Setelah mendapatkan restu dari papa Kiara, Ricky dan Kiara pun menikah.
Setelah menikah, Vila Terapung di Kalimantan Barat menjadi pilihan mereka untuk berbulan madu.
Hanya kisaran beberapa menit setelah sampai, mereka mendapat kabar bahwa Nia mengalami kecelakaan. Selain Nia adalah istri dari sahabatnya, Ricky juga mengingat bagaimana kebaikan istri sahabatnya itu. Nia mendonorkan darah untuknya saat ia kecelakaan.
Di saat mereka tiba di Rumah Sakit, sayangnya nyawa istri sahabatnya itu sudah tidak bisa tertolong. Dokter menyatakan kalau Nia sudah meninggal
Mendengar pernyataan dari Dokter yang mengatakan bahwa istrinya sudah tiada, tentu saja membuat Adit benar-benar merasa terpukul. Ia kehilangan dua nyawa sekaligus, istri dan anaknya yang masih di dalam kandungan.
Baik Ricky, Bara dan Dimas, mencoba untuk menguatkan Adit. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika Adit ingin pindah dari kota yang menjadi saksi bisu persahabatan mereka selama ini. Semoga dengan memulai kehidupan baru di kota baru akan membuat sahabatnya itu merasa jauh lebih baik, itulah harapan mereka.
Dan itu adalah kejadian lima belas tahun yang lalu. Kini keempat sahabat itu menjalani kehidupan mereka masing-masing.
Bara masih menjalankan perusahaan peninggalan orangtuanya dan kini perusahaan tersebut semakin maju. Ricky menjalankan bisnisnya di bidang perhotelan. Sedangkan Dimas tak jauh berbeda dengan Bara, ia juga melanjutkan mengurus perusahaan Papanya.
Seminggu sekali mereka berkumpul untuk sekedar makan bersama dan mengumpulkan anak-anak mereka. Mereka ingin persahabatan mereka juga berlanjut ke anak-anak mereka. Bahkan mereka juga menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang sama.
Raffi dan Devano juga sangat akrab. Mereka bahkan belajar di kelas yang sama.
Devano adalah hasil buah hati Dimas dan Fitri. Raffi adalah anak kedua Raisa dan Bara. Sedangkan Ayara, kini ia tumbuh menjadi gadis yang sangat manis dan periang. Ia juga selalu mendapat predikat terbaik di sekolahnya. Ayara adalah anak pertama Raisa dan Bara.
Lalu, dimanakah Adit?
Sejak memutuskan pergi, Bali adalah tujuannya untuk memulai hidup baru. Ia membuka cafe kecil-kecilan dengan modal seadanya dan berbekal pengalaman ketika dulu bekerja di cafe. Kini, ia menjadi pemilik beberapa restoran di kota Bali. Selain itu, ia juga menekuni bisnis yang sama dengan salah satu sahabatnya, Ricky. Walau terpisah jarak, tak memutus komunikasi diantara mereka. Sesekali Ricky mengunjungi sahabatnya itu.
Semangat Adit untuk merubah nasib sangat kuat. Apa lagi jika ia teringat bagaimana Nia meninggal karena kecelakaan yang mungkin karena kelelahan antara harus membagi waktu kuliah dan bekerja di saat hamil. Itulah alibi Adit. Ia hanya ingin jadi laki-laki yang berguna dan bisa membahagiakan orang terdekatnya.
Hingga saat ini, Adit pun masih betah menduda.
Siapa yang tidak menginginkan seorang pengusaha sukses yang terlihat tampan dan lebih muda dari usianya. Namun nyatanya sampai saat ini posisi istrinya tak tergantikan dengan wanita manapun. Saat ini yang ia fikirkan hanya bekerja dan bekerja.
Kini Adit berada dalam penerbangan menuju ke kota dengan sejuta kenangan. Setelah lima belas tahun, kini ia akan menapakan kaki di kota itu lagi. Dan kini ia sudah berada dalam perjalanan menuju hotel tempat ia akan menginap, yang mana hotel tersebut juga adalah milik sahabatnya sendiri.
Mobil yang membawanya dari bandara itupun sudah sampai di tempat tujuan. Adit keluar dari dalam mobil dan disana sudah ada seseorng yang menyambutnya.
“Selamat datang tuan.” Adit pun membalas dengan mengangguk lalu berjalan mengikuti orang tersebut.
