Malam penuh dengan suara desa*han, mereka beradu berbaur menjadi satu. Menekan lebih dalam, memberikan rasa nikmat satu sama lain.
Hingga dua insan tersebut sampai di puncak pelepasannya. Mereka terengah dengan tubuh yang basah oleh keringat.
Kecupan di kening Alishia sebagai akhir dari permainan mereka untuk malam ini.
"Maaaas," panggil Alishia dengan nada merengek. Ia memperhatikan Mirza yang tengah memakai baju, tanpa mengindahkan panggilannya.
Mirza sudah rapi dengan pakaiannya, ia mendekat ke arah tempat tidur. Hatinya menghangat melihat bibir Alishia yang mengerucut.
"Iya, sayang." Tangan Mirza menarik selimut untuk menutupi tubuh polos Alishia.
"Aku .... kayaknya besok aku gak bisa datang ke pernikahan kamu," ucap Alishia dengan nada yang ia buat setenang mungkin.
Mirza duduk di pinggiran tempat tidur, ia mengecup bibir Alishia. "Iya, sayang tidak apa-apa ... aku pulang dulu ya, takut mereka cari aku."
Alishia mengangguk, ia menatap punggung Mirza yang hilang di balik pintu. Satu butir air mata meluncur dari kelopak Alishia.
***
Siang itu Alishia sedang bermain telepon genggamnya. Ia memperhatikan beberapa teman kantornya yang membuat posting foto mereka yang sedang menghadiri acara pernikahan CEO tempat ia bekerja.
Embusan nafas kasar keluar dari mulut Alishia, ia berjalan menuju dapur. Alishia duduk di pantry dengan satu botol anggur dan gelas bening yang ia simpan di atas meja.
Alishia menuangkan anggur tersebut ke dalam gelas, lalu meminumnya dalam satu kali tenggak. Ia kembali melirik telepon genggamnya yang menampilkan wajah bahagia Mirza.
Hati Alishia berdenyut. Ia menenggak anggur dari botolnya langsung.
Alishia merasa melayang, ia menertawakan dirinya yang begitu menyedihkan.
"Lo memang bego Alishia!"
Setengah sadar Alishia mendengar suara telepon berdering, ia menerima panggilan tersebut tanpa melihat siapa yang memanggilnya.
"Apaan sih ganggu aja," teriak Alishia.
"Tata, gue di depan." Alishia masih ingat suara seseorang di seberang sana yang meneleponnya, Jihan.
"Bentar." Tanpa sengaja Alishia melempar ponselnya, ia berjalan ke ruangan depan. Lalu membuka pintu apartemennya.
"Masuk!"
Jihan menggelengkan kepalanya, ia sudah menduga bahwa sahabatnya lebih memilih menenggak minuman dari pada datang ke acara pernikahan Mirza.
"Lo mau minum?" ucap Alishia menawari temannya.
Jihan menggeleng. "Udah dong, jangan minum lagi," ucap Jihan sambil merebut anggur yang akan di minum Alishia.
Jihan menatap botol anggur yang di pegangnya, tinggal seperempat botol.
"Kurangnya gue apa sih, Han?"
"Lo cantik Alishia," jawab Jihan. Dia tidak berbohong, Alishia memang cantik. Tubuhnya bak gitar spanyol, tinggi, memiliki wajah keturunan indo-arab.
"Tapi Mirza nikahnya sama cewek itu bukan sama gue,"lirih Alishia.
Tidak lama Jihan mendengar Alishia tertawa persis seperti orang tidak waras. Miris sekali melihat sahabatnya sendiri dalam keadaan terpuruk seperti ini, namun Jihan tidak bisa membantu Alishia keluar dari zona nyamannya.
Banyak celotehan yang keluar dari mulut Alishia, Jihan hanya duduk dan mendengarkan. Ia harus memastikan Alishia tidak melakukan hal nekat, apalagi sampai bunuh diri. Jihan tidak ingin itu terjadi, "Kita ke kamar yuk Ta, lo istirahat dulu."
