"Ijin.. Terima kasih banyak Kapten"
"Sama-sama. Sudah cepat sana kamu main voli. Biar Lahar sama saya..!!"
"Siap"
Si kecil Lahar memang selalu tenang saat bersama Bang Panca.
:
"Ini hari pertama Mama mu masuk kerja setelah cuti melahirkan jadi kamu harus bantu Mama biar Mama semangat kerja..!!"
Baby Lahar seakan tersenyum mengerti ucapan Bang Panca.
"Kamu anak yang kuat. Laki-laki harus kuat, tidak boleh nangis, tidak boleh banyak mengeluh..!! Tooss dulu donk Bang..!!" Bang Panca menyatukan tangannya pada tangan kecil baby Lahar yang kini sudah berusia delapan puluh hari. "Waduuhh pakai sarung tinju segala." Tawa Bang Panca terdengar renyah.
Bang Panca dengan percaya diri menggendong Baby Lahar kesana kemari bagai putranya sendiri, sungguh sejak kelahiran Baby Lahar hatinya sangat gembira, seakan mendapatkan dunia baru.. rasanya hari-hari menjadi penuh warna.
prrrtttt..
"Astagaaa.. k*n**t segala. Kita laki-laki harus jaga wibawa.. disini banyak cewek Bang..!! Gengsi lah sedikit" bisik Bang Panca seakan sudah menanamkan jiwa 'kelelakian' sejak dini.
"Waaahh.. anaknya lucu sekali. Namanya siapa Pak?" Seorang ibu dari Matra lain menyapa Bang Panca karena melihat gemuknya Baby Lahar.
"Alhamdulillah Bu. Namanya Lahar Raksa." Jawab Bang Lahar.
"Mirip sekali sama Papanya"
Bang Panca hanya tersenyum, tidak hanya satu atau dua orang saja yang mengatakan jika Lahar sangat mirip dengannya. Bahkan saat dirinya mengajaknya ke Mess, beberapa orang rekannya pun sempat merekam kemiripan kelakuan dirinya dan baby Lahar saat tidur.
"Ngomong-ngomong Mamanya yang mana Pak?" Tanya ibu itu semakin penasaran.
"Yang sedang main volly, di lapangan beralas rumput." Jawab Bang Panca lagi.
"Ooohh ya ampun, Mamanya anggota ya Pak?"
"Iya Bu"
"Mama dan Papanya adalah orang yang hebat. Kamu pasti akan jadi pria yang hebat juga Nak."
"Aamiin.. terima kasih banyak Bu"
~
Bang Panca memegangi botol susu Baby Lahar. Matanya terus memperhatikan paras wajah si kecil Lahar. "Apa benar kamu mirip dengan saya? Apa semua itu karena saya terus berada di samping Mama mu?" Gumam Bang Panca. "Tapi kau harus tau.. ada sosok om-om yang lebih mirip denganmu, bahkan gaya bangun tidurmu..!!"
Ingatannya kembali pada masa sebelas bulan yang lalu. Saat tragedi gugurnya Mayor Anumerta Jenar.. suami Lintar. Ayah kandung dari Lahar Raksa, bayi yang sangat ia sayangi.
"Andaikan takdir saya tidak seperti ini, saya akan memberanikan diri untuk menikahi Mama mu. Tapi saya ini tidak layak untuk mendampingi Mama mu yang luar biasa. Mama mu berhak bahagia bersama laki-laki yang sehat dan normal"
Tak lama berselang, Lintar datang dan seperti biasanya.. putra semata wayangnya tertidur lelap dalam asuhan Kapten Panca. "Ijin Kapten, Lahar tidur lagi?"
"Iya, saya buatkan susu dan dia langsung tidur. Pintar sekali" jawab Bang Panca dengan senyumnya.
"Lain kali biar saya ajak bibi. Kapten juga pasti punya kegiatan." Kata Lintar.
"Nggak apa-apa. Saya senang main bersama Lintar."
Saat itu datang seorang pria berpangkat Kapten mendekati mereka. "Weehh.. si gembul tidur?" Sapa pria tersebut. Dia adalah Kapten Satria.
"Selamat sore Kapten..!!"
"Selamat sore Lintar." Jawab Bang Satria sekenanya karena dirinya tau Bang Panca menaruh perasaan lebih pada Lintar.. janda muda cantik jelita. "Kalau sudah selesai kegiatan segera pulang, kasihan Lahar.. ini sudah menjelang Maghrib..!! Seharian kamu di kantor. Anakmu capek." Kata Bang Satria.
"Baik Kapten..!!"
"Kamu pulang sama siapa?" Tanya Bang Panca.
"Ijin.. berdua saja dengan Lahar naik motor" jawab Lintar.
