...~Love Me My Lord Duke~...
...~oOo0oOo~...
Pagi ini seharusnya pagi yang cerah di kediaman Reynch. Tapi kemarin tunangan yang belum pernah ku temui sejak awal bertunangan, mengatakan ingin bertemu denganku pagi ini, dan tentu saja untuk membahas rencana pernikahan. Aku masih bertanya-tanya hingga kini, ada apa dengan pria gila kerja itu?
Karena sifat gila kerjanya itu, dia hanya mengirimkan sepucuk surat permintaan bertunangan kepada kedua orang tuaku, aku tidak habis pikir, bahkan sesibuk apapun itu, seharusnya dia tidak melakukan itu. Meski itu jelas sebuah tindakan yang tidak sopan dan tidak beretika, namun anehnya kedua orang tuaku tidak terlalu mempermasalahkannya, justru mereka menerimanya dengan senang hati, tanpa merasa terhina.
Bukankah itu gila, belum cukup dua bulan kita bertunangan dia sudah memikirkan pernikahan. Ditambah lagi dia sama sekali belum mengetahui wajah tunangannya sendiri, sama halnya denganku.
Bagai tersambar petir, perasaanku bercampur aduk sejak kemarin siang membaca surat yang dikirimkan dari kediaman Callisto.
Dibandingkan merasa kesal aku lebih merasa gugup dan gelisah. Karena manusia yang akan ku hadapi adalah seorang Callisto. Keturunan para ksatria-ksatria hebat yang sudah ada sejak berdirinya Kerajaan Aston di benua yang makmur ini.
Tatapan ku menjadi semakin tajam saat mataku bertemu dengan kedua pasang bola mata berwarna merah, bak elang yang ingin menerkam mangsanya.
Aku semakin mendekati pria gagah di depan ku, langkah ku tak gentar, seolah sedang menuntun ku masuk ke dalam sangkar elang yang tengah menunggu mangsanya.
Meski begitu, tanganku yang tersembunyi di balik sarung tangan terasa dingin.
Hangatnya matahari seolah sirna dalam sekejap begitu hawa dingin mulai menyelimuti diriku.
"Ah!!!"
Tanpa sengaja sepatu yang ku kenakan menginjak gaunku.
Insiden tersebut langsung menyebabkan tubuhku kehilangan keseimbangan, refleks aku pun menutup mata dengan erat.
Kejadiannya begitu cepat dan tak terelakkan.
'Apa aku sudah terjatuh ke tanah? Bau apa ini? Sama sekali tidak ada bau tanah, justru aku mencium bau mawar yang sangat harum.'
"Jika Anda ingin terus seperti ini... kita tidak akan memulai pembicaraan apapun," suara tegas dan merdu dari seorang pria terdengar masuk ke telinga ku.
Mendengar itu aku langsung membuka mata dan mengalihkan pandangan ku ke asal suara tersebut.
Mataku membelalak begitu melihat wajah tampan yang kini sudah berada tepat di hadapan wajahku, tatapannya yang tajam bertukar dengan pandangan ku.
Rambutnya yang hitam berdesir pelan, kulit wajahnya yang putih pucat begitu mulus, bibirnya kecil dan indah bagai buah ceri. Hidung tinggi yang mancung dan garis rahang seperti dipahat itu, memberikan kesan yang sangar dan dingin.
Pria tersebut nampak menautkan kedua alisnya dan mengkerut kan kening disana, "Apa yang sedang kau lihat?" kali ini nada suaranya terdengar dalam dan tegas.
Seketika aku tersadar dan menjadi salah tingkah, lalu segera menjauh darinya.
'Apa yang baru saja aku lakukan di pertemuan pertama kami!? Habis sudah, aku sudah tamat.'
Pria di hadapan ku terus saja menatapku dengan intens, aku berusaha menghindari kontak mata dengannya karena merasa canggung dan malu.
"Saya adalah Putri bungsu Count Reynch. Viellen Von Reynch, maaf atas kelancangan saya barusan." Aku membungkuk memberi salam formal, lalu segera meluruskan punggung ku.
"Saya Carxen Van De Callisto."
Carxen memang menunduk untuk memberikan sapaan formal, meski begitu terpampang jelas diwajahnya kalau dia tidak menyukai pertemuan ini.
