NovelToon NovelToon

Sam

Kembali ke tanah kelahiran

...***...

Suara pemberitahuan kedatangan kereta dari pengeras suara di Stasiun Balapan sudah menggema dari beberapa detik yang lalu. Namun, sosok lelaki yang sedang di tunggu-tunggu oleh sepasang suami istri tak juga nampak. Selain kedua orang berusia hampir paruh abad itu, ada dua anak lelaki dengan tinggi badan yakni sama tinggi, 170cm tak jauh dari mereka yang rupanya sedang menunggu orang yang sama.

Mereka sedikit gemas. Padahal beberapa menit yang lalu mereka sudah mengirimi pesan pada sosok yang di tunggu, pertanda telah sampai di stasiun.

“Sam, mana, si,” tanya lelaki berbaju flanel sedikit gemas karena tak juga nampak seorang yang ia tunggu. Baju yang tak di kancingkan karena masih ada kaus berwarna putih di dalamnya menambah kesan keren terpakai di tubuh dengan kulit sawo matang khas Indonesia.

“Sabar, ellah!” Pemuda berkaus panjang warna hitam menyahut tak kalah ketus. Karena pada dasarnya ia juga telah merindukan sahabatnya yang sudah empat tahun tak di jumpainya.

Rupanya dua orang suami istri bernama Kusno dan Siti tadi, baru menyadari. Bahwa tak berdua saja mereka menunggui keponakannya yang sudah ia anggap anak sendiri. Melainkan masih ada dua anak lelaki berusia 23 tahun yang sebentar lagi akan wisuda di universitas di kota Solo. Dua-duanya. Mereka berdiri tak jauh dari keduanya.

Mereka masih meributkan berapa lama di buat menunggu, terkadang keempat orang itu sengaja memanjangkan leher mereka memindai masing-masing pintu gerbong kereta yang masih terus mengeluarkan isinya, yakni para penumpang.

Sedangkan lelaki yang di tunggu tunggu rupanya sudah tersenyum jahil dari balik mereka.

“Apa kabar Sponsbob dan Patrick?”

Tanpa rasa bersalah, Sam justru menyebut dua sahabatnya menyerupai tokoh kartun kesukaan mereka dulu.

"Aih, njii–," sahut Royan tertahan karena kebiasaan semasa jaman SMA dulu terulang.

Sam tertawa setelah dua orang yang ia tepuk punggungnya itu berbalik di susul sepasang suami istri yang mendekat di samping sahabatnya itu.

Bukan main kaget dan girangnya lelaki yang bernama asli Akmal dan Royan. Keduanya lekas berhambur berpelukan seeperti saat masih sekolah menengah dulu. Melupakan rasa kesal karena di kagetkan.

Beberapa kali Royan dan Akmal menepuk punggung tegap Sam yang sedang terharu dapat berkumpul kembali dengan kedua sahabatnya.

"Apa kabar, man?" ucap Royan dan Akmal kompak.

"Baik, baik. Seperti yang kalian lihat." Senyum Sam tak sedikitpun luntur sejak tadi.

Sementara sepasang suami istri itu telah ikut tersenyum melihat kelakuan ketiga orang yang sudah bukan anak-anak lagi. Bahkan di usia mereka sudah banyak anak tetangga yang sudah menikah atau tak jarang ada yang sudah punya anak.

Merasa cukup, Sam melerai pelukan kedua sahabatnya dan mendekat pada paklek dan buliknya.

”Sehat, Paklik?”

Sam mengulurkan tangan dan mencium tangan adik dari papanya. Tentu saja di sambut bahagia oleh seorang pria yang berusia paruh baya yang mengenakan kaca mata. Lalu ia beralih pada wanita berjilbab segi empat yang sudah di bentuk sedemikian rupa agar terlihat rapi. Sam lakukan hal yang sama seperti pada pakliknya.

“Mamamu udah nanyain terus dari tadi, Sam. Kamunya malah main petak umpet.” Siti mengungkapkan iparnya sudah beberapa kali bertukar chat.

