Kepalaku terasa sangat sakit, penglihatanku berkunang-kunang dan secara perlahan- lahan memudar. Keseimbangan tubuhku seperti tak ada tumpuan, tak sadar Aku jatuh pingsan saat membersihkan langit Plapon rumah Mertuaku.
Perlahan Aku membuka mata. Kini tubuhku sudah berbaring di atas ranjang Rumah Sakit dengan jarum infus yang menempel di tanganku. Apa yang terjadi sebenarnya denganku, perasaan Aku sedang membersihkan Plapon rumah Ibu. Tapi mengapa Aku malah berada di kamar Rumah Sakit.
" Syukurlah Kamu sudah sadar" Ucap Mas Surya berdiri melipat kedua tangannya melihat keadaanku.
" Memangnya apa yang terjadi dengan Via Mas?" Tanyaku masih bingung.
" Kamu jatuh pingsan saat membersihkan Plapon rumah" Jelas Suamiku.
" Cepatlah sembuh, biaya Rumah Sakit sangat mahal dan Anak Kita di rumah hanya bisa merepotkan Ibu " Ucap Mas Surya menyakiti perasaanku.
Aku hanya bisa meneteskan air mata dengan perlakuan Mas Surya. Entah, sampai kapan rasa perdulinya di tunjukkan untukku. Aku diharapkan sembuh hanya untuk bekerja dan menjaga Buah Hati Kita.
" Kalau begitu bawalah Via pulang sekarang Mas, Via tak ingin merepotkan Mas dan membuat Mas terbebani" Ucapku tanpa memandangnya.
" Istirahatlah dan nikmati tinggal di rumah sakit ini. Bukankah selama ini Kamu selalu mengeluh ingin beistirahat" Ucap Mas Surya menyinggungku.
Aku tak lagi bersuara dan lebih memilih untuk diam. Aku sudah lelah menangis, rasanya stok air mataku sudah hampir habis. Rumah Tangga yang di bangun dengan rasa cinta dan kasih sayang kini berubah menjadi Neraka bagiku. Setiap harinya Aku selalu di hina oleh Mertuaku. Belum lagi cacian dari Mas Surya. Aku seperti Babu bagi Mereka dan tak berarti apa-apa.
Aku mencoba memejamkan mata sejenak agar fikiran dan batinku terasa tenang. Belum setengah jam Aku terlelap tiba- tiba terdengar suara Ibu Mertua menghampiriku di ranjang rumah sakit.
" Tidak usah berpura- pura lemas, jangan manja. Ingat! Kamu harus kuat demi Ketiga Putramu" Ucap Ibu Mertuaku memutar bola matanya dengan malas.
Aku harus bagaimana lagi agar Mertuaku menyukaiku. Apa yang Aku lakukan selalu salah di mata Beliau. Kebenciannya semakin menjadi ketika Aku memegang sepenuhnya gaji Suamiku. Uang sejumlah Tiga Juta Rupiah sebenarnya tidak mencukupi untuk biaya hidupku sehari- hari. Sebisa mungkin Aku berhemat agar uang itu bisa terpakai untuk Satu bulan. Sebenarnya dari Tiga juta itu, Aku harus berbagi lagi dengan Ibu Mertuaku. Setengahnya untukku dan setengahnya lagi untuk Ibu Mertua. Belum lagi iuran listrik yang harus Aku tanggung dan biaya Ketiga Putraku yang masih kecil. Satu Juta Setengah membuatku berhemat dan menyiksa diri sendiri. Bajuku bisa di hitung hanya berapa helai di dalam lemari. Saat Anak Ketigaku masih Bayi Aku tak berani memakaikannya Pampers karena itu adalah sebuah pengeluaran besar. Setiap Anakku pipis ataupun Pup Aku harus terjaga dan benar-benar memperhatikannya agar tak mengenai celana. Pernah waktu itu Ibu Ku mintai tolong untuk menjaga Zaki Bayiku.
" Bu, Via minta tolong titip Zaki sebentar. Soalnya Via ingin membereskan dapur" Ucapku meletakkan Zaki di atas pangkuan Beliau. Wajah Ibu begitu cemberut tapi tetap menggendong Zaki dan mengajak Bayiku masuk ke dalam rumah. Aku terpaksa minta tolong kepada Ibu meski Ibu keberatan untuk menjaga Cucunya. Anak Sulungku Zafran dan Anak Keduaku Zul sudah sejak tadi berangkat ke Sekolah.
