Ini adalah kisah tentang dua insan yang sedang dimabuk cinta. Awalnya mereka saling tersenyum dan bertegur sapa satu sama lain.
Memulai sebuah pertemanan, lalu menjalin sebuah hubungan yang lumayan lama.
Juna dan Luna adalah sepasang kekasih. Mereka bertemu di kampus universitas ternama di Jakarta. Mereka berbeda jurusan. Pertama bertemu Juna telah jatuh hati pada Luna. Juna pernah melihat Luna membantu seorang nenek menyebrang jalan di depan kampus. Itu mulanya, lalu tak munafik, wajah Luna yang cantik dan rupawan menarik hati Juna untuk mengenal lebih jauh gadis itu.
Tak muluk muluk kisah romansa masa muda mereka saat itu. Menikmati hubungan semasa kuliah dan menjalin pertemanan dengan teman yang lain.
Luna merupakan keturunan Jawa tengah yang lahir di Jakarta karena orang tuanya merantau ke Ibu kota. Luna gadis yang tegas saat berbicara, Luna aktif dalam kegiatan kampus dan memiliki banyak teman.
Begitu juga Juna yang merupakan wakil ketua senat mahasiswa kampus saat mereka kuliah.
Luna menamatkan kuliahnya lebih dahulu dari Juna. Lalu mendapat pekerjaan yang bagus di salah satu perusahaan besar di jantung ibu kota itu.
Berbeda dengan Juna yang lulus setelah desakan dan bujukan dari Luna. Lalu mencari pekerjaan yang menurutnya nyaman.
Setelah bekerja selama beberapa tahun, akhirnya Juna memberanikan diri untuk melamar Luna.
Semua berjalan lancar hingga pernikahan mereka. Meskipun Luna harus pontang-panting menghadapi pekerjaan di kantor dan persiapan pernikahannya.
Masalah datang juga menjelang hari H pernikahan mereka dari keluarga Luna maupun Juna. Untung Dewi, kakak Luna selalu siap membantunya.
Kini, setelah acara penting yang hanya sekali seumur hidup itu berlangsung, mereka memutuskan untuk berbulan madu ke suatu tempat.
Air laut menyapu ujung jari Luna, perlahan dan berulang membentuk irama yang membuai dirinya. Wanita berambut panjang itu sedang bersantai, merebahkan tubuhnya di atas pasir putih yang lembut. Dia membiarkan kakinya dipanjati seekor kepiting kecil yang baru keluar dari sarang pasirnya. Sensasi geli yang ditimbulkan kaki kaki tajam kepiting mungil membuatnya tak dapat menawan tawa.
"Ada apa, Sayang?" Terdengar suara dari sampingnya.
Luna menoleh, memandang seseorang yang memanggilnya dengan panggilan sayang. Seorang Lelaki gagah, dengan tubuh kecokelatan terbakar matahari, sedang berbaring dalam posisi yang sama dengannya.
Luna dan laki laki itu berpandangan. Senyum tersungging di bibir keduanya. Mereka telah melewati masa masa tegang saat harus menyiapkan dan melaksanakan pesta pernikahan mereka. Setelah berbulan-bulan, akhirnya mereka dapat bernapas lega dan menikmati waktu. Berdua saja.
"Nggak pa pa... Aku cuma merasa sangat senang sekali... Bulan madu berdua sama kamu... Ya, benar benar hanya kita berdua!" Ujar Luna sambil berguling mendekati tubuh suaminya. Juna, suami Luna, dengan cepat menangkap tubuh Luna dan memeluknya erat.
"Aku bahagia! Surga ini hanya milik kita berdua!" Juna menyahut dengan suara riang.
Konsep bulan madu sebenarnya sudah ada sejak jaman ratusan tahun yang lalu. Saat itu, pengantin pria membawa pengantin wanita memisahkan diri dari keluarga. Mereka pergi ke sebuah tempat terpencil dan berada di sana sambil berusaha mendapatkan anak.
Sekarang, bagi pasangan yang modern, bulan madu dianggap sebagai kesempatan untuk berlibur, yang digunakan untuk melepaskan stres setelah menyelenggarakan pesta pernikahan.
