NovelToon NovelToon

Cinta Itu Kedua

1. Pertemuan Pertama.

Suasana di dalam kelas 3A mendadak diliputi kehebohan, saat Mr. Mayer, sang kepala sekolah, datang ke kelas bersama seorang wanita muda cantik.

"Selamat pagi, anak-anak!" seru Mr. Mayer begitu sampai di kelas.

"Selamat pagi, Mr. Mayer!" jawab anak-anak penghuni kelas serempak. Mata mereka tak lepas menatap wanita cantik yang kabarnya akan menjadi wali kelas baru mereka.

"Seperti yang sudah kalian dengar sebelumnya, hari ini saya akan memperkenalkan seorang guru baru pada kalian," ucap Mr. Mayer pada seluruh penghuni kelas. Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya pada si wanita. "Silakan perkenalkan diri Anda, Ms. Norra."

Wanita muda bernama Norra itu mengangguk. Dia melangkah maju ke depan kelas untuk menyapa anak-anak didiknya. "Halo, anak-anak! Perkenalkan nama saya Ms. Norra. Saya akan menggantikan Mrs. Maria di sini. Saya harap, kita bisa bekerja sama dengan baik ya?"

"Selamat datang, Ms. Norra!" sahut anak-anak serempak.

Norra tersenyum sumringah. Wanita yang sejak dulu memang menyukai anak kecil tersebut, merasa senang melihat kekompakan dan semangat anak-anak didik barunya.

"Baiklah kalau begitu, saya tinggalkan Anda di sini. Semangat mengajar, Ms. Norra." Mr. Mayer mengulurkan tangannya pada Norra, sebelum kemudian pergi meninggalkan kelas.

Norra menyambut uluran tangan Mr. Mayer.

"Jadi, belajar apa kita hari ini?" tanya Norra dengan nada riang.

Anak-anak serempak menggeleng. "Kita saling perkenalkan diri dulu, Ms? Bagaimana?" tanya salah seorang gadis kecil berkuncir kuda.

Norra mengangguk setuju. "Oke, saya akan menyebutkan nama kalian masing-masing, dan kalian bisa menyebutkan usia dan di mana tempat tinggal saat ini."

"Baik!"

Berbekal buku absen siswa, Norra memanggil satu persatu anak didiknya. Mereka semua dengan bersemangat menyebut usia dan tempat tinggal kepada Norra, kecuali satu anak yang duduk di tengah-tengah barisan.

Anak kecil berjenis kelamin laki-laki itu terlihat murung dan tidak bersemangat. Sejak tadi dia bahkan tidak terlihat menyambut dirinya, seperti anak-anak lain.

"William West!" Norra sekali lagi memanggil nama anak kecil itu, tetapi si anak tetap bergeming.

"Miss," bisik seorang gadis kecil yang duduk di kursi paling depan.

Norra berjalan menghampiri gadis itu. "Ada apa, Chelsea?" tanyanya. Sebisa mungkin, Norra sudah menghafal setiap nama dan wajah anak-anak didiknya.

"Willy baru saja kehilangan ibunya tiga bulan yang lalu, Miss. Sejak itu lah dia berubah menjadi anak pendiam." Chelsea memberi informasi penting pada wali kelas baru mereka.

Norra lantas menatap sedih sosok Willy. Setelah berterima kasih pada Chelsea, wanita muda itu mulai berjalan mendekati Willy dan bersimpuh di sebelahnya.

"Willy," panggil Norra dengan suara lembut.

Willy mengangkat wajahnya. Pria kecil tampan bermata biru itu menatap Norra dengan raut wajah datar.

Norra tersenyum. Tangannya terulur ke hadapan Willy. "Sepertinya kita belum berkenalan. Namaku Ms. Norra."

Willy terdiam sejenak. Matanya menatap wajah Norra dalam-dalam sembari mengerutkan keningnya.

Bukannya menerima uluran tangan Norra, Willy malah memeluk tubuh wanita muda itu erat.

