Laras berlari menyusuri lorong rumah sakit,dia berlari dengan tergesa karena ibu Ramona pemilik panti asuhan memanggilnya sekarang juga. Padahal dia sedang ada kuliah tambahan di kampusnya.
Setelah masuk ke ruangan di mana ibu Ramona di rawat, Laras menghentikan langkahnya. Dia melihat di sana banyak sekali orang, terutama Doni anak ibu Ramona yang masih memakai setelan jas kerjanya.
Serta beberapa orang yang sudah siap untuk melakukan sesuatu yang penting. Ibu Ramona yang mengetahui anak asuh kesayangannya sudah datang pun tersenyum senang.
Dia melambaikan tangannya pada Laras agar lebih mendekat padanya. Laras menurut walau dia masih bingung dengan situasi itu. Laras menyalami ibu Ramona yang terbaring lemah di bangsalnya. Kemudian dia duduk di samping tangan kanan ibu Ramona.
"Laras, ibu minta sama kamu. Anggap saja ini adalah permintaan terakhir dari ibu pada kamu." kata ibu Ramona dengan suara pelannya.
"Ibu ngomong apa, tidak ada permintaan terakhir. Saya siap apa saja jika ibu meminta apapun dari saya bu." ucap Laras sambil memegang tangan ibu Ramona.
Ibu Ramona tersenyum, dia berpikir tidak salah memilih Laras untuk di jadikan menantu. Ibu Ramona memegangi tangan Laras dengan erat, membuat Laras jadi bingung.
"Laras, ibu belum selesai. Apa kamu mau menuruti permintaan ibu?" tanya ibu Ramona menatap mata Laras.
"Saya akan menuruti permintaan ibu. Ibu jangan khawatir, apa pun saya akan lakukan buat ibu Mona." kata Laras meyakinkan ibu Ramona, walaupun dia tidak tahu permintaan apa yang akan di minta darinya.
Ibu Ramona tersenyum lagi, kemudian dia memegangi tangan Laras dengan erat. Menarik nafas panjang dan berat.
"Sekarang, jika ibu minta kamu menikah dengan Danu anak ibu, apa kamu mau?" tanya ibu Ramona sambil tersenyum.
Wajah Laras pias, dia amat terkejut dengan ucapan ibu asuhnya itu. Benarkah permintaannya seperti itu? Dia melirik ke arah Danu.
"Bu, ibu bicara apa. Saya kurang paham." ucap Laras mengelak apa yang dia dengar.
Hanya untuk memastikan pendengarannya benar atau salah.
"Ibu bicara yang sebenarnya, Laras. Kamu harus menikah dengan Danu anak ibu." kata ibu Ramona lagi.
"Tapi bu ...." Laras tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Ibu hanya minta itu saja, menikahlah dengan Danu. Dia sudah bersedia untuk menikah denganmu. Makanya ibu memintamu untuk segera datang menemui ibu sekarang." kata ibu Ramona lagi.
Laras menunduk, bukannya dia tidak mau. Apakah mas Danu mau dengannya? Pikir Laras.
Sejujurnya dia mau menerima permintaan ibu Ramona menikah dengannya, karena dia tidak mau mengecewakan ibu asuhnya itu, Tapi dia juga perlu mendengar jawaban langsung dari Doni sendiri. Laras sudah banyak di bantu oleh ibu Ramona, dari sekolahnya hingga kuliahnya. Dan sekarang dia menjaga perpustakaan milik ibu Ramona dan di gaji sesuai dengan karyawan lainnya.
Dia juga ingin semua berdasarkan keikhlasan menjalani pernikahan nantinya.
"Laras?" panggil bu Ramona, membuyarkan lamunan Laras.
"Iya bu Mona."
"Apa kamu mau menikah dengan Danu?" tanya ibu Ramona lagi.
Laras semakin bingung, dia melirik Danu yang sejak tadi diam dengan wajah acuh. Ada kekesalan di wajah itu, tapi tetap diam saja.