Belum usai pekerjaan di dapur, Ibu sudah berteriak memanggil Namaku karena Cucunya Pipis dan baju daster Ibu basah oleh Air Seni Anakku.
" Coba Zaki itu di pakaikan Pampers. Bajuku jadi basah dan bau pesing gara-gara Dia kencing di pangkuanku. Segera cuci bajuku ini" Bentak Ibu sambil mengeluarkan Baju dari tubuhnya.
Ku gendong Zaki ke dalam kamar guna mengganti celananya yang telah basah akibat Dia pipis. Anakku masih berumur Enam Bulan. Zaki sering pipis karena lagi aktifnya menyusu. Beruntung celana ganti Zaki sangat banyak di berikan oleh para Tetangga. Jika tidak, maka Aku akan keteteran harus menunggu celana kering baru di pakaikan untuk Anakku. Aku sengaja tak membawanya ikut ke dapur karena hal itu akan membahayakan Bayiku. Jika Dia berada di gendonganku maka tak menutup kemungkinan gemercik minyak yang panas akan mengenainya kulitnya saat Aku menggoreng Ikan.
" Kak, Lisa lapar" Ucap Adik Iparku yang baru saja bangun tidur. Lisa adalah Adik Iparku yang masih duduk di bangku kelas Tiga SLTP. Dan sebentar lagi Lisa akan melanjutkan Sekolahnya ke jenjang SLTA. Meskipun Lisa sudah Dewasa namun, Ibu sangat memanjakannya. Di tambah lagi biaya Sekolahnya tak luput dari tanggung jawab Suamiku Mas Surya. Setiap kebutuhannya Mas Suryalah yang akan menanggungnya walau kadang Anakkulah yang akan menjadi korban.
" Bu, Ayo Kita sarapan Lauknya sudah matang" Teriak Lisa dari dapur memanggil Ibu Mertua. Penghuni rumah ini selalu saja begitu. Jika Makanan sudah terhidang maka Mereka tak lagi memikirkan Aku yang dalam keadaan kelaparan.
" Bu, tolong sisakan lauknya sedikit untukku sarapan" Ucapku memberanikan diri.
" Siapa juga yang mau habiskan! Kamu kira Aku rakus! " Ucap Ibu tersinggung. Padahal andai saja Aku tak mengingatkan. Ibu dan Lisa pasti akan menghabiskannya karena mengira Aku sudah Sarapan duluan. Mengingat Akulah Juru Masak di rumah ini.
Usai Mereka Sarapan barulah Aku memasukkan nasi ke dalam perutku. Aku sengaja makan banyak supaya Aku punya tenaga karena Aku sedang menyusui saat ini.
" Via, Kata Dokter Kamu sudah bisa pulang hari ini" Ucap Kakak Iparku Mas Fatir. Ya, hanya Mas Fatirlah Orang yang perduli denganku di rumah ini. Sedangkan Istri Mas Fatir sepertinya ikut tak menyukaiku. Karena selama ini Mba Yuri tak pernah mau akrab denganku. Sikap Mba Yuri selalu cuek dan sombong. Kakak Iparku sudah berumah tangga Lima Tahun lamanya. Dan sampai saat ini belum juga di karuniai Momongan.
" Terima kasih Mas Surya, Mba Yuri. Telah bersedia membantu mengurus Ketiga Putra Via" Ucapku berterima kasih sambil memandang Mas Fatir dan Mba Yuri secara bergantian.
"Kamu tidak usah berterima kasih Via, Itu sudah menjadi kewajiban Kami selaku keluargamu, lagi pula Aku dan Yuri senang melakukannya" Ucap Mas Fatir tulus. Sementara Wajahnya Mba Yuri terlihat datar dan sulit untuk di tebak.
Walaupun hari ini Aku sudah di perbolehkan untuk pulang oleh Dokter. Namun tubuhku masih terasa sangat lemas. Mungkin karena Aku berbaring Seminggu ini.
