“Apaan sih, Bu! Nisa ga mau!” Seorang gadis terlihat tidak senang menatap ke sang ibu yang kini duduk di hadapannya.
“Kenapa tidak mau? Ini juga demi kebaikan kamu juga,” ujar wanita berumur sekitar lima puluh tahunan itu.
“Nisa masih mau kerja, atau main. Ga mau nikah, apalagi dijodohkan. Umur Nisa masih dua puluh tahun, Bu. Masa Ibu mau nikahin Nisa buru-buru.” Gadis itu bersikukuh menolak keputusan sang ibu yang ingin menjodohkannya.
Wanita bernama Santi itu menatap kesal ke putri keduanya yang tidak mau dijodohkan. Padahal pemuda yang melamarnya itu seorang perangkat desa dan jelas pekerjaannya.
“Nasihati anakmu itu, Pak. Dia suruh nurut kakaknya, kenapa dia ini bangkang terus!” Santi menggerutu karena putrinya yang bernama Khaerunisa itu menolak perjodohan yang sudah direncanakan.
Abdullah—ayah Nisa, terlihat mengembuskan napas kasar.
“Kamu nurut sama ibumu, Sa. Ini semua demi masa depanmu,” ucap Abdullah mencoba membujuk.
Nisa menggelembungkan pipi, menggerutu dalam hati karena kedua orangtuanya memaksanya menikah.
“Pokoknya Nisa ga mau, titik!” Gadis itu berdiri, lantas menatap ayah dan ibunya bergantian.
“Kenapa Bapak dan Ibu tidak mengizinkanku kuliah kayak Joya, atau bekerja dulu sama kayak Joya. Kenapa aku harus di rumah dan ga boleh ke mana-mana!” keluh Nisa kesal kepada kedua orangtuanya.
Santi ikut berdiri mendengar putrinya menyebut nama adik sepupu yang sukses bekerja di kota. Namun, Santi yang berpikiran kolot, berpikir jika kehidupan kota tidak akan sebaik dan seramah di desa.
“Jangan ikut-ikutan Joya! Kamu lihat, karena dia hidup di kota, sampai umurnya sekarang tiga puluh tahun belum menikah dan punya jodoh! Kamu tuh nurut saja sama Ibu, sudah dipilihkan pria baik, tapi masih saja ngeyel!” geram Santi.
Nisa kesal karena ibunya tidak memahami perasaan dan keinginannya. Dia terkadang iri terhadap teman-temannya yang bisa bekerja, bahkan kuliah di kota. Di desa itu, Nisa hanya sekadar gadis kampung yang tidak punya pengalaman apa-apa tentang dunia. Kesehariannya hanya membersihkan rumah, membantu ayahnya mengurus pekerja di sawah dan kebun, selebihnya menghabiskan waktu di kamar membaca novel.
Nisa keluar dari rumah karena tidak mau lagi berdebat dengan ibunya. Bahkan saat Santi terus memanggil, Nisa terus melangkahkan kaki menjauh.
“Nape muka kamu masam gitu?” tanya teman Nisa saat gadis itu datang ke rumahnya.
“Lagi sebel sama Ibu,” jawab Nisa. Dia lantas duduk memeluk bantal sofa.
“Napa lagi? Ibumu marahin anak orang lagi karena deketin kamu?” tanya teman Nisa bernama desi itu.
“Bukan,” jawab Nisa masih memasang wajah kesal.
“Terus?” Desi semakin penasaran karena temannya itu datang-datang sudah cemburut.
“Ibu mau menjodohkanku, kali ini sama pemuda dari kampung sebelah. Aku malas.” Nisa menjatuhkan tubuhnya, lantas berbaring miring di sofa dan memeluk erat guling sebelum kemudian menenggelamkan wajahnya di sana.
“Tuh cowok pasti tajir, makanya ibumu mau menjodohkanmu dengannya,” cerocos Desi.
“Tau ah … aku pusing,” gerutu Nisa kemudian memejamkan mata.
Desi geleng-geleng kepala. Ini bukan pertama kalinya Nisa datang berwajah masam dan mengeluh kepadanya. Dari Nisa yang dilarang bekerja, hingga ada teman cowok yang datang main diusir sama Santi karena hanya naik motor butut pun sudah pernah dikeluhkan. Desi sendiri tidak paham kenapa Santi sampai benar-benar mengekang Nisa sampai seperti itu.
