Ampun Bu, ampun! tolong, jangan siksa lagi," ucap Arga sambil menangis menahan panas dan sakit pada kakinya, akibat teh panas yang disiramkan oleh Gisella.
"Dasar, anak tidak berguna, bisanya cuma makan dan tidur. Rasakan itu! siapa suruh mengambil makanan putraku."
Gisella terus mengomel, lalu merampas ayam goreng dari piring Arga, setelah itu diapun berkata lagi, "Makan itu nasi sama garam! Kalau mau makan enak, kerja! Ibu dan anak sama saja, cuma menjadi benalu," omel Gisella, sambil meletakkan kembali ayam goreng ke dalam lemari.
Mirna yang sedang sakit, mendengar suara tangis serta jeritan Arga di dapur, langsung berlari keluar dan dia sangat terkejut saat melihat air teh berserakan dan Arga duduk sambil memegangi serta meniup kakinya. Kaki Arga memerah dan yang pasti bakal melepuh.
Mirna tak kuasa menahan tangis, lalu dia mengelap kaki Arga dengan lengan bajunya sambil ikutan meniup untuk mengurangi rasa panas.
Dia tidak pernah menyangka, jika Gisella sanggup menyakiti seorang anak, padahal Mirna selama ini selalu menyayangi Rendi, seperti putranya sendiri.
Kemudian dengan masih terisak, Mirna pun bertanya kepada Gisella, "Sebenarnya apa salah Arga Mbak? kenapa Mbak tega melakukan hal ini terhadapnya, Arga kan masih kecil Mbak."
"Tanya saja anakmu itu! Apa yang sudah dia lakukan hingga aku marah. Makanya, kamu sebagai ibu jangan tiduran saja. Kerja, jika anakmu mau makan enak!"
"Aku sakit Mbak, biasanya juga aku 'kan, yang mengerjakan semua tugas rumah. Tolong dong Mbak, berikan makanan untuk Arga. Kalau aku, makan pakai garam pun nggak masalah," mohon Mirna.
"Enak saja! cuci dulu bajuku, baru akan kuberikan ayam goreng untuk putramu!"
"Besok Mbak, pasti semua baju kalian akan aku cuci. Saat ini, aku masih demam dan takut jika berendam di air, akan bertambah parah."
Arga yang mendengar perkataan sang Mama, lalu menimpali, "Ma, jangan! Mama belum sembuh, Arga makan pakai garam saja. Sekarang, Mama harus banyak istirahat. Ayo Ma, Arga antar ke kamar."
"Tapi, kakimu bagaimana Nak? jika tidak diobati bakal melepuh."
"Nggak apa-apa Ma, nanti Arga oles saja pakai pasta gigi, pasti bakal sembuh. Sekarang, Arga antar Mama dulu ke kamar, baru ke apotik untuk membeli obat Mama."
"Eh...eh, darimana kamu dapat duit? Kamu mencuri uangku ya! Dasar anak bandel, kembalikan uangku!" bentak Gisella sambil menjewer telinga Arga.
"Siapa yang mencuri uang ibu! Jangan sembarang menuduh Bu! lepaskan telinga saya!" lawan Arga dengan menepis tangan Gisella.
"Tolong Mbak, lepaskan Arga, dia bukan pencuri!" pinta Mirna, sambil memeluk kaki Gisella.
Ira, pembantu yang kebetulan masuk ke dapur merasa iba, saat mendengar Gisella menuduh dan memperlakukan Arga dengan buruk.
Kemudian, Ira pun menimpali ucapan Gisella, "Iya Bu, tolong lepaskan Den Arga. Uang itu dari saya! sebagai upah Den Arga yang telah membantu saya."
"Kemaren, saya meminta tolong untuk mengantarkan uang ke rumah ayah. Jadi, sebagai imbalannya, saya beri Den Arga uang jajan." ucap Ira.
"Kamu jangan bohong ya Ra! awas, kalau itu cuma alasanmu saja untuk menolongnya!"
