NovelToon NovelToon

Terikat Cinta Pertama

Bab 1

Kisah Bermula ...

Andai saja cinta itu tidak pernah tumbuh mungkin saja rasa sakit ini tidak akan pernah ada~ Anindya.

Seandainya aku bukanlah lelaki yang punya banyak masalah, mungkin saja aku sudah memilikinya~ Gian Saputra.

.

.

Sepuluh tahun yang lalu ....

Menjadi siswi yang rajin, pintar juga dari keluarga yang berada tidak membuat Anindya menjadi pribadi yang sombong juga angkuh.

Senyum manis dari wajah ayu itu selalu terpancar bagai kilauan mentari yang menyinari setiap sisi gelap di sekitarnya.

Belum ada yang mampu menyentuh hati gadis dengan lesung pipi alami itu.

Selain karena Anin terlahir dari keluarga kaya, Anin juga tidak mau menjalin kisah kasih yang bernama 'pacaran'.

Itulah kenapa, banyak para pengagum gadis cantik itu harus membuang jauh-jauh perasaan untuk memiliki Anin.

"Selamat pagi Anin," sapa Mauren, sahabat sekaligus teman duduk Anin di kelas.

"Pagi juga Ren." Anin meletakkan tas ranselnya lalu duduk di sebelah Mauren yang masih asik merapikan polesan bedak di wajahnya.

Anin bukan tipe gadis yang pandai bergaul atau tipe remaja yang ahli dalam dunia fashion apalagi soal mengoles make up.

Ia gadis kaya yang memiliki tingkat kesederhanaan yang tinggi. Baginya, selama ia nyaman itu sudah menjadi kebahagiaan tersendiri untuknya.

Suara riuh terdengar dari luar kelas. Seorang remaja laki-laki dengan seragam putih abu-abu mengikuti langkah seorang wanita paruh baya yang sudah lama menjadi guru matematika di sekolah menengah atas tersebut.

Bu Melda selaku wali kelas Xll IPA 1 masuk ke dalam kelas yang menjadi tanggung jawabnya.

"Perkenalkan diri kamu!" suruh Bu Melda pada laki-laki yang mengikutinya sejak tadi.

Bisik-bisik kagum terdengar begitu kentara saat lelaki itu mulai memperkenalkan dirinya sebagai murid baru di SMU tersebut.

Gian Saputra, murid pindahan dari luar kota. Tidak ada senyum ramah saat ia memperkenalkan diri, wajahnya datar dengan tatapan mata yang tak ada takutnya.

Bola mata bulat dengan hidung mancung dan bibir merah alami. Lelaki itu memiliki tinggi badan di atas rata-rata serta berkulit putih seperti bayi. Namun siapa sangka sikapnya tak mencerminkan karakter baby face-nya.

"Cari bangku kosong dan duduklah!" titah Bu Melda setelah Gian memperkenalkan dirinya.

Gian melirik tiga bangku kosong yang ada di kelas itu. Ia memilih bangku kosong tepat di belakang tempat duduk Anin.

Mauren langsung menampakkan wajah ceria saat Gian ternyata memilih duduk di bangku kosong di deretan paling belakang. Bangku kosong sebelah Andre yang kebetulan tidak masuk hari ini.

"Selamat datang ke kelas istimewa ini lelaki tampan." Mauren dengan genit menyambut Gian. "Aku Mauren." Mauren mengulurkan tangannya dengan ramah, tapi tak ada balasan dari lelaki itu. Gian tak peduli dengan uluran tangan Mauren yang mungkin saja sudah lelah ingin menyambut tangan halus siswa tampan itu.

Gian tak peduli. Dengan raut wajah cool ia duduk tanpa menoleh Mauren sedikitpun.

Mengambil sebuah buku tebal di dalam tasnya lalu meletaknya di atas meja. Tak sampai semenit, lelaki itu tampak merebahkan kepalanya di atas buku tersebut.

Dengan lengan yang menjadi penopang pipi mulusnya.

Mauren menggerutu. Baru kali ini ada seorang lelaki yang menolak uluran tangan tanpa nodanya. Anin terkekeh melihat Mauren yang berbalik ke posisi semula dengan wajah jutek.

"Tidak berhasil?" Anin bertanya sembari tersenyum mengejek. Karena sejak tadi Anin sudah curiga bahwa usaha sahabatnya itu kali ini akan sia-sia.