“Iya, sempet-sempetnya ngerjain paklikmu yang udah tua begini,” timpal Kusno mendukung tuduhan istrinya.

“Kowe iseh io jowo ora!” Royan gemas hingga meremat lengan Sam. "Weih, saiki gotot, meen!” Royan mengagumi bentuk badan Sam yang sekarang. Tentu berbeda dari Sam saat pawai kelulusan SMA dulu.

"Ssssst, hokeh pacar mesti nok kono!" Akmal menaik turunkan alisnya menggoda Sam agar memberi sedikit bocoran kisah asmaranya.

"Sam yang sekarang beda jauh, Yan. Udah insaf, dah nggak punya banyak pacar lagi, tuh!" Kusno memang sering bertukar kabar. Jadi ia sedikit tahu jika keponakannya sudah bukan Sam yang dulu lagi. Sam yang sering gonta-ganti pacar. Dan yang paling bikin gemas guru BK adalah sering bolos karena main PS atau nongkrong di bengkel dengan alasan motornya rewel.

“Nah, iyo! Iseh kenal mangan nok hik ora?” imbuh Royan tak mau kalah seraya terkekeh.

“Ellah. Kowe-kowe iku iso ae. Yo jelas isehlah,” jawab Sam yakin.

Dan mereka semua melanjut kan langkah sembari mengobol ringan menuju parkiran di luar stasiun.

“Ikut kita apa ikut Pak Kus, Sam?“ tanya Royan saat mereka sudah di samping Avanza merah marun.

“Yo ikut paklik dulu, to. Pulang ke rumah. Habis itu kalau mau nostalgia bolehlah nanti sorean.” Kusno jelas blum rela jika ponakannya ikut motoran dengan teman-temannya. Pasti masih capek.

”Kalian boleh ikut ke rumah juga," tunjuk Kusno pada Akmal dan Royan yang masih tersenyun segan. Sebab, Kusno merupakann guru Matematika saat mereka SMP.

“Kita nanti sore aja ke rumah, Pak Kus. Habis ini kita masih ada acara di kampus.” Akmal memberi keterangan acara selanjutnya setelah ini. Royan ikut mengangguk membenarkan saat di lirik Sam.

“lho, jadi kalian tadi sengaja ini.” Kusno mengngkat jari telunjuknya, khas saat mengajar.

“Ya, begitulah, Pak Kus. Kita kan setia kawan. Mana kawan lama tak pulang. Kukira lupa jalan pulang.” Akmal tentu memang menyindir Sam kali ini.

Ini adalah kepulangannya yang kedua setelah empat tahun di Manado. Mungkin akan menetap kembali di kota ini.

“Oh iya, ya. Waktu itu Sam pulang karena neneknya meninggal dan buru-buru harus balik Manado karena ada ujian, begitu ya, Sam!” Kenang Kusno dan mencari pembenaran keponakannya.

"Nggih, Paklik kalau nggak salah." Sam terkekeh karena Royan dan Akmal kompak melirik sinis.

“Kita cuma salaman aja sama berbincang dikit banget karena Sam jadi rebutan pakde-pakdenya.” Royan sedikit mendengkus.

“Yo wajar, to, Mas. Waktu itu, Sam kan satu-satunya wakil dari Pakde Rusno.” Siti ikut menimpali.

“Ya, semoga tahun depan papa sudah bisa pindah tugas di jawa Paklik.” Itulah harapan Sam. Jikapun sang papa belum mendapat ijin tugas itu, ia tak ada niatan untuk pergi keluar Jawa lagi. Ia sudah merencanakan chanel usaha dengan keponakanya .

Ya, disini tempat Sam pulang. Sudah cukup ia menurut pada sang papa. Sudah cukup ia di awasi oleh papa. Kali ini ia harus punya pendirian. Selain itu ia akan melakukan misinya di kota ini. Sudah cukup ia di hantui rasa bersalah. Ia akan mencari dan berusaha mendapat maaf dari seseorang yang ia lukai dan ia hancurkan di masa lalu.

