Tristan baru saja kembali ke kamarnya. Sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota, tepatnya Surabaya. Dalam dua minggu ini jadwalnya mengecek kantor cabang, bahkan saat ini kunjungan Surabaya setelah dia menyelesaikan kunjungan cabang Medan.
Sebagai seorang direktur yang akan menggantikan posisi Papi-nya sebagai seorang CEO, Tristan sedang sibuk-sibuknya berperan dan bertindak mengganti Bagas Emilio yaitu Papinya.
Ponselnya bergetar, Tristan yang cukup lelah memilih segera ke toilet dibandingkan menjawab panggilan telepon yang dia pikir dari kekasihnya.
Setelah membersihkan diri, Tristan hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggangnya bergegas menuju nakas di mana dia meletakan ponsel yang saat ini masih terus bergetar.
Tristan mengernyitkan dahinya ternyata panggilan dari Rena yang tidak lain adalah wanita yang sudah melahirkannya.
“Mami,” ujar Tristan lalu menjawab panggilan itu.
“Iya Mam.”
“Tristan,” panggil Rena sambil terisak.
“Mam, are you okay?”
Rena tidak menjawab, malah terdengar suara isakan yang sangat jelas membuat Tristan bingung.
“Mami, ada apa?” tanya Tristan.
“Tristan, pulang Nak … Mami nggak sanggup.” Kembali terdengar suara isakan.
“Halo, Mam.” Tristan memaki karena panggilan berakhir dan ketika Tristan menghubungi balik, panggilan tersebut tidak di jawab.
“Shittt.”
Tristan mendadak nge-lag, sangat dekat dan begitu menyayangi wanita itu dia tidak dapat berpikir jernih menyikapi Mami yang tiba-tiba menangis
“Ada apa sih?”
Tristan menghubungi Adik dan Papinya untuk mendapatkan jawaban tetapi nihil. Sampai akhirnya dia membaca status dari aplikasi pesan yang mengucapkan bela sungkawa untuk keluarganya.
“Sebenarnya ada apa sih,” ujar Tristan lalu menghubungi asistennya.
“Maaf Tuan Tristan, Nona Sherly meninggal dunia. Tuan Tristan diharapkan segera pulang.”
“Sheryl? Nggak mungkin, ini pasti becanda atau prank.”
Cukup alot penjelasan sekilas mengenai kematian sang adik Tristan bergegas packing barang-barangnya karena dia harus pulang saat ini juga. Berada dalam perjalanan menuju bandara, Tristan menghubungi orang kepercayaannya untuk mencari tahu penyebab kematian sang Adik yang terdengar begitu mendadak, meskipun dia percaya semua adalah takdir Tuhan.
...***...
Malam sudah larut saat Tristan tiba di kediamannya yang sudah ramai. Menemui kedua orangtuanya dan mencari tahu penyebab kematian Sheryl.
“Nona Sheryl dinyatakan bunuh diri,” terang Dion asistennya.
Tristan menghela nafasnya, tidak menyangka Sheryl yang begitu ceria bisa mengakhiri hidupnya.
“Penyebabnya?”
“Hanya ada surat yang isinya permintaan maaf untuk keluarga. Sebaiknya Anda beristirahat dulu, besok pagi akan dilaksanakan pemakaman jangan sampai Tuan tidak bisa hadir.”
Tiga hari setelah pemakaman, Rena masih terlihat sedih dan terpukul atas kepergian putrinya. Tristan bukan hanya geram karena kepergian Sheryl tapi tidak tega melihat kepedihan Mami.
“Mami,” panggil Tristan.
“Sayang,” ujar Rena sambil mengusap pipi Tristan. “Kamu jangan tinggalkan Mami ya, Mami nggak bisa kalau kamu juga pergi.”
Tristan mengusap punggung tangan wanita dihadapannya.
“Oh iya, kamu kapan menikah dengan Maira. Sepertinya Mami nggak lihat dia?”
“Saat ini bukan waktu yang tepat membahas pernikahan. Maira titip salam untuk Mami, dia sedang berada di LA. Jadwalnya sedang padat,” terang Tristan. Maira adalah kekasihnya yang berprofesi sebagai model.