"Ibu sebaiknya tanyakan dulu sama mas Danu, apa beliau mau menikah denganku." kata Laras memastikan kalau Danu mau menikah dengannya.
"Danu sudah setuju, tinggal persetujuan dari kamu. Apa mau menikah dengan Danu."
"Apa tidak bisa berpikir dulu?" tanya Laras bernegosiasi.
"Tidak bisa Laras, kalau kamu mau saat ini juga akan di nikahkan. Semua sudah menunggu kamu saja." kata ibu Ramona tidak sabar, nafasnya semakin lemah. Laras cemas, dia memegangi tangan ibu Ramona.
"Bu, maaf apa kita bisa segera di laksanakan. Karena saya juga sudah di tunggu di tempat lain." kata laki-laki yang memakai baju batik dinas itu melirik jam di tangannya.
"Laras?"
"Iya bu, saya mau." akhirnya Laras menyetujui permintaan ibu Ramona.
Ibu Ramona pun tersenyum lega, sedangkan Danu mendengus kesal.Tapi wajahnya tampak biasa saja agar ibunya tidak kecewa dengan sikapnya itu. Di tempat itu juga Danu dan Laras akan menikah di hadapan ibu Ramona. Kemudian penghulu yang sudah siap sejak tadi bersiap menikahkan Laras dan Doni.
Saksi-saksi di ambil dari perawat serta wali dari Laras adalah wali hakim yang di wakilkan oleh penghulu tersebut, karena Laras hidup sebatang kara tanpa saudara sejak di asuh oleh ibu Ramona.
Setelah pernikahan singkat dan sederhana telah terlaksana, kini bu Ramona tersenyum bahagia. Dia tahu hidupnya tidak akan lama lagi, karena penyakit kankernya yang sudah stadium empat dan tidak bisa di sembuhkan.
Semua peralatan kembali di pasang setelah semua sudah selesai, baik Doni dan Laras sudah kembali ke tempat aktivitasnya masing-masing. Sebelum berpisah, Doni meminta nomor ponsel Laras. Karena dia akan menghubunginya setelah pulang dari kerjanya.
_
Kini ibu Ramona kembali menjalani perawatan intensif setelah permintaan terakhir pada dokter yang merawatnya untuk yang terakhir kali.
"Dokter, berapa lama lagi umurku akan bertahan?" tanya ibu Ramona terbata.
"Perkiraan dari medis mungkin satu minggu lagi. Tapi kita kembali lagi pada Kuasa Tuhan, bu. Mungkin bisa satu bulan, satu tahun bahkan bisa hidup lebih lama kalau ibu optimis untuk sembuh." kata dokter memberi semangat padanya.
Dokter memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan ibu Ramona. Masih ada denyut, namun semakin lemah. Dia tidak bisa membaca denyut nadinya, kadang lemah. Kadang juga berhenti, kadang juga sangat cepat sekali. Membuat dokter yang menangani ibu Ramona bingung.
"Kita harus bagaimana dokter?" tanya perawat memperhatikan wajah ibu Ramona yang semakin pucat.
Dokter hanya menatap pasiennya itu dengan sedih, dia menggeleng dengan pertanyaan perawatnya itu. Pasrah.
"Dokter, kemarin malam ibu Ramona meminta kertas dan pena. Saya tidak tahu untuk apa." kata perawat yang setia merawat ibu Ramona.
Dokter memperhatikan raut muka pasiennya itu, dia juga tidak bisa berbuat banyak. Hanya selang dan infus serta alat mesin yang bisa menahan laju perkembangbiakan sel kanker yang menggerogoti ibu Ramona. Ibu Ramona tersenyum, kemudian matanya tertutup.
Dokter menatap perawat itu, dia juga pernah di titipi pesan oleh pasiennya ini. Jika dia sudah tidak ada, untuk memberikan surat pada anaknya juga menantunya. Dokter itu kemudian menuju meja yang ada di samping bangsal. Dia membuka laci yang di bawahnya,dan benar saja.Ada tiga pucuk surat.
