Pada suatu pagi hari, seorang gadis bernama Zahra, berumur dua puluh sembilan tahun, melangkah dengan percaya diri memasuki sebuah hotel di kotanya. Hari ini adalah hari pertama dia bekerja di hotel tersebut. Gadis itu di terima bekerja sebagai resepsionis di salah satu hotel bintang tiga.
Begitu masuk lewat pintu karyawan dan menuju meja resepsionis, Zahra di sambut oleh Pak Ibrahim, Manajernya. Pak Ibrahim langsung mengenalkan Zahra dengan resepsionis senior yang ada di situ.
“Hartadi, Kiki ... Kenal in ini rekan kerja kalian yang baru namanya Zahra, tolong kalian ajari Zahra cara kerja di resepsionis, apa saja yang harus dia kerjakan,” ucap Pak Ibrahim pada Hartadi dan Kiki.
“Baik Pak Ibrahim”, sahut Kiki dan Hartadi.
“Oke Zahra, selamat bekerja ya,” ucap Pak Ibrahim sambil melangkah pergi meninggalkan mereka.
“Terima kasih Pak Ibrahim,” balas Zahra.
Setelah Pak Ibrahim masuk ke ruangannya, Hartadi dan Kiki pun memperkenalkan diri mereka pada Zahra.
“Hai Zahra, kenalkan Gue, Hartadi ... Lo bisa panggil Gue Har,” sapa Hartadi.
“Dan Gue, Kiki,” sapa Kiki pada Zahra.
“Hai juga ... Aku Zahra,” mohon bimbingannya ya,” balas Zahra sambil berjabat tangan bergantian dengan Kiki dan Hartadi.
Selesai perkenalan, mereka pun duduk bertiga sambil memberitahukan Zahra apa saja yang harus di kerjakan. Karena pekerjaan ini bukan pekerjaan yang pertama baginya, Zahra pun cepat menguasainya. Awalnya Zahra pernah bekerja di hotel lain juga, dia mengundurkan diri dari hotel tersebut akibat bertengkar dengan Manajernya.
Gadis itu tidak suka dengan cara Manajernya yang memarahi bawahannya di depan tamu hotel, buat Zahra perbuatan itu sangat tidak etis. Seharusnya seorang Manajer yang baik itu bila ingin menegur bawahannya karna melakukan kesalahan, alangkah lebih baiknya memanggilnya ke ruangan Manajer bukan memarahinya di depan umum atau tamu.
Zahra memang gadis yang pemberani, apa pun yang menurut dia salah, dia akan melawannya meskipun yang di lawan itu jabatannya lebih tinggi darinya. Zahra seorang gadis yang tomboi, supel dan periang. Parasnya cantik, kulitnya putih, hidungnya mancung dan bibirnya mungil. Zahra memang gadis keturunan Indo.
Karena Ibunya memang asli dari Jerman Barat dan Ayahnya dari Jawa Tengah. Hanya satu kekurangan Zahra, tinggi badannya tidak tinggi, tingginya hanya seratus lima puluh delapan sentimeter. Karna parasnya banyak orang yang mengira Zahra orang Manado.
Di tempat kerja Zahra yang baru, rekan-rekan kerja dan tamu laki-laki suka menggodanya. Tapi Zahra hanya menganggapnya angin lalu, bukan hal yang aneh bagi Zahra bila mendapat godaan dari mereka. Termasuk Hartadi, rekan kerjanya. Laki-laki itu juga mulai menunjukkan ketertarikannya kepada Zahra.
Di saat Zahra dan Hartadi satu shift, laki-laki itu terus-menerus menggodanya. Hingga mereka menjadi semakin dekat. Walaupun tidak ada ucapan kata cinta di antara mereka, sikap Hartadi di depan rekan-rekan kerjanya menunjukkan seolah-olah Zahra adalah miliknya.
Melihat sikap Hartadi yang seolah-olah menunjukkan Zahra miliknya membuat gadis itu bingung dengan status hubungan yang sebenarnya dengan laki-laki itu. Sampai enam bulan kedekatan mereka, tapi tidak pernah ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut laki-laki itu mengatakan cinta kepadanya.
Hingga suatu hari Hartadi mengajak Zahra main ke rumahnya. Di sana Zahra berkenalan dengan Ibunya Hartadi dan adik-adiknya. Mereka pun menyambut Zahra dengan baik. Selepas magrib, Zahra berpamitan pulang dan Hartadi mengantarkannya.