"Nggak kok Bu, memang Saya yang memberinya."
Gisella pergi dengan bersungut-sungut. Sebenarnya, dia tidak kehilangan uang satu senpun. Tuduhannya tadi, memang sengaja, agar Arga memberikan uang itu dan tidak jadi membeli obat untuk Mirna. Gisella senang jika Mirna sakit-sakitan, jadi akan lebih mudah untuk terus menyiksanya."
Arga, yang sudah ditolong oleh Bi Ira, mengucapkan terimakasih. Jika bukan karena kebohongan pembantunya itu, rencana Gisella, pasti sudah berhasil.
Melihat Arga menyeringai menahan sakit, Ira pun menawarkan bantuan.
"Ayo Den, Bibi obati kaki Aden. Nanti, biar Bibi saja yang pergi ke apotik. Lihat, jari jemari kaki Den Arga sudah mulai melepuh."
"Iya, kamu benar Ra," ucap Mirna.
Kemudian, Mirna dan Arga pun kembali ke kamar. Arga tidur dengan mamanya sejak Riko, sang papa kecelakaan dan tidak kembali.
Riko dinyatakan hilang, dalam sebuah kecelakaan pesawat tujuan Kalimantan, sekitar satu bulan yang lalu.
Pesawat yang di tumpangi Riko, jatuh di perairan selat Karimata saat dia hendak meninjau tambang emas miliknya yang ada di sana.
Mayat Riko tidak ditemukan hingga sekarang. Jadi, pihak kepolisian dan para tim SAR pun akhirnya menyatakan jika Riko tewas dalam kecelakaan tersebut.
Kehidupan pahit Mirna dan Arga dimulai sejak itu. Dulu, saat Riko masih ada, Mirna menjadi Ratu dan Riko sangat menyayangi Arga.
Mirna adalah pacar Riko sejak SMA dan hubungan mereka tidak direstui oleh Raka, Papa Riko.
Akhirnya hubungan merekapun putus, saat Riko terpaksa harus menuruti permintaan orangtuanya untuk kuliah di luar negeri.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Riko kembali ke tanah air, dia menggantikan sang Papa, menjadi CEO di perusahaan miliknya.
Riko pun dijodohkan dengan Gisella, anak dari sahabat karib Raka. Tapi, tidak ada yang tahu, jika saat itu Gisella tengah mengandung anak dari pacarnya yang tidak mau bertanggung jawab.
Rumah tangga mereka hanya sebatas di atas kertas, karena Riko tidak pernah mencintai Gisella. Apalagi saat Riko akhirnya tahu, jika Gisella mengandung anak pria lain.
Gisella memohon agar Riko tidak memberitahu kepada keluarga, jika anak itu bukanlah anak Riko. Dan Gisella tidak mau diceraikan dengan alasan kesehatan papanya.
Akhirnya Riko pun setuju dan mereka membuat kesepakatan sebagai jaminan jika Gisella tidak akan berbalik omong.
Riko akan menuruti permintaan Gisella dan menganggap putra Gisella sebagai putranya, asalkan suatu saat Gisella mengizinkan Riko untuk menikahi wanita yang Riko cintai.
Bertahun, Riko mencari keberadaan Mirna, tanpa kenal putus asa. Dan ternyata, Mirna bekerja sebagai TKW Arab, sejak kedua orangtuanya meninggal.
Ketika Mirna kembali ke tanah air untuk Ziarah ke makam orangtuanya, kejadian tidak disengaja telah mempertemukan mereka kembali.
Mobil yang dikendarai Riko hampir menabrak Mirna, saat dia keluar dari pemakaman sambil menangis.
Kemarahan berganti dengan kebahagiaan, saat Riko melihat gadis itu adalah Mirna, wanita yang Riko cintai dan yang selama bertahun-tahun dia cari.
Riko tidak membuang kesempatan itu dan dia tidak ingin kehilangan Mirna lagi.
