NovelToon NovelToon

Pengasuh Untuk Rain

BAB 1

Pagi Ana hari ini adalah pagi yang berbeda dari biasanya. Ana yang sedang bersiap ke kantor mendapati papanya tidak ada di rumah. Curiga jika papanya itu tidak pulang dari semalam, Ana memutar kembali rekaman CCTV yang dipasangnya di atas rumahnya dari layar ponselnya. Dan ternyata memang benar, papanya tidak pulang dari semalam, karena tidak terlihat mobil lain yang masuk selain mobil miliknya.

"Kemana Papa? Mengapa papa nggak pulang? Nggak biasanya Papa begini," ucap Ana lirih.

Ana mencoba menghubungi ponsel papanya berkali-kali, tapi tidak satupun panggilannya terjawab.

"Ada apa ini? Apa papa baik-baik saja?"

Dar, dar, dar ...

Pagi Ana semakin tidak biasa saat dia mendengar suara gedoran dari pintu depan rumahnya. Saat Ana mengeceknya dari layar ponselnya, dia mendapati ada lima orang pria yang berpakaian serba hitam sedang berdiri mengerumuni pintu depannya.

"Siapa mereka?," tanya Ana pada dirinya sendiri.

Ada apa mereka ada di depan rumah Ana pagi-pagi begini? Apa yang mereka inginkan? Ana bahkan tidak mengenal mereka.

Ana tidak punya pilihan lain selain menemui mereka meskipun Ana sendiri enggan untuk melakukannya. Tapi, saat mereka terus menerus menggedor pintu rumah, Ana terpaksa harus keluar sebelum mereka melakukan keributan lain yang akan mengundang kerumunan tetangga.

"Kamu pasti Adriana Tanuwijaya, anaknya Doni."

Perasaan Ana semakin tidak karuan saat mereka menyebut namanya dan juga papanya saat Ana menemui mereka. Bagaimana mereka tahu? Siapa mereka?

"Bagaimana kalian mengenal papa saya? Apa mau kalian?," tanya Ana.

"Papa kamu harus membayar hutang-hutangnya hari ini"

Kata 'hutang' terus berputar di kepala Ana. Apa yang tidak Ana ketahui saat ini? Bagaimana bisa papanya berhutang? Sejak kapan? Untuk apa? Berapa banyak? Tidak ada satupun pertanyaan itu Ana ketahui jawabannya. Karena orang-orang yang ada di depannya saat ini terus mendesak Ana agar segera memanggil papanya.

Bagaimana Ana bisa memanggilnya? Papanya bahkan tidak pulang dari semalam, dan semua panggilannya tidak dijawab. Bahkan baru hari ini Ana mengetahui jika papanya berhutang. Bagaimana Ana menghadapi mereka semua?

"Tolong beri saya waktu," kata Ana pada mereka. "Saya bahkan tidak tahu menahu soal hutang ini, meskipun saya adalah anaknya. Tapi saya akan tetap menanggung tanggung jawab papa saya. Jadi, tolong beri saya waktu untuk meminta penjelasan papa saya. Saya sendiri yang akan membuatnya menemui kalian jika sudah ditemukan."

Salah satu pria yang terlihat paling garang di antara keempat pria lainnya terlihat menghubungi seseorang dengan ponselnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi di saat yang bersamaan, Ana terus memohon dalam hatinya agar orang itu menyetujui permintaannya.

"Oke," kata pria itu begitu dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaketnya. "24 jam. Waktumu hanya 24 jam. Dan besok saya akan kembali menemui kamu dan juga papa kamu itu."

Ana menghembuskan napas leganya dan menganggukkan kepalanya berulang-ulang. "24 jam sudah cukup," batin Ana.

"Jangan coba-coba untuk kabur. Atau saya akan mencarimu dan menyeretmu ke neraka." Begitu pesan terakhirnya untuk Ana sebelum mereka pergi dari rumahnya. Ana mencoba untuk tetap terlihat tenang tanpa rasa takut, padahal yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya.

Tubuh Ana seketika melemas saat mereka sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Dengan tenaganya yang tersisa, Ana masuk ke dalam rumahnya dan mencari segelas air untuk membasahi tenggorokannya yang sedari tadi sudah mengering karena rasa takutnya. Tenggakan terakhir membuat Ana terbatuk. Ana mencoba menenangkan dirinya setelah itu.