Alishia menggeleng, ia meraih botol yang di pegang Jihan dan menenggaknya sampai tandas tak bersisa.
Jihan sudah sabar menunggu Alishia yang berceloteh tidak jelas arahnya ke sana kemari akibat alkohol yang di minumnya. Ia melirik jam di tangannya sudah menunjukkan pukul enam sore, berarti sudah tiga jam dia duduk dan menemani sahabatnya.
"Ke kamar yuk," ajak Jihan.
Meskipun tidak mendapat respons dari Alishia, Jihan tetap memapah tubuh Sahabatnya sampai kamar.
Jihan bernafas lega setelah membaringkan Alishia, ia sedikit kepayahan karena sahabatnya benar-benar sudah mabuk dan kehilangan kesadaran.
'Hooeeek'
Jihan menghela nafasnya melihat Alishia yang muntah di tempat tidur. Sura dering telepon menggema di kamar tersebut ternyata suaminya yang menelepon.
"Iya sayang ada apa?"
"......"
"Iya, aku pulang sekarang."
Jihan menutup teleponnya, ia memandangi tubuh Alishia yang masih mengeluarkan isi perutnya. Bahkan kini tempat tidurnya penuh dengan cairan lendir yang menjijikkan.
Jihan di minta suaminya untuk segera pulang, karena putra mereka yang baru berusia 4 bulan rewel. Tapi Jihan tidak mungkin meninggalkan Alishia sendirian dengan keadaan seperti ini.
Jihan bingung, ia tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa karena Alishia yatim piatu dan semua saudaranya ada di kampung.
Jihan menatap layar ponselnya, ia ragu untuk menelepon Mirza. Tapi tidak ada lagi pilihan lain, akhirnya ia menelepon Mirza.
Pada dering ketiga akhirnya sambungan terhubung.
"Pak."
[Iya]
Jihan melirik Alishia yang terlihat lemas, karena memuntahkan isi perutnya.
"Alishia mabuk, sekarang ia muntah. Tapi saya tidak bisa menemaninya lebih lama lagi, anak saya rewel di rumah."
[Tunggu sebentar, saya ke sana!]
"Baik Pak," jawab Jihan. Tidak ada cara lain, meskipun ia merasa berdosa karena menyuruh suami orang mendatangi apartemen perempuan lain di hari pernikahannya.
Jihan sudah menunggu lima belas menit, akhirnya Mirza datang dengan wajah khawatir. Miris sekali melihat perhatian yang di berikan Mirza sungguh luar biasa, tapi mereka tidak bisa bersama seutuhnya.
"Pak saya pamit pulang." Melihat anggukan Mirza, Jihan keluar dari apartemen Alishia dengan perasaan sedikit lega.
***
Alishia terbangun karena tepukan pelan di pipi kirinya, ia mencoba membuka kelopak matanya.
Kepalanya sedikit berdenyut, entah halusinasi atau apa tapi ia melihat Mirza berada di depannya.
Alishia tidak menahan air matanya yang keluar, ia sudah gila sepertinya. Mana mungkin Mirza ada di apartemennya, seharusnya pria itu tengah menikmati malam pengantin bersama istrinya.
"Sayang, jangan menangis."
Tangis Alishia semakin kencang, mungkin besok ia harus segera ke psikiater. Namun belaian lembut di pipinya, menyadarkan Alishia bahwa ini bukan halusinasi.
Ia menggosok kelopak mata menggunakan tangannya. Namun tangan tertahan oleh tangan kekar Mirza.
"Matamu bisa iritasi jika menggosoknya seperti itu."
Manik mereka saling menatap satu sama lain.
Setelah sadar bahwa Mirza benar-benar nyata, Alishia menghambur ke pelukan Mirza. Hati Alishia menghangat saat merasakan tangan Mirza yang membalas pelukannya.
"Makan dulu ya, tadi kamu muntah banyak banget. Kasihan perut kamu kosong," ujar Mirza dengan suara lembut.
Alishia melepaskan pelukannya, ia memperhatikan Mirza yang membawa nampan berisi satu mangkuk bubur dan segelas air putih.