Padahal dia sendiri yang mengajakku untuk bertemu, tapi lihat apa yang sedang terjadi saat ini. Seolah-olah aku yang memaksanya untuk bertemu.
Carxen menarik kursi dan segera duduk dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Aku menarik kursi di hadapannya kemudian mendaratkan bokong ku disana dan mengangkat secangkir teh yang baru saja di sajikan oleh pelayan.
'Tenanglah Viellen, jangan gugup.'
Selesai menyeruput teh, aku menaruh cangkirku di atas meja dengan perlahan, "Sekarang mari kita mulai pembicaraannya Tuan Duke."
Aku memberanikan diri menatap Carxen dengan serius, "Sebaiknya kita langsung saja ke intinya Tuan Duke, saya yakin Anda sangat tidak suka berbasa-basi," kataku sesaat setelah menarik nafas panjang.
Mendengar perkataan ku, Carxen yang tadinya ingin meminum tehnya langsung menghentikan cangkirnya di depan bibir, dan menaruh cangkirnya kembali.
"Saya berpikir sebaiknya kita mempercepat hari pernikahan kita. Bagaimana dengan lima hari lagi?"
'Melihat dia terdiam, sepertinya dia cukup tertegun.'
"Terlalu terburu-buru juga tidak bagus. Bagaimana jika kurang dari dua minggu?" tawarnya.
'Aku tahu. Masalahnya bukan soal bagus atau tidaknya. Ini menyangkut nyawaku.'
Aku berdiri perlahan dan memukul meja dengan keras, "Tidak Tuan Duke! Semakin cepat semakin bagus. Bukankah pernikahan itu tidak boleh di tunda-tunda?" Aku tersenyum hangat sembari menanti jawaban dari Carxen yang tengah menatapku dengan datar, tanpa ekspresi apapun.
"Lakukan sesukamu." Setelah mengatakan itu dia lanjut meminum tehnya dengan tenang.
Aku mendudukkan bokong ku di kursi dengan perasaan puas, "Baiklah. Kalau begitu, saya akan tetapkan menjadi seminggu lagi. Bukankah saya orang yang cukup adil Tuan Duke?" pungkas ku sembari melipatkan tangan ke depan dada dengan perasaan puas, berusaha menyepelekan rasa malu ku.
Carxen hanya menikmati tehnya tanpa kata-kata, lalu menatapku, "Karena hari pernikahan sudah ditentukan, aku rasa perbincangan kita hari ini cukup sampai disini." Setelah mengatakan itu Carxen segera berdiri dari kursinya, kemudian berbalik badan dan berjalan meninggalkan ku.
Aku buru-buru meneguk habis teh yang masih panas di cangkir ku sembari terus menatap punggung Carxen yang semakin menjauh.
'Dasar pria tidak sabaran!'
"Tuan Duke! Biar saya mengantar Anda sampai ke depan gerbang," seru ku, lalu bergegas menyusul Carxen dengan langkah cepat.
...~Love Me My Lord Duke~...
...~oOo0oOo~...
"Sampai jumpa nanti Tuan Duke!" Kata ku sembari melambaikan tangan sesaat setelah kereta kuda berlambang burung elang baru saja meninggalkan kediaman Reynch.
Carxen tampak tidak peduli dari balik jendela kereta, dia terlihat terus menatap lurus ke depan sambil menopang wajah tampannya itu menggunakan tangan, entah apa yang sedang dia pikirkan.
Aku menghela nafas lega sembari menatap kereta kuda Carxen yang semakin menjauh dari kediaman Reynch. "Hahhh~ Akhirnya beres juga..." kata ku dengan pelan.
Aku berbalik badan menatap Mansion megah dan klasik di depan ku. Sebelumnya aku tidak pernah membayangkan bisa tinggal di Mansion mewah seperti ini, apalagi menjadi seorang bangsawan ternama. Kehidupan ku berubah dalam sehari setelah insiden waktu itu.
Beberapa bulan yang lalu, aku sedang dalam perjalanan ke luar negeri untuk menghadiri sebuah acara besar, festival musim panas. Aku dan kedua teman ku di undang ke festival tersebut sebagai perwakilan sekolah untuk memeriahkan dan melakukan berbagai atraksi menggunakan tongkat. "Stick Master" adalah julukan yang orang-orang berikan kepada kami. Biasanya kami tampil menjadi komandan dalam barisan marching band. Diluar daripada itu, kami tetap dapat tampil atraksi meski tanpa barisan marching band asalkan ada musik pengiring.