“Silahkan,” ucap pria yang tadi menyambutnya setelah membukakan pintu ruangan atasannya. Adit pun masuk ke ruangan itu dan pandangannya langsung bertemu dengan seseorang yang sudah menunggunya disana.
Ricky yang sudah menunggu kedatangan sahabatnya itu pun langsung meninggalkan meja kerjanya lalu kedua sahabat itu saling merangkul.
“Gue seneng liat lu udah mandiri mandiri,” ucap Adit seraya menepuk-nepuk punggung Ricky. Mereka terkekeh seraya menuju sofa yang ada di ruangan itu.
Ada banyak hal yang mereka obrolkan, mulai dari masa sekolah hingga kerjasama mereka yang sudah mereka bicarakan sebelumnya. Tidak ada yang perlu mereka takutkan dalam hal kerjasama tersebut, mereka sudah memahami karakter masing-masing, terlebih kerjasama tersebut sudah mereka rencanakan jauh sebelum hari dimana Adit telah kehilangan istri dan calon anaknya. Tapi saat ini Ricky tidak ingin mengingatkan hal apa pun yang akan membuat sahabatnya itu tenang kejadian tersebut, walau tak dapat di pungkiri bahwa Adit pasti masih mengingat kejadian itu.
Setelah cukup lama mengobrol, Ricky pun berniat ingin mengantarkan Adit ke kamar yang sudah di sediakan oleh karyawan hotelnya.
Adit ikut menghentikan langkahnya ketika Ricky berhenti di depan pintu dan berbicara dengan seseorang. Terlihat seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya.
“Kakak lagi sibuk! Kenapa kamu ngga pergi sama teman kamu aja dulu.” Ricky menolak ajakan Aya yang ingin di temani nonton. Selama ini adik perempuannya itu selalu minta di temani olehnya jika kemana-mana, termasuk pergi ke bioskop.
Tadinya gadis itu mengajak sahabatnya untuk pergi, tapi sahabatnya tersebut mendadak ada acara keluarga.
Ayara Raima Pranaja, gadis cantik dengan rambut sebahu tersebut memang mewarisi kecantikan ibunya, kecantikan yang tak lekang oleh waktu seperti Authornya.
Dengan wajah cemberut dan bibir yang mengerucut, Aya pergi meninggalkan hotel kakaknya. Di bawah sudah ada supir yang biasa mengantar dan menjemputnya.
“Kenapa Non, ngga semangat gitu?” tanya pak supir ketika melihat majikan mudanya masuk kedalam mobil dengan wajah sedih. Tak mendengar jawaban, pak supir pun menyalakan mobil untuk menuju pulang.
“Pak, antarkan saya ke mall aja,” pinta Aya pada pak supir, ia berniat untuk nonton film tersebut, mengingat itu adalah film yang sudah ia tunggu-tunggu.
Adit kini sudah berada di dalam kamar hotel, ia membersihkan dirinya lalu beristirahat. Cukup lama terlelap, ia terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu dari luar. Ternyata pelayan hotel yang datang mengantarkan makanan. Sebelum pelayan wanita itu masuk membawa makanan tersebut, Adit lebih dulu meminta agar makanan itu di bawa kembali karena ia ingin makan di luar. Sebelum itu terlebih dahulu ia pergi ke makam istrinya. Ia sudah tidak menangis lagi, karena selama belasan tahun ia sudah melakukan itu, menangisi kepergian anak dan istrinya. Setelah berdo'a dan menaburkan bunga, ia pun pergi meninggalkan pemakaman.
Ricky yang sudah janjian dengan Adit itu pun di buat kesal karena sudah lama menunggu. Sebelumnya Adit mengatakan ingin beristirahat karena lelah setelah perjalanan sehingga ia sendiri yang menyuruh pelayan hotel untuk mengantarkan makanan untuk sahabatnya itu.
“Ternyata lu ga berubah! Tetep aja ngeselin,” batin Ricky seraya memainkan ponselnya. Sudah hampir satu jam ia selesai meeting dengan klien di restoran yang sama.
Walau merasa bosan dan kesal, Ricky tetap menunggu kedatangan Adit. Ia sudah memberitahu istrinya bahwa ia akan pulang terlambat. Kiara tak keberatan samasekali, bahkan ia juga ikut merasa senang mendengar bahwa sahabat suaminya itu telah kembali. Ia membiarkan kedua sahabat itu menghabiskan waktu bersama.