Alishia menerima setiap suapan yang di berikan Mirza, dia senang pria yang ia cintai memberikan perhatiannya saat Alishia membutuhkannya.
"Satu suap lagi." Mirza mendekatkan sendok ke mulut Alishia.
"Mas udah, aku kenyang."
Mirza menyimpan mangkuk bubur dan mengambil gelas berisi air putih dan membantu Alishia meminumnya. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, yang menunjukkan pukul sepuluh malam.
Beberapa kali dering ponsel Mirza bergetar di saku kemeja yang ia pakai, saat di lihat ibunya yang menelepon.
"Kamu tidak papa kan aku tinggal sendiri?"
Wajah Alishia murung mendengar ucapan Mirza.
"Sayang," Mirza membelai lembut pipi Alisha. "Aku harus pulang, kalau aku masih di sini akan terjadi masalah besar," ungkap Mirza mencoba memberi pengertian pada Alishia. Meskipun dirinya masih khawatir meninggalkan Alishia sendirian, saat kondisinya seperti ini tapi risikonya besar jika ia tidak kembali di malam pengantinnya.
Alishia memalingkan wajahnya, "Iya, hati-hati."
Mirza mengatupkan bibirnya. Dia tahu Alishia tidak mengizinkannya pulang, tapi ia tidak ingin semuanya menjadi runyam jika dirinya masih diam di sini bersama kekasihnya.
Mirza mengacak puncak kepala Alishia, "Kamu baik-baik di sini, jangan bikin aku khawatir. Aku janji besok akan menemani kamu seharian."
Telepon Mirza kembali berdering, ia menempelkannya ke telinga sambil berjalan ke luar.
Semalaman Alishia tidak bisa tidur sama sekali, kepalanya di penuhi dengan pikiran Mirza yang melakukan kegiatan panas bersama istrinya.
Pikiran overthingking terus berputar di kelapalanya. Alisha geram dan semua rasa takut terus menghantui hatinya.
Lo cantik, bahkan lebih seksi dari pada istrinya Mirza. Jadi yakin aja Mirza enggak mungkin lupain hubungan kalian hanya karena ia sudah menikah.
Hanya itu kata-kata yang keluar dari pikirannya, yang mampu meyakinkan Alishia. Pada pukul enam pagi Alisha baru bisa terlelap.
Di tengah mimpi indahnya, Alishia merasakan seseorang yang memeluknya dari belakang. Ia tidak membuka kelopak matanya, karena rasa kantuk.
Mirza tersenyum melihat Alishia yang terlelap di dalam pelukan hangatnya. Dilihat dari bawah mata Alishia yang menghitam, Mirza sudah bisa menebak bahwa Alishia tidak tidur semalaman.
Mirza ikut memejamkan matanya, semalam ia kurang tidur karena memikirkan keadaan Alishia. Ia takut Alishia melakukan hal gila yang mengancam nyawanya.
Pukul dua belas siang Mirza bangun lebih dulu, ia mengecup bibir Alishia yang masih tertidur.
"Bangun sayang."
Alishia mengulas senyum saat mendengar suara Mirza, matanya berbinar melihat Mirza ada di hadapannya. Ia merasakan belaian lembut di pipi kanannya.
"Sayang." Mendengar panggilan Mirza, pipi Alishia merona.
Alishia memeluk Mirza erat, pria di hadapannya selalu berhasil membuat jantungnya berdetak tidak karuan.
"Jangan pernah tinggalin aku," lirih Alishia.
Mirza meraup pipi Alishia menggunakan kedua tangannya, ia menatap manik Alishia lekat.
"Kamu tidak akan pernah kehilangan aku sayang," ujar Mirza dengan nada lembut mencoba meyakinkan Alishia.
Hati Alishia menghangat, senyuman muncul di bibir ranum Alishia.
Gemas melihat pemandangan di depannya Mirza melahap bibir Alishia, menyesap satu sama lain menikmati penyatuan bibir mereka. Mirza melepaskan diri lebih dulu, karena gairahnya bergejolak sementara hari ini ia harus melakukan rencana yang ia susun untuk Alishia.