Saat bulan madu, pasangan pengantin baru bisa lebih relaks, saling mengenal pasangan, dan bersantai menikmati saat-saat terbaik dalam hidup mereka.
Luna dan Juna saat ini sedang berbulan madu di tempat yang memang sangat indah. Wajar saja jika Juna menyebutnya sebagai surga. Mereka menginap di sebuah villa terapung sebuah resort di Lampung.
Keindahan alamnya benar benar telah mencuri hati mereka. Pasir pantainya tampak sangat putih dan lembut. Warna air lautnya menorehkan gradasi hijau tosca, dan biru, berpadu dengan cerahnya langit yang berwarna biru muda.
Keindahan alam di sekitar pantai dan di dalam pantai, biota lautnya pun sangat cantik. Mereka mengisi waktu dengan snorkeling menikmati keindahan bawa lautnya.
Villa tempat mereka menginap letaknya di atas air laut, di tepi pantai. Deretan pohon kelapa dan pohon lain menghijau berbaris di tepi pantai.
Jarak antara villa satu dengan yang lain tidak begitu dekat, jadi masih ada privacy saat menginap.
Jika ingin berjemur di tepi pantai tinggal berjalan beberapa meter saja dari kamar. Pantai di sana sepi, hanya pengunjung resort yang dapat menikmati keindahan pantai tersebut. Saat ini hanya mereka berdua yang ada di sana bersantai menikmati keindahan alamnya.
Luna mencium ringan pipi Juna, bangkit untuk mengambil beberapa makanan dan minuman yang diletakkan di meja di villa mereka menginap.
Sebentar lagi, matahari akan tenggelam. Perlahan lahan nuansa sekitar mereka berubah menjadi jingga keemasan.
Luna sibuk mengatur roti dalam kemasan di atas handuk mereka yang sedikit lembab. Dua buah kaleng soda diletakkan untuk merayakan kebahagiaan mereka.
"Bukankah ini bulan madu yang sempurna, Sayang?" Tanya Luna sambil tersenyum lebar pada suaminya.
Juna tidak langsung menjawab. Ia buru buru mengambil ponselnya, dan membuka playlist lagu favoritnya. Dipilihnya sebuah lagu cinta, lagu kebangsaan mereka, yang mendukung suasana menjadi semakin romantis.
Perlahan, lagu itu mengalun bersama dengan kenangan masa lalu yang tiba tiba mengembang di kepala Luna.
Juna mendekati wajah Luna, dan berbisik di telinganya, "Ya, Sayang... Ini adalah bulan madu yang sangat sempurna.."
Mereka saling menatap, lalu berpelukan erat satu sama lain.
Bibir mereka saling bertautan. Yang membakar gairah mereka kembali. Juna membopong tubuh Luna masuk kembali ke kamar mereka. Setelah pintu tertutup Luna mengalungkan kedua tangannya pada kepala Juna. Sejenak mereka saling bertatapan.
"Aku mencintaimu!" Ucap Luna berbisik.
Juna lalu membawa tubuh istrinya ke ranjang dan mereka saling bergelut di atasnya, merengkuh nikmat duniawi seusai pernikahan.
KRIIIIIINNGGGGG.....!!!
Suara jam weker berbunyi membangunkan si empunya yang masih terlelap.
Luna terbangun dari tidur, matanya masih terasa berat dan lengket. Ia perlahan membuka matanya, mengerjapkan supaya tersadar. Segalanya masih gelap gulita pagi itu. Hanya sinar lampu dari luar yang berusaha menerobos sela sela jendela kamarnya.
Ia mengambil jam weker itu dan mematikannya. Jarum pendek jam weker menunjukkan angka empat pagi.
Sesaat ia terdiam, termangu duduk di bibir ranjangnya. Ia bingung mengapa ia harus bangun sepagi itu hari ini.
"Astaga..!!" Erang Luna saat ia menyadari bahwa ia harus berangkat ke kantor untuk bekerja.