Mba Yuri membantu mendorong kursi rodaku menuju Mobil yang sudah terparkir di area parkiran rumah sakit. Mas Fatir memang pembisnis sukses. Dan Mobil yang terparkir di sana bewarna Hitam Metalik adalah Mobil Mas Fatir. Aku cukup kecewa, karena Mas Surya tak datang untuk ikut menjemputku. Alasannya selalu sibuk bekerja. Beruntung Aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang cuek dan tak perduli. hingga membuatku menjadi Wanita tegar dan kuat seperti ini.
Sampai di rumah Aku langsung di sambut oleh Kedua Putraku. Mereka Berdua berhamburan memeluk tubuhku dengan erat. Aku tahu mereka sangat rindu padaku, karena sudah Satu Minggu ini Aku tak pernah berjumpa dengan Mereka. Karena Aku di rawat di rumah sakit. Setelah mengantarku pulang Mas Fatir dan Mba Yuri pamit pulang. Tak lupa Mas Fatir selalu memberikan sejumlah uang yang di selipkan ke dalam kantong Kedua Putraku masing-masing.
Aku menuju kamar yang sangat berantakan. Aku tak terbiasa tidur dalam keadaan kamar kotor seperti ini. Aku terpaksa membereskan kamarku sampai bersih dengan sisa tenagaku. Seharusnya Aku harus beristirahat di rumah karena Aku baru saja sembuh dan masih dalam pemulihan.
Zapran datang menghampiriku lalu menyodorkan uang dalam amplop yang di berikan oleh Omnya Mas Fatir. Ku buka amplop itu yang berisikan uang Tiga Ratus Ribu.
" Bu, tadi uang yang di berikan Om Fatir ke Zul sudah diambil oleh Tante Lisa. Kata Tante Lisa Zul masih kecil tidak boleh memegang uang" Tutur Anakku jujur.
Mengapa Lisa selalu saja mengambil hak Anakku. Kali ini Aku harus melawan, jika Aku lemah seperti ini terus Penghuni rumah ini akan selalu semena- mena dan terus menginjak harga diriku.
Hari ini Tubuhku mulai pulih karna Ku paksakan untuk bekerja. Bagaimana tidak, jika Aku tak bergerak menuju dapur maka Ketiga Anakku akan kelaparan. Tak ada yang iba melihatku yang baru saja keluar dari rumah sakit. Meski Tubuh ini masih lemas Aku harus memasak untuk Ketiga Putraku.
" Kak Via kok, nggak nyisahin Lisa lauk sih!" Ucap Lisa menghentakkan kakinya ke lantai. Kali ini Aku sengaja memberinya pelajaran agar Lisa tak lagi menganggapku seperti Pembantu di rumah ini.
" Maaf Lisa, Lauknya hanya cukup untukku dan Ketiga Putraku. Aku tak bisa membelinya karena tak punya uang." Ucapku dengan lembut.
" Lho, bukannya kemarin Mas Fatir ngasih Amplop sama Zul?" Ucap Ria memojokkanku. Padahal Dia tak sadar jika Lisa membuka belangnya sendiri.
" Darimana Kamu tahu Lisa? Sementara Mas Fatir memberikan Amplop itu Kamu tak berada di sana." Ucapku membalas Lisa.
" Mm, Lisa kira Mas Fatir kasih Amplop.Kan, biasanya setiap Mas Fatir berkunjung kesini, wajib menyisihkan uangnya buat Zul dan Zafran." Alasannya mulai terpojok.
" Iya memang Mas Fatir selalu ngasih Amplop pada Mereka Berdua. Namun sayang, Sesorang yang rakus telah merampas isi Amplop pemberian Om Mereka" Ucapku kesal.
" Kak Via nuduh Lisa?" Tanyanya terpancing.
" Aku tidak pernah menuduhmu. Lagi pula Aku tak menyebutkan Namamu. Namun mengapa Kamu harus merasa tersinggung" Ucapku menyinggung Lisa secara halus.
Tanpa menjawab lagi, Lisa pergi meninggalkanku di dalam dapur. Entah, apa hal ini akan di laporkannya kepada Ibu Mertuaku atau tidak. Kali ini Aku tak boleh takut dan harus menghadapinya Mereka dengan tegas.
