Grepp ....
Sebuah telapak tangan milik seseorang membekap mulut seorang wanita muda bernama Aqilla Az-Zahra. Tubuhnya pun di seret paksa dan di bawa entah kemana. Zahra, gadis berusia 22 tahun itu tengah berjalan sendirian baru pulang dari warung membeli sesuatu di suruh Ibunya.
Namun, gadis cantik itu mendapatkan serangan dari belakang. Mulutnya di bekap oleh seseorang yang tidak bisa ia hindari.
"Hmmff ... Hmmff ...." Zahra memberontak ingin melepaskan diri. Namun, tenaganya tidak sekuat wanita super hiro. Penglihatannya mulai buram, tenaganya mulai melemah hingga ia terkapar lemah tak sadarkan diri di dalam dekapan seseorang.
"Cepat kita bawa dia ke penginapan no 212 yang ada di dekat balai pembatas desa ini! Pastikan tidak ada yang mengetahui aksi kita ini. Kita tinggalkan dia sendirian di sana sampai orang yang kita sewa datang."
"Siap, aku akan mengikuti perintah mu. Tapi, apa yang akan kau lakukan kepadanya?"
"Tentu saja memberikannya ke para pria untuk di jadikan santapan mereka. Saya akan membuatnya di usir dari kampung sini."
Kedua orang itu saling membantu mengangkat tubuh Zahra dan membaringkannya di mobil bagian belakang. Keduanya membawa Zahra ketempat yang akan mereka kunjungi.
Setelah tiba di tempat tujuan, tubuh mungil itu di letakkan di atas kasur salah satu penginapan yang mereka sewa untuk membuat Zahra tidur bersama seorang pria. Keduanya nampak membuka setiap kancing baju Zahra hingga memperlihatkan bagian dalamnya.
Penginapan yang terletak di antara perkampungan tempat wisata dengan bambu perbatasan desa, begitu terasa mencekam di malam hari. Penginapan tersebut sering di kunjungi oleh wisatawan luar kota maupun dalam kota. Bahkan, tak sedikit penginapan tersebut di jadikan tempat pertemuan dua sejoli tanpa memiliki tali pernikahan.
"Cepat hubungi orang itu untuk datang kemari!" perintah seorang wanita pada teman yang membantu keberhasilan rencananya.
Salah satu di antara mereka langsung menghubungi pria yang mereka sewa untuk mencicipi tubuh Zahra.
"Beres, dia akan datang ke sini."
"Bagus, sekarang kita pergi dari sini. Ayo ...." Kedua orang itu nampak lari meninggalkan Zahra seorang diri dalam keadaan tak sadarkan diri.
Tak lama kemudian, muncullah seorang pria berjalan sempoyongan memegangi kepalanya. Dia tengah merasakan pusing dan juga panas di area tubuhnya. Matanya melihat tulisan kamar inap yang ia sewa. Kamar 212 kini terlihat seperti angka 221 dimatanya dan masuk begitu saja.
"Sialan, kenapa bisa aku sampai kecolongan begini. Dia benar-benar kurang ajar," gumam pria bertubuh tinggi dengan postur tubuh tegap seraya berusaha menguasai sesuatu merasuk kedalam tubuhnya.
Zahra pun tersadar dari pingsannya. Tangan kanannya terulur memegangi kepala yang terasa pusing. Dia berusaha mendudukkan badannya.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi kepadaku? Kenapa aku ada di sini?" lirihnya. Lalu, dia memegang bajunya dan di buat terkejut oleh pakaian yang sudah terbuka.
"Apa yang terjadi padaku? Tidak ... ini tidak mungkin." Zahra menggelengkan kepalanya dengan derai air mata. Dia berdiri berusaha meraba di antara gelap gulita tanpa cahaya.
Zahra pun sedikit berlari ingin keluar dari tempat kosong gelap itu dan pikiran negatifnya terus menghantui pikiran dia.
Bruk!
Tubuhnya tak sengaja menabrak meja membuat seseorang yang berdiri sana terperanjat mengalihkan penglihatannya ke samping.
Orang itu tertegun memandangi pemandangan indah di depan matanya. Dia memperhatikan wajah cantik di bawah sinar rembulan. Jiwanya seakan terpanggil oleh bisikan menyeramkan dari kiri kanan untuk mencicipinya. Rasa panas dari tubuhnya kembali bertambah seiring penglihatan yang menurutnya menggairahkan di depan mata.