Walaupun Anin akui, Mauren adalah gadis populer di sekolah ini, tapi sejak awal melihat ekspresi Gian yang memperkenalkan diri di depan kelas, ia sudah menyangka bahwa Gian bukan tipe lelaki yang mudah bergaul atau mudah di dekati.

Pelajaran pun di mulai dengan suara hening. Tidak ada yang akan berani berbicara jika Bu Melda sudah menerangkan rumus matematika yang rumit di papan tulis.

***

Gian merentangkan tangannya lebar setelah bel istirahat berbunyi. Kelas tampak sepi. Hanya ada dia yang baru bangun tidur dan Anin yang masih fokus membaca buku pelajaran selanjutnya.

"Hei, hei." Gian menarik ujung rambut panjang Anin dengan santai.

Anin menoleh kesal ke arah laki-laki itu. "Bisakah kamu sopan? Aku punya nama." Sebal Anin pada murid baru itu.

"Aku murid baru, tidak tau namamu. Apa kamu bodoh?"

"Makanya jangan pura-pura tidak butuh teman. Namaku Anindya panggil saja Anin." Anin memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan.

"Aku panggil Dya saja, aku tidak suka Anin," ketus Gian.

Anin mengerutkan dahinya. Menatap sinis lelaki yang sudah seenaknya merubah nama panggilan gadis itu.

"Aku lapar, temani aku ke kantin!" Gian beranjak dari duduknya. Ia berdiri di dekat meja Anin.

"Pergi saja sendiri! aku masih ingin belajar. Tanya saja pada murid lainnya yang berada di luar."

"Aku ingin kamu Dya!" Gian membungkukkan badannya. Menatap wajah Anin dari dekat. Tangannya dengan cepat merampas buku yang sedang Anin pelajari.

"Hei kembalikan!" Anin mendongak.

tetapi karena wajah Gian terlalu dekat. Kepala Anin malah beradu dengan dagu Gian.

"Awww ...." Anin dan Gian sama-sama meringis kesakitan. Mengusap letak rasa sakit masing-masing dan saling menatap kesal.

"Dasar gadis ceroboh," ringis Gian yang merasa rahangnya hampir terlepas.

"Kamu yang salah bukan aku," bela Anin yang juga masih mengusap kepalanya yang sakit dengan tangan.

"Ayo cepat! aku semakin lapar, sebagai permintaan maafmu, kamu yang bayar." Gian menarik tangan Anin tanpa peduli semua orang menatap mereka dengan tatapan curiga dan kesal.

"Lepaskan Gian!" berontak Anin.

"Diam! aku akan melepaskanmu setelah perutku kenyang."

Anin dan Gian menuju kantin sekolah. Anin duduk dengan tenang di hadapan Gian. Semula ia ingin pergi setelah mengantar Gian, tetapi lelaki berwatak dingin itu tak membiarkan Anin pergi.

"Tunggu sebentar! aku tidak suka makan sendiri."

"Kita baru saja kenal, kenapa kamu sudah berani mengancam ku?" Kesal Anin.

"Aku tidak punya siapa-siapa di sini, aku hanya mengenalmu sekarang." Sahut Gian sembari menyuapkan bakso ke mulutnya.

"Bukannya tadi Mauren ingin kenalan denganmu, tapi kamu malah cuek?"

"Siapa Mauren?" Gian seolah lupa.

"Teman sebangku aku, Gian."

"Oh."

"Oh? Lalu kenapa kamu tidak memintanya menjadi temanmu?"

"Aku tidak suka dia. Masih sekolah sudah berdandan menor." Gian berkata tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Dia sahabatku Gian. Apa pantas kamu bicara begitu di depanku?"

Gian tak menjawab, ia tak peduli. Ia mengeluarkan uang dari saku celananya lalu menaruhnya di depan Anin.

"Bayar! aku tunggu di luar."

Anin mengusap dada. Merasa sudah di perbudak lelaki yang belum sehari dikenalnya.

Walau terpaksa, Anin tetap melakukan apa yang Gian suruh.

Gian tersenyum tipis saat melihat Anin menuju kasir untuk membayar makanannya.

"Gadis penurut," ucap Gian merasa senang.

***

Baru mulai, selamat membaca...

Jangan lupa dukungannya ya!!