Meskipun Rena tidak menyukai profesi dan karakter Maira, dia tetap menerima wanita itu karena Tristan mencintainya.
“Tristan, adikmu ….”
“Mami tidak usah pikirkan hal itu, biar aku yang mencari tahu masalah ini. Jaga kesehatan Mami,” ujar Tristan.
Berada di pertemuan bersama Papi dan juga orang kepercayaannya, termasuk Dion.
“Menurut sahabat Sheryl di kampus, akhir-akhir ini dia terlihat murung. Seperti ada masalah yang disembunyikan.”
“Bagaimana hasil pencarianmu?” tanya Tristan pada orang kepercayaannya.
“Ada insiden yang Nona Sheryl alami beberapa waktu yang lalu, saat menghadiri pesta ulangtahun salah stau temannya yang diadakan di klub malam.”
Deg.
Jantung Tristan berdetak lebih kencang dengan kedua tangan mengepal menahan emosi. Entah mengapa pikirannya menduga hal negatif yang dialami Sheryl.
“Sepertinya Nona Sheryl mabuk lalu bertemu dengan pria yang kondisinya mabuk berat dan mereka melewati one night stand.” Orang itu mengeluarkan foto-foto dari hasil CCTV yang memperlihatkan Sheryl dan seorang pria meninggalkan klub.
Terdengar helaan nafas Bagas. Dalam hatinya dia merasa bersalah karena gagal melindungi putri satu-satunya.
“Tapi ini bukan kasus pelecehan karena kondisi keduanya mabuk, mengapa bisa Sheryl melakukan ….” Tristan tidak dapat meneruskan ucapannya.
“Nona Sheryl hamil, sepertinya dia bingung, shock dan tidak bisa menerima keadaan.”
Tristan menyugar rambutnya. Bagaimana bisa kamu memilih melewati hal ini sendiri, ada kami keluargamu Sheryl, batin Tristan.
“Ini identitas pria itu. Secara hukum dia tidak bersalah karena Nona Sheryl tidak dalam keadaan dipaksa dan keduanya tidak sadar.”
Tristan menerima amplop coklat berisi identitas pria itu. Pria yang akan menerima balasan dari Tristan, meskipun kenyataannya pria itu tidak bersalah secara langsung.
“Pria ini pernah menemui Nona Sheryl di kampus, sepertinya membahas kejadian malam itu.”
“Tristan, tidak usah kamu perpanjang. Sheryl sudah tenang di sana, ini sudah takdir. Memperpanjang masalah ini hanya akan menambah luka hati Mami.”
“Tenang saja Pi, aku hanya perlu mencari tahu motivasi pria itu dan maksud dia menemui Sheryl. Jangan sampai ini ada hubungannya dengan persaingan bisnis.”
“Papi serahkan semuanya sama kamu,” ujar Bagas lalu meninggalkan pertemuan tersebut.
Semakin dalam dan semakin tahu kenyataan malah membuat semakin sakit dan kecewa. Bagas memilih tidak tahu demi kenyamanan hati dan perasaannya.
“Cari tahu mengenai keluarganya,” titah Tristan setelah dia membaca identitas pria tersebut.
\=\=\=\=\= Haiiii ketemu lagi sama aku 🥰🥰 semoga suka ya, selalu tinggalkan jejak dan kasih bintang 5 yesss 😘😘
“Nay, baru pulang?” tanya Ibu pada putrinya yang datang dengan wajah lesu dan tidak bersemangat. Naya hanya menganggukan kepalanya dan meraih tangan Ibu untuk salim.
“Kalau datang itu ucap salam, ini malah cemberut.”
“Aku nggak diterima Bu, pengalaman aku kurang. Mereka mencari yang sudah pengalaman,” keluh Naya. Nayaka saat ini sedang giat melamar kerja setelah menyelesaikan kuliahnya.
“Sabar, itu namanya perjuangan. Lagi pula kamu baru lulus, masih muda pula jadi nggak usah ngoyo,” nasihat Ibu. “Sudah sana, mandi terus makan.”