*

Begitu Sam bersama Kusno dan Siti sampai di rumahnya. Sam lekas mencari kedua keponakannnya. Kedua anak kembar yang kini tengah bersekolah di tahun kedua sekolah menengah atas terlihat sedang bermain ponsel masing-masing.

“Reva, Reviiii,” panggil Sam dan kedua tangan. merentang.

Dua ciwi-ciwi keponakannnya lantas memekik bersamaan dan berlari memeluk Sam.

“Widhhh, Mas udah di keroyok gadis-gadis ini.” Sam menggoda kedua gadis berambut panjang terurai.

“Mas,ini! Apa masih bandel, jadi nggak di kasih uang lebih buat pulang kampung!” Revi mencecar pertanyaan yang sering ia lontarkan saat chatting lewat What's App. Menyindir Sam yang lama tak pulang kampung.

"Solo-ku bukan kampung, sekarang udah jadi kota besar." Sam menyanggah tetap membanggakan kota kelahirannya.

“Betul, Vi. Masih bandel pasti. Sampai nggak pernah pulang.” Kali ini Reva memukul lengan Sam. Tentu saja itu tak berarti apa-apa bagi Sam.

Sam terkekeh mendengar tuduhan keponakan- keponakannya. Setelah melepas pelukan mereka lanjut mengobrol santai saja dan kembali berlanjut di meja makan saat makan siang.

Pembicaraan santai di meja makan pun masih berlangsung. Bulik Siti bersama Reva lebih memilih makan duduk lesehan menghadap tv led di ruang tengah, yang memang hanya ada sekat bufet partisi dari kayu jati.

“Sam, karena kamu udah pulang. Dan memang berencana mau join usaha sama Pakde Wahid, Paklik mau balik ke rumah paklik ya.”

Kusno membuka pembicaraan setelah menumpuk piring di sisi kanannya. Sementara Sam yang sedang mengupas buah mendengarkan dan manggut manggut. Sudah paham akan rencana Kusno sebelumya.

“Kamu tahu kan, anak muda jaman sekarang kudu musti diperhatikan apalagi Reva dan Revi itu perempuan.”

Penuturan Kusno kali ini mampu menghentikan pergerakan Sam yang sedang mengupas mangga panenan samping rumah yang di rawat khusus.

Sam berdebar mengingat kesalahannya dulu. Ada rasa nyeri yang mengganjal di hati jika mengingat satu sosok bernyawa itu. Sayangnya hingga kini ia tak dapat mencari tahu keberadaannya.

"Dimana kamu sekarang?"

...***...

Hai hai ketemu lagi dengan Erenn_na. Jangan lupa like komen dan kasih rate bintang lima ya. eemm jangan lupa tiap Senin tekan vote buat karya aku.

Semua dukungan teman² semua sangat berarti untuk ku, terimakasih 🙏🙏🙏

Kotak Coklat

...***...

Dering alarm pada ponsel yang terletak asal di samping bantal, memaksa makhluk hidup bernama Alsaki Sambara itu membuka kesadaran juga matanya. Ia memicing saat menoleh pada jendela geser yang ada di kamarnya tak tertutup gordyn dengan sempurna itu menampakkan cuaca masih gelap. Bahkan suara solawat dari pengeras suara masjid baru saja berhenti.

Mematikan alarm pada ponsel dan beralih pada menu instagramnya. Dari sana, ia mengambil foto jendela kamar dan membubuhkan beberapa caption disana.

Pagi pertama setelah empat tahun berlalu di dataran seberang.

Dengan malas Sam bangun dan membuka jendela kamar. Saat menyentuh kaca kamar yang berembun tersebut ia ingat saat dulu mengendap di belakang kelas gebetan dan menuliskan dua huruf di awal dan di akhir serta satu tanda di tengahnya. Sam tersenyum dan geleng-geleng kepala mengingatnya.

Saat berbalik dan melewati meja yang biasa ia gunakan untuk meletakkan tas dan buku pelajaran dulu, Sam terdiam. Ia duduk pada kursi kayu dan menarik laci disana.

