NovelToon NovelToon

Romantic Fantasy

Prolog - Zinnia Pramidita Ganache & Frost Blanche Castleton

"Kau! Kau coba saja! Bunuh, ayo bunuh aku! Anak durhaka sepertimu…, tidak pantas untuk mendapatkan posisi! Terkutuklah dirimu, seumur hidupmu kau tidak akan pernah merasakan kebahagiaan! Kau akan selalu dibenci oleh orang-orang! Aku bersumpah atas nama Langit dan Bu-"

Pedang terhunus tepat di jantung wanita paruh baya yang sedang berteriak. Darah merah mengalir deras ke atas lantai seperti air terjun saat pemilik pedang menarik pedangnya.

"Memangnya kenapa kalau tidak bahagia dan dibenci semua orang? Bukankah itu lebih bagus daripada harus hidup berdampingan dengan orang munafik seperti kalian?"

※ ※ ※

"Yang Mulia, Yang Mulia…."

Seorang wanita muda menepuk pelan pipi seorang pria yang sedang memejamkan mata. Zinnia Pramidita Ganache, Zinn, dan Frost Blanche Castleton, Frost.

"Yang Mulia, hari sudah siang," Zinn dengan lembut berbisik di telinga Frost, tangannya menepuk-nepuk pipi Frost pelan. "Yang Mulia, Anda harus bangun sekarang. Banyak yang harus dilakukan."

Frost menahan pergelangan tangan Zinn dan menarik wanita itu ke dalam pelukannya. "Diam."

Frost terdengar begitu dingin. Dia seperti salju di musim dingin kata orang-orang. Namun Zinn tidak merasa demikian, wanita itu malah merasa kalau Frost hanya kekurangan perhatian saja.

"Tidak boleh diam, Yang Mulia," kata Zinn, berani membantah perkataan Frost. "Anda berjanji kepada saya kalau Anda akan ikut serta dalam urusan negeri kali ini. Sebagai lelaki, bukankah sebaiknya Anda menepati janji yang Anda buat?"

Zinn menggembungkan pipinya, sebal dengan Frost yang masih saja memejamkan mata setelah mendengar rengekannya. Zinn paling sebal dengan orang yang mengabaikannya, tak terkecuali Frost Blanche Castleton, si Tirani kejam yang dibenci oleh orang-orang.

"Kalau begitu kau saja yang pergi." Frost mendorong Zinn. Hampir saja wanita itu jatuh dari tempat tidur, jika saja dirinya tak segera menahan tubuhnya.

"Apakah Anda ingin membunuh saya, Yang Mulia?" tanya Zinn dengan nada sebal saat membenarkan posisinya.

"Aku tidak segan-segan memotong kepalamu juga," kata Frost.

Zinn berdecak kesal dengan perkataan Frost. Padahal dia yang berjanji kepadaku kalau dirinya ingin ikut serta dalam urusan kali ini. Sepertinya dia hanya main-main saja, batin Zinn.

Zinn akhirnya menyerah untuk membujuk Frost. Dia tidak bisa membujuk pria berkepala batu itu. Akan lebih baik jika dirinya melakukan urusan negara seorang diri.

Zinn keluar dari kamar Frost.

Di dalam istana terasa begitu sepi. Tak ada orang yang berlalu-lalang. Tidak ada prajurit maupun pelayan. Istana yang merupakan tempat tinggal seorang Frost Blanche Castleton adalah sebuah istana dengan dua insan sebagai penghuni.

Zinn pernah mendengar kalau Frost membantai semua orang di istana demi kekuasaannya sekarang. Frost juga tak segan bertarung seorang diri di medan perang. Orang-orang yang pernah bertarung dengan Frost dan membawa seribu bala tentara pun bisa dia kalahkan dengan mudah. Frost adalah Iblis.

Berbicara soal Yang Mulia adalah Iblis, sungguh tidak sopan. Aku merasa kalau dia hanya kesepian saja, batin Zinn. Zinn menggelengkan kepalanya. Aku tidak boleh sembarangan berpikir. Ayo fokus saja dengan urusan hari ini.

Zinn berjalan perlahan, melewati pilar-pilar Istana yang menjulang tinggi. Dari kejauhan hanya terdengar suara riak air terjun yang mengalir, kicauan burung-burung yang sedang bernyanyi, teriakan keramaian penduduk kota yang samar-samar terdengar; semuanya terasa begitu semu, membuat orang merasa begitu damai, di saat bersamaan juga begitu sepi.