Ya, ini hari pertamanya harus ke kantor lagi, setelah selama seminggu penuh menikmati bulan madu di Lampung bersama Juna.
Luna merenggangkan kedua tangannya dan menggeliat malas di pagi yang masih dingin itu.
DUK...
Tangan Luna menabrak sesuatu yang lembut di sebelahnya. Sejenak Luna tertegun. Setelah berhari-hari, saat bangun pagi, ia masih saja terkaget kaget mendapati orang lain tidur di ranjangnya.
Ya ia masih merasa aneh Juna tidur satu ranjang bersamanya saat ini. Semua cerita cerita tentang pengantin baru yang didengarnya ternyata benar. Luna masih berusaha mengumpulkan nyawanya untuk segera beranjak dari tempat tidur.
Setengah meloncat, Luna turun dari tempat tidur king size yang mereka beli saat mengunjungi pameran furnitur sebelum menikah.
Tempat tidur yang sangat nyaman yang saat itu sedang diskon lima puluh persen.
"Jun.... Juna.... Sayang... Bangun! Kita harus ke kantor!" Luna berusaha membangunkan suaminya sambil mengikat rambut panjangnya yang acak acakan.
Namun, Juna masih terlelap dalam buaian alam mimpinya.
Segera Luna masuk ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar tidur utama. Ia menyalakan lampu kamar mandi dan membiarkann pintu kamar mandi terbuka.
Pandangannya menyusuri sederetan alat alat mandinya yang didominasi gambar gambar bunga dan warna warna feminim.
Di sebelahnya, tergeletak serangkaian produk yang lebih maskulin dengan gambar tubuh berotot milik laki laki.
Sangat jelas, saat ini Luna telah membagi hidupnya dengan seseorang. Sejenak ia termangu menatap semua yang ada di depan matanya. Luna meresap telah menemukan sebuah realitas dan peran baru. Dia bukan Luna, seorang gadis yang bebas melakukan hal hal semaunya yang ia suka lagi. Kini dia harus membagi semua kisahnya dengan seorang pria yang ia cintai dan mencintainya. Dia telah berubah menjadi Nyonya Juna Soemardjan. Seorang istri.
Mata Luna berkaca-kaca, dia terharu karena pada akhirnya dia bisa menjadi istri Juna, setelah menjalin hubungan yang lama.
Sulit meyakinkan Juna untuk menikah. Juna menyukai hubungan yang apa adanya.
Juna selalu berpikir bahwa ia merasa belum siap untuk memikul tanggung jawab sebagai seorang suami. Banyak ketakutan dan pertimbangan yang ia pikirkan untuk melangkah ke jenjang tahap hubungan lebih lanjut.
Apalagi, ternyata sang Ibu, Ibu dari Juna, tidak begitu menyetujui hubungan Luna dan Juna.
Ketika akhirnya Luna dapat meyakinkan Juna untuk melamarnya, ia merasa sangat bersyukur. Ia merasa Tuhan menjawab semua doa doa yang ia panjatkan untuk hubungan mereka selama ini.
Luna menyalakan keran wastafel dan mengusapkan ke wajahnya. Sensasi segar langsung menyusup ke kulit mukanya.
Luna menatap wajahnya melalui cermin wastafel. Alisnya masih agak gundul setelah dikerok oleh make up artis saat pesta pernikahan kemarin.
Matanya masih terasa berat dan mengantuk, sulit untuk membuka lebar pagi itu. Wajahnya terlihat legam terbakar sinar matahari.
Bulan madu di Pahawang, Lampung membuat Luna dan Juna betah berlama lama berjemur di pinggir pantai dan bermain main di air laut.
Kulit Juna terbakar dengan sempurna, ia sangat menyukainya. Tetapi tidak dengan Luna. Ia terus menerus mengeluh kulitnya yang gosong menghitam.
Selama ini ia telah berusaha melindungi kulitnya supaya tidak gelap, kini sepulang bulan madu ia harus menerima kenyataan kulitnya gosong seperti ini.
Sebagai pengantin baru, Luna merasa sangat tidak cantik.