"Siapa dia? Kenapa dia bisa berada di kamar inap ku?" Pertanyaan terus terlontar dalam pikiran dan hati pria itu.
Zahra masih belum menyadarinya karena sedang sibuk mengancingkan bajunya sambil menunduk.
Bruk!
Tubuh Zahra kembali menubruk sesuatu dan kali ini tubuh seorang pria yang tengah berdiri memperhatikan pergerakannya.
Zahra mematung merasakan tangan seseorang memeluk pinggangnya. Begitupun dengan pria itu yang juga merasa tertantang untuk menyentuhnya.
"Si-siapa ka-kau?! Le-lepaskan saya?" Zahra gemetar ketakutan memberontak minta di lepaskan. Sentuhan kulit mereka membuat sang pria di selimuti hasrat yang bergejolak meminta di tuntaskan.
"Kau yang siapa? Kenapa masuk ke penginapan ku? Kau habis ngapain, hah? Apa kau berusaha mencuri?" ucarnya sekaligus menuduh Zahra melakukan hal tak terduga.
"Ti-tidak, aku tidak seperti itu. To-tolong lepaskan saya!" Zahra gemetar ketakutan kala tangan kekar itu semakin menariknya kedalam dekapan hangat. Dia tidak bisa jelas melihat wajah pria itu karena minimnya pencahayaan. Di dalam kamar tersebut suasananya gelap dan hanya ada sinar rembulan yang masuk lewat jendela tertutup tirai putih sebagai penerangannya.
Pria itu tengah memperhatikan bibir mungil berwarna pink alami. Mata sayunya tergoda oleh warna tersebut sehingga bisikan syetan membuatnya gelap mata. Di tambah pengaruh minuman membuat pria itu tak terkendali lagi.
Zahra terbelalak melotot sempurna ketika bibirnya di kecup pria di depannya. Dia terkejut atas apa yang tengah terjadi. Zahra berusaha menghindar, tetapi sentuhan itu berubah semakin menuntut dan semakin mendalam. Zahra memberontak memukul-mukul dada pria itu. Dirinya begitu sulit melihat wajah pria di hadapannya.
Sang pria semakin di buat bergairah, sesuatu aneh yang dirasakannya semakin membuat ia tersiksa. Apalagi sentuhan dari wanita di dalam dekapannya semakin membuat dia gelap mata. Pria itu menggiring paksa tubuh Zahra keatas kasur dengan bibir kembali bertautan.
"Tuan, lepaskan saya! Saya mohon!" pinta Zahra memelas dan kembali berusaha mendorong pria di hadapannya yang tengah mengecupi leher dan juga tangannya tengah bermain di kedua buah kembarnya.
Pria itu tidak peduli rintihan Zahra, jiwanya telah dirasuki gairah membara akibat minuman memabukkan yang tak sengaja ia minum di warung remang-remang. Syetan pun semakin gencar mengomporinya untuk terus melanjutkan apa yang sedang ia rasa.
"Saya tidak bisa memberhentikan ini." Di tengah kesadarannya, pria itu berjanji akan bertanggungjawab. Meski ia sadar, tapi obat itu seakan sulit ia kendalikan. Hanya pelampiasan yang mampu memberhentikannya.
Pria itu berusaha membuka paksa setiap baju yang di kenakan Zahra. Dirinya sudah gelap mata dan sulit mereda nafsunya.
"Kumohon jangan lakukan ini. Ku mohon, Tuan. Lepaskan saya!" Rintihan pilu untuk mempertahankan apa yang ia jaga terdengar menggairahkan di telinga pria itu. Semangatnya semakin menjadi ketika melihat tubuh wanita di bawah kuasanya sudah tak berpakaian apapun.
"Tolong jangan lakukan ini pada saya, Tuan." Zahra berteriak menangis meminta tolong. Tapi semakin Zahra berontak pria itu juga semakin bersemangat.
Pria itu tidak bisa lagi menahannya, dia berusaha menyatukan keduanya dengan cara menggebu. Dan apa yang seharusnya tidak terjadi telah terjadi kepada Zahra.
"Aakh, sakit!" jerit Zahra mencengkram kuat bahu pria di atasnya. Air mata Zahra mengalir deras membasahi pipi putih mulusnya. Dunianya seakan hancur berkeping-keping setelah apa yang ia jaga terenggut paksa oleh orang asing yang tidak ia kenal.