Meski Desi tahu jika keturunan keluarga Nisa memang kaya, tapi bukan berarti harus pilih-pilih dalam hal berteman.
Desi tiba-tiba tersenyum jahil, gadis itu mengeluarkan ponsel dan membuka sebuah aplikasi sosial media. Dia melirik Nisa yang masih memejamkan mata, sedangkan jempolnya tampak lincah mengetikkan sesuatu.
“Apa kamu sudah mendapatkan kode aksesnya?”
Suara seorang wanita terdengar dari sebuah panggilan telepon.
“Sabar, kamu ini setelah menikah dan memiliki anak, kenapa semakin bawel dan tidak sabaran,” celetuk seorang pemuda memakai kacamata dan tengah fokus pada layar komputer yang ada di hadapannya, ponsel menyala di samping keyboard komputer dan tersambung dengan seseorang.
Pemuda itu duduk di sebuah ruangan dengan pencahayaan minim, tengah mengakses sesuatu dari komputer yang memiliki banyak angka dan huruf di layarnya.
“Hahaha. Bagaimana denganmu? Tambah umur, pekerjaanmu makin lemot melebihi siput,” ledek wanita dari seberang panggilan.
“Sialan!” Pemuda bernama Arion Hutama itu mengumpat tapi di akhiri gelak tawa. “Daripada kamu, sekarang cerewet melebihi wanita yang sedang menawar barang di pasar!” ledek balik Rion dengan jemari terus menari di atas Keyboard.
“Arion!” Wanita di seberang panggilan berteriak karena kesal Rion terus mengajak berdebat.
Arion atau kerap disapa Rion tertawa lepas mendengar teman sesama hackernya berteriak kesal.
“San, jangan berteriak keras. Kasihan anakmu nanti terkejut,” ledek Rion masih dengan tertawa.
“Sialan kamu! Jangan bercanda lagi! Cepat dapatkan kode aksesnya, klien sejak tadi juga sudah tidak sabar menunggu kabar.” Wanita bernama Susan itu meminta Rion untuk lebih fokus.
“Baik-baik, Nyonya. Jangan berteriak keras-keras, nanti kulit wajahmu keriput sebelum waktunya.” Meski sedang fokus dengan pekerjaan, tapi Rion masih saja bisa bercanda dengan temannya itu.
Rion semakin fokus mengerjakan tugas yang diberikan Susan, hingga angka-angka dan huruf di layar komputernya bisa dipecahkan serta membentuk sebuah kode khusus.
“Dapat!” Rion menekan enter untuk bisa masuk ke sistem yang sedang dibobolnya.
“Sudah dapat?” tanya Susan dari seberang panggilan.
“Tentu saja, bukankah sudah kubilang tak butuh waktu lama,” balas Rion menyombongkan diri.
“Baiklah, lakukan sesuai permintaan!” perintah Susan kemudian dari seberang panggilan.
Rion melakukan sesuai perintah, hingga kemudian tugasnya telah selesai dan mengirimkan bukti pada Susan agar bisa dikirim balik ke klien mereka.
“Akhirnya.” Suara helaan napas lega terdengar dari seberang panggilan.
Rion pun menghela napas lega, matanya terasa lelah karena seharian harus menjadi seorang kepala keamanan di perusahaan temannya, sedangkan malam langsung diminta membobol akses sebuah perusahaan. Tentu saja dengan bayaran tinggi melebihi gajinya menjadi kepala keamanan.
“San!” panggil Rion karena masih terhubung dengan Susan.
“Hm … apa? Sebentar!” Susan terdengar seperti sedang berkomunikasi dengan orang lain.
Rion memilih menunggu, duduk bersandar pada kursi seraya menggoyangkan ke kanan dan kiri. Tak lama kemudian, suara Susan kembali terdengar.
“Ada apa? Upahmu langsung transfer?” tanya Susan dari seberang panggilan.
Rion mendengar suara tangis anak Susan, sebelum kemudian terlihat tersenyum.