"Cantik? Siapa bilang pengantin baru itu berseri seri? Gosong begini!" Rutuk Luna dalam hati.
Luna mengintip ke dalam kamar tidur mereka. Selimut tebal masih menyelimuti tubuh lelaki yang telah menjadi suaminya itu. Ia masih bergeming dari tidurnya.
Luna berpikir mungkin ia harus membuatkan sarapan sepotong roti dan secangkir kopi untuk suaminya itu.
Siapa tahu dengan sarapan itu, lelaki itu dapat membuka matanya dengan sepenuh hati.
Luna berjalan keluar kamar mandi, berjingkat melewati tumpukan pakaian kotor, oleh oleh dari bulan madu mereka, yang belum sempat dicuci. Luna keluar dari kamar, lalu bergegas menuju dapur.
Dapur di rumah mereka adalah jenis dapur bersih dengan kitchen set berornamen kayu, yang menyatu dengan ruang keluarga sekaligus ruang tamu, dengan interior dominan berwarna putih.
Meskipun rumah tempat tinggalnya kecil, hanya memiliki dua kamar, namun Luna menyukainya.
Pertama, karena ia penakut, jadi tinggal di rumah yang besar membuatnya merasa was-was was.
Lalu yang kedua, mereka tak punya pilihan lain.
Kemarin, setelah pulang ke Jakarta, mereka sempat berbelanja di supermarket terdekat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Luna tak kesulitan menemukan kopi kesukaan suaminya. Kopi diletakkan dalam plastik belanjaan di meja dapur.
Luna mengambil roti dan memasukkan dalam toaster, lalu menunggunya. Sebagian roti ia oles dengan selai strawberry dan cokelat.
Ia menyeduh kopi instan lalu mengaduknya. Luna bukan jenis wanita yang gemar memasak. Ia lebih memilih membuat sesuatu yang praktis saja.
Maka ia lebih suka membeli makanan siap saji yang tinggal seduh atau dipanaskan dengan microwave.
Luna tersenyum geli melihat menu sarapan pagi itu. Sangat tidak romantis memang, menu sarapan pertama mereka di rumah baru hanya dengan roti tawar.
Namun, paling tidak mereka akan punya cerita lucu kelak, yang dapat diceritakan pada anak cucu mereka.
Luna menata sarapan pagi itu pada nampan. Lalu membawa dengan hati hati masuk ke kamar untuk memberi kejutan pada suaminya pagi itu.
Luna mendorong pintu kamar dengan bahu. Kedua tangannya sibuk membawa nampan berisi kopi dan roti untuk sang suami tercintanya.
Aroma semerbak kopi dipadu harus roti panggang membuat perut keroncongan karena menggugah selera.
Luna meletakkan makanan itu di tempat tidur seperti cerita cerita romantis di film Holywood.
"Selamat pagi, sayang! Makanan sudah siap. Silahkan dinikmati!" Luna menggoyang goyangkan tubuh Juna membangunkannya. Juna menggeliat malas dan perlahan membuka matanya.
Mencium aroma kopi, membuat matanya mulai terbuka secara sempurna.
"Kopi?" Juna menggeliat lalu membenarkan posisinya, duduk sejajar dengan Luna.
"Kamu membuat kopi?" Tanya Juna lagi tak yakin.
"Kenapa? Apa aku terlihat seperti orang yang tidak pernah membuat kopi?" Luna merasa tersinggung dengan tatapan tak percaya Juna.
"Iya." Juna menjawab singkat.
"Ih...!" Luna memonyong bibirnya, ia bersiap berdiri dan pura pura ngambek.
Juna tertawa menatap istrinya.
Ia menangkap tangan Luna, dan menariknya kembali ke tempat tidur.
"Terima kasih, sayang! Kamu baik sekali." Ujar Juna sambil mengecup lembut kening istrinya itu.
Pagi itu Luna dan Juna bersiap untuk berangkat ke kantor. Dengan tergesa-gesa, Luna menghabiskan secangkir kopinya, lalu membawa setangkup roti berisi selai cokelat untuk dimakan saat di mobil.