Like n vote gaes^^

Bab 2

Rintik-rintik membasahi tanah yang menjadi pijakan kaki penghuni bumi. Menurunkan air bening yang membuat sebagian murid berteduh sembari menunggu jemputan.

"Belum di jemput?" tanya Gian saat melihat Anin ikut berteduh.

"Hmmm," jawab Anin malas.

"Apa kamu suka tantangan?" Gian tersenyum tipis. Wajah dingin itu seketika berubah manis.

Anin tersentak kaget saat melihat senyuman lelaki itu. Untuk pertama kalinya Gian tersenyum padanya sejak ia menjadi murid di sekolahnya. "E ... tan ... tangan apa?" Anin menjawab dengan gugup, hanya karena sebuah senyuman ia bisa segugup itu.

"Ayo ikut aku!" Gian menarik tangan Anin. Ia berlari kecil menuju tempat parkiran motornya. Lelaki itu memasangkan helmnya kepada Anin. "Naik!" suruhnya.

"Untuk apa? Sebentar lagi supir akan menjemputku," tolak Anin.

Gian menatap Anin tajam, ia tidak suka di tolak. "Naiklah Dya! aku tidak akan menculikmu. Kamu akan menikmati sensasi berbeda. Percaya padaku!" lagi-lagi senyum manis itu membuat Anin gugup dan lupa akan semua hal.

Gian melaju motor gedenya menerobos rintik hujan. Anin yang tidak biasa naik motor memegang ujung baju seragam Gian dengan erat. Memang benar, sensasi ini tidak pernah Anin alami. Dinginnya air hujan membasahi kulitnya. Perlahan gadis itu merasakan setiap tetes hujan yang semakin lama semakin lebat.

Namun kedua remaja itu sangat menikmati setiap detik perjalanan mereka di bawah guyuran hujan.

"Dimana rumah kamu Dy?" tanya Gian.

"APA?" suara hujan membuat ia tak mendengar apa yang Gian katakan, ditambah lagi karena ia memakai helm milik Gian.

Gian menghentikan motornya di depan toko sembako di pinggir jalan. Membuka kaca helm Anin. "Dimana rumah kamu Dy ...?" tanya Gian sekali lagi.

"Ouw ... kamu belok kiri, terus lurus saja Gian!" jawab Anin menunjuk arah rumahnya dengan jari telunjuknya.

Gian mengangguk. Mereka menaiki motor kembali. Melewati jalanan yang tidak terlalu ramai dikarenakan hujan.

Ini pertama kalinya. Pertama dalam hidupnya, Anin membiarkan seorang teman lelaki dekat dengannya. Seolah hilang akal, Anin semakin erat memegang ujung seragam Gian. Entah karena takut jatuh ataukah Anin merasa nyaman dengan lelaki yang baru ia kenal itu.

Dua remaja itu menyusuri rintik hujan. Seolah hanya mereka saja yang menikmati suasana itu dengan rasa senang.

Gian berhenti di sebuah perumahan. Lelaki tampan itu membuka helm yang Anin kenakan.

"Apa kamu senang? Kamu tampak sangat menikmatinya tadi." Gian tersenyum lagi. Kali ini senyumannya lebih lebar dan sangat tulus.

Anin mengangguk. Tak dapat dipungkiri, ia memang sangat senang, walaupun ia pasti mendapat omelan dari sang ibu saat nanti ia masuk ke dalam rumah.

"Masuklah!cepat ganti pakaianmu! nanti kamu masuk angin."

"Salahmu bila aku masuk angin," jutek Anin.

"Tidak apa-apa, aku akan membawamu buah bila kamu sakit," balas Gian sambil menyalakan mesin motornya lagi dan pergi dari kediaman Anin.

"Dasar laki-laki pemaksa," gerutu Anin, tapi ucapannya tak sejurus dengan hatinya yang berbunga-bunga dengan perkataan Gian barusan.

***

Suara kulit tangan bertemu kulit pipi antara dua manusia dewasa terdengar di dalam sebuah rumah.

"Dasar istri tak berguna! karena kau, aku diusir si tua bangka itu." Marah Erlangga pada seorang wanita yang sudah menjadi istrinya selama sembilan belas tahun tersebut.

Ratna hanya bisa menangis menahan hinaan dan pukulan yang selalu ia dapatkan dari suaminya. Resiko yang harus ia tanggung karena menjadi yang kedua. Ingin sekali ia pergi, tapi ia urungkan demi sang putra.