Satu kotak dari kardus berwarna coklat masih berada di sana. Ia terhenyak sejenak. Perlahan ia ambil dan gemuruh di dadanya kembali bergetar, saat ia melihat benda di dalamnya. Ia memasukkan dengan kasar kotak itu dan menutup laci kembali.

"Astagfirullah," kata Sam sembari memegangi dadanya.

"Maaf, Nada," lirihnya lagi.

***

Sesuai kesepakatan dengan paklik Kusno, Sam kini tinggal di rumahnya sendiri. Ada tetangga yang bantu-bantu bersih rumah dan pulang sore. Bagi Sam, itu sudah cukup membantu.

Sam sudah cukup berterima kasih pada Kusno dan Siti yang sudah merawat dan menghuni rumahnya selama empat tahun ini.

Jam tujuh pagi, pekerja yang biasa bekerja di rumah orang tua Sam itu sudah datang. Hampir bersamaan saat Sam membuka gerbang tralis besi. Rupanya, Sam baru saja lari pagi di sekitar lingkungan tinggalnya.

"Mas Sam, gimana kabarnya?" sapa Siti, pekerja yang biasa di panggil Bu Siti untuk membantu bersih-bersih.

"Baik, Bu." Sam sedikit mengulas senyum. Cuma sedikit.

"Bapak sama ibuk belum ada rencana pulang, Mas?" tanya Siti terlihat lega karena Sam yang sekarang sungguh berbeda dengan Sam beberapa tahun yang lalu. Sudah sedikit lebih ramah.

"Mungkin beberapa bulan lagi, saat Pakde mantu Mbak Tika , Bu."

"Oh, ya, sudah. Saya lanjut beberes dulu."

"Nggih, monggo."

Setelah berbasa-basi sekedarnya, Sam mulai sibuk membalas pesan di ponselnya. Ia bertukar pesan pada beberapa teman-teman tongkrongan atau teman sekelasnya dulu.

Bukan tanpa sebab ia jadi sesibuk ini saat hari masih pagi. Itu karena ia membuat sebuah story' pada akun instagramnya beberapa detik yang lalu.

Hanya potret sederhana tapi cukup menegaskan jika ia sudah berada di Jawa. Tapi respon teman-teman seangkatan, setongkrongan, beberapa sudah riweh menayangkan kabarnya.

Semalam, ia sempat nongkrong bersama Royan dan Akmal di warung hik di pertigaan dekat rumah. Namun, tak lama ia segera pulang karena Kusno, Siti serta kedua anak kembarnya segera pulang ke rumahnya sendiri di daerah Solo Baru.

Rupanya, keputusannya memilih naik kereta dari Malang ke Solo adalah pilihan yang sedikit tidak tepat. Karena ia merasakan badannya cukup lelah dan pegal. Harusnya Ia memilih tujuan Yogyakarta saja agar lebih dekat jika mau ke Solo.

Senyumnya kembali terbit saat ia berhasil merekam melalui ponsel dan dari kamera digitalnya untuk mendapatkan beberapa foto dan video yang aestetik. Sam lebih memilih duduk di meja makan dan masih berkutat dengan ponselnya. Saat tak sengaja ia menemukan foto yang tersimpan di galerinya, ia cukup tercengang.

Ia menemukan sosok yang selalu membuatnya di hantui rasa bersalah. Potret gadis berjilbab segi empat yang sedang berdiri di antara jajaran orang-orang di depan sebuah instansi.

"Nada," gumamnya.

Dengan hati yang berdebar Sam menelusuri foto itu berdasarkan riwayatnya. Saat di temukan, rupanya foto itu sudah ada sejak beberapa minggu yang lalu di grup chat SMA-nya dulu. "Kenapa aku baru nyadar sekarang," sesalnya.

Ia lebih menyesal lagi saat tahu dirinya dan beberapa teman yang lain mendapatkan tag karena nama kontak disana menanyakan salah satu teman sekelasnya yang berada di foto itu.

Kenapa Nada bisa foto bersama Bella? Bukankah dulu mereka bahkan tak saling tegur sapa.

