Setiap pagi keluarga Pak Hadi selalu ricuh, ada saja hal kecil yang memicu keributan di rumah kontrakan sederhana itu. Mulai dari Rasyid yang belum juga mendapat pekerjaan setelah dua tahun lulus sekolah, belum lagi Anton yang sebentar lagi ujian nasional dan pihak sekolah mewajibkan seluruh siswa nya mengikuti bimbingan belajar, sudah pasti tidaklah murah.
Jika pagi menjelang tepatnya setelah adzan subuh berkumandang, ibu Tuti segera membangunkan anak-anaknya seraya mengingatkan Rasyid agar segera mencari pekerjaan. Rasyid yang masih bermalas-malasan selalu saja punya banyak alasan untuk menunda permintaan ibunya yang sehari hari bekerja sebagai buruh cuci keliling.
"Bangun Rasyid! Solat subuh lalu siap siap mencari pekerjaan. Ingat kamu itu anak paling besar, adikmu butuh biaya."
"Sudahlah bu, bapak kan masih sanggup mencari uang untuk ibu dan anak anak. Jangan terlalu memaksa Rasyid seperti itu." sahut pak Hadi sambil melipat sajadah.
"Masih subuh bu, nanti aja kantor juga buka nya jam delapan kan. Hooaaammm" jawab Rasyid yang masih menutup rapat mata nya dan memeluk guling milik Sarah, adik bungsu nya.
"Bangun saja dulu, solat subuh biar rezeki mu lancar ayo cepat bangun. Anton Sarah kalian jangan pura-pura budek ya ibu tau kalian sebenarnya dengar" ucap bu tuti sambil memukul mukul kaki anak-anak nya.
"Nanti lah bu, aku masih ngantuk banget. Bang Rasyid tuh yang harus bangun cepet"
"Eh kok jadi ke abang? Kamu juga kan harus ke sekolah jam 6" sahut Rasyid terkejut.
"Mau berangkat jam 6.30 kan di antar bang Anton"
"Ini kan senin de, kamu ngga upacara memangnya? Abang ada upacara pagi jadi ngga bisa kalo antar kamu dulu. Bangun ih dasar pemalas!" Anton menanggapi sambil mengambil handuk untuk mandi.
Dengan lembut dan penuh kasih sayang pak Hadi membangunkan Sarah, di usapnya rambut anak perempuannya itu seraya berkata:
"Anak bapak yang satu ini mau bangun jam berapa? Sudah siang loh nak. Bangun yuk."
"Hmmmmmm males sekolah pak aku capek banget duh mana pusing lagi."
"Kamu sakit nak?" ibu Tuti panik dan langsung memegang kening Sarah untuk memastikan kondisi nya.
"Halah alasan saja capek, manja banget sih kamu de. Abang ngga suka kamu manja begitu." Rasyid sangat hafal karakter adik bungsu nya ini. Ia akan merengek dan mempertahankan kemauannya meskipun itu adalah hal yang salah, Sarah akan tetap merengek karena ia tahu ibu dan ayah nya pasti mengiyakan.
"Ya sudah kamu istirahat saja ya nak. Kasian anak gadis bapak kecapean. Rasyid jaga adikmu ya." ucap pak Hadi.
"Rasyid mau mencari pekerjaan pak."
"Hari ini jaga adikmu saja dulu." Pinta bu Tuti
Selalu saja, setiap Sarah mengeluh sakit atau apapun seluruh perhatian seisi rumah dipaksa tertuju hanya pada Sarah.
"Oh iya ini uang jajan untuk kamu, dan ini buat Anton." pak Hadi mengeluarkan dua lembar uang masing-masing lima ribu rupiah di berikan kepada Rasyid juga Anton yang sedang bersiap pergi ke sekolah.
"Aku ngga di kasih jajan pak? Kan aku lagi sakit." tanya Sarah dengan manja nya sambil menggosok mata yang masih berat.
"Berdua dulu sama bang Rasyid ya cantik. Uang bapak sedikit lagi, ini sisa untuk bensin bapak."