Akhirnya Riko melamar Mirna hari itu juga, setelah dia menceritakan semua tentang rumahtangga dan kesepakatannya bersama Gisella.
Mirna yang memang masih mencintai Riko dan hidup sebatang kara, akhirnya mau menerima Riko dan seminggu kemudian merekapun menikah.
Pernikahan dilakukan secara diam-diam di KUA dan Riko pun membawa pulang Mirna untuk tinggal di rumahnya.
Riko menjelaskan kepada Gisella, siapa sebenarnya Mirna dan Gisella berpura-pura menerima pernikahan tersebut.
Bertahun, telah hidup satu atap dan melihat Rendi tumbuh dengan kasih sayang dari Riko, membuat Gisella akhirnya diam-diam mencintai Riko.
Hatinya begitu sakit dan tidak rela, saat Riko mengatakan jika dia telah menikah dengan Mirna.
Riko telah membuktikan janjinya, hati Riko tidak untuk wanita manapun kecuali Mirna, sejak mereka putus dan dia berangkat kuliah keluar negeri.
Sesuai kesepakatan, selama papa Gisella masih hidup, Riko dan Gisella akan tetap berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang harmonis dan untuk sementara menyembunyikan identitas Mirna.
Mirna tidak keberatan, selagi cinta Riko tidak terbagi untuk wanita lain, dia rela berkorban menggunakan identitas sebagai pengasuh Rendi dirumah suaminya itu.
Bersambung.....
Selama mereka tinggal bersama, Gisella tidak berani mengusik Mirna karena Riko telah memberinya ultimatum.
Jika sampai Gisella mengusik kehidupan rumahtangga Riko dan Mirna, maka Riko tidak akan segan untuk mengatakan rahasia yang selama ini mereka tutup.
Bahkan Riko siap mengadakan konferensi pers dan menunjukkan semua bukti, termasuk hasil tes DNA Rendi yang bukan putranya, jika itu dibutuhkan.
Kehidupan rumahtangga Riko bersama Mirna berjalan mulus, Mirna mencintai Rendi bagaikan anaknya sendiri, dan dia tidak pernah menganggap jika Gisella dan Rendi merupakan penghalang bagi kebahagiaannya.
Setahun setelah pernikahan, Mirna dinyatakan hamil, tentu saja kabar tersebut membuat Riko sangat bahagia, kehidupannya semakin lengkap dengan kehadiran calon putra kandungnya.
Awalnya semua baik-baik saja sampai Arga, putra kandung Riko, lahir. Gisella pun menjadi uring-uringan, dia iri dan merasa kedudukan Rendi di hati Riko akan tergantikan oleh kehadiran anak Mirna.
Padahal, Riko sama sekali tidak pernah membedakan kasih sayangnya terhadap kedua putranya itu. Apalagi selisih usia keduanya terpaut cukup jauh. Rendi berusia 8 tahun saat Arga dilahirkan.
Bibit-bibit kebencian terus ditanamkan Gisella ke dalam hati Rendi, hingga Rendi terbiasa dengan sifat iri serta dengki.
Rendi menganggap Arga sebagai saingan serta ancaman, makanya dia selalu berusaha mencelakai Arga setiap kali ada kesempatan.
Awalnya Mirna dan Riko menganggap semua itu hal yang biasa, tapi ketika Rendi berusia 15 tahun dan tindakannya makin menjadi, Riko tidak bisa mentolerir lagi.
Riko memutuskan, untuk memindahkan Rendi ke sebuah pondok pesantren agar mendapatkan bimbingan ilmu agama serta tata krama, bagaimana mencintai orangtua dan juga adiknya.
Karena merasa putranya diasingkan, Gisella pun tidak terima. Dia marah dan mengatakan jika Riko tidak adil dan bersikap seperti itu karena hasutan dari Mirna yang ingin menyingkirkan Rendi serta dirinya dari kehidupan Riko.