"Kenapa?" tanya Alishia dengan raut wajah murung.
"Mandi dulu sana, aku mau bawa kamu ke suatu tempat."
Alishia memilih mengalah, ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
***
Sudah satu jam Alishia duduk dan bokongnya terasa panas. Ia bergerak gelisah mencari posisi nyaman.
"Kenapa, penggel?"
Alishia mengangguk mendengar pertanyaan Mirza. "Kita mau ke mana sih Mas, masih jauh gak?"
Mirza menghentikan mobilnya di kafe pinggir jalan. "Istirahat dulu, soalnya masih lumayan perjalanannya."
"Memangnya mau ke mana?" Alishia masih bertanya karena Mirza tidak mau memberi tahu ke mana mereka akan pergi.
"Suatu tempat," jawab Mirza sambil tersenyum misterius.
Alishia memukul bahu Mirza, "Awas ya mengecewakan tempatnya, pantat aku udah panas gini demi suatu tempat." Alishia sengaja menekan kata suatu tempat bermaksud menyindir Mirza.
Mirza terkekeh pelan, ia mengacak puncak rambut Alishia.
Alishia mengerucutkan bibirnya, satu hal yang ia tidak suka dari Mirza adalah pria itu selalu menganggap dirinya anak kecil. Padahal sekarang umur Alishia sudah berumur dua puluh empat tahun.
"Mas kebiasaan deh," ketus Alishia. Ia membuang muka ke arah jendela sambil merapikan rambutnya yang berantakan ulah Mirza.
Mirza turun dari mobil, ia memutari mobil dan membukakan pintu untuk Alishia. Tetapi wanita itu malah diam saja, "Ayok sayang."
Mirza tidak heran melihat tingkah Alishia marah, wanita itu memang senang merajuk.
"Gak mau turun? Ya sudah aku kunci ya mobilnya. Soalnya aku lapar mau makan, pasti lama dan aku tidak ingin mobilku di curi orang jika tidak di kunci."
Tidak ada gerakan sedikit pun dari Alishia, Mirza kembali menutup pintu mobil hendak menekan kunci mobilnya. Senyumnya mengembang melihat Alishia yang turun dengan wajah kesal, bibir mengerucut dan berjalan mendahuluinya.
Dengan cepat Mirza menekan tombol kunci pada mobilnya, lalu berlari mengejar Alishia. Tangannya menarik pinggang Alishia agar berjalan berdampingan.
Setelah memasuki kafe, Mirza dan Alishia tidak ada yang membuka percakapan sedikit pun. Mereka menikmati makan siang mereka dalam keheningan.
Setelah selesai makan siang mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak ada rasa curiga di hati Alishia saat mobil yang di kendarai Mirza memasuki jalan tol, satu hal yang ia tahu Mirza membawanya ke luar kota.
Sampai di kota kembang Alishia mengernyitkan dahinya, "Bandung?"
Mirza hanya tersenyum dan fokus melajukan mobilnya. Sampai di sebuah vila Mirza menghentikan mobilnya, ia keluar dari mobil di ikuti Alishia.
"Pantat aku sampai panas gini kita Cuma datang ke Vila?"
Mirza menarik tangan Alishia ke dalam genggamannya, lalu berjalan menuju pintu utama.
Alishia memandangi Vila dengan dinding yang menampilkan bata merah, pintu kayu jati, halaman depan yang di tanami tanaman serta kolam ikan yang tidak terlalu besar. Vila ini bisa di katakan tidak mewah dan megah, lebih ke gaya tradisional. Ada kursi bambu di samping pintu utama.
"Buka tanganmu."
Alishia mengikuti perintah Mirza, meskipun banyak tanda tanya di kepalanya.
Mirza mengeluarkan kunci dari sakunya lalu menyimpan sebuah kunci di tangan Alishia yang terbuka.
"Kunci?"
Mirza gemas melihat wajah Alishia yang terlihat kebingungan. "Iya buka pintunya, sayang."
Alishia menggigit kecil bibir bawahnya, lagi-lagi ia mengikuti perintah Mirza.