Sisa waktu yang Ana miliki saat ini digunakan Ana untuk mencari papanya. Ana terus menerus mengiriminya pesan singkat. Ana juga tidak berhenti menelponnya. Tapi tidak ada satupun yang terjawab atau terbalas.

Ana juga menghubungi kantor papanya. Tapi bahkan sekretaris papanya pun tidak bisa memberinya petunjuk kemana papanya saat ini.

Ana kemudian mencoba menghubungi teman-teman papanya yang dia kenal, dan lagi-lagi, tidak ada satupun yang tahu kemana papanya pergi. Ana semakin tak karuan memikirkan apa yang akan terjadi besok saat orang-orang itu datang lagi.

Yang Ana sesalkan adalah ternyata dia tidak benar-benar mengenal papanya sendiri. Kapan papanya mulai berhutang, dan untuk apa? Mengapa tiba-tiba papanya harus berhutang? Apakah perusahaannya sedang kesulitan? Atau mungkinkah terlibat masalah?

Apalagi dengan orang-orang seperti itu. Ana yakin betul mereka bukanlah kreditur ramah yang layanannya dijamin ojeka. Terlihat jelas wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah yang akan melakukan apapun untuk mendapatkan tujuan mereka.

Semakin Ana larut dalam pikirannya, semakin Ana tidak dapat menemukan jawaban untuk semua pertanyaannya.

Tepat di saat Ana akan menyerah, ponsel Ana berbunyi. Ana melihat notifikasinya, sebuah pesan masuk untuk Ana. Segera Ana membuka ponselnya, dan didapatinya pesan itu dikirim oleh papanya. Ana terkejut melihat kata "Papa" yang tertulis pada bagian pengirim dari pesan itu.

"Ana, maafkan papa karena menghilang begitu saja tanpa memberitahumu. Papa tahu sekarang ini kamu pasti kaget karena tiba-tiba ada orang asing datang mencari papa. Maafkan papa, Ana. Papa mengaku salah.

Seseorang menawari papa untuk berinvestasi. Papa tertarik untuk mengikutinya, Karena uang papa tidak cukup, papa terpaksa berhutang.

Papa akhirnya mengenal orang yang bisa meminjamkan uang dalam jumlah banyak.

Ternyata, investasi itu bohong. Orang itu menipu papa. Uang papa dan uang pinjaman itu dibawa lari oleh orang itu, Papa mencarinya untuk bertanggung jawab, tapi ternyata dia malah menghilang. Sekarang papa pergi mencarinya.

Ana, papa malu untuk menemuimu. Seharusnya papa tidak melakukannya dari awal. Papa sangat menyesalinya. Karena itu papa akan mencarinya hingga ketemu. Papa sangat minta maaf, Nak.

Pergilah dari rumah itu secepat mungkin. Bersembunyilah dimanapun kamu bisa. Jangan sampai mereka menemukannmu. Sekali lagi, maafkan papamu ini, Nak. Papa benar-benar sangat menyesal"

Ana seakan tidak percaya bahwa pesan itu ditulis oleh papanya sendiri. "Omong kosong macam apa ini?," ucap Ana lirih menahan rasa marahnya. Ana segera menelpon papanya.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"

Sekali, dua kali, bahkan lima kali, Ana masih terus mencoba menghubungi papanya itu. Tapi ternyata papanya hanya berniat mengirimkan pesan untuk Ana, dan setelah itu dinonaktifkannya lagi. Ana menjadi sangat geram. Napasnya mulai memburu karena emosinya yang memuncak. Kemarahannya mulai tidak bisa dibendungnya lagi. "Tapi kenapa harus lari!!!," teriak Ana.

Ana terlalu kesal hingga dia tidak dapat menahan air matanya keluar. Pada akhirnya dia tidak dapat menahan semuanya. Ana terus meraung bersamaan dengan cucuran air matanya. Dirinya terlalu marah memikirkan apa yang sudah dilakukan papanya tanpa sepengetahuannya.

BAB 2

Ana baru saja selesai meeting dengan salah satu kliennya. Kejadian tadi pagi, membuat Ana terpaksa harus minta ijin untuk tidak masuk kantor hari ini. Tapi karena rasa tanggung jawabnya sebagai ketua tim untuk salah satu proyek penting perusahaannya, Ana merasa harus menghadiri meeting itu.