Beberapa hari kemudian, setelah Zahra berkunjung ke rumah orang tuanya Hartadi, tetap saja tidak ada kepastian hubungannya dengan laki-laki itu. Zahra merasa laki-laki itu telah mempermainkan perasaannya. Apalagi di saat mereka satu shift datang seorang wanita yang mencari Hartadi.
Zahra pun langsung menanyakan siapa wanita itu pada Herman rekan kerjanya yang sudah lama bekerja di sana. Herman mengatakan wanita itu mantan Hartadi, mereka masih suka jalan bareng dan bertemu. Mendengar ucapan Herman, hati Zahra menjadi panas, semakin yakin lah Ia kalau selama ini Hartadi hanya ingin mempermainkan perasaannya saja.
Semenjak kejadian itu Zahra pun mengambil sikap, gadis itu mulai menjauhi Hartadi pelan-pelan. Cukuplah kedekatan mereka hanya sebatas rekan kerja saja sebelum dia terlalu jauh menaruh rasa kepada laki-laki itu.
Hartadi pun merasakan perubahan pada Zahra, dia langsung bertanya kenapa Zahra mulai menjauhinya.
“Kamu kenapa Ra ...” tanya Hartadi pada Zahra.
“Kenapa bagaimana ya maksudnya?” tanya Zahra balik.
“Aku merasa kamu mulai menjauhiku,” jawab Hartadi pada Zahra.
“Ah biasa saja kok. Justru aku yang ingin bertanya ... Maksud kamu selama ini dekati aku itu apa? Tapi status kita selama ini tidak jelas!,” ujar Zahra.
“Aku suka sama kamu, Ra ... Tapi aku Ngga bisa lihat kamu bergaul dengan banyak laki-laki. Aku tahu kamu cewek tomboi, mempunyai banyak temannya laki-laki. Aku Ngga bisa membayangkan kalau kita menikah nanti akan banyak laki-laki yang datang ke rumah kita menemui istriku. Itu permasalahannya,” ucap Hartadi pada Zahra.
Mendengar penjelasan Hartadi, Zahra pun terkejut.
“Jadi karna permasalahan itu kamu tarik ulur aku?. Bukankah dari awal aku sudah bicara terus terang sama kamu mengenai diriku?. Dan sudah aku katakan juga sama kamu, kalau aku lebih suka menunjukkan aku apa adanya dari pada aku harus berpura-pura menutupi semuanya, karna aku bukan orang yang munafik. Dari awal sudah aku katakan juga, kalau kamu mau terima aku apa adanya, silakan. Kalau tidak, silakan mundur. Kamu pikir setelah kita menikah nanti aku tetap bergaul dengan teman laki-laki, belum tentukan?. Aku tidak menyangka pikiran kamu sangat picik!,” ucap Zahra panjang lebar dengan geram.
“Iya Ra ...” Tapi kalau aku pergi kerja, ada teman laki-laki kamu yang datang ke rumah bagaimana?. Ngga mungkin kan kamu mengusirnya pulang. Apalagi dalam Islam, tidak boleh mengizinkan laki-laki lain yang bukan Mahramnya ke dalam rumah di saat suaminya tidak ada,” ujar laki-laki itu pada Zahra.
Terjawab sudah kenapa sampai detik ini Hartadi tidak mengungkapkan perasaannya pada dirinya. Tapi gadis itu pun juga tidak merasa bersalah, karena dari awal dia sudah berkata jujur tentang dirinya.
Zahra merasa perkataan Hartadi tadi seperti mencapnya wanita yang nakal. Zahra akui dari jaman sekolah, dia memang mempunyai banyak teman laki-laki di bandingkan wanita. Itu semua karena Zahra merasa nyaman berteman dengan laki-laki yang tidak mudah tersinggung dibandingkan dengan wanita yang gampang tersinggung sehingga dia harus berhati-hati dalam bertutur kata dengan sesama jenisnya.
“Oke kalau begitu Har, berarti cara berpikir kita berbeda. Sudah bisa aku bayangkan kalau kita berumah tangga, kita pasti akan selalu ribut karna permasalahan ini. Lebih baik memang kita berteman dan sebatas rekan kerja saja,” ucap Zahra menengahi perdebatan mereka.