Erlangga memijit pelipisnya. Kali ini perusahaannya kembali mengalami masalah. Sejak ia memilih menceraikan istri pertamanya dan menikah dengan Ratna. Ayahnya marah besar. Erlangga diusir dari rumah dan perusahaan keluarga.

Dengan simpanan uang yang ada, ia membangun perusahaan kecil untuk menghidupi putra dan istrinya, tapi ternyata bertahun-tahun penghasilan perusahaan itu tak sebanding dengan perusahaan yang ia miliki dari orang tuanya dulu.

Ratna masih meringis. Wanita berusia 40 tahunan itu terduduk sambil memegang pipinya yang memerah. Ia tak bisa berbuat banyak, semua perhiasan miliknya pun sudah ia serahkan pada suaminya untuk di jual sebagai modal awal membuka perusahaan.

Gian masuk ke dalam rumah dengan pakaian yang setengah basah. Ia menghela nafas sembari berjalan menghampiri Ratna. Mengangkat wanita yang sudah melahirkannya itu.

"Ayo kita ke kamar Ma!" Gian memimpin Ratna menuju kamar, ia tidak peduli pada pria paruh baya yang sedang duduk dengan raut marah di atas sofa.

"Dasar pembawa sial!" umpat Erlangga.

Gian dan Ratna tetap melangkah masuk ke kamar. Mereka sudah biasa mendengar cacian pria itu sehari-hari. Tak ada pilihan lain, Ratna hanya akan bertahan sampai Gian dewasa dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Barulah Ratna mungkin akan pergi dari hidup pria kasar itu.

"Sampai kapan kita terus begini Ma?!" kesal Gian.

Lelaki itu sudah sering mengajak Ratna pergi untuk memulai kehidupan hanya berdua saja, tetapi Ratna selalu menolak.

"Sabar Gian! jika sudah waktunya, kita akan pergi bersama. Ayahmu sedang kesal karena perusahaannya bermasalah lagi, nanti dia juga akan baik lagi bila masalah perusahaan sudah bisa diatasi."

"Apa dia tidak bisa mengendalikan emosinya, setiap kali mengalami masalah, ia melampiaskan semuanya pada Mama.

Lebih baik kita miskin, tapi memiliki ayah yang lembut daripada hidup berkecukupan tetapi seperti ini." Gian mengerang kesal dengan perlakuan ayahnya.

"Huus ... jangan bicara begitu Gian! bagaimanapun dia ayahmu. Mama yakin suatu hari kelak ayahmu akan berubah."

"Berubah? Mungkin bila Kakek memaafkannya baru dia akan berubah. Kenapa dia tidak menceraikan Mama saja dan menikah kembali dengan istri pertamanya itu." Kesal Gian dengan kisah rumit keluarganya.

"Ada sebuah rahasia besar yang tidak kamu ketahui Gian. Rahasia yang mungkin akan membuat semuanya menjadi gempar bila Ayahmu mengungkap semuanya."

"Apa suatu hari kelak Mama akan memberitahu padaku?"

"Pasti Gian. Kamu akan tahu sendiri nantinya, kenapa ayahmu memilih bercerai dari isterinya dulu, tapi bukan sekarang. Kamu terlalu muda untuk tau itu." Ratna mengusap kepala putra satu-satunya itu dengan lembut.

"Gian tidak butuh semua ini Ma, Gian hanya ingin Mama bahagia." Gian berkata sembari memeluk tubuh Ratna.

"Mama tau sayang, dengan memilikimu saja Mama sudah bahagia. Bertahanlah sebentar! kita akan melewati semua ini dengan baik."

Gian memejamkan matanya. Ia belum memiliki kekuatan apapun untuk melindungi wanita yang sudah melahirkannya. Ia masih terlalu kecil untuk melawan ayah dan mungkin kakeknya yang tak kalah kejam.

Sebagai cucu dari wanita yang di benci keluarga kakeknya, Gian harus lebih banyak bersabar.

Anak lelaki dari pernikahan pertama Erlangga lah yang menguasai hati kakeknya yang kaya raya itu. Sebagai anak dan cucu pertama, Radit lebih bisa menguasai perusahaan milik kakeknya ketimbang dirinya.