Luna dan Juna telah berada di dalam mobil mereka. Luna mengendarai mobilnya sambil memakan roti selai cokelat nya.
"Huff... Macet lagi!" Keluh Luna menghela napas.
Ia menatap antrean panjang mobil di depannya. Luna mengutuk dalam hati melihat hal itu. Rata rata dari mereka adalah para pekerja yang berbondong-bondong masuk ke Jakarta dan keluar Jakarta pada malam hari untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga mereka.
Sebenarnya, Luna juga tak ingin menjadi salah satu dari para pekerja itu. Yang harus datang berbondong-bondong saat pagi hari menuju Ibu Kota dan harus kembali ke luar Jakarta saat sore hingga menjelang malam.
Ia sangat ingin tinggal di tengah kota Jakarta, dekat dengan tempat kerjanya. Dia tak ingin tersiksa dengan perjalanan yang membuat mereka tua di jalan. Namun, apa daya, sulit sekali membeli rumah di Jakarta dengan budget pengantin baru. Bahkan dengan budget pengantin lama pun hanya segelintir orang yang mampu.
Luna tidak tertarik untuk tinggal di apartemen sejak awal, meski itu adalah hal yang paling masuk akal untuk budget yang mereka miliki.
Akhirnya dengan uang muka seadanya, Luna dan Juna memutuskan untuk mencicil rumah mungil berhalaman kecil tanpa pagar di daerah pinggiran Jakarta.
Setiap hari mereka harus menahan lelah, selama dua jam perjalanan pergi, dan dua jam perjalanan pulang, seperti hari ini.
Luna yang baru pulang, kini merasa jetlag dengan keriwehan perjalanan menuju ke tempat kerja mereka pagi ini.
Radio mengalunkan sebuah lagu terbaru soundtrack sebuah film terkenal yang sedang tayang di bioskop. Radio lah satu satunya hiburan dalam kondisi yang menyedihkan saat ini. Karena jika bermain ponsel akan berakibat fatal.
Luna bersenandung riang mengikuti lirik lagu yang sedang diputar. Ia mengetuk ngetukkan tangan di atas kemudi, mengikuti irama lagu. Ia memandang ke kursi penumpang di sebelahnya. Menatap Juna yang duduk sambil menatap layar ponselnya sambil membaca berita atau sosial media yang dimilikinya.
Juna tidak dapat menyetir. Untuk ukuran kota besar seperti Jakarta dan untuk ukuran zaman sekarang, itu aneh. Namun, Juna memiliki ketakutan tertentu pada kemudi karena kecelakaan yang pernah menimpanya sewaktu remaja dulu. Itu membuatnya selalu gagal untuk belajar menyetir.
Lagi lagi, Luna tak keberatan. Ia dengan sukarela dan senang hati menjadi sopir pribadi suami tercintanya.Ia terbiasa menyetir sejak remaja.
Mobil yang mereka pakai ini jika miliknya sebelum mereka menikah. Salah satu harta kebanggaan yang ia beli di sebuah lelang barang bekas pakai perusahaan.
"Lun, kamu tahu tidak? Ada sebuah kafe baru buka di dekat kantorku. Tempatnya keren, cozy banget. Ada live music nya juga. Harganya juga terjangkau. Bagus buat foto-foto. Lihat deh!" Juna menunjukkan Instagram sebuah kafe baru itu.
Luna melirik, berusaha membagi konsentrasi jalanan dengan ponsel yang dipegang oleh suaminya itu.
"Iya, keren. Tempatnya oke." Luna berusaha berkomentar ringan. Ia sama sekali tidak pernah peduli dengan kafe yang tempatnya bagus untuk nongkrong atau sekedar numpang foto setelah hanya membeli segelas jus jeruk.
Menurut Luna semua tempat yang asik itu yang menjual menu yang enak dan harganya tidak terlalu mahal.
Lalu Juna menatap sebuah iklan sebuah ponsel iPhone keluaran terbaru pada ponselnya. Ia sedang menonton review salah seorang youtuber gadget yang merekomendasikan ponsel itu.