"Kamu tolong antar Lintar Bro, saya naik motor.." pinta Bang Panca.
"Begini saja, kamu bawa mobilku.. kamu antar Lintar..!!" Saran Bang Satria.
"Ijin Kapten Panca.. Kapten Satria.. saya bisa pulang sendiri."
"Saya tau Lintar, tapi ini sudah menjelang Maghrib. Anakmu masih terlalu bayi"
Seperti biasa Kapten Satria akan selalu bernada datar tapi sikap dinginnya masih terasa aura perhatian.
"Oke Sat.. aku bawa mobilmu ya" kata Bang Panca.
Bang Satria mengangguk dan hanya tersenyum saja mendengarnya.
Lintar melirik arah pandangan Bang Satria yang terus tertuju pada putra semata wayangnya.
"Ijin Kapten. Kami pulang dulu. Terima kasih banyak bantuannya..!!" Pamit Lintar.
"Iya.. jaga anak baik-baik..!!"
Sekilas pandang mata mereka saling menatap sampai Lintar berbalik badan dan meninggalkan Bang Satria tanpa menoleh lagi.
.
.
.
.
Cek respon, tidak bisa up setiap hari. Harap maklum ya kak readers yang baik🥰🥰😘😘🙏🙏
.
.
.
.
"Terima kasih banyak Kapten..!!" Ucap Lintar saat Bang Panca mengantarnya sampai ke depan rumah.
"Sama-sama Lintar. Oiya, kamu baru saja melahirkan.. tapi ada nama mu tercantum dalam pratugas minggu depan" kata Bang Panca.
"Siap Kapten, saya pahami resiko seorang abdi negara."
"Bagaimana dengan anakmu?" Tanya Bang Panca.
"Mama dan Papa akan menjaganya."
Bang Panca mengangguk. "Saya dan Satria juga ikut pratugas"
...
"Oya, waahh.. bisa gencar dekatin Lintar donk ya..!!" Bang Satria menepuk bahu sahabatnya yang memang menyimpan perasaan pada janda muda itu. "Kapan mau melamar?"
"Kamu tanya atau meledek. Kamu tau keadaanku." Jawab Bang Panca.
"Kalau memang cinta.. apapun itu tidak akan menjadi masalah." Kapten Satria Tambar Rumaga membesarkan hati Bang Panca.
"Tidak memiliki anak adalah hal yang paling menyakitkan Sat, aku tidak bisa memberikan keturunan untuk istriku. Apa gunanya aku sebagai laki-laki"
"Anak memang penting dalam rumah tangga tapi hal itu juga bukan menjadi faktor utama langgeng dan utuhnya sebuah rumah tangga." Jawab Bang Satria. "Yang jelas kalau membahas hal itu, kamu bisa melaksanakan tugas sebagai suami untuk memberi nafkah batin istri dan kamu mampu menjalankan fungsi dirimu sebagai laki-laki.. itu sudah cukup Pan"
Bola mata Bang Panca menyamping ke sudut dan mencerna segala ucapan littingnya itu. "Hampir satu tahun sejak kejadian gugurnya Jenar.. apa sungguh tidak ada rasa darimu untuk Lintar?" Selidik Bang Panca.
Senyum Bang Satria mengembang tipis. "Nggak"
"Kau bohong. Aku mengingat jejak perjuangan dan perhatian mu untuk Lintar." Kata Bang Panca.
Bang Satria menunduk mengingat saat gugurnya Kapten Jenar.
Flashback masa lalu.
"Biasakah Abang memimpin pemakaman untuk Bang Jenar?" Pinta Bang Panji saat itu.
Ekor mata Bang Panca melirik sosok yang sedikit menjauh dari area. Matanya terus memperhatikan Lintar yang menangis hingga tak sadarkan diri hingga sesaat kemudian Bang Satria memberi arahan agar Bang Panca mampu memimpin upacara pemakaman.
...
Bang Satria setia memayungi Lintar yang sekuatnya berusaha tegar dalam ribuan kesedihanya hingga akhirnya seorang Lintar tak sanggup juga merasa kehilangan dan tumbang menimpa Bang Satria.
"Kamu pegangi payungnya. Saya bawa istri almarhum ke ambulans..!!" Perintah Bang Satria pada ajudannya.
:
Lintar tak kunjung sadar, hanya nama 'Jenar' mengungkap kerinduan terdalam. Perpisahan tanpa pertikaian pasti menjadi saat yang paling menyakitkan untuknya.
Bang Panca mendengar perawat dan dokter mengeluh karena Bang Satria begitu posesif memberikan penjagaan untuk istri almarhum Kapten Jenar.