Hari itu aku sedang berdiri di antara pagar pembatas kapal, sembari menatap ke atas langit melihat ke arah sekawanan burung yang sedang terbang bersama kelompoknya. Dari atas kapal aku bisa mendengar suara gemericik deburan ombak yang menyapu lautan, begitu jernih dan tenang pikir ku saat itu.
Sejujurnya aku memutuskan mengikuti kegiatan festival kali ini, hanya karena ingin pergi dari rumah, aku ingin mengalihkan perasaan ku dan menenangkan diriku dari segala kesedihan, ketika ayah membawa selingkuhannya bersama dengan anak perempuannya yang seusia ku ke rumah kami.
Saat itu, selagi aku menatap langit senja dengan perasaan hampa, berapa kali pun aku memikirkannya, bagaimana dia bisa melakukan hal kejam seperti itu, padahal ibuku belum lama meninggal dunia. Berapa kali pun aku mendesis untuk mengumpat ayahku sembari menggenggam pagar pembatas kapal erat-erat, rasanya tetap sia-sia.
Dengan kepala yang tertunduk dan tatapan nanar ke dalam lautan yang gelap sembari menggigit bibirku, berusaha menahan tangisanku, aku memiliki secercah harapan. Harapanku saat itu, hanya ingin menghilang untuk selama-lamanya bagai buih di lautan.
Ketika keputusasaan datang menyapa, aku tidak pernah tahu bahwa kematian sedang berada begitu dekat dengan ku. Ketika kedua temanku mendorong tubuhku dengan sekuat tenaga, aku bahkan tidak sempat memberikan perlawanan, kejadiannya begitu cepat. Hanya kata-kata perpisahan yang terdengar sesaat sebelum suara air laut memecah keheningan.
Gelap, dan dingin. Nafasku seakan terikat. Sekuat apapun aku berusaha berenang ke permukaan air rasanya percuma saja. Kaki ku seakan terus-menerus di tarik masuk ke dalam. Aku lelah berkutat di dalam air, rasanya aku ingin menyerah saja.
Ku pejamkan mataku dengan erat, merasakan air yang perlahan-lahan masuk ke dalam rongga diriku. Pertanyaan "Kenapa? Apa salahku? Kenapa harus aku?" mengisi kepalaku. Sakit dan sesak, rasanya seakan air sedang menggerogoti tubuh ku. Ini sungguh menyiksaku, perasaan yang paling aku benci adalah ketika aku tak berdaya di bawah tekanan.
Aku sungguh takut dengan lautan.
" ...ellen!"
"Viellen!"
Aku langsung tersadar dari lamunanku begitu mendengar suara saudari tiriku. Aku mengalihkan perhatian ku dari daging steak yang ada di piring ku, dan melihat ke sekeliling, memandang wajah Ayah, Ibu dan Martha.
"Viellen, tanganmu bergetar, wajahmu juga tampak pucat. Apa kau baik-baik saja?" Martha yang duduk di sebelah ku memandang ku dengan raut wajah cemas.
"Apa yang dikatakan oleh Duke Callisto, sayang?" tanya Eleanor, wanita paruh baya yang memandangku dengan lembut, sorot mata birunya sejernih lautan.
Aku menggelengkan kepala pelan, "Jangan khawatir Ibu. Carxen sangat baik kepada ku." Aku mengulum senyum, berusaha terlihat baik-baik saja.
'Fokuslah Viellen, jangan membuat suasana diatas meja makan menjadi buruk.'
Aku menghela nafas pelan, lalu menatap Vounch ayahku dan Eleanor bergantian, "Kami memutuskan untuk mengadakan pernikahan seminggu lagi."
Mendengar itu, Vounch dan Eleanor hanya terdiam, mereka menatapku tanpa mengatakan sepatah kata.
TRANG!!!
Aku segera menoleh ke arah Martha yang baru saja menjatuhkan pisau daging dari tangannya.
"Ap-Apa? Seminggu lagi??" tanya Martha.
"...uhm...yahh..." Aku menggaruk tengkuk, sambil berusaha menghindari kontak mata dengan Martha.
...~Love Me My Lord Duke~...
...~oOo0oOo~...