"Sayang, menurutmu gimana hape ini?" Tanyanya sambil menunjukkan gambar pada ponselnya.
Luna mengerutkan keningnya sesaat.
"Ngapain?"
"Ini ponsel keluaran terbaru iPhone, daya tahannya bagus. Jika dibanting pun tidak akan pecah, bahkan masih tetap mulus dan kondisinya baik." Juna mulai berceloteh mengenai iPhone keluaran terbaru itu.
"Bukannya, ponselmu iPhone juga? Bedanya apa?" Tanya Luna sambil fokus mengemudi.
"Ya ini kapasitasnya lebih besar. Terus hasil foto atau videonya bening." Juna beralasan.
Luna tidak begitu paham mengenai gadget. Ia tak pernah peduli mau merk apa, yang penting ponselnya dapat berdaya guna baginya, mempermudah komunikasi, dan membantu pekerjaannya saat ini.
"Sayang, apakah aku dapat membeli yang ini?" Tanya Juna seperti anak kecil yang sedang memohon dibelikan barang yang tak begitu diperlukan.
Luna terdiam sejenak.
"Bukannya kemarin kamu habis beli yang seri baru juga?" Cecar Luna.
"Tapi yang ini kapasitasnya lebih bagus. Lalu aku bisa main game tanpa harus ada gangguan. Dan yang seri baru ini, fiturnya lebih keren untuk hasil kamera atau videonya." Juna memberi alasan untuk diperbolehkan membeli ponsel baru.
"Sayang, please.... Boleh ya!" Rayu Juna sambil mengedipkan matanya dengan mimik wajah memelas ya bak anak kecil yang tengah merayu ibunya.
"Terserah kamu!" Akhirnya hanya itu yang bisa Luna ucapkan dari mulutnya.
Padahal sebelumnya, suaminya juga baru membeli sebuah ponsel baru juga. Yang katanya bisa buat main game tanpa harus khawatir baterei akan drop.
Luna merasa, Juna tidak perlu membeli ponsel baru lagi. Namun kali ini ia tak ingin beradu pendapat dengan suaminya.
Mereka baru saja menikah. Luna tak ingin ada pertengkaran di masa masa bulan madu mereka kali ini. Ia ingin mempertahankan keharmonisan rumah tangga mereka selama mungkin.
"Ya sudah, kamu mau cek di marketplace atau mau aku temani ke gerai?" Tanya Luna.
"Kita ke gerai saja, supaya bisa cek langsung produknya." Sahut Juna sambil tersenyum lebar.
Luna membalas senyuman suaminya itu.
"Terima kasih, sayang!" Ucap Juna sambil mengecup kening istrinya dengan rasa senang.
Luna menghentikan kendaraannya di sebuah pusat perkantoran. Juna mengecup kembali kening istrinya sebelum membuka pintu mobil dan keluar.
"Hati hati, ya, Sayang!" Seru Juna. Luna mengangguk dan tersenyum.
Juna melambaikan tangan, saat Luna menjalankan mobilnya kembali untuk menuju kantornya yang masih berjarak sekitar dua kilo meter lagi.
Luna memarkir mobilnya di area parkir. Lalu berjalan menuju kubikelnya. Lalu menghempaskan pantatnya pada kursi yang ada di sana.
"Oh, Hai Luna, kamu sudah kembali?!" Teriak seseorang menyapanya.
Luna menoleh ke arah suara itu. Ini hari pertama ia berangkat ke kantor dari rumah barunya. Ternyata ia datang terlalu pagi hari ini. Kubikel di sekitarnya masih kosong dan suasana kantor masih lenggang.
Pandangan Luna bertaut dengan sepasang mata biru milik Mr Mark. Sepagi ini, seniornya itu sudah datang.
Mr Mark adalah salah satu senior yang disegani di kantor itu. Mungkin karena ia telah bekerja di perusahaan selama lebih dari 15 tahun. Atau mungkin juga karena ia orang asing. Ia ramah, tetapi jadi sangat berbeda jika sedang bekerja. Tak ada yang berani membuat satu pun kesalahan jika bekerja dengannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!