Ana adalah karyawan biasa di sebuah perusahaan digital marketing kelas menengah. Sebelum Ana lulus kuliah, papanya berkali-kali meminta Ana untuk bekerja di perusahaan miliknya, agar kelak Ana bisa mengambil alih perusahaan itu. Meski demikian, Ana selalu menolak permintaan papanya. Akibatnya, mereka sering terlibat pertengkaran ayah-anak setiap kali membahas masalah ini.

Bukan tanpa alasan Ana memilih untuk bekerja di luar perusahaan milik papanya itu. Ana ingin mendapatkan pengalaman sebelum dia mengurus perusahaan papanya, agar kelak Ana bisa mengatasi semua permasalahan yang ada di perusahaan.

Selain itu juga, dia tahu alasan sebenarnya mengapa papanya ngotot sekali agar Ana bekerja disana. Karena Ana adalah anak satu-satunya. Dan itu sudah cukup jadi alasan bagi papanya untuk selalu mengkhawatirkan Ana dimanapun dia berada. Apalagi setelah almarhum mamanya meninggal saat Ana masih berumur 5 tahun, papanya selalu berjanji pada almarhum mamanya untuk menjaga dan melindungi Ana.

Dan kini, Ana yang sedang duduk di sebuah coffee shop setelah selesai dengan meetingnya, sedang menatap cangkir kopi yang ada di hadapannya. Dia masih tidak habis pikir dengan apa yang sudah dilakukan papanya. Hati Ana masih menyimpan kemarahan atas apa yang terjadi pagi tadi. Begitu dia mengingat kembali pesan yang dikirimkan papanya, kemarahan Ana juga ikut kembali menaik. Ana menyesalkan keputusan papanya yang memilih untuk pergi mencari penipu itu dan membiarkan Ana sendirian menghadapi para rentenir itu.

"Aahh ... Tolong ... tolong ..."

Tiba-tiba Ana mendengar teriakan seorang wanita meminta tolong. Suara wanita itu terdengar sangat ketakutan menyebabkan Ana berdiri dari tempatnya dan mencari asal suara itu. Beberapa orang yang ada di jalanan juga mencari asal suara dan mulai berkerumun di jalan.

Dari kejauhan Ana melihat seorang wanita sedang mengendong anak perempuan. Di sampingnya ada seorang pria sedang menarik anak perempuan yang sedang digendong wanita itu. Seorang pria lainnya sedang menunggu di atas sepeda motornya yang masih menyala dan seakan sudah siap untuk berangkat.

Ana memperhatikan anak yang sedang digendong wanita itu. Anak itu terus menangis dan berontak memukuli wajah dan kepala pria yang ada di depannya dengan tangan kecilnya. Sedetik kemudian, Ana menyadari bahwa apa yang dilihatnya saat ini adalah percobaan penculikan.

Beberapa orang sudah maju ingin menolong, tapi ancaman pria bermotor membuat mereka mundur dan tidak ada yang berani ikut campur. Di saat itu, Ana memutuskan maju menyelamatkan mereka.

Ana berlari menuju ke arah mereka, lalu melemparkan salah satu sepatunya dan mengenai kepala pria yang sedang menarik lengan anak itu. Wanita di dekatnya cepat tanggap dan langsung membawa anak perempuannya menjauh. Pria itu ingin mengejar wanita yang kabur, tapi di saat yang bersamaan segerombolan pria berjas hitam datang mengejarnya. Pria itu segera memutuskan untuk menaiki motor.

Pria bermotor yang melihat hal itu segera menancapkan gasnya menuju Ana.

Ana bersiap dengan tas di tangannya, lalu memutarkan badannya setengah lingkaran sambil menganyunkan tasnya ke arah depan. Saat pria bermotor itu mulai mendekat, tas Ana langsung menghantam wajah pria bermotor itu hingga terjatuh dari motornya.

Pria bermotor itu dan pria satunya lagi mencoba kabur dengan menaiki motor mereka kembali. Sebelum mereka melakukannya, Ana memukuli mereka terus menerus dengan tasnya. Dan dengan melindungi kepala mereka dari tas Ana, motor mereka terus melaju meninggalkan Ana.