Hampir setiap hari pertengkaran pun terjadi, Mirna dan Arga selalu jadi korban kemarahan Gisella. Apalagi, ketika Riko sedang pergi bekerja.
Mirna yang sudah tidak tahan dengan perlakuan Gisella, meminta izin kepada Riko untuk keluar dari rumah itu.
Namun, Riko menolak dan dia berjanji, setelah pulang dari Kalimantan, Riko akan menyelesaikan semuanya.
Dia akan mengungkap kepada kedua pihak keluarga, siapa sebenarnya Mirna dan Arga. Serta memberitahu tentang pernikahannya dengan Gisella yang hanya sebatas di atas kertas saja.
Malang tak dapat ditolak dan takdir Tuhan pun berkata lain. Riko mengalami kecelakaan pesawat dan jasadnya dinyatakan hilang di lautan lepas sebelum dia sempat mengatakan kebenaran tentang pernikahannya.
Sebulan, dua bulan, hingga berbulan-bulan, Mirna dan Arga selalu berharap Riko akan kembali dan hidup bahagia bersama mereka lagi.
Dengan sabar Mirna serta Arga menunggu keajaiban dan tidak mau pergi dari rumah Riko meski siksaan demi siksaan mereka terima.
Gisella bebas berkuasa, dia mengambil alih kepemimpinan perusahaan Riko, dan mengeluarkan Rendi dari pondok pesantren.
Status Gisella dan Rendi kuat di mata hukum dan merekalah pewaris semenjak Riko tiada.
Sementara Mirna dan Arga tidak mampu berbuat apa-apa di bawah kendali Gisella. Apalagi Mirna yang memang tidak peduli dengan harta, dia hanya ingin suaminya kembali ke sisinya.
Arga yang masih kecil, tidak bisa membela hak mamanya. Mirna hanya bisa pasrah, saat Gisella menjadikannya pembantu di rumahnya sendiri.
Mereka diizinkan tinggal dan makan, jika Mirna setiap hari menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Jika tidak, hanya nasi dan garam saja yang Gisella berikan untuk Mirna dan juga Arga.
Mirna bisa menerima penyiksaan atas dirinya, tapi dia tidak bisa melihat Arga di siksa di depan matanya.
Arga yang masih kecil, kerapkali dipukul dan tidak di beri makanan yang layak. Bahkan, kaki Arga juga disiram air panas saat dia lapar dan mengambil makanan milik Rendi.
Rendi juga sering menyiksa Arga, dia menyulut tubuh Arga dengan puntung rokok.
Sejak Rendi pulang, rumah itu makin seperti neraka bagi Mirna dan Arga.
Rendi bersama teman-temannya bebas melakukan apa saja tanpa sepengetahuan Gisella yang sedang sibuk mengambil alih perusahaan Riko.
Arga mencoba melawan dan membela Mirna saat Gisella dan Rendi memaksa mamanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah disaat sedang sakit.
Alhasil, Arga kembali mendapat siksaan. Mirna yang tidak tahan melihatnya, mengamuk, mendorong dan memukul Gisella serta Rendi hingga membuat keduanya mengusir Mirna dan Arga meski mereka masih dalam keadaan sakit.
Mirna minta maaf dan dia memohon di kaki Gisella agar mereka tidak diusir. Tapi, Gisella tidak peduli, dia memaksa dan menyeret Mirna serta Arga keluar dari rumah tanpa membawa apapun.
Bahkan, perhiasan hasil Mirna bekerja menjadi TKW serta pemberian Riko sebagai Mas kawin, di rampas paksa oleh Gisella.
Arga yang melihat mamanya diperlakukan sangat buruk hanya bisa menangis sambil memandang kedua ibu dan anak itu dengan rasa dendam.
Gigi Arga gemeretak dan kedua tangannya mengepal karena menahan amarah. Arga berjanji di dalam hatinya, suatu saat dia akan membalas perlakuan Gisella dan juga Rendi.