Radit terlahir dari wanita yang sudah di anggap anak oleh keluarga ayahnya, sementara dia hanyalah anak dari wanita yang sudah membuat Erlangga bercerai dari isteri pertamanya.

Semoga aku cepat dewasa dan membawa Mamaku pergi dari keluarga ini.

Jangan lupa like n vote ya😊😊

Bab 3

Semakin hari semakin menjadi candu untuk saling mengenal, saling bergarau atau sekedar bertukar sapa. Cinta memang tak pernah salah. Ia hadir tanpa diminta. Perlahan mengisi relung hati yang kosong dan tandus. Menjadi rasa manis yang di sebut bahagia. Bahagia walau hanya melihat sosok istimewa itu dari kejauhan. Seolah semua orang yang berada di sekitarnya hanyalah angin yang bertiup tanpa terlihat.

"Dy ... pinjam catatan!" Gian menarik ujung rambut Anin agar gadis itu menoleh padanya.

"Bisa tidak jangan menarik rambutku Gian?!" kesal Anin, tapi ia tetap menoleh kebelakang.

"Maaf, sudah biasa. Hehe," ucap Gian sembari cengengesan.

Anin mengambil bukunya di atas meja lalu memberikan pada lelaki pemalas yang sukanya tidur di kelas tersebut.

"Lain kali jangan tidur kalau di kelas. Kamu mau, nanti tidak lulus sekolah gara-gara malas belajar," oceh Anin di hadapan Gian yang tetap memasang wajah santai tanpa beban.

"Kalau tidak lulus tinggal sekolah lagi Anin. Lagipula aku bisa jadi apa saja walaupun tidak sekolah," jawab Gian dengan mimik muka tanpa dosa.

"Perusahaan mana yang mau nerima pegawai yang tidak sekolah?" Anin menatap remeh Gian.

"Apa kamu tidak lihat wajahku? Aku bisa saja jadi model atau tidak aktor dengan wajahku yang menjual ini," sombong Gian.

"Ciih ... wajah begitu saja bangga, menjadi seorang lelaki itu bukan hanya mengandalkan wajah Gian. Tanggung jawab kalian lebih besar nantinya bila sudah menjadi seorang Ayah. Kalian akan di tuntut untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangga," jelas Anin panjang lebar seolah sudah berpengalaman.

"Berapa umurmu? Apa kamu sudah berencana menikah? Hahahaha, jangan terlalu serius Dya! nikmati saja waktu muda kita dengan santai dan mengalir. Jangan sampai kamu keliatan tua karena pemikiran kamu yang terlalu serius."

Gian tertawa sembari memegang kedua pipi gadis itu lalu menekannya, sehingga wajah Anin tampak lucu dengan bibirnya yang menjadi maju ke depan.

Anin melepaskan tangan Gian dari pipinya. Wajahnya menjadi merah merona mendapat sentuhan dadakan yang di berikan Gian tanpa permisi.

"Kamu lucu sekali Dya."

"Ayo Nin, kita ke kantin! Aku lapar, kalian tidak lapar?" Mauren berdiri dari duduknya, sejak kedekatan Anin dan Gian. Mauren sedikit demi sedikit menghilangkan rasa sukanya pada lelaki itu.

"Ayo," jawab Anin. Ia memasukkan sisa buku di atas meja, lalu beranjak dari duduknya.

"Ikut, aku juga lapar." Gian mengekor kedua gadis itu dari belakang.

.

.

Mereka duduk bertiga di dalam kantin. Sesekali Gian menyedot minuman Anin tanpa sepengetahuan gadis itu.

"Kok minumanku berkurang banyak?" Anin menoleh Gian di sebelahnya, menatap pria yang masih fokus melahap siomay ke mulutnya.

"Gian, kamu minum minuman aku ya?" Curiga Anin pada lelaki dengan wajah tanpa dosa itu.

Gian menggeleng. "Aku juga punya minuman Anin." Memajukan bibir merah alaminya ke arah gelas berisi es jeruk di meja.

Anin menoleh Mauren. Gadis itu sibuk menyantap bakso sembari memainkan gawainya.

Anin mengangkat gelas itu ke atas dan melihat bagian bawah gelas. Siapa tau bocor pikirnya. Tapi tak ada tanda-tanda gelas itu pecah.

"Sudah. Ikhlaskan saja, mungkin ada mahluk tak kasat mata yang sedang haus di sebelah kamu," celetuk Gian.