“Tapi Ra ... “
“Sudahlah Har ... Dengan berteman kita tidak akan bermusuhan dibandingkan kita menjadi pasangan kekasih akhirnya menjadi musuh dan menjauh,” ujar Zahra pada Hartadi.
Setelah perdebatan itu hubungan Zahra dan Hartadi pun menjadi canggung. Yang biasanya mereka kalau satu shift suka bercanda dan mengobrol, kini mereka bingung harus memulainya dari mana.
Hingga suatu hari di saat Zahra dan Hartadi masuk shift pagi. Hotel mereka kedatangan seorang laki-laki paruh baya berusia sekitar empat puluh tiga tahun yang masih terlihat gagah. Laki-laki paruh baya itu datang mengenakan jas safari, sepatu mengkilap dan megenggam sebuah telepon genggam mahal di tangannya.
Hartadi pun mencolek Zahra mengisyaratkan agar wanita itu berdiri mengikutinya untuk menyambut kedatangan laki-laki paruh baya itu. Zahra pun mengikuti kode yang diberikan Hartadi. Saat laki-laki paruh baya itu lewat di depan meja resepsionis, Zahra mendengar Hartadi memberikan salam.
“Selamat siang Pak,” sapa Hartadi pada laki-laki itu.
Mendengar ada yang menyapanya, laki-laki itu pun menoleh kearah meja resepsionis.
“Siang .... Kamu Har, masuk pagi?,” tanya laki-laki paruh baya itu.
“Iya Pak," jawab Hartadi.
Melihat Hartadi, Pak Ibrahim dan rekan-rekan kerjanya menyambut kedatangan laki-laki paruh baya itu, Zahra langsung bisa menebaknya kalau laki-laki itu adalah pemilik hotel tempat dia bekerja. Zahra pun langsung mengikuti menyapa laki-laki paruh baya itu.
“Selamat siang Pak,” sapa Zahra.
“Siang,” balas laki-laki paruh baya itu sambil melihat ke arah Zahra.
“Kamu karyawan baru?,” tanya laki-laki paruh baya itu kepada Zahra.
“Iya Pak.”
”Sudah lama kamu kerja di sini?.”
“Baru enam bulan Pak,” jawab Zahra kembali.
“Oh” sahut laki-laki paruh baya itu sambil melangkah memasuki ruangan Manajer.
Tak lama terdengar pintu ruangan Manajer di tutup. Zahra pun tidak me nyia nyiakan kesempatan untuk bertanya kepada Hartadi, siapa laki-laki paruh baya tadi.
“Itu siapa, Har?.”
”Itu Owner kita, namanya Pak Yahya. Kamu harus hati-hati sama dia,” ujar Hartadi pada Zahra.
“Loh ... Harus hati-hati kenapa?. Kelihatannya dia orang yang baik.”
“Dia itu Ngga bisa lihat perempuan cantik, barusan aja tatapan matanya menatap kamu terus,” ujar Hartadi dengan nada cemburunya. Dia itu istrinya dua, kakak beradik dia nikah in. Cuma karna kakaknya marah, akhirnya adik istrinya mundur dan menghindar terus dari Boss,” terang Hartadi pada Zahra.
“Oh gitu ... Terus yang istri pertamanya kakaknya atau adiknya?,” tanya Zahra.
“Kakaknya, namanya Bu Ibah dan adiknya namanya Bu Endah.”
“Wah ... Hebat juga ya Boss bisa sampai nikahi kakak beradik,” ujar Zahra sambil mangut-mangut kepalanya.
“Kenapa?. Kamu juga tertarik jadi istrinya?,” tanya Hartadi dengan menunjukan rasa tak sukanya.
“Ya Ngga lah, mana mungkin Boss mau sama aku yang bagaikan bubuk rengginang,” sahut Zahra sambil tertawa.
“Awas aja ya kalau kamu sampai dekat sama si Boss!,” ujar Hartadi dengan nada ancaman.
“Ishh ... Emang apa urusannya kalau aku dekat sama si Boss?. Toh kita juga Ngga ada hubungan apa-apa!,” ucap Zahra dengan reaksi masa bodohnya.
“Terserahh ... “ sahut Hartadi dengan kesal.
Tak berselang lama, terdengar Pak Yahya memanggil Hartadi dari dalam ruangannya.
“Hartadi!.”
“Iya Pak,” sahut Hartadi sambil beranjak bangun dari duduknya dan melangkah menuju ruangan Manajer.