“Iya Bu. Eh, Kak Daru mana Bu?”
“Belum pulang, masih di bengkel,” ujar Ibu.
"Aku temui Kak Daru ya bu."
Sedangkan yang dibicarakan, Andaru Dirja kakak dari Nayaka sedang melamun di bengkelnya. Padahal saat ini bengkel cukup ramai, tapi Daru memilih melipir ke ruangan kecil tempatnya menyelesaikan laporan dan urusan keuangan.
Akhir-akhir ini Daru sering melamun memikirkan masalah yang cukup pelik meskipun sudah berlalu. Tapi rasa bersalah membuatnya gelisah. Karena ulahnya dan kenakalannya bersama rekan-rekannya, ada gadis yang menjadi korban. Walaupun saat itu Daru dan gadis itu sama-sama mabuk tapi Daru tetap merasa bersalah.
“Aarggg,” teriak Daru.
“Kak,” panggil Naya sambil mengetuk pintu dimana Daru berada. “Kakak kenapa?”
Daru pun tersadar dari lamunannya dan segera membuka pintu.
“Kakak kenapa?”
Daru tersenyum, tidak ingin memperlihatkan keresahannya di depan Naya. “Nggak apa-apa, memang kelihatannya aku kenapa?”
“Aku dengar kakak teriak.”
“Masa sih, suara TV kali,” elak Daru sambil mengacak rambut Naya. “Kata Ibu kamu lihat pengumuman?” tanya Daru sambil berjalan menuju salah satu mobil yang sedang diperbaiki oleh karyawannya.
“Iya, tapi aku nggak diterima. Mereka butuh yang berpengalaman.”
“Belum rejeki kamu, coba lagi aja kayak ale-ale,” ejek Daru sambil terkekeh.
“Nggak lucu, Kak.”
“Kerja di sini aja Nay,” ujar rekan Daru.
“Jadi apa?”
“Jadi pajangan, kamu ‘kan enak dilihat bikin kita-kita tambah semangat.”
“Mau mati kalian, sudah kerja jangan godain Naya,” titah Daru. “Kamu pulang sana, nggak beres di sini banyak buayanya.”
“Iya, kayak perawan di sarang penyamun,” ejek rekan Daru lainnya.
...***...
Sedangkan di tempat berbeda. Tristan sudah mendapatkan informasi mengenai kondisi keluarga pria yang terlibat dengan kematian adiknya.
“Hm, menarik.”
“Jangan bilang kamu mau balas dendam?” tanya Dion.
“Darah dibalas darah, kehormatan dibalas kehormatan dan nyawa dibalas nyawa,” ujar Tristan sambil tertawa sinis.
Dion hanya mengela nafasnya pelan. Kalau benar Tristan akan membalaskan dendam untuk adiknya, pasti dirinya akan dilibatkan dalam hal itu.
“Bagaimana bisa orang yang sudah menghancurkan hidup adikku masih bisa bebas dan hidup nyaman. Kondisikan agar gadis itu bekerja di perusahaan, entah dengan alasan tidak sengaja atau terpaksa.”
“Hm, baiklah. Aku akan pikirkan caranya.”
“Segera! Aku tidak ingin berlama-lama membiarkan pria itu menikmati sisa hidupnya. Dia harus merasakan sakitnya kehilangan atau sedihnya melihat keluarga tersayang tersakiti.”
Tristan kembali menatap foto Gendis Nayaka Putri, adik dari Andaru Dirja pria yang menghabiskan malam bersama Sheryl dan ayah dari anak yang dikandung adiknya. Menurut Tristan, Andaru adalah orang yang harus bertanggung jawab atas kematian Sheryl.
“Kamu cantik dan menggemaskan seperti Sheryl, tapi sayang tidak lama lagi kamu harus merasakan seperti yang Sheryl alami,” ujar Tristan.
\=\=\=\=\=
“Kamu mau kemana Nay?” tanya Ibu melihat Nayaka surah rapih, padahal baru jam enam pagi.
“Aku mau melamar lagi, Bu. Doakan kali ini berhasil.”