Seorang pria paruh baya terlihat sedang meneguk air, kemudian dia menaruh gelasnya di atas meja, "Apa kamu yakin, ingin mempercepat pernikahan kalian?" tanya pria berambut coklat muda tersebut, sorot matanya yang hijau menatapku serius.
"Aku sepenuhnya yakin Ayah. Dan yang terpenting, aku tidak akan menarik kembali ucapanku dari Carxen."
"Baiklah, jika itu sudah menjadi kesepakatan di antara kalian berdua. Bagaimana pun kami hanya ingin yang terbaik untuk kalian berdua. Kami akan mempersiapkan pernikahan kalian dalam seminggu."
Aku tersenyum kecil mendengar jawaban Vounch, "Terima kasih, Ayah."
"Viellen..." Eleanor memanggilku dengan nada suara yang lembut.
Aku memandang Eleanor yang duduk di sebelah Vounch. Rambut blonde milik Eleanor yang terurai hingga ke punggung, menambah kesan elegan wanita yang bermartabat tersebut.
"Kami memang memintamu untuk menikah dengan Duke Callisto. Ibu bahagia mendengar kamu memutuskan ingin menikah," Eleanor mengambil jeda dalam ucapannya, "Meski begitu, Ibu tidak ingin kamu terburu-buru mengambil keputusan."
Aku mengulum senyum kepada Eleanor, "Jangan khawatir Ibu. Aku benar-benar ingin menikah dengan Carxen, dan itu bukan karena desakan orang lain. Tapi karena..." Aku mengambil jeda sejenak sambil menatap pergelangan tangan kiri ku.
Terlihat dua digit angka berwarna merah yang tertulis di pergelangan tanganku, "Sepertinya aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Carxen." Aku beralih memandang Eleanor dan Vounch seraya tersenyum lembut.
TRANG!!!!
Kali ini garpu milik Martha yang terjatuh ke lantai. Aku segera melirik Martha yang sedang menatapku dengan tertegun.
Jika orangnya adalah pria lain, mereka masih akan percaya kalau aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi jika itu adalah Carxen, mustahil mereka akan percaya sekalipun wajah Carxen sangat tampan. Aku bahkan tidak percaya kepada diriku sendiri yang baru saja mengatakan omong kosong dengan mudah.
Carxen merupakan pahlawan perang di era ini. Sejauh yang aku dengar dari Martha, keturunan Callisto sejak dahulu selalu melahirkan para ksatria hebat, yang berdiri paling depan dibarisan peperangan untuk menghabisi para musuh dan penghianat kerajaan. Dan orang kejam yang dapat mengacungkan pedang tanpa kenal rasa kasihan dan berdosa itu adalah Carxen Van De Callisto.
Dia di juluki 'pahlawan perang' karena telah membawa kepala Raja Tirani dari kerajaan Dracul ke hadapan masyarakatnya. Dan julukan yang paling terkenal di kalangan para bangsawan adalah 'Duke berdarah dingin' karena telah memenggal kepala ratu dari kerajaan Dracul dan melemparnya ke hadapan para bangsawan di negara ini sebagai peringatan jika ada yang berani macam-macam dengannya.
Seketika bulu kuduk ku merinding membayangkannya. Aku jadi tidak nafsu makan.
" Ayah, Ibu. Apa aku sudah boleh kembali ke kamar? Sejujurnya, aku merasa agak sedikit pusing," ucapku sambil meletakkan garpu dan pisau di piring.
"Tentu saja sayang. Berisitirahat lah, hari ini pasti telah menguras energi mu," sahut Eleanor.
Martha memandangku dengan khawatir, aku memberikannya senyuman kecil. Lalu segera berdiri perlahan dan meninggalkan kursi ku. Aku melenggang meninggalkan ruangan makan.
'Jika bukan karena batasan waktu yang diberikan kepada ku. Aku juga tidak akan mau dijodohkan dengan Carxen.'
Aku menatap angka di pergelangan tanganku. Angka yang semulanya 107. Kini menjadi 57. Aku menghela nafas gusar seraya tersenyum lirih.
'Benar-benar tidak terasa kalau kematian ku semakin hari semakin dekat. Aku akan melakukan apapun agar aku bisa tetap hidup. Bahkan jika itu harus menghadapi Carxen sekalipun.'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!