Sudah pukul Empat Sore, biasanya Mas Surya sudah pulang dari Kerjanya. Mengingat Mas Surya masuk kerja Shif pagi dan pulangnya pukul setengah Empat sore. Belum sempat Ku tanyakan pada Ibu Mas Surya sudah menampakkan diri memasuki area pekarangan rumah. Walaupun Mas Surya tak perduli denganku tapi tak sedikit pun Aku menaruh dendam untuk tak mengkhwatirkannya. Setelah melihatnya pulang dengan selamat sampai rumah perasaanku menjadi lega dan tenang.
" Mas, makananannya sudah siap di meja. Maaf, Via tak bisa menemani Mas makan, karena Via harus menyusui Zaki" Ucapku.
Tanpa kata, Mas Surya berlalu begitu saja meninggalkanku di kamar menuju dapur. Sikap dinginnya membuatku selalu bingung untuk menghadapinya. Namun Aku tetap memberikan yang terbaik untuk Suamiku walaupun Ia tak pernah menghargai pengorbananku.
" Ini gajiku bulan ini" Ucap Mas Surya menyerahkan sebuah Amplop.
" Terima kasih" Ucapku sambil membuka isi Amplop tersebut. Aku terkejut ketika isinya hanya Satu Juta Rupiah. Dengan keberanian Aku mencoba menanyakannya.
" Mas, uang ini hanya Satu Juta" Ucapku memperlihatkan jumlah uang itu sembari menatapnya mencari kejelasan.
" Via, gajiku di potong karena Aku tak masuk kerja selama Dua hari, karena menjagamu di Rumah Sakit." Jelas Mas Surya.
" Tapi Mas, kenapa banyak sekali potongannya?" Tanyaku heran.
" Bagaimana tak banyak potongan. Kamu tak tahu kan, kalau Aku kasbon di kantor untuk membayar biaya Rumah Sakitmu? Ucapnya mulai emosi.
Mendengar kata Biaya Aku langsung terdiam dan menerima uang dari Mas Surya dengan ikhlas. Terdengar dari arah pintu masuk kedua Putraku pulang bermain. Wajah mereka sangat kucel bekas bermain lumpur bersama Temannya. Kutinggalkan Adiknya yang sedang tertidur pulas lalu memandikan Kedua Putraku. Karena kedinginan Kedua Putraku langsung minta makan. Aku pun menuju dapur guna mengambil makanan untuk Mereka. Aku kecewa nasi yang Ku masak satu periuk sudah habis tak tersisa. Padahal Lisa tahu Nasi telah habis lantas mengapa Dia tak mencoba untuk menanaknya lagi. Aku sakit hati meninggalkan Priuk kosong itu. Biarkan saja Mereka kelaparan tak ada Nasi untuk makan malam.
Aku pamit pada Mas Surya untuk keluar rumah bersama Ketiga Anakku. Saking tak perdulinya Mas Surya tak bertanya kemana Kami akan pergi.
" Ayo Nak, pegang tangan Ibu jangan sampai lepas" Ucapku kepada Kedua Putraku menyebrang jalan. Sesampainya di Warung makan. Aku langsung memesan Nasi untuk Mereka. Tak lupa juga untuk diriku sendiri. Selama ini Aku tak pernah bersikap seperti ini apalagi sampai makan di Warung. Mungkin karena Aku terlalu lelah menghadapi cobaan hidup hingga Aku memberontak.
" Bu, makanan di sini enak banget. Zafran baru kali ini makan daging Bu" Celoteh Anakku dengan polosnya.
Ku usap kepalanya dengan mata berkaca- kaca. Padahal gaji Suamiku cukup untuk Kami asalkan tak di bagi Dua. Aku bahagia melihat Kedua Putraku makan dengan lahap.
" Bu, boleh nambah lagi" Tanya Anakku Zul.
" Ini Kamu makan nasi Ibu aja. Ibu sudah kenyang" Ucapku berbohong sambil menyodorkan nasi yang ada di depanku.
Rupanya sedari tadi Seorang Pria memperhatikan Kami Bertiga. Ketika Aku menoleh Pria itu langsung memalingkan Wajahnya pura- pura melihat kendaraan yang lewat. Aku sebenarnya merasa risih jika diperhatikan seperti itu oleh Pria Asing. Karena Aku merasa kurang nyaman.