“Sorry,” ucap Adit yang tiba-tiba datang, sambil menarik kursi untuknya. Sementara Ricky sudah berwajah kesal.
“Lu dari dulu ga berubah ya, ngeselin! Gue udah kayak kambing congek nungguin lu disini!” protes Ricky seraya memasukan beberapa berkas yang tadi sempat ia baca ulang sembari menunggu kedatangan Adit.
“Lu mau kemana? Kita kan belum makan!”
“Udah malas gue!” sahut Ricky seraya meninggalkan tempat duduknya dan berniat meninggalkan resto tersebut. Adit pun menyusul sahabatnya itu.
“Rick, lu juga ternyata ga berubah, masih aja ngambekan!”
Ricky tak menjawab ocehan Adit, ia terus berjalan menuju tempat parkir. Selain karena menunggu terlalu lama, ia juga merasa pusing setelah meeting dengan beberapa klien hari ini.
“Lain kali aja kita nongkrong bareng, sekarang gue harus pulang, lagian lu juga bakal lama disini,” jelas Ricky ketika ia sudah berada di dekat mobilnya.
“Nongkrong itu kata-kata yang cocok untuk anak remaja, kalau kita udah beda kelas bro,” protes Adit yang ikut masuk ke dalam mobil Ricky. Tanpa banyak bicara lagi, Ricky pun menyalakan mobilnya lalu menuju ke kediamannya bersama keluarga kecilnya.
Kiara yang merasa heran dengan kepulangan suaminya itu pun berniat ingin bertanya, tapi ia urungkan ketika melihat Ricky tidak pulang sendiri.
Kiara memanggil bibik yang membantunya mengurus rumah selama ini, agar membuatkan minum untuk Adit.
Setelah membersihkan dirinya, Ricky menemui Adit yang masih menunggu di bawah. Ternyata disana juga sudah ada Bara dan Dimas. Memang sebelumnya ia sempat memberitahu kalau Adit sedang berada di rumahnya, tapi ia tidak menyangka kalau secepat itu mereka datang.
Keempat sahabat itu akhirnya kembali berkumpul, mereka kembali menceritakan kekonyolan mereka pada jaman dulu. Bak dongeng jika anak-anak mereka mendengar. Tapi untungnya saat itu anak-anak tidak ada disana.
Kiara meminta bibik untuk menyiapkan makan malam, lalu mengajak semuanya untuk makan bersama.
Selama mengobrol, baik Bara, Dimas dan Ricky, tidak ingin menyinggung soal apa pun mengenai kejadian lima belas tahun yang lalu. Mereka tidak ingin merusak suka cita dengan membuka kembali luka lama. Biarlah Adit sendiri yang berbicara jika dia menginginkannya.
Esoknya Adit berniat ingin pulang ke kampung halamannya, dimana kedua orangtuanya tinggal. Sudah lama ia tidak pulang ke kampung halaman, selama ini ia hanya mengirim uang dan berkomunikasi lewat telepon saja. Kehidupan keluarganya sekarang tentu jauh lebih baik.
Selama seminggu menghabiskan waktu bersama kedua orangtuanya, Adit pun kembali ke kota, namun ia tak sendiri, ia membawa anak dari kakak sepupunya untuk ia sekolahkan di kota. Hitung-hitung biar ada yang menemaninya di apartemen. Apa lagi keponakannya tersebut terbilang rajin dan mudah juga bergaul. Adit berniat memperkenalkan keponakannya pada anak-anak sahabatnya. Selepas sholat maghrib mereka pun pergi ke rumah Bara, sahabat yang paling sering ia bantu waktu dulu, walau bantuannya tak pernah gratis. Kebetulan ada Dimas dan Ricky juga yang sudah berada disana lebih dulu. Sebelumnya mereka sudah mengatur janji dan rumah Bara lah yang kini jadi tempat pertemuan mereka.
“Busett, gede amat! Ini rumah apa istana pangeran inggris!” decak Elang ketika berada di sebuah halaman rumah yang menurutnya bak kediaman pangeran.
“Jangan norak, dan jangan bikin malu!” ucap Adit mengingatkan, lupa kalau ia sendiri pun dulu tak kalah norak dari keponakannya.