Berbicara mengapa Zinn bisa tinggal di Istana Frost, jika diceritakan akan terasa begitu panjang dan tidak masuk akal.

Zinn dan Frost tak sengaja bertemu ketika Frost berperang dengan suku Tahiti. Kala itu entah apa yang membuat Frost tidak fokus hingga terluka. Walaupun begitu, Frost tetap memenangkan peperangan. Frost masuk ke dalam hutan dan menemukan sebuah pondok kecil milik Zinn. Zinn hanya tak sengaja menyelamatkan nyawanya saja. Semua itu adalah masa lalu. Zinn tinggal di Istana Castleton sudah sekitar setengah tahun.

Zinn dan Frost tidak memiliki hubungan apa pun. Frost memaksa Zinn untuk pergi bersamanya ke Istana milik keluarga Castleton walau Zinn sudah menolaknya. Zinn tentu saja masih sayang dengan nyawanya dan tak ingin membuat Frost marah. Zinn menganggap Frost melakukan itu semua demi membalas budi saja.

Saat Zinn melangkah keluar dari Istana, dia dapat melihat keramaian di kejauhan. Orang-orang menjalani hari dengan baik. Zinn penasaran, bagaimana wilayah Castleton tetap saja damai walaupun Frost tidak pernah melakukan investigasi berkala? Apakah merupakan insting natural bagi makhluk hidup untuk takut terhadap seseorang atau sesuatu yang lebih kuat dari mereka?

Zinn mengembuskan napas perlahan, langkahnya terasa begitu berat, tapi juga terasa ringan di saat bersamaan.

Zinn kaget saat bahunya ditepuk oleh seseorang. Frost. “Apakah Anda mengubah keputusan Anda lagi?” tanya Zinn saat melihat Frost.

Frost tidak berkata apa-apa. Manik mata emas Frost menelusuri setiap bagian wajah Zinn yang sedang menatap ke kejauhan.

Zinn kembali melihat Frost. Manik mata merah muda milik Zinn beradu dengan manik mata emas milik Frost. Saat Zinn ingin menghindari pandangan Frost, pria itu menarik dirinya ke dalam pelukannya. Zinn langsung menatap sebal ke arah Frost.

“Yang Mulia, tidak sopan bagi seorang wanita dan seorang pria melakukan hal ini,” kata Zinn, berusaha mendorong Frost.

Frost semakin mengeratkan pelukannya dan Zinn hanya bisa pasrah dengan keadaan.

“Yang Mulia, saya sudah bilang kalau hari ini saya akan mengurus sesuatu di suku Daffodil.” Zinn mengerahkan seluruh tenaganya untuk melepaskan diri dari pelukan Frost. “Maka dari itu, Anda lepaskan dulu. Biarkan saya menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan.”

“Aku adalah Kaisar di Negeri ini. Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi di dalam suku mereka. Jadi, untuk apa kau peduli dengan mereka?” tanya Frost.

“Yang Mulia, apakah Yang Mulia tahu hari apakah hari ini?” Zinn balik bertanya. Frost hanya diam, tidak menanggapi dan tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Zinn. “Hari ini adalah Hari Cinta Kasih. Di Negeri Regancy, Hari Cinta Kasih adalah hari terbaik seumur hidup setiap tahunnya. Hanya tahun ini yang menjadikan Hari Cinta Kasih sebagai Hari Kesialan. Di suku Daffodil terjadi pembantaian besar-besaran, banyak korban berjatuhan. Sebagai seorang Kaisar, Anda bahkan tidak tahu dan tidak peduli mengenai hal ini. Apakah Anda pantas duduk di dalam sana?”

Frost menatap tajam ke arah Zinn. Zinn mengerti kalau Frost adalah orang yang tidak suka diremehkan. Frost mengarahkan mata pedang ke leher Zinn. “Apakah kau tidak takut aku menebas kepalamu di hari yang berbahagia ini?”

Tatapan mata Zinn seoleh sedang menantang Frost.

“Anda ingin membunuh saya atau tidak, itu adalah pilihan Anda sendiri,” kata Zinn. “Saya tidak mempermasalahkan apa pun. Anda juga tahu kalau saya adalah orang yang tidak ingin terikat oleh apa pun.”

Frost berdecak kesal dan menarik kembali pedangnya dari leher Zinn. Baru kali ini Frost merasa tidak berdaya di depan seseorang.

"Saya benar-benar harus pergi sekarang. Anda jika tidak ingin ikut, maka jangan ganggu saya."