Kemudian Arga mengajak sang Mama untuk pergi dari rumah Riko, karena tidak ada gunanya lagi mereka tinggal di sana.
Daripada terus-terusan mendapatkan caci maki serta siksaan, lebih baik mereka pergi dan menata hidup meski belum tahu akan kemana dan apa yang akan mereka lakukan untuk bertahan hidup.
Mirna dan Arga pun pergi dengan hanya membawa sehelai baju yang ada di tubuh mereka.
Keduanya berjalan tak tentu arah, mengikuti langkah kaki sampai di mana rasa letih akan membawa mereka berhenti.
Mirna yang sedang sakit, berjalan semakin lambat sambil menggandeng Arga. Dan rasa lapar, tidak Mirna pedulikan lagi, yang terpenting mereka harus mendapatkan tempat untuk bernaung sebelum malam tiba.
Air mata menetes di kedua sudut mata Mirna saat dia menatap tubuh mungil Arga yang terseok-seok, berjalan sambil menahan sakit pada kakinya.
Arga yang melihatnya pun berhenti, lalu bertanya, "Kenapa menangis Ma?" tanya Arga yang menatap Mirna sambil mengerjapkan mata bulatnya.
Wajah Arga jadi mengingatkan Mirna kepada Riko. Memang keduanya seperti pinang di belah dua. Hanya matanya saja yang mirip dengan Mirna. Hidung dan yang lainnya sama persis seperti milik Riko.
Mirna menyentuh wajah Arga dan kembali air mata pun menetes. "Seandainya Papa kamu masih hidup, kamu tidak akan menderita Nak! Kita tidak mungkin tinggal di jalanan seperti sekarang!"
"Iya Ma. Mama tenang saja ya, Arga akan bekerja membantu Mama. Arga akan menjaga dan melindungi Mama seperti saat Papa ada bersama kita."
Mirna berlutut dan mencium wajah mungil Arga sambil tak kuasa menahan tangis. Arga pun membelai wajah Mirna, lalu dia mengelap air mata sang Mama dengan kedua ibu jarinya dan menyunggingkan sebuah senyuman yang sangat manis.
Lalu Arga mengelap sisa air matanya sendiri dengan lengannya dan berkata, "Mama jangan nangis lagi ya! Arga sayang Mama."
Mirna pun memeluk Arga, dia berjanji akan mendidik Arga menjadi orang baik seperti Riko.
Bersambung.....
Mirna dan Arga melanjutkan perjalanan, walaupun mereka belum tahu hendak kemana, setidaknya bisa pergi jauh dari Gisella dan juga Rendi.
Mirna berharap tidak akan pernah bertemu lagi dengan keduanya. Dia ingin hidup tenang bersama Arga di suatu tempat baru, di mana tidak ada orang-orang yang mengenal mereka, tinggal di sana.
Dengan begitu, mungkin Mirna dan Arga bisa melupakan semua kenangan pahit dan menata hidup mereka kembali untuk masa depan Arga.
"Ma, kita mau kemana?" terdengar suara Arga membuyarkan lamunan Mirna.
"Mama pun belum tahu Nak, kita jalan saja dulu sambil berpikir akan bermalam di mana."
"Iya Ma."
Arga terus menggandeng tangan Mirna, sebenarnya dia lapar. Tapi, Arga tidak mau membuat sang Mama sedih karena tidak memiliki makanan untuk bisa mereka makan.
Sambil terus berjalan, mata Arga melihat ke sekeliling. Arga melihat dua orang anak yang hampir sebaya dengannya sedang membawa karung dan mengais tempat sampah.
Arga pun tersenyum, dia menemukan ide, bagaimana caranya agar mereka bisa mendapatkan uang untuk membeli makanan.
"Ma, sebaiknya kita istirahat dulu ya. Di bawah pohon itu sepertinya adem untuk tempat kita beristirahat."
"Iya Nak, kamu benar. Ayo kita kesana, ibu juga sudah letih."