Pintu terbuka lebar, Alishia menatap lekat Mirza. "Mas ngapain menyewa vila segala, kalau mau main kita bisa main di hotel tidak perlu jauh-jauh ke Bandung," protes Alishia. Pantatnya panas selama perjalanan dan Mirza malah membawanya ke vila.
Mirza membawa Alishia duduk di ruang tamu, ia menggenggam tangan Alishia lalu mengecupnya.
"Hadiah untuk kamu yang dua tahun ini memberiku kepuasan."
Alishia memaksakan bibirnya untuk tersenyum, meskipun hatinya teriris. Sudah dua tahun Alishia menjadi pemuas gairah Mirza, sepertinya Mirza tidak memiliki perasaan cinta seperti dirinya.
Setiap sikap lembut Mirza selalu berhasil membuat hatinya berbunga-bunga, hingga satu tahun yang lalu Alishia menyadari bahwa ia mencintai Mirza. Ia berharap Mirza memiliki perasaan yang sama tapi semuanya pupus saat Mirza memberinya sebuah mobil sebagai bayaran. Bukan hanya itu semua kebutuhan Alishia, Mirza yang memenuhi. Meskipun ia bekerja menjadi sekretaris Mirza, tapi biaya hidupnya Mirza yang menanggung. Apartemen yang ia tempati milik Mirza yang beralih menjadi milik Alishia.
"Terima kasih," ucap Alishia pelan.
Mirza menangkup pipi Alisha, "Kamu senang sayang? Aku sudah memberikan semuanya untuk kamu."
"Kalau aku minta hati, boleh Mas?"
Mirza terkekeh, "Gak usah bercanda deh."
Dari jawaban Mirza Alishia bisa menemukan jawabannya, Mirza tidak memiliki perasaan sedikitpun. Bahkan lelaki di hadapannya mau menerima wanita yang di jodohkan oleh ibunya.
Harusnya Alishia sadar akan posisinya, mereka hanya teman yang saling memberikan kepuasan di atas ranjang. Bukan hanya itu Alishia mendapatkan keuntungan menjadi teman tidur Mirza.
Mirza menarik tangan Alishia untuk ikut bangkit dari duduknya. "Ayok, aku sudah siapkan pakaian yang membuatmu teramat mempesona."
Alishia tidak bisa tidur, ia melepaskan pelukan Mirza. Di tatapnya tubuh Mirza yang polos tanpa sehelai benang pun dengan keringat yang membasahi tubuhnya dan terlihat jelas di bagian kening Mirza.
Dengan pelan Alishia menyeka keringat Mirza di bagian kening menggunakan punggung tangannya. Mereka sudah melakukan kegiatan panas yang paling di senangi Mirza begitu juga dirinya.
Alishia berjalan ke kamar mandi. Ia memandangi tubuhnya yang penuh dengan tanda kepemilikan Mirza. Lingerie yang ia kenakan sudah tidak berbentuk karena robek di beberapa bagian.
Wajah Alishia terlihat dari pantulan cermin sama berkeringat seperti Mirza. Tapi yang membedakan wajah Alishia tampak sedih.
Pernyataan dirinya yang meminta hati Mirza hanya di tanggapi dengan candaan. Helaan nafas keluar dari mulut Alishia. Ia memilih merendam tubuhnya di bathtub dengan air hangat.
Aroma bunga mawar membuat Alishia sedikit melupakan masalahnya. Setelah selesai berendam dan membersihkan tubuhnya, Alishia kembali keluar dari kamar mandi dengan handuk kimononya.
Tepat saat Alishia berjalan menuju tempat tidur. Dering telepon milik Mirza terdengar di keheningan malam.
Alishia berjongkok di dekat celana Mirza yang tergeletak di lantai. Tangannya merogoh kantong celana Mirza, ponsel itu masih berdering panggilan masuk dari kontak yang di beri nama 'Istriku'.
Sampai layar ponsel itu menggelap Alishia hanya diam tanpa beraksi. Hatinya sedikit berdenyut, ia menekan nomor dirinya sendiri untuk melihat nomor kontak miliknya di beri nama apa oleh Mirza. 'Sekretaris Alishia' ternyata tidak lebih dari sekedar urusan kantor.