Zinn menundukkan kepala dan bergegas pergi dari sana.

Lembar 1 : Pembantaian di Daffodil

Sepanjang perjalanan menuju ke daerah suku Daffodil, Frost selalu menemani Zinn. Ternyata Frost bisa perhatian terhadap seseorang juga, Zinn selalu mengira kalau Frost adalah seorang pria dingin yang tidak peduli terhadap apa pun.

“Apakah Anda yakin akan terus mengikuti saya sampai di sana?” tanya Zinn. “Anda lebih baik jangan menambah masalah jika tidak ingin, Yang Mulia.” Zinn terdengar seolah seperti Frost akan membuat masalah menjadi lebih besar jika dirinya ikut serta dalam urusan kali ini.

Sebenarnya maksud Zinn adalah dengan emosi Frost yang tidak stabil, cepat atau lambat pasti akan membuat masalah. Zinn menghela napas panjang saat Frost kembali menatapnya dengan dingin. Zinn hanya tidak ingin Frost mengacaukan segalanya.

“Aku tidak akan mengacau. Hari ini, aku akan menjadi bawahanmu,” kata Frost dengan nada tak senang. Frost tidak senang karena Zinn seolah seperti sedang meremehkan dirinya dan tidak percaya dengannya. Tidak ada orang yang suka dicurigai.

Zinn mengerti maksud hati Frost. “Yang Mulia, yang saya butuhkan adalah seorang rekan, bukan bawahan. Jika Anda tulus bekerja sama dengan saya, saya tidak akan mempermasalahkan apa pun. Saya berharap Anda tidak membuat masalah besar bagi saya.”

Frost hanya terdiam, tidak membalas perkataan Zinn. Zinn berhenti berjalan dan menatap ke arah Frost. “Maafkan saya jika saya berkata tidak sesuai dengan apa yang ingin Yang Mulia dengar.” Zinn menundukkan kepalanya, dia cukup mengerti kalau Frost hanya ingin bahagia.

Frost mengalihkan pandangannya ke arah lain. Frost benar-benar tidak dapat menebak apa yang ada di dalam pikiran Zinn. Di satu sisi, Zinn adalah wanita yang sangat emosional dan tidak menaruh perhatian besar, bahkan terkadang sangat sarkas. Namun di sisi lain, wanita itu juga merupakan seseorang yang lembut dan perhatian.

Zinnia Pramidita Ganache, yang mana adalah dirimu yang sebenarnya? Mengapa di satu sisi kau sangat kasar, tapi di sisi lain kau sangat lembut? batin Frost. Frost tidak mengerti tentang perubahan sikap Zinn. Hanya satu yang dia tahu: Zinn adalah orang yang baik hati.

“Saya ingin bertanya sesuatu jika Anda tidak mempermasalahkannya,” kata Zinn. Zinn tampak kelelahan dan membutuhkan istirahat. Perjalanan dari Istana Castleton ke daerah suku Daffodil memang memerlukan setidaknya setengah hari dengan berjalan.

Frost mengerti kalau Zinn sedang kelelahan, dia juga tidak mempermasalahkan apa pun yang akan ditanyakan oleh Zinn. Frost tahu kalau Zinn tak akan asal bertanya tentang sesuatu. Namun perasaan Frost tidak begitu bagus, sepertinya Frost tahu apa yang akan ditanyakan oleh Zinn.

“Kau ingin bertanya tentang masa laluku? Bagaimana bisa aku menduduki posisi tinggi di Regancy? Mengapa aku dijuluki Iblis oleh orang-orang?” tanya Frost.

“Bukan,” jawab Zinn. Frost semakin penasaran dibuat wanita itu. “Saya ingin bertanya, apakah Anda pernah dikutuk oleh seseorang? Saya bisa melihatnya, kutukan itu.”

Ingatan Frost kembali ke malam dimana dirinya membantai seluruh isi Istana Castleton dan Permaisuri Castleton memberikan kutukan untuk dirinya.

Frost melirik Zinn, dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengar telinganya. “Bagaimana bisa kau tahu tentang kutukan?”

“Saya sudah bilang kepada Anda kalau saya bisa melihat kutukan yang menempel pada Anda,” Zinn menjawab. “Saya memiliki keahlian langkah. Hanya suku Ganache murni yang memiliki berkat seperti ini.”

“Biarkan saja. Aku memang pernah dikutuk, tapi tidak ada yang berubah dari kehidupanku,” kata Frost, berusaha menghindari pertanyaan lanjutan dari Zinn.