Arga dan Mirna pun menuju pohon yang dimaksud, lalu Mirna bersandar. Wajah Mirna pucat dan dia mulai menggigil, demam kembali menyerang, mungkin karena kecapean berjalan ditambah lagi, sejak pagi Mirna belum makan apapun.
"Ma, Mama demam? Panas sekali badan Mama?" tanya Arga.
"Nggak apa-apa Nak, mungkin Mama cuma kelelahan."
"Mama harus minum obat agar demamnya reda. Sebentar ya Ma!"
Arga memasukkan tangannya ke dalam saku celana, dia ingat masih menyimpan uang meskipun cuma sedikit.
"Ada Ma!" ucap Arga sambil menunjukkan uang senilai Rp.5.000,- di dalam genggamannya.
"Mama tunggu di sini ya, Arga mau beli obat dan minuman dulu di warung. Sebentar kok, Arga tadi lihat, di sana ada warung dan letaknya juga tidak jauh dari sini."
Mirna pun mengangguk, lalu dia berkata, "Hati-hati ya Nak!"
"Siap Ma!"
Setelah mengatakan hal itu, Arga pun berjalan setengah berlari menuju warung yang tadi dia lihat.
Meski kakinya masih sakit, Arga terus memaksakan diri. Dia harus segera mendapatkan obat untuk meredakan demam mamanya, agar tidak semakin parah.
Setibanya di warung, dengan nafas tersengal, Arga bertanya, "Bu, ada obat untuk penurun demam?"
"Untuk kamu Nak?"
"Bukan Bu, untuk Mama saya."
"Oh, sebentar ya. Ibu ambilkan dulu."
Pemilik warung pun segera mengambil sebuah kotak yang isinya berbagai macam obat. Tapi kemudian beliau bertanya lagi.
"Apakah Mama kamu terserang flu atau batuk?"
Arga mengingat-ingat, baru menjawab, "Tidak Bu, hanya demam dan kepalanya sedikit pusing. Mungkin karena Mama kelelahan berjalan."
"Oh..." pemilik warung pun memberikan obat penurun demam kepada Arga, lalu bertanya, "Mau dua, atau satu saja Nak?"
"Berapa harga persatuannya Bu?"
"Seribu."
"Beli dua butir ya Bu dan tolong berikan juga 3 cup air mineral."
"Iya, ini Nak! Semuanya Rp.3.500,-"
Arga pun mengacungkan uangnya yang hanya selembar itu dan sebelum pemilik warung mengembalikan sisanya, Arga pun bertanya, "Ada roti yang harga Rp.1.000,- an Bu, barangkali ibu saya lapar dan sebelum minum obat, biar bisa makan roti dulu."
"Ada," ucap pemilik warung sambil mengambilkan Roti yang Arga mau.
"Ini roti dan kembaliannya Nak!"
Arga diam, kini uangnya telah habis dan dia harus bisa menghasilkan uang untuk kebutuhan makan mereka nanti malam.
"Oh ya Bu, inikan sisanya cuma Rp.500,- bolehkah saya beli 2 karung bekasnya Bu? Jika uangnya kurang, nanti malam Inshaallah saya akan kembali ke sini untuk membayarnya. Atau paling lambat besok siang ya Bu."
"Boleh kok, ini karungnya. kurang Rp.3.500,- ya, soalnya ini karung gula, jadi harganya lebih mahal dari karung beras."
"Nggak apa-apa Bu, biar muatnya banyak. Terimakasih sebelumnya ya Bu. Inshaallah, jika hari ini diberi rezeki, nanti malam saya akan kembali ke sini, untuk membayar hutang saya," ucap Arga sambil mengatupkan kedua tangannya.
Terlihat senyum merekah di wajah Arga. Dia harus bisa menghasilkan uang, seperti yang kedua anak tadi lakukan.
Arga kembali untuk menemui mamanya. Dari kejauhan, dia melihat mamanya tertidur sambil melipat kedua tangan.