“Ibu selalu doakan, nak. Tapi kamu melamar kemana? Bukannya kamu bilang kalau nggak ada orang dalam susah dapat kerja?”
“Ini Bu, ada pesan masuk isinya informasi lowongan pekerjaan,” sahut Naya sambil memakai sepatunya.
Ibu Naya terlihat heran, “Dari siapa? Aman nggak?”
“Insha Allah aman.” Naya berangkat dengan sangat percaya diri ditambah restu dari Ibunya membuat dia yakin akan diterima bekerja.
Turun di halte tidak jauh dari perusahaan tujuannya, sedikit berlari karena tidak ingin terlambat. Saat ini dirinya yang lebih membutuhkan pekerjaan tentu harus lebih sigap, karena kalau perusahaan bisa dengan mudah mengganti atau mencari pengganti karyawan.
Naya menyerahkan berkas lamarannya di bagian resepsionis. Agak aneh karena tidak melihat pelamar lainnya.
“Tunggu di sana ya Mbak,” ujar salah seorang resepsionis.
Naya pun duduk di tempat yang dimaksud sambil menatap sekeliling. Memperhatikan lalu lalang para pekerja di perusahaan tersebut, berharap dia akan menjadi bagian diantara orang-orang itu.
“Mbak Gendis Nayaka Putri,” panggil resepsionis tadi. Naya bergegas menghampiri.
“Mari saya antar ke HRD.”
Naya berpikir dia akan diinterview atau akan menjalani tes kompetensi tapi pihak HRD mengatakan dia diterima kerja dan besok sudah mulai bertugas.
“Maaf Pak, apa tidak salah?”
“Loh, benar Mbak. Dokumen atas nama Gendis Nayaka Putri sudah sesuai dengan kriteria karyawan yang dibutuhkan,” jawab staf HRD dengan logat Jawa yang cukup medok.
“Tapi ….”
“Mau Ndak? Kalau nggak, formulir ini saya simpan lagi.”
“Eh, mau Pak.”
Naya pun menerima formulir berisi identitas karyawan termasuk informasi honor yang dia terima. Tidak ingin kesempatan itu melayang, Naya bergegas mengisi dan menyerahkan kembali ke pria dihadapannya.
“Mulai besok ya Mbak Nay, jangan sampai telat loh. Di sini tidak toleransi dengan karyawan yang tidak disiplin.”
“Baik, Pak. Saya akan berusaha semampu saya,” ujar Naya dengan penuh semangat. Tanpa dia ketahui kalau semua adalah rekayasa dari pihak Tristan.
“Sudah oke, gadis itu akan mulai bekerja besok,” ujar seseorang pada Tristan.
Tristan yang sedang berdiri di depan jendela yang cukup besar di belakang meja kerjanya, menatap suasana Jakarta dari lantai tempatnya berada. Tersenyum membayangkan apa yang akan gadis itu terima dan kesakitan apa yang akan dirasakan oleh Daru sebagai balas dendam atas kematian Sheryl.
... ***...
“Aku diterima kerja, Bu,” ujar Naya dengan bahagia sambil memeluk ibunya.
“Alhamdulillah,” ujar sang Ibu turut bangga.
“Ada apa sih, kayak yang habis dapat rejeki nomplok aja pada peluk-peluk sambil ketawa gitu,” seru Daru yang baru saja keluar dari kamar akan berangkat ke bengkel.
“Memang aku dapat rejeki,” sahut Naya lalu menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Dari mengenryitkan dahinya merasa ada yang aneh dari cerita Naya.
“Sudah ah, aku masuk dulu. Persiapkan untuk besok,” seru Naya.
“Makan dulu Nay,” titah Ibu sambil beranjak ke dapur.
“Aneh,” gumam Daru. Menurut Daru sehebat apapun orang dalam yang mengajak bekerja pasti akan ada yang namanya interview dan tes masuk. Tapi berdasarkan cerita Naya, dia tidak menjalani itu semua hanya pemeriksaan dokumen.