“Tok ... Tok ... Tok”
“Masuk!,” Perintah Pak Yahya dari dalam.
Hartadi pun membuka pintu ruangan Manajer dan melangkah ke dalam.
“Iya Pak ... Bapak panggil Saya?.”
“Siapa nama perempuan yang kerja satu shift sama kamu?,” tanya Pak Yahya pada Hartadi.
“Oh itu namanya Zahra, Pak ... Dia karyawan baru di sini, baru kerja enam bulan di sini,” terang Hartadi.
“HM ... Cantik juga ya,” ucap Pak Yahya.
Mendengar perkataan Boss nya, Hartadi pun terdiam. Apa yang dia takutkan di depan tadi ketika berbicara dengan Zahra, sepertinya akan menjadi kenyataan. Boss nya menunjukkan rasa ketertarikan dengan wanita itu.
“Iya Pak, dia memang cantik. Zahra, blasteran Jerman dan Jawa Tengah,” jawab Hartadi.
“Kamu pasti tertarik sama dia kan?,” tanya Pak Yahya dengan nada menyelidiki.
“Ngga Pak, kami hanya berteman saja kok,” jawab Hartadi dengan terpaksa, karna dia tidak mau mencari masalah dengan Boss nya.
“Ya sudah, kamu boleh kembali bekerja,” ucap Pak Yahya menyuruh Hartadi kembali ke tempatnya.
“Baik Pak ... Saya permisi dulu.”
Hartadi pun balik badan dan melangkah menuju pintu untuk keluar ruangan. Belum juga dia memutar knop pintu untuk keluar, terdengar lagi suara Pak Yahya yang bertanya padanya.
“Oya Har, apa wanita itu sudah punya kekasih?.”
Dengan menolehkan kepala ke belakang, Hartadi pun menjawab.
“Setahu Saya sepertinya belum Pak.”
“Oke, terima kasih Har.”
“Sama-sama Pak. Kalau begitu Saya permisi dulu,” Hartadi pun keluar dari ruangan Manajer dan menuju meja resepsionis untuk kembali bekerja.
Begitu melihat kemunculan Hartadi, Zahra langsung mencecarnya dengan pertanyaan.
“Kenapa tadi di panggil Boss?. Ngga ada masalahkan?.”
Hartadi pun menghela nafasnya dan berkata.
“Ngga ada masalah apa-apa. Tadi Boss manggil hanya nanyain soal kamu aja.”
“What?!”, Nanyain aku soal apa?,” Tanya Zahra dengan penasaran.
“Ya seperti yang aku bilang tadi sama kamu soal Boss, kalau dia Ngga bisa lihat perempuan cantik. Boss sepertinya tertarik tuh sama kamu!. Boss tadi nanyain soal kamu ke aku.”
“Apaan sih Har ... Ngga usah aneh-aneh deh ngomongnya.”
“Di kasih tahu Ngga percaya!. Lihat aja paling nanti Boss lama-lama bakalan deketin kamu,” ujar Hartadi dengan kesal.
“Kamu kenapa sih Har, kok jadi kesal sama aku?. Kamu cemburu?. Bukannya kita udah Ngga ada hubungan apa-apa?.”
“Ihh ... Siapa juga yang cemburu!. Itu sih hak kamu mau ngeladenin Boss atau Ngga. Aku cuma bisa berpesan kalau bisa jangan kamu ladenin, apalagi kalau sampai istri dan anak-anaknya tahu.”
“Iyaa ... Thanks nasehatnya Har. Tapi aku Ngga janji juga ya,” ujar Zahra sambil terkekeh-kekeh.
“Terserah ...,” balas Hartadi sambil melangkah pergi menuju toilet.
Melihat Hartadi pergi dengan kesal, Zahra hanya bisa tertawa cekikikan. Gadis itu merasa senang telah berhasil balas dendam dengan membuat laki-laki itu cemburu. Gadis itu masih sakit hati dengan perlakuan dan perkataan Hartadi padanya tempo hari, yang menggantung status mereka dan berpikiran picik tentang dirinya apabila mereka menikah nanti.
Untungnya semua cepat terjawab sebelum mereka suatu saat jadi menikah. Bisa Zahra bayangkan rumah tangganya akan seperti apa kalau jadi menikah dengan laki-laki itu. Pasti Zahra akan merasa bagaikan burung dalam sangkar. Meskipun dia juga tahu kalau sudah seharusnya seorang istri patuh sama suaminya, tapi tidak harus sampai mengekang istrinya juga.