Usai makan Aku pun menuju ke Pemilik Warung untuk membayar.
" Berapa Pak? Tanyaku pada Pemilik Warung.
" Nasi Tiga Piring 30 Ribu Bu" Ucap Pemilik Warung.
Ku rogok kantongku tapi Aku tak menemukan uangku sama sekali. Ku coba berulang kali memeriksa kantong dan meraba baju celanaku. Namun Aku tak menemukan uang itu. Sebelum berangkat Aku tadi membawa uang 50 Ribu. Tapi mengapa uang itu hilang dari dalam kantongku tiba-tiba. Aku mulai panik dan merasa malu takut Aku di kira Modus makan gratis.
" Maaf ya Pak, tunggu sebentar. Sepertinya uang Saya terjatuh di bangku tempat Saya makan tadi" Ucapku meninggalkan Pemilik Warung menuju bangku tempat Aku duduk.
Ku lihat Pria yang memperhatikanku tadi melintas berjalan di sampingku menuju Pemilik Warung untuk membayar. Aku tak menghiraukan Pria itu memandangku, karena Aku sibuk mencari keberadaan Uangku yang hilang.
" Ibu cari apa?" Tanya Anakku Zafran.
" Ibu sedang mencari Uang Ibu Nak" Jawabku sambil menjongkokkan badan melihat ke bawah meja dan bangku.
Karena kelelahan mencari, Aku pun terpaksa menghampiri Pemilik Warung dan mengatakan jika Aku akan membayarnya nanti dan akan segera pulang ke rumah untuk mengambil uangku.
" Ngapain Ibu repot-repot ambil uang. Teman Ibu sudah membayarnya tadi dan ini kembaliannya" Ucap Pemilik Warung menyodorkan kembalian sebesar 70 Ribu.
" Maaf Pak. Teman yang mana ya?" Ucapku bingung.
" Itu yang memakai Sweeter Hitam dan Topi" Ucap Pemilik Warung menunjuk ke arah Pria yang memperhatikanku tadi di Warung. Pria itu sudah menyebrang jalan dan Aku telat untuk menghampirinya.
" Terimakasih" Ucapku kepada Pemilik Warung sambil menerima kembalian itu.
Dalam perjalanan pulang Aku masih heran dengan Sosok Pria itu. Mungkinkah Dia kasihan kepada Kami. Atau memang Dia Seorang Dermawan. Tapi mengapa saat Ku panggil Pria itu malahan berlari kecil agar Aku tak menyusulnya. Aku benar- benar di buat penasaran olehnya.
Sampai di rumah Ku dengar suara Ibu ngomel- ngomel dari dalam rumah. Belum sempat melangkahkan kaki untuk masuk tiba- tiba Mas Surya sudah ada di depan pintu menantikan Kami pulang.
" Darimana saja Kalian?" Tanya Mas Surya berdecak pinggang.
" Zafran tadi makan enak di Warung Ayah" Jawab Zapran jujur. Aku lupa bilang pada Zapran Anakku agar merahasiakan tentang Kita makan di Warung. Tapi Zafran sudah keburu menjawab tanpa bisa Aku cegat lagi.
" Oh, enak ya. Kalian makan di Warung sementara di dapur tak ada Makanan yang di masak sama sekali" Ucap Ibu menghampiri Kami di pintu.
" Jadi, uang gajiku Kau buat berfoya- foya Via? Ucap Mas Surya emosi.
Aku masih terdiam membisu tak menjawab ucapan Mas Surya.
" Ayah, Zafran Tidak pernah makan daging Ayah?" Ucap Anakku dengan polos.
" Kamu selalu memanjakan Anak Via, padahal Kamu tahu sendiri keuangan Kita lagi tidak stabil akibat membayar Biaya rumah sakitmu" Ucap Mas Surya menyalahkanku.
" Maafkan Aku Mas" Ucapku menunduk. Aku tak bisa membela diri, walaupun Aku ingin menjelaskan rasanya semuanya akansia-sia. Karena Mas Surya tidak akan pernah mengerti dengan keluh kesahku.