Mereka di sambut oleh Bara yang kebetulan baru selesai menerima telepon dari rekan bisnisnya. Ia tak ingin mengganggu obrolan orang yang ada di dalam rumah, sebab itulah ia pergi ke luar.
Adit memperkenalkan keponakannya pada sahabatnya, dan Elang pun langsung menyalami satu persatu orang yang di anggapnya lebih tua. Raffi dan Devano juga menyambut baik teman baru mereka. Mereka langsung memisahkan diri mencari tempat untuk mengobrol. Rencananya Elang akan sekolah di tempat yang sama dengan kedua teman barunya itu.
“Ngomongin apa nih, seru banget?” tanya Ayara yang baru turun dari lantai atas dimana kamarnya berada.
Elang mengalihkan pandangannya ke sumber suara tersebut, di dalam hati ia berdecak kagum dan tak hentinya memuji. “Ternyata rumah gede ini juga menyimpan bidadari,” gumam hati Elang.
“Itu Kakak gue, namanya Ayara,” ujar Raffi memberitahu. Sedangkan Ayara sudah pergi ke ruang tamu, ingin melihat sahabat Papanya yang katanya baru pulang dari perantauan. Aya menyapa semua yang ada disana, lalu ia duduk di antara kedua orangtuanya.
“Om datang cuma berdua sama anaknya, istrinya ngga di ajak?” tanya Aya pada Adit. Selama ini ia selalu melihat Dimas membawa istrinya saat mengunjungi orangtuanya. Aya juga mengira kalau teman baru Raffi dan Devano tadi adalah anak dari Adit. Walau sebetulnya ia tidak yakin kalau Adit memiliki anak remaja seumuran dengan adiknya, karena om-om yang ada di hadapannya saat ini masih terlihat sangat muda dan terlalu keren untuk jadi bapak-bapak.
Tidak di pungkiri, Adit teringat istri dan calon anaknya yang dalam waktu bersamaan meninggalkannya. Tapi dalam hal ini, ia tidak menyalahkan siapapun, mungkin memang sudah takdirnya seperti itu. Saat ia datang kembali ke kota ini, ia sudah siap dengan segala sesuatu yang mungkin akan mengingatkannya kembali pada masa lalunya, tapi ia juga hanya seorang manusia biasa, yang tetap akan merasakan sakit jika ingat kejadian itu.
Raisa menatap suaminya yang juga terlihat tidak enak hati, dan mendadak suasana sempat terasa canggung. Anak-anak mereka tentu tidak tahu apa-apa tentang kejadian lima belas tahun lalu.
-
-
-
Ayara mengusap layar ponselnya untuk melihat si pengirim pesan.
“Happy weekend...!” Ternyata Diva yang mengirimi pesan. Setelah membalas pesan tersebut ia meletakan kembali ponselnya di dekat bantal. Di dalam hati ia mengecam perbuatan Diva yang sengaja pamer weekendnya dengan gebetan. Ia kembali ingin memejamkan matanya tapi sudah tidak bisa, akhirnya ia pun meninggalkan tempat tidur lalu pergi ke kamar mandi. Ia berniat mengunjungi Omanya. Setelah sudah siap, ia pun pamit dengan orang rumah. Akhir pekan di waktu pagi, biasanya Raisa dan Bara akan menghabiskan waktu untuk berolahraga sepeda bersama, jadi Ayara hanya nitip pesan lewat art. Ia pergi dengan naik taksi, karena mungkin ia akan lama saat disana.
Mala sangat senang menyambut kedatangan cucunya. Setiap akhir pekan ia selalu menunggu kedatangan Ayara ke rumah. Walau sudah jadi nenek dengan tiga cucu, Mala masih terbilang sehat dan aktif. Apalagi kini sudah tidak ada lagi masalah berat yang membebani pikirannya. Setelah 5 tahun Bara menikah, Tari memperkenalkan pria pilihannya dan Mala langsung menyetujui, ia tidak ingin lagi mengatur-atur jodoh anaknya, toh yang menjalani kelak adalah mereka yang menikah. Sebagai orangtua cukup mendo'akan saja.
“Oma, Alina pergi dulu ya,” pamit Alina pada Mala. Sejak Tari menikah, Alina memilih untuk tetap tinggal bersama Mala, ia tidak mau meninggalkan omanya hanya bertemankan pelayan di rumah itu. Lagi pula, Tari sering ikut suaminya pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan, memang seharusnya ia membiarkan Alina bersama mamanya.