Di setiap surat ada namanya masing-masing. Satu untuk dokternya satu untuk menantunya dan satu lagi untuk anaknya, Danu. Dokter kemudian mengambil semua surat itu, lalu memandang wajah ibu Ramona dan beralih kembali pada surat itu. Dia ragu untuk membuka surat untuknya, belum saatnya di buka.
Tapi dokter tersebut memasukkan suratnya ke dalam saku baju putih dinasnya. Dia akan membacanya setelah ibu Ramona benar-benar sehat atau sudah tiada. Bukan dia mendoakan kejelekan, tapi peluang untuk sembuh total itu tidak mungkin ada kecuali Tuhan memberikan keajaiban.
Dokter menghela nafas panjang, kemudian dia melangkah keluar di ikuti perawat tadi.
_
_
*************
Sore hari Laras mendapat telepon dari suaminya. Karena nomornya belum tersimpan,maka Laras hanya membiarkan saja telepon itu. Dan dering telepon itu terus saja berbunyi, sehingga mau tak mau Larase mengangkatnya.
"Halo, assalamu alaikum." kata Laras memberi salam.
"Walaikum salam, kenapa kamu lama mengangkatnya?!" suara agak keras dari laki-laki di sana.
Laras mengerutkan dahinya, dia baru ingat setelah menikah siang tadi dengan Danu, dia meminta nomor telepon.
"Oh ya mas Danu, maaf saya kira siapa. Ada apa ya mas?" tanya Laras sopan.
Walau bagaimanapun Danu adalah seorang direktur bank, dia lebih tua lima tahun dari Laras juga dia adalah suaminya. Jadi Laras menjawab telepon sesopan mungkin pada suaminya itu.
"Ck, kamu membuang waktuku." kata Doni ketus.
Laras menautkan alisnya, berpikir seperti ada yang salah. Namun dia diam saja, mendengarkan ocehan suaminya yang baru beberapa jam lalu itu.
"Iya mas, maaf. Saya tidak tahu kalau yang menelepon itu mas Danu." ucap Laras dengan rendah hati, karena sejatinya istri harus menurut. Itu pemikiran Laras.
"Kamu pulang jam berapa?" tanya Danu lagi.
"Setengah jam lagi, mas." jawab Laras.
"Kamu tunggu di perpustakaan, nanti saya jemput." kata Danu.
"Iya mas."
Klik!
Tanpa mengucapkan salam, Doni menutup teleponnya. Laras hanya menggeleng kepala saja. Laras tahu Danu anak ibu Ramona itu, orangnya pendiam. Tapi sekali marah kadang membuat orang takut. Laras tahu itu, karena dia pernah melihat suaminya marah pada supir yang datang telat menjemputnya.
Hingga supir itu hanya menunduk diam dan takut di pecat. Memang orang pendiam itu kadang emosinya meluap dan kadang tak terkendali jika sudah tidak sesuai dengan hatinya.
Laras merapikan buku-buku yang berserakan di meja dan rak buku. Hari ini banyak sekali yang membaca buku di perpustakaan milik ibu Ramona. Perpustakaan milik ibu Ramona itu tidak seberapa besar, hanya berukuran enam kali sembilan meter.
Tapi buku-buku di perpustakaan itu hampir komplit sehingga banyak mahasiswa dan pelajar yang datang untuk membaca dan juga meminjam buku. Empat puluh lima menit akhirnya Danu datang menjemput Laras di perpustakaan. Laras keluar dari perpustakaan setelah dia membereskan dan menutup tempat itu.
Dia menghampiri mobil Danu dan langsung masuk ketika Danu membuka kunci pintu mobilnya. Dan tidak menunggu lama, Danu melajukan mobilnya menuju ke rumahnya. Dalam perjalanan tidak ada yang saling bicara, Danu sibuk dengan pikirannya sedangkan Laras sibuk dengan ponselnya.
Doni melirik istrinya yang sibuk sendiri dengan ponselnya.
"Aku mau membuat perjanjian sama kamu nanti di rumah." kata Danu tiba-tiba, masih fokus dengan menyetir.