“Tidak,” jawab Rion. “Hanya ingin tanya sesuatu,” ujar Rion kemudian.
“Tanya apa?” Suara Susan terdengar sambil menenangkan putrinya yang menangis.
“Jika kamu masih suka menjadi seorang hacker dan menerima job, kenapa tidak kamu lakukan sendiri dan malah meminta tolong padaku?” tanya Rion. Pemuda itu sadar jika pekerjaan hacker tidak mudah dan tak aman, tapi kecintaannya pada profesi itu, membuat Rion mengabaikan segala resiko.
Susan terdengar menghela napas, kemudian bicara. “Kamu tahu aku sudah menikah, memiliki seorang putri yang butuh banyak perhatian. Lagipula kamu tahu suamiku, dia ingin aku berhenti jadi hacker.”
“Lalu, kenapa masih mengambil job jika ingin berhenti?” tanya Rion yang tak habis pikir karena Susan ingin berhenti, tapi tak bisa berhenti.
“Aku sebenarnya terlalu sayang untuk meninggalkan pekerjaan ini, Rion. Namun, aku juga masih memikirkan perasaan suamiku. Jadi, anggap saja aku berhenti dengan setengah hati,” jawab Susan dari seberang panggilan.
Rion terdiam, bagi mereka memang meninggalkan pekerjaan yang sudah sangat disukai sejak mereka masih berumur belia memanglah susah. Namun, ucapan Susan tentang memikirkan perasaan keluarga juga penting.
“Jadi, kamu diam-diam melakukan pekerjaan ini lagi? Suami tak tahu?” tanya Rion.
“Tentu saja, Rion. Kalau tahu, mungkin dia akan menyita ponsel dan semua alat komunikasi online ‘ku,” jawab Susan lalu terdengar tawa kecil.
“Ya sudah, selama kamu memang masih membutuhkan, aku akan tetap menolongmu,” ujar Rion kemudian.
“Terima kasih, Rion.” Susan berucap manja, bagaimanapun Rion sudah menjadi temannya sejak mereka masih duduk di bangku kuliah, meski tidak satu kampus. “Rion, aku sering menghubungimu, apa tidak ada yang marah? Terkadang aku takut jika pacarmu tahu dan mengamukku karena dikira aku genit kepadamu,” ujar Susan panjang lebar.
Rion tergelak, kemudian membalas ucapan Susan. “Pacarku ada di hadapanku. Dia selalu menemani setiap pekerjaanku, dia tahu kalau aku menghasilkan uang untuk bisa meng-upgrade dirinya agar menjadi lebih baik. Bagaimana bisa dia marah padaku?”
“Ck, bukan komputer, Rion! Astaga, tampaknya kamu memang masih pantas dijuluki jomblo abadi di umurmu sekarang!” ledek Susan setelah mengetahui jika pengartian pacar antara dirinya dan Rion berbeda.
Susan tahu jika Rion menganggap komputer yang selalu digunakan untuk bekerja adalah pacar. Namun, pacar yang dimaksud kali ini adalah gadis sungguhan.
“Hm … tidak perlu memperjelas, San! Aku masih terlalu cinta dengan komputerku, aku takut dia cemburu jika aku pacaran dengan gadis. Bagaimana jika dia ngambek lalu tidak mau bekerja?” Rion mengusap-usap komputernya saat bicara dengan Susan.
“Alah! Alasan kamu saja, Rion. Bilang saja jika memang belum laku!” ledek Susan, kemudian terdengar tertawa keras.
“Hm … suka sekali kamu meledekku. Kalau tahu aku tidak laku, kenapa dulu kamu tidak memilihku saja,” seloroh Rion diakhiri gelak tawa.
“Oh … tidak bisa!” sangkal Susan. “Suamiku sudah teristimewa, tidak ada duanya.”
“Hm … ya … ya … ya. Istimewa karena begitu setia menunggumu dewasa sejak kamu duduk di kelas satu SMA,” balas Rion, berbincang dan bercanda dengan Susan memang takkan ada bosannya bagi pemuda itu.
Susan terdengar tertawa, Rion memang teman yang paling mengerti dirinya.
“Sudah larut. Aku ingin istirahat, Freya juga tak mau tidur lagi jika aku tidak ikut tidur,” ucap Susan dari seberang panggilan.