Hatinya sakit tersayat perih mengetahui kehormatan yang ia jaga untuk calon suaminya telah hilang. Apa yang akan ia katakan kepada suaminya kelak? Sedangkan hari pernikahannya tinggal satu bulan lagi.
"Aaaa... sakit..." jerit Zahra mencengkram kuat bahu pria di atasnya. Air mata Zahra mengalir deras membasahi pipi putih mulusnya. Dunianya seakan hancur berkeping-keping setelah apa yang ia jaga terenggut paksa oleh orang asing yang tidak ia kenal.
Tangisan Zahra tersendat-sendat, tubuhnya gemetar, dia merasa tidaklah sempurna setelah apa yang terjadi padanya.
Hatinya sakit tersayat perih dan kecewa pada dirinya sendiri di saat kehormatan yang ia jaga untuk calon suaminya terenggut paksa. Apa yang akan ia katanya kepada suaminya kelak? Sedangkan hari pernikahannya tinggal satu bulan lagi. Apakah ia harus jujur pada mereka?
"Ya Tuhan.. kenapa ini terjadi kepadaku? Aku sudah ternoda, aku kotor, aku tidak bisa menjaga kehormatan ku. Ayah, Ibu, maafkan Zahra.. hiks hiks hiks," batinnya.
Pria itu begitu menggebu mengeluarkan hasrat gairahnya. Bahkan, bukan hanya sekali tapi dua kali. Tubuh Zahra terasa remuk dan semakin merasa kotor karena tidak bisa menolaknya. Di saat ia menolak, pria di atasnya akan semakin memaksa dirinya.
Entah pengaruh obat atau memang sangat menyukai hal pertama yang dilakukannya, si pria enggan menyudahi permainannya sampai dia lelah sendiri.
Pria itu mendongak memperhatikan wajah Zahra di bawah cahaya rembulan. Mata terpejam dengan derai air mata membasahi matanya. Isak tangis pilu mengiris hatinya. Namun, apalah daya, jerat gairah mendera tidak bisa ia pendam begitu saja.
"Maafkan aku, aku tidak bisa menahannya. Aku akan bertanggungjawab." Gumam pria itu mengecup kening Zahra merasa bersalah telah menjadikannya pelampiasan nafsunya.
Sekuat tenaga pria itu bangun dari atas tubuh Zahra, dia memakai kembali pakaiannya. Darah keperawanannya terlihat nyata bercampur cairan kental miliknya. Dia pun memakaikan baju Zahra di saat wanita itu memejamkan mata enggan menatap wajah pria yang sudah menodainya.
Zahra memberontak, memukuli tubuh pria yang sudah merenggut paksa kehormatannya. "Kau jahat.. kau bajingan.. Kurang ajar.. kenapa kau lakukan ini padaku, hah? Kenapa? Apa salahku sampai kau tega merenggut paksa apa yang seharusnya ku jaga? Hiks.. hiks.. hiks.. kau jahat... Apa yang akan ku katakan pada nya? hiks hiks hiks."
Pria itu memeluk Zahra merasa bersalah. Dia membawa Zahra berbaring sambil mendekap erat tubuh mungilnya. Zahra terus memberontak, namun semakin ia berusaha berontak semakin kencang pelukan itu Zahra rasakan. Isak tangisnya tidak berhenti hingga ia kelelahan dan terlelap dalam dekapan tubuh pria asing.
"Lepaskan saya, brengsek..! Kau jahat!" lirihnya terdengar lemah.
Sedangkan sang pria mengepal kuat dengan amarah yang mendera. "Brengsek, gara-gara kau aku sampai menodai wanita."
*******
Cahaya matahari masuk ke dalam ruangan tempat di mana Zahra tengah berbaring. Silau cahayanya mampu mengganggu matanya. Dia pun tersadar dari tidur panjang setelah kelelahan menangis semalaman memukuli pria kurang ajar brengsek yang sudah berhasil menodainya.
Mata Zahra memandangi langit-langit ruangan dengan tatapan kosong serta air mata yang tiba-tiba mengalir dari sudut matanya. Tangisnya pun kembali pecah setelah mengingat kembali apa yang telah Ia alami semalaman.