Sambil memakaikan sepatu tali dan bergegas pergi ke sekolah, Anton menyampaikan bahwa uang jajan jatahnya hari ini di berikan saja kepada Sarah.
"Uang Anton sisa kemarin masih ada pak, jadi uang jajan anton hari ini buat ade saja."
"Benar masih ada?" Tanya pak Hadi
"Ada pak, dan hari ini kebetulan Anton ada kerjaan lain. Pulang sekolah nanti Anton di minta membetulkan rem motor milik Yana (teman sekolah Anton)."
Anton anak yang mandiri, untuk urusan uang jajan pun ia berusaha mencari sendiri dengan keahlian yang ia miliki yaitu membetulkan bagian-bagian motor yang rusak seperti mesin atau rem karena sejak SMP jika hari minggu Anton selalu ikut bekerja di bengkel milik tetangga nya. Meski upah nya tidak seberapa namun Anton selalu bersyukur karena ia sudah bisa mencari uang sendiri, tidak seperti abangnya yang masih selalu meminta uang jajan kepada orangtua.
"Alhamdulillah, yang jujur ya nak kalau bekerja agar kamu semakin di percaya banyak orang. Bapak bangga sama kamu."
"Tapi aku ngga bangga sama bang Anton soalnya abang tidak pernah kasih jajan buat aku. Bang anton pelit." ucap Sarah sambil membereskan bekas tidur nya yang berantakan.
"Hus, tidak boleh seperti itu sama abangmu. Uang jajan kamu kan selalu bapak kasih nak." pak Hadi menanggapi dengan raut wajah sedikit kesal kepada Sarah.
"Berisik ade, uang jajanmu hari ini juga itu jatah abang. Sudah Anton pamit ya pak, bu." Sambil mencium tangan pak Hadi dan bu Tuti.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam nak, hati hati." Jawab bu Tuti
"Eh ton, abang titip bakso ya nanti pulang kamu sekolah."
"Aku juga bang. Sambel nya yang banyak." pinta Sarah
"Uang nya mana?"
"Pakai uangmu lah." jawab Rasyid cepat sambil tertawa
"Ogah. Anton pergi ya sudah siang. Assalamualaikum."
Anton pergi mengayuh sepeda dengan cepat karena sudah terlambat akibat perdebatan kecil di tempat tinggalnya yang selalu terjadi hampir setiap hari.
Setelah Anton pergi sekolah, pak Hadi juga bergegas pergi bekerja di toko oleh-oleh dekat rumahnya. Ia bekerja sebagai satpam sudah hampir 6 tahun. Sebelum bekerja di tempat itu pak Hadi adalah seorang pemabuk dan preman pasar yang menakutkan juga selalu membuat ricuh namun ia bertaubat setelah bertemu ibu Tuti.
Pada awal pernikahan, pak Hadi dan bu Tuti merintis usaha warung nasi namun tidak bertahan lama karena setelah Sarah lahir ibu Tuti sering sakit sakitan. Karena alasan itulah usaha warung nasi mereka terpaksa di tutup dan pak Hadi mulai mencari pekerjaan baru mulai dari menjaga kios pulsa, tukang parkir di minimarket, hingga akhirnya di tawari oleh tetangga untuk bekerja di toko oleh-oleh miliknya sebagai satpam. Berlatar belakang mantan preman membuat tetangga pak Hadi percaya toko oleh-oleh miliknya akan aman.
Saat ini Sarah sudah kelas 3 SMP tapi perilaku nya masih seperti anak kecil akibat terlalu di manja oleh orangtua nya dan apapun keinginan Sarah pasti akan di usahakan oleh pak Hadi dan ibu Tuti. Rengekan dan raut wajah yang berubah mendung adalah rayuan jitu agar semua keinginan Sarah dapat di penuhi.
"Kamu sakit atau males?" Tanya Rasyid sinis
"Aku ada PR Matematika yang harus di kumpulkan hari ini. Susah banget bang makanya ngga mau masuk hari ini. Jangan bilang ibu ya."
"Biasanya minta bantuan Anton."
"Takut di marahi bang, kan sudah sering minta bantuan. Kata bang Anton aku harus mikir sendiri sekali kali."