Sam putuskan untuk mengirim whatsapp pribadi pada kontak yang mengirim foto. Namun, jawaban tidak tahu dari kontak itu cukup membuat Sam kembali kecewa.

Tak mau pusing, Sam akhirnya membuat janji bertemu dengan Akmal dan Royan. Setelah mendapat balasan, meskipun masih menunggu satu jam lagi, Sam akan menyanggupinya.

Dengan cepat Sam membersihkan diri dan menyempatkan sarapan beberapa potong bakwan dan teh panas. Setelahnya ia segera ke carport dan mencari motor lamanya.

Beruntung motor matic yang dulu di pakai saat sekolah masih ada. Motor matic yang dulu di pakai saat sekolah SMA. Beruntung masih terlihat bagus, karena motor itu di pakai Reva beberapa tahun ini. Kemarin di bawa Reva untuk di kembalikan. Sedangkan satu Avanza milik papa masih di pakai Kusno.

Jadilah Sam melesat pergi ke tempat kafe dekat kampus Royan.

"Lama banget, ngapain aja, sih?" serang Sam saat kedua temannya sudah bergabung di meja tempatnya duduk.

"Lagian kamu itu! Semalam nongkrong belum ada sejam udah balik duluan. Nggak asyik banget. Sekarang saat kita lagi ada perlu sama dosen kamu maksa ketemu. Ada-ada aja!"

Royan melihat Sam intens. "Kamu kumat lagi galaunya!" Royan meledek agar raut wajah Sam sedikit lebih santai.

"Kalian masih belum nemu kabar dari Nada?" Bukan menjawab, Sam justru balik bertanya pada tujuan awal ia menemui kedua sahabatnya.

Royan dan Akmal kompak menghela nafas.

"Masih belum move on kamu, dari dia." Royan menepuk beberapa kali bahu Sam.

"Tau, tuh." Akmal merebut latte di depan Sam dan meminumnya.

"Ck! Pesen sendiri, lahh," gerutu Sam masih dengan wajah murung. Tapi tak merebut kembali latte yang di sisakan setengah gelas itu. Enak saja minum bekas dia, begitu pikirnya.

Memang satu masalah besar yang ia simpan rapat-rapat sejak acara kelulusan kala itu tak sedikitpun ia bagi pada siapapun. Bahkan pada kedua sahabatnya. Masih teringat jelas raut kebingungan juga tangis tergugu seseorang waktu itu.

Sam meraup wajahnya sendiri. Berusaha menenangkan pikirannya yang sedang kacau.

Setelah tenang, Sam berusaha berbicara pada Royan dan Akmal yang sedang fokus pada ponsel di tangan masing-masing.

Sam keluarkan ponselnya dan cepat menemukan satu foto di galerinya.

"Aku mau bahas ini!" Sam menunjuk dan sengaja mengzoom foto. Sedangkan Royan dan Akmal segera merapat untuk melihat apa yang di tunjukkan Sam.

"Ini Bella kan, teman sekelas kita! Dan ini Nada." Sam menunjuk bergantian dua objek yang berdiri dengan tersenyum cukup dekat. Bahkan Bella merangkul bahu Nada yang sedang mengangkat jari tangannya membentuk finger heart."Tau dong, kalian. Maksud aku apa!"

Akmal dan Royan mengangguk membenarkan. Ia paham Nada dan Bella dulu sempat terlibat ribut karena cowok di masa SMA. Dan melihat potret mereka berdua tampak berdiri bersihkan diantara empat teman yang lain, mereka mulai menyimpulkan sesuatu.

"Mereka kerja di tempat yang sama Sam." Akmal yang bersuara.

"Iyyuuup. Bener." Royan menggerakkan telunjuknya berulang.

Kini Sam menegakkan duduknya. "Nah, itu dia yang aku tanyakan. Mereka ini di mana?"

"Ya coba lihat itu mereka ada di daerah mana!" Royan mulai ngegas.

"Lihat, dodol! Lokasi mereka ketutup orang-orang ini!" Akmal menarik topi dari kepala Royan karena gemas.