"Aku... aku sudah kotor." lirihnya terisak menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia kembali menangisi nasibnya di saat bangun tidak ada siapa-siapa di sampingnya.
Setidaknya jika ada pria itu, ia bisa meminta pertanggungjawabannya. Namun, apa yang ia dapatkan? Pria yang sudah mengambil kehormatannya pergi entah ke mana. Dan itu semakin membuat Zahra menangis histeris.
"Akkhhh... kenapa ini terjadi padaku, ya Tuhan? Kenapa?" jeritnya dalam hati.
Zahra pun berusaha duduk, dia meringis sakit merasakan kepedihan dan terasa ada yang mengganjal di bagian intinya. Dan Zahra merasa sesak atas apa yang ia rasakan saat ini. Seharusnya ini terjadi ketika dia sudah menikah dengan calon suaminya.
Zahra berusaha berdiri dan mencoba berjalan normal. Dia harus pulang, pasti keluarganya tengah menunggu di rumah. Zahra memperhatikan ruangan tersebut dan melihat no angka yang tergantung di depan pintu 212. Tempat yang sudah menjadi saksi ke bejad tan seseorang dalam memperkosanya.
Dengan langkah terseok-seok, Zahra melangkah pergi dengan hati dan jiwa yang hancur sehancur-hancurnya.
Di tengah itu pula, seorang pria yang semalam menodai Zahra sedikit tergesa mendekati kamar penginapan nya. Dia mencari makanan dulu sampai meninggalkan Zahra sendirian. Dirinya ingin segera menemui wanita yang sudah ia renggut paksa kehormatannya. Dia sudah tahu wajah cantik yang berhasil memberikan sebuah sentuhan kepuasan.
Namun, baru saja dirinya masuk sudah tidak ada wanita itu di sana. Dia mencari keberadaan Zahra ke sekitar ruangan. Akan tetapi dia tidak menemukannya.
"Kemana perginya wanita itu? Cepat sekali dia pergi. Aku harus menemukannya, aku harus mempertanggungjawabkan kesalahan yang kuperbuat kepadanya." Pria itu hendak mencari lagi, tatapi panggilan telpon mengalihkan dirinya.
"Hallo."
..........
"Apa?! Baik, saya segera kesana. Tolong kau jaga Ibu ku sampai aku tiba di sana."
..........
Pria itu menghelakan nafas berat. Dia menjambak rambutnya sendiri prustasi atas apa yang ia lakukan semalam.
"Kemana ku harus mencarinya? Siapa namanya? Dimana tempat tinggalnya? Apa aku akan kembali lagi bertemu dengannya? Tuhan, dimana pun dia berada, tolong jangan buat dia menikah dengan orang lain selain denganku," pintanya bersungguh-sungguh sambil menengadahkan kedua telapak tangannya terpejam meminta kepada sang pencipta.
********
"Zahra, darimana saja kamu, Nak? Kenapa semalaman ini kamu tidak pulang? Ibu dan Ayah sangat mengkhawatirkan kamu." Ibu Zahra sangat khawatir, dia terus memeluk tubuhnya saking senangnya Zahra pulang.
Namun, berbeda dengan sang ayah yang tengah menatap tajam ke arahnya. Zahra sempat melirik sebentar, tetapi ia kembali menunduk tidak berani menatapnya.
"Dari mana saja kamu? Semalaman nggak pulang, keluyuran ke mana kamu? Menginap di mana kamu? Dengan siapa kamu pergi? Ayah menyuruhmu membeli sesuatu kenapa kau malah pergi bagaikan hilang ditelan bumi."
"Ayah, sudah, yang penting Zahra sudah pulang dengan selamat. Biarkan Zahra istirahat dulu." Mala menenangkan suaminya supaya tidak marah-marah.
Zahra tidak bisa menjawab perkataan Ayahnya. Dia terus menunduk bersedih tidak bisa berkata lagi.
"Ibu jangan terus membelanya, Zahra harus sadar kalau sebentar lagi dirinya akan menikah. Dan tidak baik keluyuran malam sampai tidak pulang," balas Anton.
"Ayah benar, Bu. Ibu tidak boleh membelanya terus. Sesekali kalian harus tegas dan bertanya kemana semalaman dia pergi?" timpal Kiara, kakak nya Zahra.
"Kamu juga jangan menghakimi adik mu. Sudah, sekarang kita masuk, ya, Zahra." Mala mengajak Zahra masuk.