"Ya memang betul kata si Anton, terus kenapa kamu ngga berusaha?"
"Males mikir bang. Pengen tiduran aja di rumah."
"Mau jadi apa kamu de ya Allah kalau ibu dan bapak tahu habis kamu de."
"Paling ibu nangis, bapak kan ngga pernah marah sama sarah jadi aman." Jawab Sarah dengan santai nya sambil memakaikan cat kuku di jari-jari tangannya.
"Astagfirullahaladzim ade! Kamu main sama siapa sih kok nakal begini?"
"Hehehehe."
Sarah malah tertawa ketika di tegur Rasyid, menganggap ucapan kakak nya hanya sebuah gertakan pendek yang nanti nya Rasyid juga lupa atas ucapan nya sendiri. Tertawaan Sarah di sambut gemuruh suara petir yang cukup keras di siang hari itu.
"Angkatin jemuran sana! Nanti ibu marah kalau jemuran nya kebasahan."
"Abang aja. Aku kan pendek nanti kalau jatuh gimana?"
"SARAH!" Bentak Rasyid seraya mata nya melotot menatap tajam wajah adik nya yang masih sibuk dengan cat kuku hadiah dari sang ayah.
"Iya iya ih abang bawel banget si." Sarah berlalu meninggalkan Rasyid untuk mengambil jemuran di lantai atas kontrakan mereka. Ketika Sarah selesai mengambil jemuran hujan pun turun sangat deras di sertai angin yang cukup kencang. Beruntung Sarah sudah kembali ke dalam kontrakan.
*****
Siang ini Rasyid berencana mendatangi satu perusahaan ekspedisi, lokasi nya sekitar 18 kilometer dari kontrakan. Rasyid mendapat info lowongan kerja dari Miftah teman satu bangku saat ia SMA dulu. Tentu nya ia berharap lolos interview sehingga bisa membantu perekonomian keluarga yang semakin hari kian bertambah.
Miftah baru saja sampai di kontrakan Rasyid, kebetulan ia membawa motor matic yang sudah menemani perjalanan nya selama tiga tahun. Meski dari keluarga yang berada, Miftah tidak sungkan berteman dengan Rasyid yang berasal dari keluarga sederhana. Ia berencana akan membonceng Rasyid yang belum mempunyai kendaraan pribadi, tentu bukan hanya mengantar tapi Miftah juga akan melamar kerja di tempat yang sama.
Rasyid dan Miftah berteman sejak mereka masuk SMA, selama tiga tahun berturut turut selalu satu kelas dan satu bangku. Saking sudah akrab nya tidak jarang Miftah menginap di kontrakan Rasyid juga memanggil pak Hadi dan bu Tuti dengan sebutan bapak dan ibu seperti yang di lakukan Rasyid.
"Berangkat sekarang, Mif?" tanya bu Tuti yang saat itu sedang mengupas kacang tanah di halaman kontrakan nya.
"Sekitar 30 menit lagi bu. Rasyid sudah mandi?" jawab Miftah sambil membuka helm lalu melihat wajahnya di kaca spion "hmm ganteng juga gue." gumam nya dalam hati.
"Sudah nak, lagi makan siang sepertinya. Mif sudah makan?"
"Belum bu, mama lagi keluar kota sampai besok jadi ngga ada yang masak. Hehehe."
"Makan bareng Rasyid di dalam nak, ayo jangan di luar panas. Kalau mau interview kerja itu harus makan dulu biar konsen. Masuk langsung makan ya Mif." bu Tuti menyambut Miftah dengan hangat.
"Siap bu. Duh jadi bikin repot ibu nih, malu."
"Ah kamu kaya ke siapa saja. Sudah sana masuk. Ibu lagi tanggung ngupas kacang tanah punya bu RT."
Lalu Rasyid keluar menuju teras, ia baru sadar Miftah sudah datang.
"Mif, sudah lama? Ayo masuk. Lo pasti belum makan kan?" tanya Rasyid dengan ekspresi meledek usil.
"Tau aja kalau gue lapar." Miftah tertawa.