Ponsel Daru bergetar ternyata panggilan dari bengkel, membuat dia bergegas keluar rumah dan menuju bengkel mengabaikan sejenak masalah Naya yang menurutnya aneh.
Naya mempersiapkan dirinya untuk besok. Mengecek pakaian-pakaiannya di lemari, termasuk tas dan sepatu yang akan dia gunakan untuk bekerja.
Tinggal hanya bertiga semenjak ayahnya pergi, walaupun bukan hidup dalam kemewahan tapi kesederhanaan. Ibunya mendapatkan uang pensiun Almarhum ayah, sedangkan Daru meneruskan usaha yang pernah Ayahnya rintis yaitu bengkel.
Keesokan hari.
Naya yang hendak membantu ibunya seperti yang biasa dia lakukan, ditolak oleh Ibu. “Nggak usah Nay, biar nanti Ibu saja. Kamu lebih baik bersiap, katanya hari ini mulai bekerja.”
“Iya, tapi siapa yang kerjakan ini,” tunjuk Naya pada pakaian kotor yang cukup menggunung.
“Bisa Ibu, kalau belum kepegang ya nanti sorean aja.”
“Hmm, ya udah nantu sore aja aku bantu cuci.”
Daru yang ikut bergabung di dapur untuk membuat kopi mengacak rambut Naya. “Bagi waktu Nay, biar tetap bisa kerja dan bantu Ibu,” seru Daru.
“Iya, Kak.”
Akhirnya Naya tiba di kantor. Berdiri di depan gedung yang menjulang tinggi dan menatapnya. “Semangat,” gumam Naya.
Sebuah mobil mewah, baru saja melewatinya dan berhenti di lobby. Seorang pria dengan perawakan cukup tinggi dengan penampilan rapih dan gagah, karyawan yang berada di sekitarnya menganggukan kepala dan memberikan salam kepadanya.
“Itu siapa?” gumam Naya.
“Tuh, kalau kita datang jam segini pasti bisa lihat Pak Tristan. Ganteng banget, ‘kan,” ujar seorang wanita tidak jauh dari Naya.
“Biar apa coba, ketemu Pak Tristan. Dia kenal lo juga nggak,” ujar seorang pria.
“Ya siapa tahu dia jodoh gue. Kayak di drama Korea gitu, tiap pagi lihat salah satu karyawannya lama-lama dia tertarik, terus pacaran dan menikah. Ih, so sweet … eh jalan pakai mata,” seru wanita itu.
“Maaf Mbak, nggak sengaja.” Tetiba Naya tersandung dan menambrak wanita dan pria yang berjalan di depannya.
“Sudah, nggak usah marah-marah masih pagi. Lo karyawan baru ya?”
“Iya Mas.”
“Divisi apa?” tanya pria itu lagi.
“Keuangan.”
“Wah, sama dong. Kenalin gue Adi, dia Maya divisi marketing,” ujar Adi.
“Saya Gendis Nayaka Putri, panggilan Naya.”
“Ya udah, masuk yuk. Nanti malah telat,” seru Maya.
Naya tersenyum, ternyata alam kembali berpihak kepadanya. Pagi ini dia sudah mendapatkan teman baru.
“Lo mau ke HRD dulu ya?”
“Iya Mas,” jawab Naya.
Adi berdecak mendengar panggilan Naya, sedangkan Maya terkekeh. “Lo emang pantas jadi Mas-mas.”
Naya diantar ke divisi keuangan olah staf HRD yang kemarin dia temui, setelah mendapatkan banyak informasi tentang tata tertib perusahaan.
“Namanya Gendis Nayaka Putri, junior accounting yang baru pengganti Nancy yang sebelumnya mutasi ke cabang. Jangan dijahatin nanti dia kabur.”
“Nggak bakal dong, yang ada nanti kita sayang-sayang,” ujar salah satu tim keuangan yang kemudian mendapatkan sorak dari rekan lainnya.
“Selamat datang Naya.”
“Terima kasih, mohon kerjasamanya.”
Naya sudah berada di meja kerjanya, mendapatkan arahan tugas dari seniornya. Saat diberi arahan, Naya mengangguk mengerti dan sesekali bertanya ketika ada yang tidak dia pahami.