Beberapa orang bertepuk tangan dengan aksi Ana, sementara Ana sibuk mengambil sepatunya yang terjatuh entah kemana. Segerombolan pria berjas hitam sudah tiba di tempat kejadian, tapi sayangnya para penculik itu sudah pergi.

"Terima kasih sudah menyelamatkan Nona Muda kami."

Salah satu pria berjas hitam datang menghampiri Ana yang saat ini sedang menulis sesuatu di sebuah buku catatan.

"Sama-sama, saya hanya kebetulan lewat," kata Ana.

"Tuan kami ingin bertemu dengan Anda dan mengucapkan terima kasih," kata pria itu lagi.

"Oh, tidak. Maaf, tapi saya masih ada keperluan lain," tolak Ana.

Ana menyerahkan selembar kertas pada pria yang ada di hadapannya itu. "Ini. Saya sudah menuliskan beberapa informasi tentang pria-pria tadi. Ada plat nomer, ciri-ciri, dan beberapa informasi lainnya yang bisa saya lihat tadi. Selebihnya bisa tanyakan pada wanita tadi yang menggendongnya, atau cek CCTV yang ada di area ini."

Ana pergi meninggalkan segerombolan pria berjas hitam itu setelah mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih.

......................

Malamnya, Ana sedang berdiri di depan jendela kamarnya. Memandangi langit malam yang penuh dengan awan yang menutupi bintang-bintang. "Sepertinya akan hujan," kata Ana dalam hatinya.

Ana membaca kembali pesan yang dikirimkan papanya pagi tadi. Masih tersimpan amarah di hatinya, meskipun tidak sehebat tadi. Ana hanya merasa kemarahannya tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi.

Ana juga memikirkan permintaan papanya untuk pergi dari rumah ini. Tapi, bagi Ana bersembunyi hanya akan membuat Ana terus menerus dinaungi rasa takut kemanapun dia pergi. Yang hanya bisa Ana lakukan sekarang adalah menghadapinya. Ana akan menanggung hutang-hutang itu sebagai bentuk kewajibannya untuk papanya sendiri.

"Semoga mereka mau memberikan aku kelonggaran."

Ana mengetik beberapa kata untuk membalas pesan papanya itu.

"Ana tidak akan menjadi seperti papa. Akan Ana hadapi."

Lalu ditekannya tombol kirim.

Setelah itu, Ana menarik napas panjang dan menghembuskannya. Hati Ana seperti sudah siap menghadapi semuanya.

"Apapun yang akan terjadi besok, terjadilah," kata Ana dengan tatapannya yang tajam menatap langit malam melalui jendela kamarnya.

BAB 3

"Restoran?"

Ana dibawa ke sebuah restoran mewah oleh para pria yang datang ke rumahnya siang ini. Mereka adalah orang-orang yang sama yang Ana temui kemarin. Dan karena mereka tidak dapat bertemu dengan papanya, mereka meminta Ana untuk ikut dengan mereka.

Awalnya Ana menolak permintaan tersebut. Pikiran Ana sudah tidak karuan memikirkan apa yang akan mereka lakukan pada Ana jika dia ikut dengan mereka. Tapi mereka bilang akan membawa Ana pada seseorang yang mereka panggil Tuan Besar, orang yang akan memutuskan bagaimana Ana melunasi hutang-hutang papanya. Ana jadi tidak punya pilihan lain selain ikut dengan mereka.

Selama perjalanan, Ana terus bertanya-tanya kemana dirinya akan dibawa. Dia sudah membayangkan bahwa dia akan dibawa ke suatu tempat yang terpencil dimana tidak ada seorangpun tahu, atau ke sebuah gudang yang kumuh dan usang, atau malah di tepi jurang dimana kalau Tuan Besarnya marah, mereka hanya perlu mendorong Ana ke jurang itu.

Tapi, ini restoran, mewah pula. Ana mengenal tempat ini. Beberapa kali dirinya diundang oleh klien-kliennya untuk mengadakan pertemuan disini.

Seperti namanya, "Lorenzo Vins" adalah restoran milik chef Lorenzo asal Perancis yang menyediakan masakan dan wine khas negaranya. Tempat ini ekslusif. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk di dalamnya. Dan restoran ini hanya menerima reservasi dari pelanggan.