Norra yang terkejut berusaha menyeimbangkan bobot tubuhnya agar tidak terjerembab ke lantai. Dia tertawa kecil sembari membalas pelukan erat Willy.

Murid kecilnya itu menangis selama beberapa saat di pelukan Norra.

...**********...

"Bro, lebih baik kau pulang saja ke rumah. Matamu semakin hari semakin menggelap!" Sebastian, sekretaris sekaligus sahabat baik Allen, kembali mengeluarkan komentarnya ketika mendapati tubuh pria itu terhuyung-huyung dari kamar mandi.

"Buatkan aku kopi lagi saja," titah Allen saat berhasil duduk di kursinya kembali.

Sebastian tentu saja menolak. "Kau sudah menghabiskan tujuh gelas kopi. Kau ingin mattii atau bagaimana, hah!"

"Buatkan saja, Bas!" seru Allen tak acuh. Namun, lagi-lagi Sebastian menolaknya. Dengan kasar dia menutup laptop Allen dan memintanya untuk pulang ke rumah. Pertengkaran di antara mereka pun kembali terjadi.

"Apa yang kau lakukan Bedebaah!" hardik Allen tidak terima.

"Kau yang bedabbah! Kau pikir hanya dirimu yang berhak meratap hingga nyaris tak pulang selama sebulan ini? Kau lupa pada putramu, Bodoh!" Sebastian balas menghardik Allen.

Allen sontak terdiam. Dalam hati dia mengakui sikapnya yang kurang memperhatikan sang putra, Willy, sejak kehilangan sang istri tercinta dalam sebuah kecelakaan hebat yang terjadi hampir satu bulan lalu.

Kala itu Allen dan Winstley sedang dalam perjalanan pulang setelah menghadiri undangan makan malam dari salah seorang kolega penting.

Hujan lebat yang tiba-tiba mengguyur jalanan kota, membuat Allen harus kehilangan kontrol pada kemudinya.

Hal itu menyebabkan mobil mewah yang dikendarai Allen menabrak pembatas jalan dan terguling. Tubuh Winstley yang tidak memakai seatbelt sontak terpental keluar dari mobil.

Wanita itu meninggal di tempat. Sementara Allen mengalami koma dan baru terbangun sebulan setelahnya.

Pria itu sempat mengamuk ketika mengetahui kematian sang istri tercinta. Butuh waktu beberapa minggu bagi Allen untuk kembali beraktifitas seperti biasa.

Bukannya kembali menjalani hidupnya bersama Willy, pria itu malah memanfaatkan pekerjaannya untuk lari dari kenyataan, sekaligus mengabaikan putra semata wayang mereka.

Sebastian mengembuskan napasnya guna meredam emosi.

"Maafkan aku," ucap Sebastian. "Tak seharusnya aku meneriakimu seperti tadi. Aku hanya tak ingin melihatmu terus-terusan berkubang dalam duka begini, Al. Willy juga butuh dirimu," sambung pria itu dengan sorot mata prihatin. Nyaris dua puluh tahun berteman, membuat Allen dan Sebastian tumbuh tak hanya sebagai sahabat semata, melainkan saudara.

Jadi, bukan tak mungkin Sebastian juga turut merasakan kesedihan yang sama. Apa lagi, dia lah yang pertama kali mengenalkan Winstley dan Allen saat mereka sama-sama duduk di bangku kuliah.

"Aku mengerti,"ucap Allen lirih. Pria itu kemudian berjalan menuju pintu ruang kerjanya. "Tolong, titip kantor. Aku akan pergi menjemput Willy di sekolahnya."

Mendengar itu Sebastian sontak mengangguk. Dia bahkan menyuruh Allen untuk tidak kembali ke kantor dulu dan menikmati kebersamaannya dengan sang putra.

...**********...

Sekolah sudah mulai terlihat sepi, tetapi Willy masih setia berdiri di depan pos satpam, menunggu jemputan.

Norra yang baru saja mengeluarkan motor maticnya lantas menghampiri Willy.

"Willy, kau belum dijemput?" tanya Norra lembut.