“Baiklah, aku juga harus istirahat karena besok masih bekerja,” balas Rion, mematikan komputernya untuk bersiap istirahat saat masih bicara dengan Susan.
“Fee mu, aku kirim besok pagi, ya.”
“San, kapan putrimu ulang tahun?” tanya Rion sebelum mengakhiri panggilan.
“Bulan depan, ada apa?” tanya Susan dari seberang panggilan.
“Fee ‘ku, berikan setengahnya untuk Freya. Belikan sesuatu yang dia butuhkan,” jawab Rion. Rion sudah menganggap Susan saudara dan Freya keponakannya sendiri.
“Wah, serius!” Susan terdengar begitu bersemangat. “Freya, ucap terima kasih pada Paman Rion.” Freya terdengar bicara pada putrinya.
Rion tersenyum mendengar Susan mengajak bicara gadis kecil yang sebenarnya belum pernah dilihatnya langsung.
“Maaci Paman.” Suara anak Susan yang berumur hampir tiga tahun itu terdengar lucu.
“Sama-sama,” balas Rion, sebelum kemudian mendengar Susan berpamitan dan mengakhiri panggilan.
Rion menghela napas pelan, kemudian berjalan ke ranjang dan langsung merebahkan tubuh. Ia menatap langit-langit kamar, menghela napas berulang kali.
“Benar kata Susan, apakah aku akan terus menyandang jomblo abadi? Menyedihkan sekali.” Rion merasa miris sendiri.
Rion terlalu mencintai komputernya, setiap hari sepulang bekerja selalu menghabiskan waktu dengan mesin itu. Tak pernah terbesit dalam pikirannya untuk mencari gadis yang bisa dijadikan pacar. Rion terlalu nyaman dengan pekerjaan dan hidupnya sekarang.
“Kalau memang sudah ada jodohnya, pasti juga bertemu,” gumam Rion kemudian memejamkan mata.
Rion baru saja pulang dari perusahaan, pekerjaannya sebagai kepala security, memang sering membuat pemuda itu pulang terlambat.
Seperti hari ini, Rion pulang pada pukul delapan malam. Ia langsung melempar jas ke sofa rumah kontrakan sederhananya, kemudian masuk kamar dan menyalakan komputer tercintanya.
Selama ini Rion memang tinggal sendiri, sejak kuliah tinggal di asrama, setelah lulus dan bekerja juga menyewa rumah. Baginya yang sudah bisa menghasilkan uang dari hasil menjadi hacker, tak susah untuknya menghidupi diri sendiri.
"Kita lihat, mau main apa kita malam ini?"
Rion bicara pada komputernya, lantas mulai mengotak-atik aplikasi yang ada di dalam mesin itu. Ia mengecek game online, tapi ternyata Susan tidak on untuk bermain, membuat pemuda itu malas jika tak ada Susan.
"Nggak ada dia, nggak asyik."
Rion menjauhkan jemari dari keyboard, lantas meraih ponsel yang berada di samping papan keyboard. Pemuda itu membuka sebuah akun sosmed, sampai melihat sebuah group untuk perjodohan.
Pemuda itu tertawa terpingkal, bagaimana bisa ada grup yang isinya orang-orang mencari jodoh.
"Apa mereka tak selaku itu, sampai-sampai ikut grup beginian?" Rion menggeleng kepala pelan.
Ia memang iseng membuka, tapi tidak ikut serta di grup tersebut. Rion hendak keluar dari grup itu karena merasa isinya tak penting, hingga bola mata coklatnya menangkap sebuah postingan dari salah satu member yang dianggapnya lucu dan menarik.
(Aku punya teman, dia sangat manis, tinggi lumayan, umur jangan tanya, masih muda. Ada yang mau coba buat kencan sama dia? Tapi kudu siap mental, kalau datang harus bawa mobil merk ternama, pakaian yang modis, kalau perlu siapkan sertifikat tanah yang banyak. Biar dapat izin dari orangtuanya, untuk mengajaknya kencan.) Postingan itu lantas diberi emoji tertawa.