Anton menghelakan nafas kesal istrinya terus saja membela Zahra. Kiara mendengus sebal ibunya sebegitu perhatiannya pada Zahra padahal dialah anak kandungnya, bulan Zahra.
Setibanya di dalam kamar, Zahra langsung ke kamar mandi mengunci dirinya sendiri. Dia menyalakan air shower dan mengguyur tubuhnya.
Dia kembali menangis sambil terus menggosok tubuhnya merasa jijik pada diri sendiri. "Aku kotor, aku tidak bisa menjaga kehormatan ku. Aku sudah ternoda. Aku jijik," gumamnya terduduk menangis di bawah guyuran air mandi.
"Selamat siang pak Anton." seseorang menyapa Anton yang sedang meneliti berbagai deretan acara pernikahan yang akan di gelar satu bulan lagi. Pernikahan Zahra dan Ilyas anak pengusaha warnet.
Anton yang sedang menunduk serius pun mendongak. "Eh, ada calon besan. Apa kabar nyonya Celine?" pria yang menjadi papanya Zahra itu berdiri mengulurkan tangan memberikan sambutan hangat untuk calon besan nya.
"Baik Pak, dimana Zahra? Saya ingin mengajak dia ke boutique langganan saya untuk mengukur dan sekalian mencari baju yang cocok untuk mereka berdua." wanita bernama Celine itu celingukkan mencari keberadaan Zahra, calon mantu pilihan anaknya.
"Zahra, dia ada di dalam kamar. Kalian tunggu saja di sini saya akan memanggilnya sebentar." Anton pun berpamitan sebentar menuju kamar anaknya meninggalkan Celine sendirian.
Wanita itu memperhatikan ruangan tengah yang ada di sana. "Masih bagus rumah saya ternyata. Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan rumah mewah saya itu. Aneh sekali Ilyas ini, dia mau menikah dengan orang miskin seperti Zahra," gumamnya dalam hati kurang menyetujui putranya menikahi Zahra karena ia sebenarnya sudah mau menjodohkan Ilyas dengan wanita sederajat dengan mereka. Namun karena terlalu sayang kepada putranya Celine menyetujui pilihan Sang putra.
"Selamat siang tante Celine." sapa Kiara langsung duduk begitu saja di dekat wanita paruh baya yang sering mengenakan tusuk konde itu.
"Siang." jawabnya dingin. Celine juga kurang menyukai Kiara yang menurutnya terlalu agresif, cari perhatian dan terlalu sok akrab dengannya. Kalau dari rupa Zahra memang sangat cantik, kalau dari tutur kata Zahra memang paling sopan di antara gadis-gadis yang lainnya, kalau dari perlakuan dan semua pernilaiian terhadap setiap para anak gadis, Zahra memang yang paling dominan sehingga tidak heran jika gadis tersebut menjadi incaran banyak pria di desanya.
"Pasti Tante mau mengajak Zahra keluar 'kan? apa Tante yakin mau menjadikan Zahra menantu tante? apa Tante yakin akan menikahkan Ilyas dengan Zahra?" Kiara memberikan berbagai pertanyaan agar Celine mulai goyah akan pendiriannya. Diantara yang lainnya hanya Kiara yang tidak menyukai pernikahan ini. Kenapa begitu, karena dia juga semalam lebih memilih Zahra dibandingkan dirinya yang lebih dulu menyukai Ilyas. Itulah sebabnya Kiara selalu menghasut Ilyas tante celline untuk tidak menikahkan Zahra. Kalau dia tidak bisa memilikinya berarti Zahra juga tidak boleh memilikinya maka berbagai macam cara akan kita lakukan demi membatalkan pernikahan mereka.
"Maksud kamu bicara seperti itu apa? Kenapa kamu seakan-akan tidak menyetujui Ilyas menikah dengan Zahra? bukan kah Zahra itu adikmu? seharusnya kau mendukung dia bukan?" Celina tidak pernah mengerti kenapa Kiara selalu mengompori nya untuk tidak menyukai Zahra. Padahal dia sudah begitu berusaha menerima Zahra tapi setiap Kiara merecoki hatinya selalu gelisah. Bukan apa-apa, ada rasa takut dari dalam diri seorang ibu jika anak lelakinya memilih wanita yang salah. Meskipun Celine tahu jika Zahra bukanlah wanita murahan yang suka keluyuran malam ataupun sering bergaul bebas seperti Kiara di sampingnya.