"Perjanjian apa mas?" tanya Laras.
"Perjanjian nikah. Nanti aku jelaskan di rumah, dan kamu harus menyetujuinya." kata Danu.
Laras menatap suaminya dengan heran, perjanjian apa lagi?
"Iya mas."
Hanya itu jawabannya, jika pun dia bertanya lagi pasti jawabannya akan tetap di rumah. Makanya dia lebih baik menurut saja pada suaminya itu.
Sampai di rumah Danu, karena Laras pernah ke rumah Danu sekali ketika dia di suruh ibu Ramona merawat Danu yang sedang sakit demam dan tidak ada yang membantunya. Sekarang dia ke rumahnya sebagai istrinya yang akan tinggal selamanya atau entah sampai kapan.
Tapi baginya, sekalipun menikah tanpa cinta tetap saja ingin menikah sekali seumur hidup dengan suaminya. Laras masuk ke dalam, dia sebenarnya bingung, apakah langsung tinggal di rumah suaminya atau bagaimana?
Seharusnya langsung tinggal, tapi baju-bajunya belum dia ambil di kostannya. Hanya ada kaos oblong satu. Danu masuk kamarnya dan ganti baju, dia sengaja pulang cepat karena mau mengurus perjanjian dengan Laras. Biasanya dia pulang jam delapan atau jam sembilan malam, karena dia direktur bank swasta yang baru di angkat dua bulan lalu.
Reputasinya di kantor sangat bagus, makanya dia tidak mau dirinya terlihat jelek di mata bawahannya. Juga tidak mau ada yang tahu tentang pernikahannya dengan anak dari panti asuhan, karena itu sangat memalukan dirinya. Itu pemikirannya.
Setelah selesai, dia mengambil kertas dari dalam tasnya lalu bergegas keluar menuju ruang tamu yang sejak tadi Laras bingung mau apa di rumah suaminya itu. Donu ikut duduk di kursi single, sedangkan Laras duduk di kursi sebelahnya.
Dia menatap suaminya dan beralih ke kertas yang di pegangnya. Mungkinkah itu surat perjanjian nikah? tanya Laras dalam hati.
"Kamu bacalah surat ini, lalu kamu tanda tangani." kata Doni menyodorkan kertas itu pada Laras.
Laras menerimanya dengan ragu, memandang suaminya lalu beralih ke isi suratnya. Tidak banyak isi poin itu, hanya ada empat poin. Dan setiap poin banyak kalimat yang tertulis, hanya satu yang membuatnya jadi tertegun.
Poin satu menerangkan kalau Laras boleh tinggal di rumahnya sebagai istri yang baik, melayani suaminya seperti kebanyakan suami istri pada umumnya. Poin kedua menerangkan jika sudah di luar rumah dan mereka bertemu anggaplah tidak mengenal satu sama lain.
Poin ketiga menerangkan Laras harus pulang dari aktivitasnya tepat jam empat sore, dan poin terakhir yang membuat Laras tertegun adalah suaminya dalam satu tahun akan menikah lagi dengan perempuan yang dia cintai nanti.
Laras membaca berulangkali poin terakhir, dia ingin bertanya namun suaminya segera memberi tahu maksud poin tersebut karena dia tahu Laras bingung dengan poin terakhir.
"Kamu harus merelakanku untuk menikah lagi ketika kita sudah satu tahun menikah." ucap Danu, membuat Laras mendengarnya tak percaya.
"Kenapa begitu mas?" tanya Laras penasaran dengan jawaban suaminya.
"Karena aku sudah mencintai perempuan lain sebelum aku menikah denganmu. Aku berniat menikahinya setelah dia cukup umur untuk di nikahi." ucap Danu.
Laras makin tertegun, belum sehari jadi istri Danu Laras harus merasakan sakit hati jika suaminya itu ada gadis lain. Meskipun dia belum ada rasa cinta di hati untuk Danu, tapi dia berjanji akan mencintai dan jadi istri yang baik setelah menikah itu.