Kegiatan mereka terjeda saat Pelayan kafe membawa nampan berisi pesanan Sam yang memang sudah ia pesan tadi. Kali ini pesanan yang seharusnya menjadi hak Royan sudah di ambil lebih dulu oleh Sam. Berharap Ice latte yang dingin dapat membantu mendinginkan isi kepalanya yang terasa penuh akan rencana-rencana yang sudah ia susun sejak memutuskan untuk pulang ke Solo.

Akmal sengaja mengalihkan perbincangan pada hal lain juga tentang rencana Sam yang mengelola bengkel milik Pakdenya. Hingga keseruan saat dulu membolos sekolah dan memilih bermain PS menjadi pencair suasana yang tadinya begitu serius.

Beberapa saat kemudian, Akmal ke toilet sedang Royan terlihat sedang berbicara lewat sambungan telepon. Sementara Sam kembali terduduk lesu dan menghela nafasnya. "Kamu dimana, Nada?"

...***...

jangan lupa like sama komentarnya ya man teman

Sisi yang berbeda

...***...

"Selamat pagi, Buna," sapa beberapa anak berseragam putih merah dengan kompak.

"Pagi," jawab wanita yang di panggil Buna ramah. Ia tak lekas berhenti karena memang tujuannya adalah kantor guru.

Beberapa anak tadi tersenyum riang bahkan sedikit berjingkrak karena sudah balas disapa oleh guru idola mereka.

Beberapa anak tampak bergerombol di pinggir taman ada juga yang sedang duduk sambil menikmati jajanan di depan kelas sambil bersenda gurau.

Wanita yang sering di panggil Buna oleh murid-murid adalah guru yang baru mengajar enam bulan di sekolah dasar. Ya, sebutan wb yang sering kali akrab di telinga masyarakat adalah guru yang tidak memiliki gaji tetap dari negara. Itulah profesi mulia yang sesungguhnya, bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi bila tanpa adanya jasa, bagaimana mereka yang sedang mengabdi dapat membiayai kehidupan mereka? Ya tentu saja dengan mencari pekerjaan sampingan, bukan!

Selain mengajar, Buna juga mengisi kantin sekolah dengan beberapa jajanan buatan tangan sendiri. Dengan membuat donat, pukis, martabak mini, atau bakmi yang di bungkus daun pisang.

Ya. Tinggal di suatu desa bernama Sambi membuat Buna mudah mendapatkan daun pisang agar lebih aestetik saat di kemas. Pun sangat terjangkau sekali harganya. Bila di samping rumah nenek sedang tak ada daun pisang yang bisa di gunakan. Ia baru akan memakai kertas minyak sebagai pembungkus bakmi, kesukaan anak-anak.

Sampai di ruang kantor, Buna mendapatkan tugas dari kepala sekolah untuk mengerjakan beberapa administrasi pelaporan operasional.

Ia tak mampu menolak karena memang tugas seperti inilah yang dapat mendatangkan cuan.

Yuni, guru agama memberi kode ok pada tangan kirinya. Seolah menyemangati Buna. Sedangkan di tangan kanannya untuk menutup bibirnya yang tersenyum. Terlihat dari lengkungan matanya karena bibir hingga hidungnya tertutup masker duckbill. Selamat mengerjakan, begitulah yang ingin di sampaikan Yuni.

Buna mengangguk dan berujar iya dengan terpaksa, barulah Pak kepsek berlalu dari ruang guru.

"Bu Yuni, mah, ngeledek." Buna duduk di samping Yuni dan menyenderkan kepala yang tertutup jilbab segi empat warna dark yellow. "Mana barengan sama tugas kuliah, loh, Bu," rengeknya kemudian.

Yuni malah terkikik karena tugas yang biasa dia kerjakan kini dapat berpindah tangan darinya. Bukan lepas dari tanggung jawab melainkan karena begitu rumitnya pengerjaan pelaporan itu. Ia sudah cukupkan sampai di sini. Karena memang maksudnya agar pendidik juniornya juga dapat belajar.