Tidak ada nama spesial yang di berikan Mirza untuknya, satu tetes butiran bening berhasil meluncur dari kelopak matanya.
Alishia berjalan menuju dapur mencari minuman dingin di lemari pendingin. Berharap menemukan minuman beralkohol tapi di sana hanya tersedia susu dan jus jeruk.
Alishia memilih jus jeruk, ia menenggaknya sampai tandas. Pikirannya tidak setenang ia meminum alkohol, Alishia merasa butuh pelarian. Pelampiasan yang membuatnya melayang dan melupakan masalahnya sejenak.
Ponsel Mirza yang dalam genggamannya kembali menyala. Menampilkan sebuah pesan masuk dari istrinya.
[Mas, dimana?]
[Pulang ya. Aku janji akan memuaskanmu dan tidak akan mengecewakanmu seperti kemarin.]
Alishia membanting ponsel Mirza ke lantai. Benda pipih tersebut tergeletak di lantai dengan keadaan mati dan layar pecah. Ia kembali ke kamar, lalu merebahkan tubuhnya di samping Mirza.
Mirza merasakan tempat tidur yang bergerak, ia mencium aroma khas tubuh Alishia yang selalu berhasil membangunkan sisi lelakinya.
Tapi ini bukan saatnya untuk bermain, ia harus mengumpulkan energi untuk kembali ke ibu kota. Mirza membawa tubuh Alishia ke dalam pelukannya. "Tidurlah, besok kita harus bangun pagi. Kamu harus kembali bekerja sayang."
Alishia memeluk erat tubuh Mirza dan memejamkan matanya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha meredam dadanya yang bergemuruh. Mencoba menikmati tubuh hangat Mirza dan pergi ke alam mimpi.
***
Pagi itu mobil yang di kendarai Mirza terparkir sempurna di depan perusahaannya. Ia menatap Alishia yang masih diam membisu dengan wajah kesalnya.
"Kamu tidak ingin terlambat sayang? Ini sudah pukul delapan tepat."
Helaan nafas keluar dari mulut Alishia, ia membuka pintu namun tangannya di tarik oleh Mirza. Ia hanya diam memperhatikan Mirza yang mengecup punggung tangannya. Rasa kesal semalam masih ada, di tambah ia harus bekerja sementara Mirza masih menikmati cuti pernikahannya.
Jujur Alishia cemburu, hatinya bergejolak membayangkan Mirza berduaan bersama istrinya.
Mirza melepaskan kecupan di tangan Alishia. "Sayang Mas pulang dulu, selamat bekerja." Tidak ada jawaban dari Alishia. Mirza memperhatikan punggung Alishia yang semakin menjauh.
Setelah memastikan Alishia masuk ke kantor, Mirza melajukan mobilnya menuju kediamannya. Tidak membutuhkan waktu lama mobil yang di kendarainya sampai di rumah besar yang ia beli sendiri dari kerja kerasnya.
Saat masuk ke dalam rumah Mirza melihat Anggun yang menyambut kedatangannya dengan senyum mengembang.
Anggun memang cantik, jika di bandingkan dengan Alishia mereka tidak ada duanya. Tetapi saat mencoba tubuh istrinya rasanya berbeda, lebih menggairahkan jika bersama Alishia. Bukan hanya itu kenikmatan itu serasa sempurna jika ia memompa tubuh Alishia. Dengan membayangkannya saja bagian bawah Mirza berhasil mengenang.
Sial, sayang kau mampu membuatku bergairah hanya dengan memikirkanmu . Gerutu Mirza di dalam benaknya.
"Nomor kamu tidak aktif saat aku telepon."
Ucapan Anggun lebih ke pernyataan. Mirza berjalan melewati Anggun, tanpa menjawab.
Anggun tidak tinggal diam, ia menarik lengan Mirza. "Sayang," rengek Anggun.