Tapi sekarang, dia harus menelan pahit kenyataan bahwa suaminya punya wanita lain. Dan gadis yang suaminya cintai itu masih anak sekolah?
"Gadis itu masih sekolah?" tanya Laras untuk meyakinkan praduganya.
Danu diam saja, dia membuang pandangannya ke arah lain. Tidak membantah ucapan Laras.
"Satu tahun lagi dia lulus sekolah, dan aku sudah bilang padanya setelah lulus sekolah aku langsung menikahinya." ucap Danu dengan tegas, dia tidak mempedulikan bagaimana perasaan istrinya itu.
Kembali Laras terdiam, dia hanya menunduk melihat isi perjanjian itu dengan hati miris dan tentu saja terluka. Di umur pernikahannya yang baru beberapa jam harus menerima kenyataan seperti itu. Laras menarik nafas panjang, menenangkan hatinya yang kacau tiba-tiba.
"Cepatlah kamu tanda tangani surat itu, aku ingin istirahat sebentar lalu aku akan pergi lagi menemui temanku." kata Danu menatap Laras tajam.
Tanpa menunggu lagi, Laras menanda tangani surat itu dan memberikannya pada Danu setelah selesai menanda tanganinya. Danu menerima suratnya lalu beranjak dari duduknya kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Laras masih duduk diam, merenungi bagaimana nanti kehidupan rumah tangganya dengan Danu.
Tapi biarlah, toh dia juga belum ada perasaan apapun pada suaminya itu, namun demikian dia sudah berjanji pada diri sendiri waktu di rumah sakit akan menyayangi dan menjaga amanah ibu asuhnya, ibu Ramona.
_
_
*****************
Siang ini Danu dapat kabar bahwa ibunya kritis di rumah sakit, dengan segera dia merapikan meja kerjanya hanya map penting yang dia rapikan dan mengambil tasnya. Kristin sekretarisnya masuk ke dalam ruangannya dengan membawa makanan yang dia pesan tadi sama OB. Dia heran bosnya buru-buru keluar ruangan.
"Lho pak Danu, ini makanannya sudah datang. Bapak mau kemana?" tanya Kristin heran.
"Buat kamu saja, ibu saya kritis di rumah sakit. Saya segera ke rumah sakit sekarang, dan tolong meja kerja saya di bereskan, Kris." ucap Danu, wajahnya tampak panik sekali.
"Baik pak. Turut berduka cita pak Danu." ucap Kristin, dia merasa prihatin dengan bosnya itu.
Danu berjalan dengan cepat, langkahnya benar-benar tak bisa di hentikan ketika ada yang menyapanya dia hanya mengangguk saja.
Wajah gelisah tampak di sana, suara dering ponselnya tak henti-henti. Dia mengangkat telepon masih dengan wajah cemas.
"Halo."
"Assalamu alaikum, mas Danu sudah di jalan? Ibu kritis mas." kata suara di balik sambungan telepon itu.
"Iya, aku sudah tahu." jawab Danu datar.
Lalu dia menutup teleponnya tanpa mengucapkan apapun lagi. Dia menuju parkir dan memencet tombol kunci, membuka pintu dan langsung masuk. Semenjak menikah dia tidak memakai supir lagi, karena enggan akan di ketahui oleh supirnya dengan statusnya.
Danu melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas delapan puluh kilo meter perjam. Dia ingin cepat sampai di rumah sakit. Dering ponselnya berbunyi lagi, dia melihat nama Laras di sana.
"Ck, kenapa lagi?!" tanya Danu ketus, dia memang tidak suka Laras terus meneleponnya, juga dia sedang terburu-buru.
"Apa mas Danu akan menjemputku untuk ke rumah sakit sama-sama?" ucap Laras ragu.
"Kamu kesana saja sendiri, naik ojek. Jangan menungguku!" kata Danu.
Klik!
Lalu Danu menutup teleponnya dan terus melajukan mobilnya dengan kencang. Setengah jam Danu sampai di rumah sakit, setelah memarkirkan mobilnya dia langsung menuju ruang ICU di mana ibunya di rawat.