Ruangan di dalamnya terbilang cukup luas. Hanya ada beberapa meja yang diatur berjarak renggang. Di tengah ruangan terdapat sebuah bar oval melingkar dengan seorang bartender di dalamnya.

Ana melihat seorang pria sedang duduk di ujung bar menikmati minuman di gelas kecilnya. Pria dengan jas slim fit tanpa lengan warna hitamnya membalut kemeja putihnya. Tubuh bidangnya jelas terlihat meskipun dia sedang duduk. Untuk beberapa detik, Ana mendapati pria itu memandangi dirinya saat dia melewati bar.

Pria itu terlihat tidak begitu tua. Ana memperkirakan usianya 30 tahun, mungkin lebih. Wajahnya tampan, terlihat bukan seperti orang asli Indonesia. Garis matanya tajam. Tulang rahangnya membentuk wajahnya terlihat tegas. Meskipun sedang duduk, Ana mengira tingginya sekitar 170an sentimeter, mungkin lebih sedikit. Pria itu tersenyum melihat Ana. Bibirnya yang tipis dan lebar memasang senyum di wajah tampannya.

"Selamat datang, Ana ....," pria itu menyambut Ana dengan suaranya yang dalam.

"Kamu Tuan Besar mereka, kan? Apa maumu?," tanya Ana.

Pria itu tertawa kecil mendengar pertanyaan Ana. "Duduklah dulu," kata pria itu mempersilahkan Ana duduk di bangku bar yang ada di sampingnya.

"Panggil saja aku ... Marius. Aku ... hmm ... katakan saja, aku dan Tuan Doni adalah rekan kerja."

"Dari mana kamu mengenal papaku?," tanya Ana.

"Hmm ... Dari mana ya aku akan mulai? ... Katakan saja begini ... Aku terkenal sebagai penyedia modal bagi para pengusaha. Mereka yang butuh banyak modal pasti akan datang kepadaku," jawab Marius.

"Rentenir maksudmu," kata Ana dengan nada dan tatapan tajamnya.

Marius tertawa dengan kerasnya. "Uang yang mereka pinjamkan tidak sebanyak aku, Ana. " jawab Marius. "Hhmm ... Aku dan Tuan Doni punya perjanjian kerjasama."

"Kerjasama? Kerjasama apa?," desak Ana.

Marius menyerahkan sebuah map hijau yang baru saja diterimanya dari salah satu anak buahnya kepada Ana. Ana menyadari bahwa yang dipegangnya itu adalah surat perjanjian dari halaman pertamanya. Terlihat olehnya "Doni Tanuwijaya", nama papanya sendiri, dan juga "Marius Edmond Hadinata". Ana yakin itu nama Marius.

"Tuan Doni meminjam sejumlah uang yang sangat besar ... dengan beberapa persyaratan," jelas Marius.

"PT. MGA?." Mata Ana terbelalak lebar saat dirinya membaca bagian jaminan yang diajukan, salah satunya adalah perusahaan papanya sendiri.

"Papa menjual hampir semuanya," kata Ana pelan. Dia hampir saja menangis melihat semua itu.

"Tapi, semua persyaratan itu tidak bisa menutupi semua hutang-hutangnya," lanjut Marius lagi.

"Apa maksudmu?," tanya Ana.

"Jumlah yang dipinjam Tuan Doni terlalu besar, Ana," jawab Marius. Dia memainkan gelas whiskey yang ada di tangannya dan membiarkan setenggak whiskey membasahi tenggorakkannya.

"Berapa yang dipinjam papa?," desak Ana.

"150 miliar" jawab Marius tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ana. Dia masih terus memainkan gelas whiskeynya. "Semua aset yang dijaminkan termasuk perusahaannya itu nilainya bahkan tidak mencapai dari separuhnya."

Tubuh Ana seketika menjadi lemas dan tidak bertenaga. "150 miliar?," suara Ana terdengar bergetar meskipun terdengar lirih. Tangannya gemetar membayangkan uang 150 miliar yang harus dibayarkannya.

"Jadi ... bagaimana aku harus membayarnya?," kata Ana dengan suaranya yang sedikit bergetar karena menahan amarahnya.

"Kamu yang akan membayarnya?," tanya Marius.