Saat sudah dekat, Arga tidak tega membangunkan sang Mama, lalu dia membuka kemejanya dan menyelimutkan ke tubuh sang Mama.
Sementara untuk menyelimuti kaki Mirna, Arga mengembangkan satu karung yang baru dia beli.
Lalu Arga meletakkan obat dan 2 cup air mineral di samping sang Mama, dia berharap ketika Mamanya terbangun bisa langsung minum obat.
Setelah itu, Arga meminum satu cup air mineral yang tersisa di tangannya untuk pengganjal rasa lapar. Barulah, dia beranjak pergi untuk memulung.
Sebelum melangkahkan kaki, Arga pamit, meski sang Mama tidur, "Arga pergi sebentar ya Ma, doakan Arga agar mendapatkan rezeki untuk makan kita nanti malam."
Sejenak Arga memandang mamanya, dia menitikkan air mata. Arga berjanji, saat dia dewasa nanti, Arga akan membahagiakan sang Mama, meski dia harus bekerja keras.
Walaupun Arga masih kecil, dia dipaksa oleh keadaan untuk berpikir dewasa, agar kuat menghadapi kenyataan hidup.
Arga mengucap basmallah sebelum memulai aktivitasnya.
Dia pergi tanpa memakai baju dan membawa karung, mendatangi tempat-tempat sampah di rumah penduduk sekitar tempat itu.
Begitu mendapatkan rezeki pertamanya, Arga mengucap syukur dan berdoa semoga itu akan menjadi berkah bagi dirinya dan juga sang Mama.
Arga bertemu dengan anak-anak yang satu profesi dengannya dan dia tidak merasa malu untuk bertanya, barangkali mereka juga senasib tidak memiliki tempat tinggal sepertinya.
Arga mendekati mereka yang sedang asyik mengais sampah, "Hai teman!" sapa Arga.
"Eh, kamu siapa? Kamu anak baru ya, soalnya baru kali ini kami melihatmu!"
"Iya, perkenalkan namaku Arga. Nama kalian siapa?"
"Aku Dirta."
"Dan Aku Athar."
"Aku boleh bergabung di sini dengan kalian 'kan?"
"Boleh saja Ga, ayo kita sama-sama mencari peruntungan."
"Memangnya kamu tinggal dimana?" tanya Dirta.
Arga terdiam mendengar pertanyaan dari Dirta, lalu dia menjawab, "Aku belum tahu mau tinggal di mana, kami tidak punya tempat tinggal. Kami diusir oleh ibu tua dan kakakku."
"Kami? Memangnya kamu kesini dengan siapa?" tanya Dirta penasaran.
"Mamaku! Mama sedang sakit dan saat ini tidur di bawah pohon dekat ujung jalan sana. Makanya, aku tidak bisa jauh-jauh, takutnya mamaku terbangun dan mencariku."
"Oh, kalau kamu mau, tinggallah dengan kami, nanti kita cari spanduk untuk membuat dinding. Cuma itu yang bisa kita lakukan saat ini. Daripada kalian tidak punya tempat tinggal dan harus tidur di emperan toko," ajak Athar.
"Memangnya kalian tinggal di mana?"
"Kolong jembatan!" jawab Athar.
"Kamu pasti kaget 'kan, soalnya aku lihat sepertinya kamu dari keluarga kaya."
"Almarhum Papa yang kaya teman, sekarang ibu dan kakak tiriku yang menguasai semuanya."
"Kamu yang sabar ya, mereka pasti akan dapat balasannya," hibur Dirta.
"Ayo kita lanjut kerja, kamu pasti butuh uang 'kan, mana mama mu sedang sakit," kata Athar.
"Iya ayo, aku butuh untuk beli makanan nanti malam."
"Semangat, ayo kita semangat," lanjut Dirta.
Arga dan teman-teman bergegas meneruskan pekerjaannya, mereka saling bantu dan sesekali tertawa untuk melepas penat.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!