Dia melihat banyak selang di tubuh ibunya. Mesin pengukur detak jantung berjalan agak lurus, dan sesekali menampakan cekungan kecil di layar itu. Danu masuk dengan menggunakan baju steril juga masker, dia mendekat pada ibunya memegang tangannya.
Dia merasakan tangan ibunya sudah dingin seperti es. Tangan Danu bergetar ketika membelai wajah ibunya yang masih di pasang selang. Seketika, di layar monitor detak jantung tiba-tiba berubah jadi lurus dan berbunyi. Danu menjerit keras.
"Ibu, tolong jangan tinggalkan aku bu. Bangun bu, ini Danu. Hik hik hi." Danu memegang tangan ibu Ramona yang sudah terkulai.
Air mata Danu meluncur, suara isak tangisnya tak terbendung. Dua orang perawat masuk dan memastikan denyut nadi dan melihat mesin detak jantung. Dan setelah di pastikan ibu Ramona sudah tidak bernafas, perawat melepas semua alat yang menempel di tubuh ibu Ramona.
Danu masih menangis, ketika Laras baru sampai di ruangan itu. Dia tertegun, menatap ibu mertuanya yang sudah terbujur kaku. Sedangkan Danu masih memeluk tubuh ibunya. Laras ikut menangis, dia mendekat di sisi sebelah tangan mertuanya.
Tangannya memegang tangan ibu Ramona dan terisak, tak kuat akan kepergian mertuanya yang sangat baik itu. Setelah tangis keduanya berhenti, Laras beralih pada Danu untuk segera keluar. Di pegang tangan suaminya, namun Danu menepiskan tangannya. Membuat Laras terkejut dan dia tertegun.
Laras menarik kembali tangannya yang tadi terulur, di genggamnya telapak tangan yang tadi di tepis oleh suaminya. Dia keluar sendiri, menoleh menatap wajah mertuanya sekali lagi yang sudah berubah menjadi pucat.
Dia duduk di ruang tunggu,menunggu suaminya keluar.Setengah jam sudah menunggu,baru Doni keluar. Semua perawat di bagian ICU mengurus jenazah ibu Ramona, langsung di mandikan juga di kafani.
Dua jam Danu dan Laras menunggu pengurusan jenazah. Setelah selesai, jenazah ibu Ramona di masukkan ke dalam peti mati dan di bawa ke mobil ambulans. Danu meminta langsung di kuburkan di TPU setelah di sholati. Laras heran dengan permintaan suaminya.
"Mas kenapa langsung di kubur? Apa tidak di bawa dulu di rumah ibu?" tanya Laras heran.
"Ribet lagi kalau di bawa ke rumah ibu, nanti lama lagi karena banyak yang menjenguk. Aku tidak mau berlarut-larut." kata Danu malas berdebat dengan Laras.
"Tapi bagaimana dengan saudara ibu? Juga pengurus yayasan panti asuhan yang ingin melihat jenazah ibu untuk terakhir kali. Apa mas Danu tidak kasihan dengan mereka yang merasa dekat dengan ibu, tapi tidak bisa melihatnya untuk yang terakhir kali." ucap Laras bersikeras untuk membawa jenazah mertuanya singgah di rumah duka.
"Siapa yang akan mengurus? Kamu?" tanya Danu kesal.
"Iya, aku yang akan mengurus semuanya." ucap Laras lantang, dia tidak habis pikir dengan pemikiran suaminya itu.
"Ck, terserah kamu. Bawa ibu ke rumah duka di rumah ibu dan urus semuanya." ucap Danu acuh.
Kemudian dia menyuruh supir ambulans untuk di bawa ke rumah ibunya. Biar saudara dan pengurus yayasan panti asuhan bisa melihat untuk terakhir kali.
Lalu Laras ikut ke mobil ambulas, dia memberi petunjuk kemana mobil itu melaju. Satu jam setengah mobil ambulans tiba di rumah duka, benar saja di sana sudah banyak yang menunggu kedatangan jenazah ibu Ramona. Dari yayasan panti asuhan juga saudara dari ibu Ramona.