"Kau harus hati-hati perhatikan betul keadaan Bu Lintar. Tadi saya menancapkan jarum di tangan Bu Lintar dan Bu Lintar menangis dalam kondisi tidak sadar, saya di maki habis-habisan sama Pak Satria"
"Kenapa kamu ceroboh. Pak Satria memang pria yang keras dan dingin" kata rekannya.
Bang Panca sampai ternganga karena sejak kekasih Bang Satria meninggalkan nya, tak pernah sedikitpun pria itu memberi perhatian pada wanita lain. "Apa Satria suka sama Lintar?" Gumamnya penasaran. Langkah kakinya pun berjalan cepat menuju ruang rawat Lintar.
~
"Saya sudah bilang di cek.. cek.. dan cek lagi..!! Tiga jam saya menunggu tapi Lintar belum sadar. Kalian tau nafasnya patah dan pendek tapi tidak ada tindakan apapun dari rumah sakit ini. Lintar sedang mengandung, kalian juga tidak konfirmasi soal pemberian obat tersebut"
Saat itu ada tangan yang menyapa Bang Panca. "Ada apa Pan??"
Bang Panca menoleh dan berapa terkejutnya dirinya saat melihat sosok Dan Rakit ada di belakangnya. "Selamat sore Komandan"
"Iya selamat sore. Ada apa kamu mengintip kamar putri saya?" Tegur Pak Rakit.
"Siap.. hmm.."
"Bagaimana kerja kalian?? Panggil semua dokter yang menangani Lintar..!!"
Suara Bang Satria sampai terdengar di luar ruangan.
Papa Rakit pun melongok melihat ke dalam kamar. "Ada apa sih ribut didalam?" Gumamnya. "Lho itu khan Satria, kenapa marah di ruangan Lintar????"
//
Papa Rakit tersenyum mendengar penjelasan pihak rumah sakit atas keributan yang terjadi di dalam kamar rawat Lintar. Kelakuan Satria memang keterlaluan, tapi jelas amarahnya itu terpicu karena Lintar tak kunjung sadar karena dokter memberinya obat tidur padahal Lintar sedang hamil.
"Saya bingung Pak. Pak Satria seperti suaminya saja yang meributkan hal ini itu" kata dokter tersebut mengeluh.
"Atas nama Satria saya mohon maaf, tapi saya juga tidak bisa ikut campur dengan kepanikan nya." Jawab Papa Rakit.
Para petugas medis mati kata mendengar jawaban Dan Rakit. Tapi tidak dengan Bang Arsene dan Bang Panji.
"Apa-apaan sih Pa. Satria salah"
"Nanti kita bicara..!!" Papa Rakit merendahkan suaranya. "Mama masuk ke kamar dan temani Lintar.."
"Iya Pa" Mama Fia segera berjalan masuk ke kamar Lintar.
~
"Posisi Papa, persis seperti Satria" Papa Rakit membuka pembicaraan nya. "Papa bukan tidak memahami situasi Lintar yang baru saja di tinggal 'pergi' suaminya.. Papa pun tau Lintar pasti kuat. Tapi mental manusia tidak ada yang tau, Papa hanya menjaga hal dan juga bayi yang ada dalam kandungan Lintar"
Kedua Abang Lintar itu akhirnya mengerti maksud dari Papanya. "Satria orang yang baik Pa. Selanjutnya biar tangan Tuhan yang menentukan."
"Bagaimana dengan Bang Panca?" Tanya Bang Panji.
Papa Rakit dan Bang Panji menatap mata Bang Arsene menunggu penjelasan.
.
.
.
.
Empat bulan kemudian.
"Kamu berikan saja susu ini untuk Lintar..!!" Bang Satria menyerahkan beberapa kotak susu ibu hamil"
"Ini banyak sekali Sat. Waktu itu kamu juga beli banyak" Bang Panca menerima satu kantong plastik berisi susu ibu hamil dan banyaknya camilan.
"Nggak apa-apa. Susunya Lintar pasti sudah habis. Kalau Lintar tanya bilang saja kamu yang beli" kata Bang Satria.
"Kenapa harus begitu???"
"Ya karena kamu nggak gerak Pot, katanya kamu cinta sama Lintar. Mana usahamu??" Tegur Bang Satria.
"Aku bukannya nggak berani pot, aku malu pada diriku sendiri. Aku merasa tidak berguna sebagai laki-laki" jawab Bang Panca.
"Kamu belum coba. Jangan pesimis..!! Apa salahnya kamu berusaha" Bang Satria berusaha menyemangati Bang Panca.
"Baiklah, aku akan mencobanya..!!"
Senyum Bang Satria mengantarkan langkah Bang Panca.
Saat itu Dan Rakit dan Bang Arsene litting Bang Satria mendekati Bang Satria.