Bisa Zahra bayangkan, pasti di saat dia menikah dengan Hartadi, dia akan kehilangan teman-temannya. Apa iya setelah menikah dia harus menjadi wanita yang kurang pergaulan karna di kekang suaminya nanti?. Sepertinya Zahra tidak akan sanggup menjalani kehidupan rumah tangga yang seperti itu.
Semenjak Pak Yahya datang berkunjung hari itu ke hotel dan melihat Zahra. Laki-laki paruh baya itu hampir tiap hari selalu datang berkunjung ke sana. Yang biasanya Pak Yahya tidak pernah berlama-lama di sana jika datang, sekarang bisa menghabiskan waktu berjam-jam di hotel tempat Zahra bekerja.
Semua orang dari Manajer hingga rekan-rekan kerja Zahra bisa menilai Boss mereka tertarik dengan Zahra. Tidak ada rekan-rekan kerja laki-laki yang berani berada di dekat Zahra, bila Boss mereka datang berkunjung, termasuk Pak Ibrahim Manajernya. Mereka semua lebih baik menghindar dari Zahra dari pada cari penyakit dengan Boss mereka. Mereka tidak berani mengusik apa yang Boss nya sukai.
Di saat Zahra terlihat santai karna tidak ada tamu yang datang, Boss nya akan selalu mendekatinya dan mengajaknya berbicara. Zahra pun merasa nyaman ketika berbicara dengan Boss nya, orangnya enak ketika diajak berdiskusi dan bertukar pikiran. Pak Yahya seakan-akan menjelma menjadi sosok seorang Ayah yang selama ini dia rindukan.
Sejak Zahra berumur dua belas tahun, dia sudah di tinggal pergi selamanya oleh Sang Ayah saat dia masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Zahra hanya hidup dengan Ibu serta satu orang kakak laki-laki bernama Wisnu.
Kakaknya Zahra, orang yang temperamental dan ringan tangan. Salah bicara sedikit pasti pipi Zahra akan mendapat cap lima jari dari kakaknya. Terkadang kalau kakaknya kesal, dia tiba-tiba akan main pukul. Perlakuan ini sering dia dapatkan dari kakaknya semenjak Ayahnya tiada.
Ibunya Zahra pun hanya bisa terdiam jika melihat anak laki-lakinya memukul anak perempuannya. Itulah sebabnya hingga Zahra berumur dua puluh sembilan tahun dia belum punya kekasih atau berniat menikah. Zahra takut suatu hari nanti akan mendapatkan laki-laki seperti kakaknya. Rahasia inilah yang tidak pernah Zahra ceritakan pada Hartadi. Kenapa dia bergaul dengan banyak laki-laki, semua karna pelarian saja dari tekanan batin yang dia derita. Dengan mempunyai banyak teman laki-laki, dia mendapatkan sosok seorang kakak yang tidak Ia dapatkan di rumah.
Dari Boss nya, Zahra serasa mendapatkan kembali perhatian dan kasih sayang seorang Ayah yang telah lama hilang selama tujuh belas tahun. Entah mungkin karna Boss nya adalah seorang suami dan seorang Ayah, Zahra merasakan perlakuan Boss nya lebih mengemong, berbeda ketika dekat dengan Hartadi dulu. Kedekatan Zahra dan Boss nya pun semakin hari semakin dekat.
Teman-teman kerja Zahra tahu akan kedekatan Zahra dan Boss nya. Mereka selalu mewanti-wanti Zahra agar berhati-hati, jangan sampai kedekatan itu berubah menjadi rasa suka seorang wanita terhadap seorang pria, begitu pun sebaliknya. Karna Boss mereka bukan lagi laki-laki single. Jangan sampai kedekatan mereka berdua terdengar istri dan anak-anaknya Pak Yahya, sehingga menimbulkan masalah untuk Zahra sendiri.
Karena teman-teman Zahra bisa melihat dan menilai kalau Pak Yahya mulai menunjukan rasa suka terhadap Zahra secara terang-terangan di depan mereka.
Sampai suatu hari Hartadi menegur Zahra.
“Ra ... Kamu kenapa jadi kaya gini?. Dari awal aku udah kasih nasehat sama kamu, jangan ladeni Boss, tapi tidak kamu gubris juga. Maunya kamu apa sih?.”