"Tante, Tante. Kiara bukan tidak menyukai Zahra, tapi Kiara kasihan saja sama Ilyas menikahi wanita seperti Zahra. Tante tahu, semalam Zahra tidak pulang dan pulang tadi pagi. Kami semua di sini panik cari dia tapi dia entah pergi kemana dan dengan siapa dia pergi." Dengan santainya Kiara membahas masalah Zahra semalaman tidak pulang. Dia menyenderkan punggungnya seraya memainkan ponselnya sesekali melirik Celine yang sedang diam memikirkan sesuatu.Sudut bibirnya menyunggingkan senyum tipis berharap Celine terpengaruh untuk membatalkan pernikahan Ilyas dan Zahra.
Celine nampak memikirkan perkataan Kiara dan bertanya-tanya apakah benar Zahra seperti itu? apa mereka tidak salah pilih mendapatkan calon menantu?
Sedangkan di dalam kamar, Zahra tengah termenung berdiam diri di pojokan tempat tidur seraya memeluk kedua lututnya mengarah jendela kaca. Air matanya terus mengalir membasahi pipi merasa kini dirinya tidak layak untuk menjadi istrinya Ilyas. Hatinya hancur berkeping-keping setelah malam kelam menimpanya.
Hingga suara ketukan mengalihkan lamunan Zahra. Wanita berwajah manis itu segera menghapus air matanya dan berusaha untuk bersikap biasa saja.
Tok... tok... tok...
"Zahra, ini Papa. Di luar ada calon mertua kamu datang." suara Anton membuat Zahra terdiam seribu bahasa bingung harus berkata dan bersikap seperti apa di depan calon mertuanya.
"Tante Celine ada di sini? apa yang harus ku katakan kepadanya jika dia mencurigai ku? aku harap beliau tidak merasakan hal yang berbeda pada diriku." Zahra segera turun dari ranjang selalu memperhatikan penampilannya di cermin dan mencari sesuatu yang mungkin bisa membuat mereka curiga. Untungnya tidak ada jejak merah di leher Zahra sehingga hal itu membuatnya sedikit lebih nyaman.
"Zahra..."
"Iya, Pah. Tunggu sebentar." Zahra menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. "Jangan tunjukan wajah sedih mu. Kamu harus bersikap seperti tidak terjadi apapun."
Kemudian Zahra berjalan mendekati pintu. tangannya gemetar hanya untuk ingin membuka pintu saja terasa sulit sekali. Lalu perlahan Ia pun mulai membuka pintu dan menampakkan seorang pria berdiri di dekat pintu kamarnya.
"Lama sekali, di depan ada tante Celine. Buruan temui dia," ujar Anton dan di angguki oleh Zahra.
"Kamu jangan beropini jelek tentang Zahra, ya. Dia itu wanita baik-baik tidak seperti kamu, murahan." ada nada tidak suka yang Celline tunjukan di saat calon mantunya terus di gembor terkesan memiliki kelakuan jelek.
"Ya sudah, mau percaya atau tidak tapi Tante lihat saja nanti. Kalau Zahra beneran hamil gara-gara sering keluar malam berarti dia itu wanita murahan juga." Kiara pun berdiri meninggalkan Celine setelah melihat pergerakan papanya dan Zahra.
Celine nampak memikirkan perkataan Kiara. "Apa benar Zahra sering keluyuran malam seperti yang Kiara bilang?" sungguh dia begitu penasaran dan antara percaya dan tidak pada dua kemungkinan, iya dan tidak.
"Tante apa kabar?" sapa Zahra setelah sampai ruang tamu lalu menyalami calon mertuanya.
"Ah, Tante kabar baik." Celine memperhatikan raut wajah Zahra yang terlihat sendu dengan mata sedikit sembab. "Dia seperti habis menangis?" gumamnya dalam hati.
"Zahra, kita langsung berangkat saja. Kita harus ke boutique buat mencari gaun pernikahan mu dan Ilyas secepatnya." Tanpa basa-basi lagi saya ini langsung berdiri dan ingin segera menuntaskan pencarian gaun pengantin.
Deg...
"Menikah...!" lirihnya merasa tidak enak.
*****
Dan jangan lupa juga follow ig aku ya!
@ai.sah562
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!