"Kenapa kamu lakukan itu??" Secara keras Bang Arsene bereaksi terhadap sikap Bang Satria.
Bang Satria memberi penghormatan pada Dan Rakit. "Selamat siang komandan" ucapnya tanpa memperdulikan ucapan Bang Arsene.
"Saya bicara sama kamu Sat..!!!!!!!"
Papa Rakit menahan bahu Bang Arsene yang sudah mengepalkan tangan dengan geram.
"Ayo kita ngopi dulu..!!" Ajak Papa Rakit.
:
"Siap.. tidak berani Dan..!!"
"Saya tidak paham, siapa yang pengecut di antara kalian. Tapi putri saya bukan mainan dan saya tidak ingin putri saya menjadi bahan mainan. Nasibnya sudah buruk, Lintar terlalu banyak menangis. Jangan kamu tambah lagi tangisnya" ucap Papa Rakit dalam keadaan tenang.
"Apa alasanmu berbuat seperti itu?? Saya tau sejak meninggalnya Jenar kamu selalu ada di 'belakang punggung' Lintar. Tapi kenapa kamu tidak berjuang, kamu malah membantu Panca. Apa gunanya nama Satria jika sikapmu tidak satria" Tak sabar lagi, Bang Arsene meluapkan emosinya.
"Karena sejak awal, sebelum Lintar menikah dengan Jenar.. kau sudah jatuh hati sama dia. Hanya saja saat itu kamu sedang penugasan ke Papua selama sembilan bulan"
"Berati Lintar bukan jodohku" jawab Bang Satria ringan.
Bang Arsene yang terkenal kalem sampai meradang mendengar jawaban litting sekaligus sahabat kentalnya itu.
Papa Rakit menepuk bahu putra 'pertama'nya. Papa Rakit tau betul kalau Arsene sangat menyayangi Lintar. "Arsene.. tenang dulu le. Setiap manusia pasti memiliki alasan untuk tindakannya. Kamu jangan mendesak dan memaksa. Kita ini pria, pasti sedikit banyak memahami pemikiran pria. Jodoh atau tidak jodoh itu urusan yang di atas. Tapi ingat.. jarak berhalang lautan jika Tuhan sudah menggariskan, dia akan kembali padamu.. bagaimana pun caranya"
Flashback off..
"Aku tau kau juga suka sama Lintar" kata Bang Panca.
Bang Satria tersenyum saja mendengarnya.
"Lintar belum ada yang punya.. kau juga tidak ada rasa, jadiii.. aku mau melamarnya." Ucap tegas Bang Panca.
"Jaga dia baik-baik. Jangan membuatnya menangis..!!" Pesan Bang Satria.
\=\=\=
Lintar menciumi wajah Lahar. Tangisnya pecah harus berpisah dengan putra semata wayangnya.
"Lahar jangan nakal ya nak. Nurut sama Oma dan Opa. Mama pergi cari uang untuk Lahar" sesenggukan tangisnya ikut membasahi wajah lahar.
Putra kecilnya itu mencebik seakan paham perasaan ibunya.
"Jangan di tangisi..!! Lahar bisa merasakan apa yang kamu rasakan..!!" Pesan Papa Rakit. "Dulu Papa tidak pernah menoleh lagi saat akan berangkat tugas. Papa matikan perasaan agar tidak mengingat Bang Arsene, Bang Panji juga kamu. Tapi seorang ayah tetap merasa berat meskipun Papa tidak merasakan membawamu selama sembilan bulan dan tidak melahirkan mu, tapi di setiap desir darah kalian.. ada Papa yang selalu sayang anak-anak Papa."
Lintar mengerti maksud Papanya.
"Berangkatlah.. Lahar pasti baik-baik saja bersama Papa dan Mama." Mama ikut menentukan Lintar.
Mata Papa Rakit mengarahkan agar Bang Panca dan Bang Satria mengajak Lintar untuk segera naik ke atas pesawat.
"Serda Lintar, sudah waktunya berangkat..!!" Bang Satria mengingatkan Lintar.
Bang Panca membantu Lintar menarik koper. "Biarkan Lahar bersama didikan Opa dan Omanya yang hebat. Semua akan baik-baik saja."
Lintar berjalan menjauh tanpa menoleh lagi. Disana dengan cepat Bang Satria mendaratkan sekilas ciuman di pipi baby Lahar. "Saya akan jaga Mama mu" bisiknya di balik kacamata hitam itu, ada setitik tangis yang ia sembunyikan kemudian segera berjalan menyusul rekannya.
"Pa.. Satriaa......" Mama Fia ikut berbisik di telinga Papa Rakit.
"Papa sudah tau Ma"
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!