“Sementara itu dulu, beberapa hari ini kamu konsen input itu. Udah lumayan numpuk karena biasanya ini dikerjakan oleh staf sebelum kamu.”
“Baik Bu,” sahut Naya.
...***...
Sudah lebih dari satu bulan Naya bekerja dan mampu menyesuaikan diri. Pagi ini sungguh pagi yang hectic, angkutan umum yang Naya tumpangi tiba-tiba berhenti dan tidak dapat hidup kembali. Menunggu angkutan di tempat yang cukup ramai, membuatnya hampir terlambat tiba di kantor.
Naya bergegas dengan sedikit berlari saat berada di lobby menuju lift, karena sebulan ini dia masih dalam masa training jadi dituntut untuk selalu disiplin.
Bugh.
“Aaa.” Pekik Naya. Berpikir kalau dia akan terjerembab ternyata kedua tangannya dalam cengkraman pria yang dia tabrak.
Pria itu melepaskan tangan Naya setelah tubuh Naya kembali stabil.
“Kalau jalan hati-hati, karena kamu bisa terluka atau melukai orang lain.”
“Maaf, Pak. Saya buru-buru,” ujar Naya ketika dia menabrak seseorang. Naya mengusap keningnya yang menabrak dada tubuh seorang pria, otot tubuh itu cukup keras dan kencang.
“Hm.”
Pintu lift terbuka, pria itu masuk tapi Naya tetap pada posisinya. Bahkan saat ini pintu lift sudah ditahan karena menunggu Naya masuk, “Bukankah kamu buru-buru, kenapa masih berdiri disitu?”
Naya ragu bergabung dalam satu lift dengan pimpinan tempatnya bekerja, pria itu adalah Tristan. Apalagi tadi dia ceroboh dengan menabraknya.
“Hm, Bapak duluan saja.”
“Sepertinya kamu memang ingin sampai di ruangan terlambat ya.”
“Ehh, tunggu Pak. Saya ikut,” ujar Naya lalu melangkah ke dalam lift. Berdiri di samping Tristan sambil menundukkan wajahnya.
Sebagai pimpinan Tristan memang disegani, auranya membuat nyali Naya ciut. Tristan sendiri menyunggingkan senyum melirik gadis yang berdiri di sampingnya.
Pintu lift terbuka di lantai tujuan Naya. Sebelum keluar, Naya sempat menangguk pelan dan ijin mendahului pada Tristan. Di jawab hanya dengan berdeham.
“Wah, lo terlambat Nay,” seloroh Adi ketika Nayaka tiba di kubikelnya.
“Maaf, tapi Cuma lima menit kok.”
“Tadi di panggil Bu Mira, samperin aja ke ruangannya,” ujar Adi.
Ternyata ada kesalahan input transaksi yang dilakukan oleh Naya, otomatis berimbas pada laporan bulanan.
“Ini sudah aku approve perbaikannya tapi laporan revisinya harus minta persetujuan Pak Tristan. Kamu ke ruangannya ya bawa dokumen ini dan jelaskan kenapa bisa salah. Ini berita acaranya sudah dibuat tapi biasanya Pak Tristan akan tanya langsung juga.”
“Aku Bu?”
“Ya iya dong, masa saya harus minta OB yang menghadap Pak Tristan.”
“Kira-kira saya bakal dimarahi nggak Bu?”
Ibu Mira terdiam, sudah bukan rahasia kalau Tristan termasuk orang yang tidak menoleransi kesalahan dan kedisiplinan. Sebagai pimpinan dia disegani karena ketegasan dan cukup arrogan juga.
“Kalau itu konsekuensi, jadi tidak akan ada petunjuk kamu akan kena marah atau tidak. Kesalahan dan penyelesaiannya ini adalah prosedur sistem, bisa jadi dia marah bukan karena hasil pekerjaan tapi karena kecerobohan kamu.”
Naya menghela nafasnya. Bagaimana pun dia harus bertanggung jawab, Naya pun beranjak membawa dokumen menuju ruang kerja Tristan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!