*****
Bel pulang sekolah berbunyi tepat pukul 14.30. Seperti biasa, Sarah pulang menggunakan angkutan kota bersama teman-teman nya. Ada saja yang di bicarakan selama perjalanan, salah satunya tentang laki-laki.
"Sar, kamu tahu Willy yang suka main basket? Yang tinggi putih itu loh." ucap Nanda, teman satu sekolah Sarah.
"Tahu. Suka?" tanya Sarah dingin.
"Ih ganteng banget ya, dia kira-kira sudah punya pacar belum ya? Kamu punya nomor handphone nya ngga sar?" Nanda begitu menggebu gebu ingin berkenalan dengan Willy namun bingung bagaimana mengawali nya.
"Ngga punya, lagian kan aku ngga punya handphone seperti kamu. Aku belum boleh pegang handphone sebelum lulus SMP."
"Ah ngga asik kamu Sar. Masa hari gini belum boleh pegang handphone? Adik aku saja yang masih kelas 5 SD sudah di kasih handphone oleh papa ku." jawab Nanda sambil memamerkan handphone nya yang sudah dual kamera dan bisa mengakses internet.
Dalam hati, Sarah merasa iri karena hanya dia yang tidak mempunyai handphone. Kadang jika ada tugas sekolah yang mengharuskan siswa nya untuk mengakses internet Sarah selalu minta bantuan Anton untuk di temani ke warnet sekaligus membayarkan biaya sewa per jam nya.
Timbul niat untuk meminta di belikan handphone, sepulang sekolah..
"Assalamualaikum." Sarah meraih tangan ibu nya dan mencium nya.
"Waalaikumsalam nak. Kok cemberut?" tanya bu Tuti
"Ibu.." Sarah semakin menekuk wajahnya sembari tunduk, nyaris tidak terlihat karena terlalu menunduk dan tertutup oleh jilbab.
"Ada apa nak? Ada yang jahati kamu?" bu Tuti mulai panik.
Anton yang baru selesai mandi sore langsung menghampiri adik dan ibu nya.
"Kenapa kamu de? Di ganggu lagi sama pemuda di depan gang? Biar abang yang maju, tunjukin yang mana orangnya?" ujar Anton.
"Bb bukan bang, bu. Aku pengen minta di belikan handphone android biar bisa akses internet sama foto foto. Boleh ya bu, aku mohon." Sarah masih cemberut dan terus membujuk ibu nya.
"Kan belum boleh, akses internet bisa ke warnet kan sama abang? Ibu sama bapak lagi ngga ada uang loh." Anton berusaha meluluhkan Sarah.
"Tapi bang, di antara semua teman teman cuma aku yang belum punya handphone. Nebeng Nanda terus malu." Sarah semakin cemberut.
Tidak lama kemudian, pak Hadi dan Rasyid tiba. Mereka berpapasan di jalan ketika pak Hadi menuju pulang melihat Rasyid berjalan di gang dekat kontrakan.
"Assalamualaikum." suara pak Hadi dan Rasyid membuat Sarah terkejut, ia semakin ketakutan permintaan nya tidak di turuti karena ada Rasyid yang pasti melarang orangtua nya memenuhi keinginan Sarah
"Waalaikumsalam pak, Rasyid kalian bertemu dimana? Rasyid tadi habis interview loh pak."
sahut bu Tuti yang menghampiri mereka di teras.
"Iya bapak tahu, tadi Rasyid sudah cerita." jawab pak Hadi sambil membuka sepatu di teras.
"Terus gimana hasilnya nak?" tanya bu Tuti penuh harap.
"Alhamdulillah bu, Rasyid besok sudah mulai masuk kerja. Miftah juga lolos bu jadi setiap hari Rasyid akan pergi bersama Miftah."
"Alhamdulillah ya Allah. Ingat ya nak kamu harus rajin, jaga kesehatanmu juga. Kalau kamu ada kesulitan atau nanti ada masalah di tempat kerja cerita sama bapak dan ibu." ucap pak Hadi sambil menepuk nepuk bahu Rasyid dengan penuh rasa bangga. Mereka pun masuk, kembali ke permasalahan Sarah.