Seketika Anin merinding mendengar celetukan lelaki yang sebenarnya adalah tersangka dari berkurangnya minuman Anin.

"Jangan bikin aku takut Gian! aku tidak suka sama hantu- hantu-an," gerutu Anin.

"Jangan takut! ada abang Gian yang akan selalu melindungimu." Gian menepuk dadanya, merasa menjadi pahlawan untuk Anin.

"Gombal. Lebih baik lihat hantu daripada mendengar gombalan dari kamu," ketus Anin.

Gian tersenyum. Ia memberikan minumannya yang belum ia minum kepada Anin.

"Kamu minum punyaku! biar aku saja yang minum bekas mahluk tak kasat mata ini," kata Gian sembari menukar gelas minuman mereka.

"Belum kamu kasih racun kan?" Canda Anin.

"Aku kasih pelet bukan racun," sahut Gian tak kalah meracau.

***

Malam yang indah di gelapnya malam yang bertaburan bintang dan sinar bulan yang remang.

Tuk ... tugh ... suara jendela kamar Anin seperti ada yang melempar benda mengenai kacanya. Anin mendekat ke arah jendela, ia membuka jendela itu lalu menoleh ke bawah. Benar, seorang lelaki yang sangat ia kenal berada di halaman rumahnya. Terlihat Gian sedang melambaikan tangan ke arah Anin dari bawah.

Tanpa pikir panjang Anin berlari keluar kamar, ia turun dari lantai dua rumahnya melewati tangga. Membuka pintu utama dan melirik ke kesekitar, tapi tak ada siapa-siapa. Anin merasa merinding. Apa ia sudah berhalusinasi?

"Doorr ...," Gian mengagetkan Anin. Lelaki itu tertawa melihat ekspresi kaget Anin. Gian mencubit gemas pipi gadis yang selalu ia buat salah tingkah karena ulahnya itu.

"Sakit Gian!" Marah Anin. "Kenapa gak ketuk pintu? Malah lempar jendela aku dengan batu! kalau orangtuaku tau bisa gawat!"

"Pak satpam bilang orangtua kamu tidak ada. Makanya aku berani lempar jendela hehehe," sahut Gian.

"Oh iya ... mama sama papa lagi keluar kota. Ayo masuk!"

"Jangan ... kita di luar saja. Bukannya orang tua kamu sedang tidak ada? Nanti kamu khilaf." Gian melipat dua tangannya di dada, seolah ingin melindungi tubuh sucinya dari gadis di hadapannya.

Anin memukul lengan lelaki itu dengan keras. "Bukannya aku yang seharusnya bicara begitu? Walaupun mama sama papa tidak ada, tapi ada bik Tina dan mang Ucup di dalam. Mereka suami istri yang bekerja disini. Biasanya mereka tidur di situ," menunjuk sebuah rumah berukuran sedang di samping rumah Anin. "Tapi karena orangtuaku lagi pergi jadi mereka tidur di rumahku sampai mama, papa pulang," jelas Anin panjang lebar.

"Ya sudah kalau kamu memaksa, aku dengan senang hati masuk ke singgasana Tuan Putri," goda Gian sembari membungkukkan badannya seolah menghormati Anin.

Gombalan receh yang selalu membuat dada Anin menghangat. Anin tidak tau apa yang ia rasakan pada lelaki itu. Anin hanya sangat nyaman berada di sekitar lelaki yang banyak diincar kaum hawa di sekolahnya tersebut.

***

Di perusahaan milik Roy Tubagus. Di dalam ruangan khusus tempat pria tua itu memantau semua pegawai perusahaannya.

Tampak Erlangga masih berlutut di depannya.

Erlangga terus berusaha merebut kembali hati ayahnya. Pria tua yang berkuasa di dalam keluarganya. Semua keputusan ada di tangan pria berusia 65 tahun itu.

Hanya itu satu-satunya jalan agar perusahaan kecil yang ia bangun dengan susah payah bisa kembali bangkit. Mau tak mau ia harus berlutut memohon pengampunan kakek yang memiliki tiga orang cucu itu.

Radit Tubagus anak pertama Erlangga dan Maya.

Kinara Tubagus anak kedua Erlangga dan Maya, serta Gian Saputra cucu yang tidak diinginkan oleh Roy Tubagus.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!