Zinn mengerti kalau Frost tidak ingin membahas tentang masa lalunya. “Jangan khawatir. Saya tidak akan bertanya dari mana atau siapa yang memberikan Anda kutukan,” kata Zinn.

“Ya, kau tidak seharusnya bertanya tentang hal itu,” kata Frost. Frost terdengar tidak senang, juga tidak tenang karena Zinn mengetahui kalau dirinya memiliki kutukan.

Zinn menggenggam tangan Frost dan tersenyum pada pemilik manik mata emas itu. “Anda jangan khawatir. Saya bukanlah orang yang akan mengkhianati Anda.”

“Semua orang berkata seperti itu kepadaku saat aku masih kecil. Akhirnya, aku tetap dikhianati oleh mereka.” Frost seolah sedang mengejek Zinn. “Aku tidak memerlukan orang lain. Mereka munafik.”

“Apakah itu artinya saya juga munafik, Yang Mulia?” tanya Zinn. Zinn benar-benar tidak takut mati, hari ini saja entah sudah berapa kali dia menyinggung Frost. Jika Zinn adalah orang lain, mungkin Frost tak akan mempertimbangkan betapa berharganya nyawanya. Zinn adalah satu dari seribu orang yang berani memerangi Frost dan mungkin, menang.

“Bisakah kau tidak memancing amarahku untuk sehari saja?” tanya Frost tanpa menjawab pertanyaan Zinn. frost tahu kalau Zinn bukanlah orang yang munafik. Frost tahu kalau dia juga terlalu emosional, tapi itu semua dikarenakan kutukan yang diberikan untuknya. Dia dibenci banyak orang karena sikapnya. Tidak akan ada orang yang mengerti maksud hatinya.

“Bagaimana kalau saya mengatakan kalau saya tahu maksud hati Yang Mulia?” Zinn menatap lembut ke dalam mata Frost. Pemilik manik mata merah muda itu tersenyum manis. “Saya tahu kalau Yang Mulia tidak ingin dibenci oleh siapa pun, Yang Mulia juga ingin bahagia selayaknya orang biasa. Saya tidak pernah membenci Yang Mulia, walaupun Yang Mulia suka memaksa.”

“Apakah aku pernah memaksa dirimu untuk melakukan hal yang tidak kau suka?” Frost tiba-tiba saja mengangkat Zinn. Frost tahu kalau Zinn sudah tidak bisa melanjutkan perjalanan lebih jauh. Bagaimanapun, tubuh Zinn lemah dan Frost tahu itu. “Jangan salah paham! Aku tahu tubuhmu tidak kuat dan mudah kelelahan.”

"Sekarang Yang Mulia sedang memaksa saya," Zinn berkata dengan wajah angkuhnya. "Lihat saja, saya masih baik-baik saja dan Yang Mulia menganggap saya tak baik-baik saja. Bahkan melakukan pelanggaran terhadap norma pria dan wanita."

Frost membungkam bibir Zinn menggunakan bibirnya. Entah kenapa Frost tidak bisa mengabaikan perkataan Zinn, walau dia bisa mengabaikan perkataan orang lain.

Zinn membulatkan matanya, meronta dan berusaha melepaskan diri. "Apa yang Anda lakukan?" tanya Zinn saat Frost memberikan sebuah kecupan singkat di pipinya. "Apakah Anda tahu kalau pria dan wanita yang belum menikah tak boleh melakukan sentuhan secara langsung?"

"Aku tidak peduli, Ganache. Kau membuat kesabaranku habis. Tentu saja aku harus menghukummu," kata Frost. "Setidaknya, untuk sekarang kau masih sangat berguna bagiku. Aku tidak akan memenggal kepalamu."

"Apakah Anda tahu kalau Anda mencumbu seseorang dari suku Ganache, Anda akan terkena Sihir Cinta?" tanya Zinn.

Frost tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Zinn karena fokus dengan pemandangan yang ada di depannya. Frost memercayai perkataan Zinn tentang pembantaian di suku Daffodil. Di depan matanya, tanah berubah menjadi warna merah dan darah mengucur deras layaknya sebuah sungai kecil. Beberapa mayat bahkan terlihat tanpa kepala. Kepala-kepala yang terpenggal tertancap menggunakan kayu, membentuk deretan yang menyerupai pagar.

Zinn sendiri termenung menatap pemandangan mengerikan tersebut. Perut Zinn berputar dan menciptakan sensasi ingin muntah. Wajah Zinn tampak pucat.

Apa yang sebenarnya terjadi di sini? batin Zinn lemas.