"Inget... Cuannya lumayan nanti dari pak Kepsek." Yuni mencoba membangkitkan semangat Buna. "Lumayan, kan, buat uang jajan," lanjutnya seraya melepas masker.

"Beneran, Bu?" tanya Buna seraya mengangkat kepalanya yang tadinya nyender manja di bahu Yuni.

"Beneran," jawabnya berbisik karena pak kepsek baru saja masuk dan mengambil map hijau di meja depannya. Oh, itu tadi ketinggalaan.

Buna dan Yuni cengar-cengir saat pak kepsek menoleh dan mengangkat alis. Lalu ia buru-buru keluar karena memang sedang ada tamu di ruangannya sendiri.

Beberapa waktu kemudian, jam mengajar kembali berlangsung. Selesai menerangkan materi Buna kembali ke meja guru dan mulai mempelajari beberapa laporan operasional pada tahap sebelumnya.

Saat kelas sedikit riuh karena beberapa siswa mengeluh kurang jelas Buna terpaksa menerangkan kembali hingga anak-anak mulai paham.

Kali ini, Buna tak kembali ke mejanya. Ia akan berkeliling sambil memeriksa latihan soal yang ia berikan.

Sesekali Buna tersenyum kala anak-anak mulai resah untuk bertanya jawaban temannya. Ia bukannya melarang karena ia mencoba sedikit mentolerir anak didiknya. Asalkan bukan ulangan saja. Dulu ia juga pernah merasakannya, kan. Ah, sudahlah.

Waktu bergulir hingga waktu pulang sekolah. Buna melepas anak-anak dengan mengulurkan tangannya karena lima belas anak yang sedang di ampunya sudah ia biasakan untuk bersikap demikian.

Saat kelas kembali sepi Buna membereskan meja dan keluar kelas. Berjalan sepanjang koridor menuju ruang guru.

Koridor yang ia lewati sebenarnya tidak begitu jauh. Hanya saja saat berjalan di koridor seperti ini ia seperti terbang pada dimensi saat ia bersenda gurau dengan Via. Sahabatnya yang sudah menikah dan hidup di kota besar.

Lamunan Buna terhenti saat ponsel dalam saku seragamnya bergetar. Ia duduk di depan kelas empat dan menyempatkan membalas pesan di sana. Suasana sekolah yang sudah sepi membuat ia asyik bermain ponsel hingga tak sadar menekan notifikasi Instagram.

Sebuah postingan dari sebuah akun tertanda dengan profil yang sangat ia kenal. Matanya memanas dadanya bergemuruh hebat hingga tak sadar sudut matanya kini telah mengeluarkan lelehan air, yang di sebut air mata.

Rupanya kamu sudah kembali.

Buna tersenyum kecut dan segera menghapus air matanya dan meredakan sebongkah batu besar yang menghimpitnya beberapa tahun terakhir.

"Buna, ayok ikut nggak?" teriak Yuni. Ia datang menghampiri Buna dengan mencangklong backpack. "Di traktir Bubelle, tuh. Hari ini kan dia ulang tahun," jelas Yuni tersenyum dan menyimpan masker di saku.

"Iyakah?" tanya Buna lebih pada terkejut karena ia telah lupa tanggal ulang tahun temannya. Sedangkan Yuni tertawa karena sudah dapat menebak kepanikan yang terlihat jelas di mata Buna.

"Yassalaaammm, Bu Yuun. Bakal di bejek bejek, nanti aku," ringisnya seraya mengajak Yuni melangkah ke kantor untuk mengambil tasnya.

Sampai di kantor Buna mendapat kejutan lagi, berupa laptop sekolah agar ia pakai saat pengerjaan pelaporan nanti.

"Aku ada laptop, tapi gak sebagus ini, Bu," tolaknya.

"Ahh, nggak apa-apa. Terima aja, itu laptop sekolah yang udah lama di rental dan baru di ambil sama Pak Supri tadi." Yuni menyebut nama pegawai kebun disana.

"Jangan-jangan, nambah tugas lagi nanti," ucapnya mulai curiga.