Semua tampak bersedih dan merasa heran kenapa hanya Laras yang ikut di mobil ambulans itu. Ada bisik-bisik di dalam rumah itu, namun Laras tidak peduli.
Meski memang Danu tidak terlalu dekat dengan ibunya, namun ibu Ramona menyayangi Danu. Danu orang yang pendiam dan juga keras wataknya, jadi tidak ada yang bisa membantah selain ibunya.
"Pak Danu ngga ikut ke mobil ambulans itu?" tanya ketua yayasan panti asuhan, ibu Rima pada Laras.
"Mas Danu naik mobil sendiri bu, kalau di tinggal mobilnya siapa yang bawa pulang." kata Laras beralasan.
"Apa tidak sama supir?" tanya ibu Rima lagi.
"Sudah dua hari supirnya di berhentikan. Jadi mas Danu menyetir sendiri." ucap Laras lagi.
"Kamu banyak tahu tentang pak Danu, Laras." ucapan ibu Rima membuat Laras diam.
Dia diam, hanya menunduk. Tidak mungkin dia mengatakan kalau Danu adalah suaminya. Tidak ada yang tahu kalau dia dan Danu sudah menikah, bahkan ibu Rima pengurus panti asuhan pun tidak tahu, karena Danu meminta jangan memberitahu siapa pun. Termasuk ibu Rima.
"Laras, apa kamu mulai dekat dengan pak Danu?" tanya ibu Rima menyelidik.
"Saya sempat melihat mas Danu menyuruh supirnya pulang waktu di rumah sakit. Jadi saya tahu bu." jawab Laras memberi alasan yang masuk akal.
"Oh, ibu kira kamu mulai dekat dengan pak Danu. Ibu senang jika kamu dekat dengan beliau, setidaknya panti asuhan ada yang menjaga selepas bu Ramona tiada." kata ibu Rima.
Laras hanya diam, dia juga membenarkan jika memang pernikahannya di akui secara umum. Namun demikian, dia tidak bisa berbuat semaunya karena Danu belum berbicara banyak dengannya.
Dua minggu menjadi istri Danu, hanya bisa melayaninya sebagai istri di pagi hari saja. Membuatkannya sarapan dan kopi, itupun jika Danu memintanya. Danu masuk ke dalam rumah, semua yang berpapasan dengannya mengucapkan bela sungkawa dan mengatakan tetap bersabar dan ikhlas.
Danu hanya mengangguk saja dengan ucapan bela sungkawa dari saudara dan pengurus yayasan. Tak ada yang berani bertanya pada Danu mengenai sakitnya ibu Ramona, mungkin hanya pengurus yayasan berani bertanya pada Laras, karena memang dia yang paling dekat dengan ibu Ramona.
"Mas Danu, kapan ibu Ramona di kuburnya?" tanya petugas yang akan membawanya ke peristirahatan terakhir ibunya Danu.
"Mungkin habis sholat ashar pak. Saya juga belum siap di tinggal secepatnya oleh ibu." ucap Danu.
Dia memang belum ikhlas dengan kepergian ibunya selamanya, ucapannya di rumah sakit pada Laras kalau ibunya langsung di makamkan di TPU itu hanya mengalihkan rasa sedihnya saja.
Sejak dari rumah sakit, dia tidak melihat dokter Samir yang menangani ibunya. Kata perawat dokter Samir mempunyai surat wasiat dari ibu Ramona. Tapi Danu tidak menjumpai dokter keturunan India itu. Dia bertanya pada perawat di situ, kemana dokter Samir.
Dia bilang doktet Samir sedang ada seminar internasional di Jerman. Dokter Samir akan pulang satu bulan kemudian,karena selain mengikuti seminar dokter Samir melakukan penelitian di rumah sakit yang khusus menangani kanker di Jerman.
Doni akan menunggu dokter Samir pulang dari Jerman, karena itu dia meminta telepon perawat untuk memberi tahu jika dokter Samir pulang ke Indonesia.
_
_
*****************
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!