"Nah ini anak gadis kenapa? Kok cemberut nak?" pak Hadi duduk di samping Sarah, berusaha menatap wajah anak gadis nya yang tertunduk.
"Minta di belikan handphone pak." jawab Anton singkat.
"Oke nak. Besok bapak belikan ya." pak Hadi sigap menjawab, membuat seisi rumah terkejut.
"Beneran pak? Ah emang cuma bapak yang pengertian, aku sayang bapak." Sarah memeluk erat ayah nya, bahagia sekali ketika tahu akan di belikan handphone.
"Iya, besok atau nanti malam bapak dan abangmu yang belikan. Kamu tunggu saja di rumah ya." jawab pak Hadi sambil mengusap lembut kepala Sarah.
"Pak, serius? Memangnya bapak ada uang?" tanya Anton.
"Ada. Nanti malam saja ya ton kamu temani bapak biar ngga salah pilih."
"Baiklah pak."
Anton lalu pergi sebentar untuk mencari udara segar di lapangan voli dekat kontrakan nya. Ternyata di buntuti oleh Rasyid.
"Ton." Rasyid menepuk bahu Anton dari belakang.
"Eh, woy. Kenapa ngga bilang kalau mau ikut?"
"Ngga penting. Abang penasaran bapak dapat uang darimana buat beli handphone android? Harganya kan lumayan mahal ton."
"Gue juga belum tau bang, kasian sih sama bapak sama ibu. Gue tau betul mereka pas pasan, buat jajan kita aja di bagi rata sama bensin bapak."
"Sebenernya abang pengen banget aga keras sama Sarah, tapi ya lo tahu sendiri ibu bapak gimana." ucap Rasyid sambil mencabuti rumput liar di sekitar lapangan voli.
*****
To Be Continue...
** Lanjutan
"Susah bang, nanti yang ada kita di marahi bapak dan ibu. Kita berdoa aja semoga Sarah pelan pelan berubah. Pulang yuk bang, sudah mau adzan maghrib."
Keluarga pak Hadi solat maghrib berjamaah, lalu di lanjut dengan mengaji sampai waktu isya dan kembali solat berjamaah. Kebiasaan yang baik dengan melakukan solat berjamaah sudah di lakukan sejak Rasyid balita, jadi ketika adik adiknya lahir Rasyid lah yang mengajak mereka untuk ikut. Tak jarang baik Rasyid maupun Anton bergantian menjadi imam, pak Hadi akan mengkoreksi jika ada yang belum tepat.
"Ton, ayo temani bapak belikan handphone. Kamu yang bawa motor ya."
"Asiiiiiik handphone baru." ujar Sarah kegirangan.
"Setelah punya handphone jangan malas ya sekolahnya." ucap pak Hadi.
"Ngga akan ngaruh pak, yakin Rasyid. Hahahaha." Rasyid tertawa terbahak bahak karena sudah bisa menebak sikap malas adiknya tidak akan sembuh oleh handphone.
"Setuju sama bang Rasyid. Tos dulu bro!" Anton menempelkan telapak tangannya kepada Rasyid sambil terus tertawa.
"Kalian ini, sudah ayo pergi sekarang nak. Bapak sama Anton pamit ya bu. Ngga lama kok. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam pak hati hati. Nak bawa motor nya jangan ngebut ya." jawab bu Tuti.
"Siap ibu."
Mereka pun menuju counter handphone yang ada di pinggir jalan raya dekat toko oleh-oleh tempat pak Hadi bekerja. Saat masuk ke counter handphone, mereka di sambut hangat oleh semua penjaga counter yang cukup besar itu.
"Cari handphone apa pak?" tanya seorang penjaga counter.
"Handphone apa nak? Bapak ngga paham Sarah mau yang seperti apa." bisik pak Hadi kepada Anton.
"Android mas. Buat cewek." jawab Anton kepada penjaga counter.
"Oh banyak. Di rak ini semua nya android, bapak dan mas nya bebas pilih mau yang mana silakan."
Anton masih ragu ayahnya mempunyai banyak uang untuk membeli handphone. Lalu ia bertanya kembali kepada pak Hadi.
"Bapak bawa uang berapa?"
