sean, pintunya masih terbuka. Dilihatnya seorang wanita asing sedang duduk di karpet bermain dengan Sean.
"Ehem!" Reza berdehem.
Sean hanya melirik, sementara Ajeng langsung bangkit, menyapa.
"Pak Reza_"
"Papa," potong Reza.
"Oh pak Reza," ledek Sean.
Bocah 6 tahun itu lantas menatap sang ayah dengan tatapan remeh, arti Pak seolah Reza bukanlah ayahnya.
Sementara Reza pun membalas tatapan itu dengan raut wajahnya yang dingin.
Ajeng seperti berada di tengah-tengah pertempuran, terlebih lidahnya terasa kaku sekali untuk menyebut pria tampan ini dengan sebutan papa.
Saking kakunya, Ajeng rasa-rasa ingin menarik lidahnya sendiri.
Karena dia harus bicara untuk memecah keadaan mencekam ini.
"Papa Reza!! perkenalkan nama saya Ajeng." saking gugupnya Ajeng sampai terdengar seperti memaki.
Sean tertawa.
Hahahaha, tawa bocah itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!