Aku membawa Ketiga Anakku masuk ke dalam rumah. Karena kekenyangan Mereke tertidur dengan sangat nyenyak. Sementara Aku, walaupun datang ke Warung tapi tak sempat mencicipi Makananku. Karena Makananku Ku berikan pada Zul Anakku yang masih lapar dan minta nambah lagi.
Ketiga Anakku sudah tertidur pulas. Aku masuk ke dalam dapur guna mencari Makanan yang bisa untukku masak. Namun, Ibu telah mengunci pintu Kulkas. Karena sangat lapar Aku terpaksa menanak Nasi hingga menunggu berapa menit untuk matang. Dengan Nasi tanpa lauk ku taburi garam halus di atasnya. Begitu nikmat rasanya, setidaknya Nasi ini bisa mengenyangkan perutku yang dilanda lapar. Setelah perutku kenyang Aku masuk ke dalam kamar. Kudapati Mas Surya sudah berbaring miring memeluk bantal. Aku tahu Mas Surya belum tidur.
" Mas, maafkan Aku. Aku salah telah mengajak Anak-Anak makan di Warung tanpa izinmu. Mereka hanya ingin merasakan Makanan yang berbeda Mas. Karena selama ini Zafran dan Zul tidak pernah merasakan makan daging" Jelasku halus.
Mas Surya masih saja terdiam tak merespon penjelasanku. Karena tak di hiraukan Aku pun tidur di samping Mas Surya dengan posisi terlentang memeluk bantal. Belum sempat memejamkan mata Mas Surya menggerakkan Tubuhnya dan mulai berbicara.
" Via, Aku minta Kamu membagikan uang yang Ku berikan padamu tadi sore kepada Ibu setengahnya" Ucap Mas Surya enteng.
" Tapi Mas, bagaimana dengan kebutuhan Anak Kita" Ucapku kecewa.
" Anak Kita harus di ajarkan hidup susah agar tak manja jika besar nanti" Ucap Mas Surya berasalan.
" Bukankah Mas mampu untuk menafkahi Kami. Tapi mengapa Mas mengabaikan tanggung jawab itu" Ucapku memberanikan diri untuk mengeluarkan uneg- uneg.
" Kamu bilang Aku tak bertanggung jawab? Kamu sadar dengan apa Kamu ucapkan! Aku membanting tulang bekerja siang dan malam dan hasilnya Ku serahkan padamu. Kamu hanya bisa menikmatinya tanpa perlu Kamu bekerja keras sepertiku" Jelas Mas Surya menyudutkanku.
" Bukankah tugas laki-laki mencari Nafkah, dan bertanggung jawab atas kebutuhan Keluarganya Mas" Ucapku berani angkat bicara namun masih dengan nada yang pelan.
" Aku sudah melakukannya dan Kamu adalah Wanita yang tak pernah bersyukur dan selalu menuntut. Kamu keberatan jika Aku berbakti dengan Orang Tuaku?" Ucap Mas Surya tak mau mengalah.
" Aku tak pernah melarang Mas untuk berbakti karena Laki- laki harus bertanggung jawab atas Ibunya. Namun yang Aku inginkan dari Mas Surya adalah bersikaplah yang adil. Penuhi kebutuhan Kami Keluarga kecilmu. Hanya itu, dan Aku tak pernah menuntut apapun darimu meskipun Nafkah itu adalah termasuk tempat tinggal. Karena Aku tak ingin membebankan fikiranmu Mas" Terangku panjang lebar. Sudah cukup rasanya Aku diam membisu jika disalahkan dan disudutkan seperti ini.
"Aarrggh. Bicara denganmu sama saja ingin membunuhku" Ucap Mas Surya beranjak bangun dan keluar dari kamar.
Aku tak tahu lagi dengan cara apa Aku harus menjelaskan pada Mas Surya agar Dia mengerti. Hanya Doa yang bisa menembus hatinya yang telah tertutup rapat.
Aku sangat lelah dan butuh beristirahat. Beruntunglah Bayiku Zaki adalah Anak yang tak rewel. Zaki hanya menangis jika ingin menyusu, Pup dan Pipis. Semenjak kecil Zakiku tak pernah sakit semoga Allah tak memberikan ujian itu padaku. Karena jika Zaki sakit Aku tak bisa berbuat apa-apa. Mengandalkan Keluarga Suamiku sama saja mengharapkan Bulan jatuh dari Awan.