"Empat ratus ribu nak. Memang harga handphone nya berapa?"
"Biasanya di atas satu juta pak."
"Waduh. Bapak kira empat ratus ribu dapat."
Anton berpikir bagaimana caranya mendapatkan handphone android dengan harga murah sesuai budget ayahnya.
"Mas, kalau yang second ada?" tanya Anton.
"Ada mas. Paling murah lima ratus ribu, tinggal satu. Sebentar ya saya bawakan." jawab penjaga counter itu dengan sangat ramah.
"Semoga cocok ya nak biar adikmu senang."
"Pak, Anton boleh bicara?"
"Apa nak?"
"Ngga baik pak selalu menuruti keinginan Sarah. Anton khawatir Sarah jadi manja, kasihan nanti kalau sudah besar tidak bisa mandiri."
"Sekali ini saja, bapak yakin Sarah berubah nak." jawab pak Hadi meyakinkan Anton. Tak lama kemudian..
"Mas, pak, ini handphone yang tadi saya maksud. Masih mulus, ngga ada cacat yang berat hanya tergores bekas pemakaian. Mesin masih berfungsi dengan baik, kamera oke, pokok nya bagus banget bapak dan mas nya ngga salah beli kesini uuuuuh cucokkk." pembawaan nya yang ramah, kemayu dan kocak membuat pak Hadi dan Anton tersenyum menahan tawa.
"Ya sudah mas kita ambil yang ini." ucap pak Hadi.
"Uuuuhhhh bungkuuus, guys bungkus ini guys orderan kita yang ke 18 hari ini yeaaaay." seru sang penjaga counter, bahagia karena income nya bertambah.
"Pak, bapak tiga ratus ribu saja uangnya. Sisa nya biar Anton yang tambahi."
"Jangan nak, simpan uangmu."
"Tabungan Anton banyak pak, tidak perlu khawatir."
"Duh sombongnya anak bapak." jawab pak Hadi meledek.
"Ya sudah Anton seratus lima puluh kalau begitu. Kan beras di rumah habis pak, jadi lebih baik sisa uang bapak di belikan beras."
"Kamu memang anak bapak yang paling pengertian. Andai saja Sarah seperti kamu nak." pak Hadi menatap Anton, mata nya berkaca kaca, bangga mempunyai anak seperti Anton.
Mereka pun segera pulang membawa handphone android yang di inginkan Sarah, dengan harapan Sarah tidak cemberut lagi.
"Assalamualaikum. Bapak pulang."
"Horeee. Mana handphone nya pak?" ujar Sarah sambil membukakan telapak tangannya.
"Kamu ini, bapak baru pulang masih capek Sar." kata Rasyid yang sedang menonton televisi bersama bu Tuti.
"Ini nak." pak Hadi menyodorkan handphone yang baru saja di beli menggunakan uangnya dan uang tabungan Anton.
Berharap anak perempuan satu satunya itu akan bahagia, senang mendapatkan handphone android yang di inginkannya, namun...
"Handphone nya bekas ya pak?" tanya Sarah
"Maafkan bapak ya nak, bapak hanya mampu belikan kamu handphone second. Doakan bapak nanti kalo sudah banyak uang pasti bapak beli yang lebih bagus dan bukan handphone bekas." jawab pak Hadi sambil tersenyum, lagi lagi mata nya berkaca kaca karena merasa bersalah tidak bisa membelikan handphone baru untuk anaknya.
Semua terdiam, bu Tuti mendekat ke arah pak Hadi, berusaha menenangkan dan meyakinkan bahwa Sarah akan baik baik saja.
Di genggam nya tangan pak Hadi oleh bu Tuti seolah menyampaikan pesan tersirat bahwa ini bukan kesalahan pak Hadi, ia sudah berusaha mengabulkan permintaan Sarah meski masih kurang memuaskan.
Anton dan Rasyid menatap tajam ke arah Sarah. Wajah keduanya sangat muram, menahan amarah yang kadung memuncak karena perilaku Sarah yang sangat tidak menghargai pengorbanan ayah mereka. Sementara Sarah terus saja menggerutu, ia tidak mau memakai handphone itu sambil terus menekuk wajahnya.