“Maksudnya apa sih Har! ... Aku sama Boss cuma seperti Ayah dan anak. Enak aja orangnya diajak diskusi dan bertukar pikiran. Apalagi dia ngemong banget, aku merasa mendapatkan sosok seorang Ayah darinya,” ujar Zahra pada Hartadi.
“Bul **** itu Ra ... Mana ada yang kaya gitu, seorang pria menganggap wanita seperti anak sendiri dan seorang wanita menganggap pria seperti Ayah sendiri!. Aku kan udah pernah kasih tahu kamu kalau Boss tertarik sama kamu. Bukannya kamu menjauh malah mendekat. Masa kamu Ngga bisa perhatikan tiap hari Boss selalu datang ke sini pasti ada maksudnya.”
“Loh ... Boss mau datang tiap hari ke sini itu kan haknya dia, Har. Kan ini hotel milik dia, wajarlah kalau dia datang ke sini.”
“Asal kamu tahu ya Ra ... Sebelum kamu kerja di sini, Boss jarang datang ke hotel ini. Dia datangnya ke hotel miliknya yang di jalan Sudirman. Kantornya Boss di hotel itu, makanya kalau Boss datang ke sini yang di pakai ruangan Manajer, karena memang tidak ada ruangan kerja Boss di sini,” terang Hartadi pada Zahra.
“Sudahlah Har, aku Ngga mau ambil pusing soal itu. Mau Boss datang ke hotel mana saja sah-sah aja sih menurut aku.”
“Kamu keras kepala amat sih kalau di kasih tahu!.”
“Tahu ah ... Udah lah Ngga usah bahas si Boss lagi,” ujar Zahra dengan jengkel.
Satu minggu setelah Hartadi menegur Zahra, omongan Hartadi akhirnya terbukti. Pada suatu hari Zahra dipanggil ke ruangan kerja Manajer, di sana duduk Boss nya yang menantikan kedatangannya. Setelah Zahra duduk di hadapannya, Pak Yahya mengungkapkan dengan terus terang kalau dia menaruh hati kepada Zahra dan menginginkan Zahra untuk menjadi kekasihnya.
Karena Zahra juga sudah merasa nyaman dengan kasih sayang dan perhatian dari Boss seperti mendapatkan kasih sayang seorang Ayah, tanpa pikir panjang dia menerimanya. Wanita itu berpikir apa salahnya mencoba menjalaninya. Dia merasa penasaran seperti apa rasanya menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang usianya terpaut jauh darinya.
Dengan berani dia mengambil keputusan bermain api dengan suami orang. Zahra sadar apa yang dilakukannya salah, tapi saat ini dia ingin sekali-kali egois memiliki perhatian dan kasih sayang dari seorang laki-laki beristri. Yang belum tentu dia dapatkan dari laki-laki single dan lebih muda usianya dari Boss nya.
Mendengar jawaban dari Zahra, hati Pak Yahya merasa bahagia. Akhirnya wanita yang dia cintai selama ini mau menerima dirinya. Pak Yahya pun mengucapkan terima kasih Zahra mau menerimanya. Tak lama Zahra pun keluar dari ruangan Manajer untuk kembali bekerja. Di saat kembali ke meja resepsionis, Kiki rekan kerja sekaligus sahabat Zahra langsung bertanya ada masalah apa Zahra sampai di panggil Boss.
“Ada masalah apa Ra, Lo sampai di panggil Boss?,” tanya Kiki pada Zahra.
“Ngga ada masalah apa-apa Ki. Cuma ... Boss tadi ngungkap kan perasaannya sama Gue kalau Boss suka sama Gue dan minta Gue jadi kekasihnya.”
Mendengar omongan sahabatnya, Kiki terkejut.
“Hahh!” ... Yang benar Ra?. Terus Lo jawab apa?.”
“Benar Ki ... Dan Gue terima.”
“OMG” ... Lo udah gila ya Ra?. Boss kan udah punya keluarga,” ucap Kiki pada sahabatnya.
“Habis gimana dong Ki, Gue selama ini merasa nyaman kalau berdekatan dengan Boss. Orangnya enak di ajak berdiskusi dan bertukar pikiran. Di tambah dengan dia, Gue merasa mendapatkan sosok seorang Ayah yang selama ini Gue rindukan,” ujar Zahra pada sahabatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!