Ayara memperhatikan kakak sepupunya itu dari ujung kaki hingga ujung rambut.
“Kak Al pasti mau pergi sama kak Yuda, ya?”
“Tuh udah tau. Perlu di perjelas lagi ngga?” ledek Alina seraya mengusap pucuk kepala adik sepupunya.
“Isshh,, kenapa sih pada nyebelin!” batin Aya.
“Ayo bantu Oma berbelanja, sekalian kita jalan-jalan,” ajak Mala.
Ayara pun kembali bersemangat.“Oke!”
Tidak lama cucu dan nenek itu sudah berada di dalam mobil yang akan membawa mereka ke tempat tujuan.
Sebelum berbelanja, mereka memilih untuk mengisi perut terlebih dahulu. Ayara sangat senang menemani Mala saat berbelanja. Sedangkan Mala merasa bahagia melihat keceriaan di wajah cucunya itu. Mala menghubungi pak supir agar membawa semua barang belanjaan mereka. Sebelum pulang, Ayara meminta Malauntuk menemaninya makan eskrim, Mala pun mengabulkannya.
Mala tertawa sambil mengelapi mulut cucunya yang belepotan makan eskrim.
“Udah, jangan banyak-banyak, nanti sakit,” ucap Mala mencoba menghentikan Aya yang terlihat masih mau lagi. Mereka pun akhirnya keluar dari mall menuju tempat parkir dimana pak supir sudah menunggu.
“Maaf Nyah, ban mobilnya kempes, perlu waktu untuk memperbaikinya,” ucap pak supir memberitahu. “Apa sebaiknya saya carikan taksi saja?” ucapnya lagi.
“Selamat siang Tante.” Mala menoleh kebelakang, ia memperhatikan orang yang menyapanya dan ia merasa tidak mengenali orang tersebut. Tapi Ayara tentu tau betul siapa yang ada di hadapan mereka saat ini.
“Selamat siang Om.” Ayara yang membalas.
“Kamu kenal orang ini?” tanya Mala pada Aya.
“Dia teman Papa,” jawab Ayara pelan.
“Saya Adit, teman sekolah Bara waktu sekolah,” jelas Adit, berharap ibu temannya itu bisa mengingatnya.
Oh ya, ya. Maaf, Tante lupa. Maklum, faktor umur,” kekeh Mala. Penampilan Adit yang sangat jauh berbeda tentu menjadi sulit untuk langsung di kenali. Menjadi pria dewasa yang sukses tentu merubah semuanya, termasuk dari segi penampilan.
Adit menawarkan bantuan untuk mengantar Mala dan Ayara pulang ke rumah. Tanpa penolakan sedikitpun, Mala yang merasa lelah itu pun langsung menyuruh supirnya untuk memindahkan barang belanjaanya ke mobil Adit, karena barang-barang tersebut adalah bahan dapur termasuk sayuran. Hari ini Mala sengaja berbelanja sendiri, hitung-hitung olahraga sekaligus hiburan.
Pak satpam buru-membukakan pagar ketika tau majikannya yang datang.
“Kirain Nyonya beli mobil baru,” ucap pak satpam tertawa kecil, sambil membawakan barang belanjaan Mala. Sementara Adit membantu mengeluarkan barang-barang tersebut dari bagasi mobilnya.
“Ayo, masuk dulu,” ajak Mala pada Adit.
“Mungkin lain waktu saja, Tan. Saya masih ada urusan.”
“Ya sudah, kalau begitu Tante masuk dulu, maaf jika Tante jadi merepotkan.”
“Ngga apa-apa, Tan.”
Aya mendekati tempat dimana Adit masih berdiri, “terimakasih ya Om,” ucapanya.
“Sama-sama,”
“Om....” Adit yang berniat hendak masuk ke dalam mobil pun mengurungkan niatnya, ia menatap pada Aya yang terlihat sedikit menunduk.
“Maaf atas kejadian kemarin, aku ngga tau kalau....”
“Ya, ngga masalah,” sahut Adit, ia faham apa yang di maksud gadis itu.
Di malam itu, setelah semua sudah pulang, Aya tidak sengaja mendengar percakapan kedua orangtuanya mengenai kejadian lima belas tahun yang lalu. Ia merasa tak enak hati lalu memutuskan untuk meminta maaf jika ada kesempatan.