"Ya. Karena itu beri aku cara untuk melunasinya. Tapi ... kuharap jangan terlalu sulit. Tidak seperti papaku, aku hanya karyawan biasa."

Marius terdiam memandangi Ana. Entah apa yang sedang dipikirkan Marius.

"Kamu bisa mencicilnya tiap bulan," kata Marius.

"Apa?!," teriak Ana hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Kamu tidak mau?," tanya Marius.

"Tidak, tidak, aku ... aku tidak menyangka ... kamu memperbolehkan aku ... mencicilnya."

"Tapi ... dengan bekerja padaku."

"Bekerja padamu? Tidak bisakah aku bekerja seperti biasa, dan mengirimkannya uangnya padamu saat gajian?"

Marius hanya menggelengkan kepalanya.

"Kamu hanya takut aku kabur, kan?," selidik Ana.

"Kamu bebas berpikiran apapun, tapi aku punya jawabanku sendiri," jawab Marius. "Dan aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan hal itu."

"Apa yang akan aku kerjakan? Kamu tidak akan menyuruhku menjadi ... escort lady, kan?"

Marius tertawa dengan kerasnya. "Kamu mengira aku apa, Ana?"

Ana merengut mendengar Marius tertawa seakan sedang meledeknya. "Aku cuma bertanya."

"Kamu hanya akan menjadi pengasuh anak," jawab Marius dengan santainya.

Ana terdiam. "Anakmu?"

"Ya"

Ana terdiam lagi. "Kamu bercanda, kan?"

Marius kembali tertawa. "Tidak."

"Aku tidak punya sertifikasi untuk itu."

"Aku tahu."

"Lalu, mengapa kamu menyuruhku untuk menjadi pengasuh?"

"Karena aku mau kamu yang menjadi pengasuhnya."

"Apa maksudmu?"

"Tidak ada."

Ana mulai stress mendengar jawaban Marius yang tidak satupun dari semuanya menjawab pertanyaan Ana dengan benar.

"Aku tidak punya pengetahuan tentang mengasuh anak. Aku bahkan belum pernah menikah, apalagi punya anak."

"Kamu bisa mempelajarinya mulai sekarang. Atau kamu ingin kita menikah agar kamu bisa lebih mudah mempelajarinya?"

"Tidak. Lupakan," kata Ana kesal.

"Aku akan membayarmu 20 kali lipat dari gajimu yang sekarang."

"20 kali lipat? Maksudmu ...,"

"100 juta. Setiap bulan."

"Apa dia serius? Untuk seorang pengasuh?," batin Ana.

"Aku membayarmu sangat mahal, kan. Jadi kuharap kamu bisa bekerja dengan sangat baik." Marius memamerkan senyumnya di wajah tampannya. Sepanjang waktu Ana berbicara dengannya, baru saat ini dengan jelas Ana melihat senyumnya yang manis itu.

"Diam, Ana! Fokus!," batin Ana membentak dirinya sendiri.

"Aku rasa kamu menyetujuinya," kata Marius membuyarkan lamunan Ana. "Jadi, untuk saat ini, pulanglah," lanjutnya. "2 hari lagi akan ada orang yang datang untuk menjemputmu," lanjut Marius tanpa mempedulikan Ana.

"Apa maksudmu menjemput?"

"Kamu lupa, Ana? Kamu akan menjadi pengasuh. Itu artinya kamu akan tinggal di rumahku," jawab Marius.

"Lalu, bagaimana dengan pekerjaanku?," tanya Ana.

"It's your business, Ana. Not mine."

Ana terdiam. "Jadi, aku akan tinggal di rumahnya?!?!," batin Ana berteriak.

......................

Epilog :

"Nona Ana sudah kami antarkan kembali, Tuan," kata seorang pria kepada Marius yang sedang duduk di depan meja kerjanya.

"Apakah dia menanyakan hal lain padamu?"

“Tidak, Tuan."

"Apakah mereka sudah mengkonfirmasi?"

“Sudah, Tuan. Mereka bilang benar, itu Nona Ana."

Marius terlihat tersenyum puas mendengar jawabannya. Seakan jawaban itu memang sudah ditunggunya.

"Kamu boleh pergi," kata Marius sambil melanjutkan menandatangani berkas-berkas yang ada di depannya saat ini, dan dengan senyumnya yang lebar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!