Lembar 2 : Sedikit Kisah di Daffodil

Frost menurunkan Zinn. Pria itu berjongkok, memeriksa tubuh mayat-mayat yang tergeletak di atas tanah merah. Masih sangat baru, pikir Frost. Apa yang sudah terjadi di sini?

Zinn sendiri berlari ke samping, memuntahkan seluruh isi perutnya di bawah pohon. Apa yang sudah kulihat? tanya Zinn di dalam hati.

"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Frost. Frost sedikit khawatir melihat keadaan Zinn. "Jika kau tak baik-baik saja, lebih baik kita kembali ke Castleton."

"Saya… baik-baik saja…," jawab Zinn terbata. "Hanya sedikit tidak terbiasa melihat mayat. Anda tahu… sedikit trauma."

Frost memberikan sapu tangan berwarna hitam kepada Zinn. "Bersihkan dirimu. Jangan dilihat jika tak sanggup," ucapnya.

Zinn menerima sapu tangan itu dan tersipu malu. "Anda bisa perhatian juga ternyata."

Frost mengabaikan ucapan Zinn. Dia kembali menginvestigasi apa yang sebenarnya telah terjadi di tempat itu.

Melihat dari cara mereka mati sangatlah aneh. Kepala mereka seperti terkoyak karena cakar, batin Frost.

Frost membalikkan tubuh salah satu mayat dan menemukan bekas luka cakar di punggung yang masih baru. Darah juga tak berhenti mengalir. Frost berdecak kesal. Sebenarnya sudah berapa hal yang aku lewatkan lantaran selalu berperang dan tidak mengurus negara? Beruntung sekali Ganache yang satu ini membawaku ke sini. Ini akan menjadi sangat menarik.

Zinn dapat melihat Frost tersenyum dingin. Wanita muda itu tahu kalau Frost sedang senang karena sesuatu hal. Setengah tahun bersama dengan Frost, Zinn bisa membaca kebiasaan pria itu dengan mudah. Frost juga bukan tipe orang yang menyembunyikan sesuatu di dalam hati.

"Yang Mulia, Anda sangat tidak sopan terhadap orang-orang yang meninggal," kata Zinn, menyentil kening Frost. "Saya tahu kalau Anda senang karena akhirnya ada yang bisa Anda kerjakan selain berperang, tapi Anda tidak boleh sembarangan membuat masalah."

Frost melirik dingin ke arah Zinn. "Apakah kau bisa tidak melakukan hal yang tidak kusuka?" tanyanya.

Zinn menggelengkan kepalanya. Wajahnya tampak suram. Zinn berjalan lurus melewati tumpukan mayat-mayat dan berhenti tepat di depan sebuah rumah kayu yang cukup besar. Zinn memutari rumah tersebut seakan sedang melakukan sebuah ritual.

Frost yang melihat keanehan dari Zinn segera menghampiri wanita itu, menepuk pelan pundaknya dan menyadarkannya.

Zinn tersadar dan mengembuskan napas panjang. "Jangan bertanya apa pun, Yang Mulia," katanya seakan tahu kalau Frost akan bertanya. "Saya merasa tertarik dengan rumah ini. Ada sesuatu di dalam sini."

Frost melihat rumah kayu itu, terpancar aura aneh yang membuatnya merasa tak senang. Frost tidak suka dengan aura tersebut. Dia mendobrak pintu rumah kayu, melihat-lihat ke dalam. Tidak ada yang aneh, hanya seperti rumah penduduk biasa.

Zinn menyentil kening Frost, lagi. Wanita muda itu merasa kalau pemilik manik mata emas sangat keterlaluan dan tidak sopan. Zinn melihat ke dalam rumah dan berkata, "Di sana ada tangga. Mungkin yang menarik perhatian kita ada di lantai atas."

Frost tidak begitu suka dengan kebiasaan Zinn menyentil keningnya, tapi entah kenapa dia tak bisa mempermasalahkan hal tersebut, seolah ada yang menahannya untuk tidak menyakiti hati Zinn.

Zinn menapakkan kaki di lantai rumah kayu, tiba-tiba saja terdengar suara raungan yang memekakkan telinga. Zinn melihat ke belakang. "Hati-hati!" serunya sambil menarik Frost ke dalam rumah. Zinn langsung menutup pintu rumah kayu.

Zinn menghela napas berat. Apa itu tadi? tanyanya di dalam hati sambil melihat ke arah pintu kayu yang tertutup. Frost sedikit kaget dengan perlakuan Zinn.