Mataku terpejam dengan sendirinya, Entah sudah berapa jam Aku tertidur. Aku tersadar saat Bayiku menggeliat minta Menyusu. Rupanya Mas Surya belum masuk ke dalam Kamar. Padahal Jam sudah menunjukkan pukul Dua malam. Setelah Zaki kembali tertidur Aku bangkit keluar dari kamar melihat keberadaan Mas Surya. Ku edarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sudah sangat sepi. Ku lihat Mas Surya meringkuk tidur di atas Kursi panjang di sudut Ruang Tengah tanpa selimut. Aku kembali masuk ke dalam Kamar guna mengambil selimut untuk Mas Surya. Ketika Aku menyelimuti Tubuhnya nampak Ponsel Mas Surya berkedap- kedip tanpa suara. Ku lihat di layar Ponselnya dengan Nama My Darling Calling. Jujur selama ini Aku tak pernah menyentuh Ponsel Mas Surya. Tapi kali ini Aku ingin tahu Siapa itu My Darling. Dengan pelan Aku mengambil Ponsel Mas Surya dan membawanya masuk ke dalam Kamar.
Saat Panggilannya Ku angkat Ponselnya keburu mati. Aku bersabar menunggu panggilan lagi dan tak lama Nama itu menelpon lagi.
" Hallo, Sayang. Lama banget angkatnya?" Jawab Seorang Wanita dengan manja dari seberang sana.
" Hallo, Sayang. Ngomong dong! Aku kangen Kamu" Ucapnya lagi. Dadaku bergemuruh naik turun. Aku tak menyangka Mas Surya telah berani menghianatiku. Bagiku tak mengapa Aku seperti perempuan bodoh yang selalu di hina dan tak di hargai. Tapi Aku tak terima jika Aku di hianati seperti ini. Mas Surya sudah berani bermain api. Sikapnya yang dingin kepadaku rupanya karna sudah ada Wanita lain di hatinya. Hanya saja Aku Wanita yang bodoh dan tak pernah curiga dengan sikap Mas Surya yang berubah. Tak lama notifikasi Whatsap Mas Surya masuk. Sebuah Chat dari My Darling.
[ Sayang, Uang belanjaku sudah habis. Aku perlu uang Satu Juta untuk ke Salon besok] Isi Chat dari Wanita yang bernama My Darling.
Hatiku semakin sakit membaca isi Chat perempuan itu. Sudah terlanjur Aku mengetahui kebusukan Mas Surya, hingga Aku berani membuka semua isi Ponselnya. Mengotak- atik Media Sosial dan Galeri Ponselnya. Ku temukan Foto Screen Shot Resi pengiriman uang Seminggu yang lalu. Jumlah uang Transferan itu berjumlah Satu Juta Rupiah yang dikirimkan kepada Nindiana. Siapa Perempuan ini. Mungkinkah My Darling itu adalah Nindiana. Aku kembali mencari bukti. Ku temukan lagi Chatnya bersama Seseorang sepertinya Lelaki ini adalah Teman kerjanya.
[ Bro, jadi nggak bayarnya] Chat dari Aldi. Ku tahu Namanya dari Kontak yang tertera.
[ Uangku semuanya di pegang Istriku Bro]
[ Hahaha, hari gini gaji 10 juta di pegang Istri? Suami takut Istri Lho!] Ejek Aldi pada Suamiku.
Aku membelalakkan mata melihat Nominal jumlah gaji Mas Surya yang di sebutkan Aldi Temannya.
UHUK UHUK UHUK UHUK
Mas Surya terbatuk dan Aku mengintip dari balik pintu. Aku sangat tegang ketika Mas Surya terjaga. Aku takut jika Mas Surya akan mencari keberadaan Ponselnya. Setelah Mas Surya tertidur lagi Aku pun bergegas meletakkan Ponselnya kembali dan tak lupa menghapus Chat beserta panggilan masuk dari My Darling. Agar nantinya Mas Surya tak merasa curiga Ponselnya Aku cek.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!