-
-
-
Di sekolah
Elang memandangi gedung sekolah barunya, di dalam hati, ia membandingkan sekolah tersebut dengan sekolahnya yg lama, sangat jauh berbeda.
“Gue ngga nyangka bakal sekolah di tempat kayak begini, seperti yang ada di sinetron anak sekolahan,” gumannya dalam hati.
Ia melewati pagar sekolah, tak lupa ia menyapa penjaga sekolah yang berdiri di dekat pagar. Penjaga sekolah itu pun membalas dengan mengangguk.
“Sial! Gue ga tau dimana letak kantor sekolah ini!” Elang kebingungan melihat kesana kemari.
“Eh, lu anak baru ya?” Elang pun melihat ke arah belakang. Ada tiga wanita yang berdiri di hadapannya saat ini. Elang memperhatikan satu persatu murid cewe yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya. Pastilah mereka murid di sekolah ini juga, pikirnya.
“Nona-nona yang cantik, gue mau nanya, dimana ruang kepala sekolah?” Tak langsung menjawab, tiga orng murid tersebut saling menatap ke arah temannya secara bergantian, lalu mereka tersenyum.
“Lu lurus aja dari sini terus nanti belok kiri lurus lagi belok kanan, setelah itu, lurus aja lagi,” ucap salah satu murid tersebut.
“Ok, terimakasih!” ucap Elang, ia pun pergi mengikuti petunjuk tersebut.
“Sial! Apa jangan-jangan gue di kerjain ya sama mereka,” umpat Elang, pasalnya sudah tiga kali ia kembali ke tempat yang sama.
“Ya, harusnya gue sadar dari awal! Akhirnya gue sama kayak di sinetron, jadi anak baru yang yang di kerjain.”
“Lu ngapain disini!?” Suara seseorang dari arah belakang berhasil membuat Elang kaget hingga berjingkat. Elang pun melihat ke arah belakang, ternyata orang itu adalah Devano.
Elang merasa lega seraya mengusap dadanya, “lu datang di waktu yang tepat,” ucapnya.
“Waktu yang tepat apaan, emang lu mau lahiran?”
“Tadi gue nanya ruang kepsek sama murid disini, tapi gue di kerjain! Lutut gue udah lemes tiga kali muter,” jelas Elang, di dalam hati ia akan membuat perhitungan dengan tiga orang tersebut.
“Ayo ikut gue,” ajak Devano, ia mengantarkan Elang ke ruang kepsek lalu ia pun kembali ke kelas karena bel tanda masuk sudah berbunyi.
“Selamat pagi anak-anak,” ucap bu Dahlia memasuki ruangan kelas.
“Selamat pagi Bu...!” jawab anak-anak.
“Elang, ayo perkenalkan diri kamu ke teman-teman kamu,” titah bu Dahlia.
“Iya bu.” Elang pun mulai memperkenalkan dirinya di depan kelas. Tanpa sengaja ia melihat ke beberapa murid yang ada di ruangan itu, murid yang tadi mengerjainya. Mereka terlihat menahan tawa karena telah berhasil mengerjai Elang. Elang pura-pura tidak peduli dan tetap memperkenalkan dirinya.
“Ehm,, nama gue Elang Se....”
“Sebentar.” Elang tidak melanjutkan perkenalannya tapi ia langsung melihat ke arah bu Dahlia yang menyela.
“Gunakan bahasa indonesia yang baik dan benar!” titah bu Dahlia.
“Iya bu,” angguk Elang, lalu melanjutkan memperkenalkan dirinya.
“Baik, silahkan duduk!” Elang pun ingin menuju ke bangku yang masih kosong di sebelah seorang murid cewe yang mengenakan kacamata.
Saat melewati tempat duduknya, April sengaja menyenggol kaki Elang dengan kakinya sendiri. Kesempatan itu Elang gunakan untuk berpura-pura jatuh hingga tak sengaja mencium pipi murid cewe yang duduk di belakang tempat duduk April, dan murid tersebut adalah salah satu orang yang ikut bekerjasama mengerjainya.
“Sorry, sorry...! Ulah temen lu di depan tuh,” ucap Elang seraya menunjuk April dengan mukanya. Elang tersenyum lalu mengambil tempat duduknya.
“Hai,” sapa Elang pada teman sebangkunya. Alysa membalas dengan mengangguk seraya tersenyum malu-malu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!