"Anak bontot, curiga mlulu, sih. Udah ayok berangkat." Yuni malah ikut membantu merapikan bawaan Buna, membuat Buna semakin segan untuk menolak. Tapi lumayan, sih, pikirnya. Batinnya tertawa.

Yuni juga katakan tinggal mereka berdua yang belum datang ke undangan Bubelle. Keduanya lantas segera menyusul ke tempat acaranya Bella.

***

Sebuah rumah makan sederhana tapi cukup bagus jika di lihat dari lokasi di daerah desa kecamatan menjadi tempat berkumpulnya Buna, Yuni dan teman-teman yang lain.

Jangan tanyakan Bubelle yang pakai acara merajuk karena Buna lupa mengucapkan ucapan selamat ulang tahun.

"Ku pecat jadi besti yang kamu, si bontot berani lupain ultah katingnya," ujar Bella dan di timpali tawa renyah dari delapan orang yang hadir disana.

"Ya elah, kating yang tantik kinclong Bubelle idola anak-anak satu esdeh. Maafin dinda yang kelupaan ini. Huhuhhuu," sahut Buna ikut mempraktekkan gerakan mengucek mata, ikut masuk dalam drama receh Bella.

Memang ada-ada saja teman-teman mereka yang memanggil sebutan Bubelle untuk Bella. Semacam sebutan akrab.

Keriwehan Bella dan Buna merupakan hiburan tersendiri saat berkumpul di luar sekolah seperti saat ini. Sedikit menepikan berbagai tugas administrasi wajib yang harus di laksanakan di sekolah.

***

Seminggu setelah kedatangan Sam di Solo, kali ini ia sudah siap di rumah Wahid di sekitar Solo baru untuk memutuskan kesepakatan yang beberapa hari ini sudah ia bahas. Baik melalui telepon maupun dari bertemu langsung.

"Baiklah, Sam. Karena papamu sudah setuju dan kamu pun punya kemampuan. Pakde percaya saja sama kamu. Daripada kamu mau usaha apa itu sama teman kamu. Belum jelas kan!"

Sam mengangguk. "Nggih, Pakde."

"Bener-bener beda tenan. Di urus langsung sama papamu, kamu nggak ndugal seperti dulu."

Sam meringis mendapatkan sanjungan sekaligus sindiran dari kakak pertama papanya.

"Udah waktunya Sam, mulai di arahkan Pakde. Ya, bila nanti kumat lagi, tolong jangan bosan di arahkan."

"Cah gemblung. Di masukkan pendidikan brimob, mau, kamu!"

"Nggak, Pakde," tolak Sam benar-benar tidak mau. Ia sudah berhasil menurut pada papanya. Ia tidak mau lagi di paksa masuk militer yang tak sesuai dengan hatinya. Biarlah sang kakak yang dapat meneruskan perjalanan papanya mengabdi pada negara. Dirinya cukup mau jadi wirausaha sesuai impiannya.

Pergi dari rumah menaiki mobil Wahid, Sam di fungsikan sebagai sopir. Ia mengarahkan laju roda sesuai arahan Wahid.

Sam kini sudah sampai di dealer pertama yang sudah bekerja sama dengan bengkel resmi milik Wahid.

Dengan mendatangi langsung beberapa dealer yang bekerja sama dengan bengkel motor dan mobilnya. Sam jadi tahu mana saja lokasi vendor yang sudah bekerjasama. Di sana ada meeting kecil untuk memperkenalkan Sam sebagai pengelola yang baru.

Hingga waktu magrib, Sam baru sampai di rumah. Sudah ada nasi berserta lauknya di meja makan. Ia mengambil air dari dispenser lalu duduk melepaskan kancing di lengan kemeja. Menggulung asal dan mengecek beberapa pesan masuk disana.

Sampai sebuah story' dari penghuni kontaknya membuat Sam tersedak air minum yang baru saja masuk di tenggorokannya.

...***...

Nahh nahhh? story' siapa?? 🤭

jangan lupa like dan komen, ya, biar makin semangat nulisnya 🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!