"Ponselku rusak. Terjatuh." Mirza menepis tangan Anggun dan berjalan menuju kamarnya, ia ingin beristirahat. Perjalanan dari Bandung cukup melelahkan.
Setelah puas beristirahat Mirza terbangun dari tidurnya. Ia memicingkan mata melihat Anggun yang mengenakan lingerie di hadapan.
Bagian bawahnya memang sedikit berdiri. Tapi dia tidak tertarik untuk mencobanya lagi. Meskipun Mirza beberapa kali memiliki teman tidur yang sudah tidak bersegel namun kemampuan serta rasa tubuh Anggun sangat buruk.
Ekspektasi Mirza salah. Dia kecewa di malam pengantin mereka ia mendapati Anggun sudah tidak bersegel, padahal di depan dirinya Anggun selalu di banggakan oleh kedua orang tua Mirza dan orang tua Anggun. Tetapi mengecewakan, tidak ada yang lebih spesial. Wanita penurut serta gelar perempuan yang tidak pernah berpacaran terbongkar oleh Mirza, semuanya topeng di atas panggung sandiwara.
Bagian bawah Mirza menegang saat mengingat ia mengambil segel suci milik Alishia. Hati kecil serta bagian bawahnya memberontak ingin menemui Alishia. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul empat sore, masih cukup untuk bersiap menuju kantornya menjemput Alishia.
Tangan Mirza terulur mengambil ponsel yang ada di dalam meja kecil di samping tempat tidur. Tidak masalah ponselnya hancur karena Alishia, ia masih memiliki ponsel cadangan.
[Tunggu! Aku akan menjemputmu sayang]
Pesan singkat yang di kirim oleh Mirza membuat bibir Alishia mengembang.
[Oke, Mas]
Setelah mendapat balasan dari Alishia. Mirza bangkit dari tempat tidur tanpa memedulikan Anggun, ia tidak peduli pada wanita itu.
Jalanan sore itu cukup macet, di tambah bulir air hujan turun dengan cukup deras. Mirza telat sepuluh menit, ia menunggu Alishia di dalam mobil.
[Aku di tempat parkir.] Pesan singkat itu Mirza kirim, ia tidak mungkin menghampiri Alishia yang tengah menunggu hujan reda bersama karyawan lainnya di pintu utama perusahaannya.
Satu pesan masuk ke ponselnya, berisi pesan dari Mirza. Alishia tidak ingin Mirza menunggu lama ia berjalan ke arah mobil Mirza dengan sedikit berlari di tengah hujan tanpa mengenakan payung.
Mirza mengendus kesal melihat Alishia yang kini basah kuyup duduk di sampingnya. Bukan karena mobil mewahnya jadi kotor, tapi daya tahan tubuh Alishia lemah jika terkena air hujan.
Mirza melepaskan jaket yang ia pakai, lalu memberikannya pada Alishia.
"Maaf," lirih Alishia. Dari raut wajahnya ia tahu Mirza marah padanya.
Tidak mendapat respons dari Mirza, Alishia hanya diam membisu. Tubuhnya sedikit menggigil, ia berusaha untuk tetap tenang dan memandang jalanan di depannya tanpa melirik Mirza. Bukan ia tidak ingin mencari perhatian Mirza tapi ia mengenal betul bagaimana Mirza, jika berani membuatnya kesal.
Hati Alishia bergemuruh saat Mirza menghentikan mobilnya di bahu jalan. Tubuhnya lemas, ia tidak ingin pulang sendirian seperti dulu saat membuat Mirza kesal.
"Mas, maaf aku janji enggak bikin kamu kesal lagi." Mohon Alishia, tubuhnya sudah panas dingin tidak karuan ia tidak sanggup jika harus pulang sendiri.
Mirza menghadapkan tubuhnya ke samping. Ia menatap lekat manik Alishia.
"Mas," cicit Alishia dengan raut wajah memohon. Di luar dugaan, sentuhan di keningnya membuat Alishia membisu. Mirza mengecek suhu tubuhnya, bukan mengusirnya.
***
Terima kasih sudah berkenan membaca karyaku, semoga suka 💞
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!