"Apa yang kau lihat tadi? Seharusnya kau membiarkanku bertarung dengannya," kata Frost dengan nada kecewa.

"Apakah Anda ingin pergi mengantar nyawa? Itu bukanlah makhluk yang bisa dibunuh!" seru Zinn. Entah kenapa dia malah marah. Mungkin Zinn khawatir kalau-kalau Frost terluka.

Apa yang membuatmu marah, Zinnia Pramidita Ganache? Jika manusia bodoh yang satu ini mau mengantar nyawanya, itu tidak ada hubungannya denganmu, kan? batin Zinn. Wajahnya sangat masam, sepertinya mengalahkan buah ceper. Zinn berjalan dengan cepat, berusaha menghindari Frost.

“Kau ingin pergi kemana? Apakah kau akan mengkhianati diriku seperti yang dilakukan oleh orang lain?” tanya Frost. Tak ada jawaban dari Zinn. “Apakah sekarang kau telah menunjukkan sikap aslimu kepadaku?”

Zinn bukan mengkhianati Frost, hanya saja entah kenapa dia merasa kalau dirinyalah yang telah terkena Sihir Cinta. Ada apa dengan diriku? tanya Zinn. Zinn merasa tidak nyaman di dadanya.

“Oi!” seru Frost, menahan Zinn. “Jawab aku!”

Zinn melempar pandangannya ke arah lain, wajahnya merona. Frost bisa melihat dengan jelas kalau pipi dan telinga Zinn memerah, sepertinya dia tahu kenapa Zinn menghindari dirinya.

Frost mendekatkan wajahnya ke wajah Zinn. wanita itu memejamkan mata erat, tapi tidak menghindar darinya. Frost memberikan sebuah kecupan di kening Zinn. “Apakah kau menyukaiku?” tanya Frost langsung ke intinya.

Zinn kaget dan langsung mendorong Frost. Zinn membalikkan badannya, tapi Frost bisa melihat dengan jelas kalau telinganya makin memerah. Frost memeluk Zinn dari belakang.

“Jawab aku, Ganache. Apakah kau menyukai diriku?” goda Frost, berbisik tepat di telinga Zinn dengan nada yang rendah, membuat pemilik manik merah muda merasa tak berdaya.

Suara raungan dari luar rumah kayu mengganggu kencan Frost dan Zinn. Frost hanya bisa berdecak kesal lantaran momen romantisnya diganggu oleh makhluk yang dia sendiri tak tahu apa itu.

“Aku akan menunggumu menjawab, Ganache. Sebelum itu, aku ingin tahu apa yang telah kau lihat di balik pintu itu,” kata Frost. Dia berbalik dan berniat menantang makhluk yang membuatnya penasaran.

Zinn menahan Frost untuk tidak keluar dari rumah kayu itu. “Jangan keluar dari sini. Makhluk itu bukanlah makhluk yang bisa dibunuh,” katanya. Wajah Zinn terlihat sangat khawatir.

“Kenapa? Apakah dia makhluk yang dikirimkan dari Neraka?” Frost bercanda untuk mencairkan suasana canggung antara dirinya dan Zinn. Namun bisa dilihat kalau wajah Zinn semakin memucat. Sepertinya tebakan Frost benar.

“Memang merupakan makhluk yang dikirimkan dari Neraka,” jawab Zinn. “Di atas sepertinya ada sesuatu yang digunakan untuk memanggilnya.”

“Kalau begitu, ini akan menjadi sangat menarik!” seru Frost, menatap tak sabar ke arah pintu yang tertutup. Selama setengah tahun terakhir bersama Frost, baru kali ini Zinn melihat mata pria itu berbinar-binar.

Zinn tidak tega menahan Frost untuk tidak keluar dari rumah kayu itu. “Baiklah, Anda boleh keluar dari sini. Tapi, Anda harus menjaga keselamatan Anda sendiri.”

Frost menyeringai dingin. “Kau lupa apa julukanku, Gadis Kecil? Jika dia adalah makhluk dari Neraka, maka aku adalah Penguasa dari Neraka itu sendiri.”

Zinn bisa merasakan aura membunuh yang sangat kuat dari Frost. Dia mundur perlahan-lahan untuk mengantisipasi terjadinya sesuatu di luar dugaan.

"Tenang saja, Gadis Kecil. Aku sudah bilang tidak akan membunuhmu. Tapi, kau harus menjawabku ketika semua masalah ini selesai. Kau harus menjawab."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!