Rion merasa lucu, sebenarnya akun dengan foto profil seorang gadis itu, ingin membuat temannya laku atau malah sebaliknya, mengingat persyaratan yang diberikan cukup berat bagi orang biasa.
"Apa keluarganya matre?" Rion bertanya-tanya dalam hati.
Ia menggeser postingan itu hingga ke dasar, kemudian mengamati foto yang juga terpajang di sana.
"Manis." Tanpa Rion sadari, mengagumi foto gadis yang sedang dicarikan jodoh itu. Bahkan kedua sudut bibir pemuda itu tertarik sedikit ke atas, hingga menciptakan lengkungan di wajah manis pemuda itu.
Hingga Rion melihat balasan komentar dari akun lain, meski wajah tak tampak tapi nama akun yang tertera milik seorang gadis.
(Hapus nggak! Enak saja daftarin orang sembarangan! Memangnya aku tak selaku itu? Kalau nggak dihapus, loe gue end!)
Rion menahan tawa, hingga kemudian berpikir mungkinkah ini akun gadis yang didaftarkan temannya untuk mendapatkan jodoh.
Pemuda itu merasa penasaran, hingga kemudian menekan foto profil akun yang membalas postingan tadi. Ia men-scroll postingan milik akun gadis itu karena ternyata tak di private, membuat Rion bisa melihat apa saja yang diposting gadis itu. Walau meski di private pun, Rion tetap bisa membuka jika ingin.
Rion tak melihat ada foto yang menunjukkan dengan jelas wajah si pemilik akun itu, benarkah semanis foto yang dipajang akun yang ada di group perjodohan tadi, hingga saat sampai di postingan agak bawah, Rion akhirnya melihat foto pemilik akun meski dari samping. Di sana tertulis sebuah caption, yang membuat dahi Rion berkerut dengan sejuta pertanyaan.
(Sampai kapan? Aku butuh sebuah perubahan, aku butuh sebuah dorongan, aku butuh sebuah dukungan. Saat ini hanya bisa menjalani yang ada, ditemani sang surya yang selalu menghangatkan tubuh tapi tidak dengan hati.)
"Apa pemilik akun ini sedang galau?" Rion bertanya sendiri, merasa tertarik dengan caption, serta sosok pemilik akun yang dianggapnya misterius.
Rion hanya heran, bukankah gadis zaman sekarang suka memajang foto mereka di sosial media, menunjukkan kecantikan atau kegiatan yang menarik perhatian. Namun, kenapa Rion merasa pemilik akun itu berbeda, kenapa gadis itu tak menampakkan wajah dengan jelas.
"Ah ... bodo amat! Kenapa aku jadi fokus ke postingan tak jelas!" Rion langsung keluar dari akun gadis tadi, kemudian keluar dari aplikasi sosial media.
"Bermain sosmed malah membuang waktu!"
Rion yang sebenarnya lebih suka bermain game online, merasa sosial media tak terlalu penting baginya. Ia lantas meletakkan ponsel ke meja, kemudian memilih berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum beristirahat.
**
Nisa berada di kamarnya seperti biasa. Dia baru saja selesai bersih-bersih rumah, kemudian memilih langsung masuk kamar. Nisa tidak ingin ada lagi pembahasan tentang perjodohan lagi, malas jika harus terus-terusan berdebat dengan ibunya.
Gadis itu berbaring dengan posisi menelungkup, kedua kaki ditekuk lantas diayunkan ke atas dan bawah. Nisa membuka aplikasi sosial medianya, kemudian tampak iseng menyapu beranda untuk melihat ada postingan apa saja hari itu.
Hingga bola mata Nisa membulat lebar, dirinya melihat Desi membuat postingan tentangnya.
“Desi sialan!” geram Nisa.
Sejak kemarin dirinya tidak membuka aplikasi sosial medianya, sehingga tidak tahu jika ternyata sejak kemarin dirinya ditandai dalam postingan Desi di sebuah grup perjodohan.
Nisa buru-buru mengetik balasan komentar, bagaimana bisa Desi membuat postingan seperti itu.
“Memalukan sekali!”
Nisa melempar ponsel di sampingnya, lantas menenggelamkan wajah ke bantal.
“Desi kurang ajar! Lihat saja apa yang akan aku lakukan!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!