"Kamu seharusnya terimakasih sama bapak, Sar!" bentak Anton dengan nada bicara tinggi, membuat pak Hadi dan bu Tuti terkejut, spontan menenangkan Anton yang sangat marah.
"Nak.." ucap bu Tuti lirih.
"Bu, anak ini ngga tahu terimakasih, ngga tahu hormat sama ibu dan bapak. Anton ngga suka Sarah seperti ini, seperti tidak pernah di ajarkan saja."
"Adikmu masih kecil nak, sudah. Biar besok bapak cari lagi uang nya agar bisa membeli yang baru." jawab pak Hadi lemas.
"Nah begitu dong pak. Masa Sarah pakai handphone bekas, malu dong sama Nanda." jawab Sarah tanpa ada rasa bersalah sudah tidak berterimakasih kepada ayahnya.
Rasyid yang kesal spontan mencubit keras adiknya itu di bagian lengan.
"Aw sakit abang apaan sih sakit banget tau! Huuuhh pak bang Rasyid nih marahin."
"Rasyid..." pak Hadi berusaha melerai.
"Kamu yang harusnya kita marahi, Sar!" kali ini Rasyid yang membentak sambil menggerakan telunjuknya ke arah wajah Sarah.
"Abang..." Sarah menatap wajah Rasyid yang sedang marah, terlihat menakutkan sehingga Sarah langsung menangis dan mengadu kepada ayah dan ibunya.
"Huaaaaaaa bapak... ibu... huaaaaaa"
"Sini sini nak sama ibu. Duh kesayangan ibu di cubit abang ya? Mana yang sakit nak?" bu Tuti memeluk Sarah penuh kasih sayang sambil mengusap lengan Sarah yang di cubit Rasyid.
"Heh Sarah, liat abang, tatap abang sekarang!" Anton memegang tangan Sarah cukup keras.
"Ngga mau aku takut. Huaaaa."
"Anton, sudah nak." kata bu Tuti yang mulai emosi melihat Anton terlalu keras kepada Sarah.
"Dengerin abang. Kamu sekarang minta maaf sama bapak. Uang bapak habis di pakai beli handphone buat kamu. Ngga kasihan kamu sama bapak hah?!" ujar Anton dengan masih memegang tangan Sarah dengan keras.
"Lepasin bang, sakit ih." Sarah berusaha melepaskan genggaman tangan Anton yang semakin keras.
"Minta maaf dulu sama bapak, baru Anton lepasin tangan kamu." sahut Rasyid geram.
Melihat kedua anak laki-laki nya saling menasihati Sarah dan memaksa agar Sarah meminta maaf, pak Hadi dan bu Tuti saling berpandangan lalu bu Tuti berbisik kepada suaminya.
"Pak, yang kuat ya. Maafkan Sarah."
Ibu Tuti tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi membendung. Perasaannya berkecamuk, tidak tega melihat Sarah di bentak oleh Anton dan Rasyid namun ia juga bangga kedua anak laki-laki nya ini bisa mengarahkan Sarah untuk bersikap lebih hormat dan bisa menghargai usaha orangtua.
"Bapak ngga apa apa bu. Sudah." pak Hadi memegang bahu istri nya, berusaha menenangkan meski dalam hatinya terasa sesak karena pemberian nya di tolak oleh Sarah.
"Sarah! Kamu tuli atau apa? Cepat minta maaf sama bapak! Abang hitung sampai tiga. Satu!" ujar Rasyid
"Paaak..." nafas Sarah masih tersengal dan berat sekali, di tambah suara nya yang serak seperti sedang sakit.
"Iya nak, sudah nak ngga apa-apa." sahut pak Hadi penuh kesabaran.
"Handphone nya mau Sarah pakai kok pak. Bapak jangan marah ya pak, Sarah minta maaf."
Mendengar permintaan maaf Sarah, Anton langsung melepaskan cengkraman tangannya. Terlihat jelas warna memerah di lengan Sarah, jejak jejak kemarahan sang kakak kepada adiknya yang tidak hormat kepada orangtua.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!