Willy menggelengkan kepalanya lemah. "Uncle Bob tidak pernah terlambat datang ke sekolah," ujarnya memberitahu.

Norra menatap Willy perihatin. "Kalau begitu, biar Miss temani di sini, oke?"

Willy mengangguk sembari mengucapkan kata terima kasih. Keduanya pun duduk di dalam pos satpam selama lebih dari lima belas menit, sebelum akhirnya sebuah mobil sedan mewah hitam masuk ke dalam sekolah.

Wajah Willy terangkat. Matanya tampak berbinar ketika melihat mobil tersebut.

"Itu Uncle Bob?" tanya Norra.

Willy menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Itu Papa!" jawab lelaki kecil itu riang.

Norra tersenyum lebar. Agaknya kesedihan Willy sedikit berkurang kala melihat kedatangan sang ayah ke sana.

Wanita muda itu pun menggandeng Willy untuk datang menghampiri mobil tersebut.

Langkah Norra kontan terhenti, ketika seorang pria tampan bermata biru keluar dari dalam mobil untuk menyambut sang putra. Namun, bukannya menyambut Willy, pria itu malah menatap Norra dengan pandangan terkejut.

2. Norra Bailee Ansell.

Bagaimana Allen tidak terkejut, sebab wajah gadis yang tengah bersama dengan putranya kini terlihat sangat mirip dengan wajah mendiang sang istri saat masih berusia dua puluh tahunan. Sorot mata mereka bahkan terlihat sama persis.

Melihat Allen termangu menatap dirinya, Norra lantas menegur. "Tuan West," panggilnya sesopan mungkin.

Allen tersentak kaget. "Ahh, maaf!" Pria itu kemudian bersimpuh di hadapan Willy. "Maaf, Papa datang terlambat. Kau tidak menunggu terlalu lama, kan?" tanyanya pada sang putra dengan nada lembut.

Willy menggelengkan kepala. "Tidak masalah. Aku sudah menunggu Papa puluhan hari, jadi menunggu sebentar lagi saja jelas tidak masalah bagiku."

Allen sontak mematung mendengar perkataan Willy. Dia tahu benar maksud perkataan putra semata wayangnya itu tak hanya soal kedatangannya yang sedikit terlambat.

Dekapan hangat langsung diberikan Allen pada Willy selama beberapa saat. Allen jelas merasa sangat bersalah. Dalam hati dia berjanji tidak akan mengabaikan Willy lagi.

Di samping itu, Allen juga merasa malu dengan sikap Willy yang jauh lebih pengertian dari pada dirinya. Seharusnya bukan Willy lah yang mengerti keadaan sang ayah, akan tetapi sebaliknya.

Norra tersenyum manis melihat momen kebersamaan indah tersebut. Dari raut wajah Allen, pria itu pasti tengah menghadapi kemelut yang sama dengan putranya, Willy.

"Terima kasih sudah menemani Willy, Miss ...."

"Norra. Panggil saya Norra saja, Tuan West," ucap Norra. Gadis berusia 24 tahun itu sudah menghafal beberapa identitas keluarga muridnya, terutama Willy, si murid paling menyita perhatiannya di hari pertama mengajar.

"Terima kasih banyak, Norra. Kalau begitu panggil saya Allen saja," ujar Allen kemudian.

Norra tersenyum dan mengangguk. Dia pun melambaikan tangannya, saat mereka berdua masuk ke dalam mobil. Norra baru pergi menuju motornya yang terparkir di depan pos satpam, setelah mobil Allen pergi meninggalkan tempat.

Di dalam mobil, Allen menanyakan keseharian Willy di sekolah. Tak lupa dia juga menanyakan Norra yang ternyata merupakan guru baru sang anak.

"Dia guru yang baik, Pa," ujar Willy. "Wajahnya sekilas mirip Mama," sambung pria kecil itu sembari menatap nanar jalanan di luar jendela mobil.

Allen terdiam. Sejak Winstley pergi, Willy memang sering membuka album foto mendiang sang istri. Bitsy, pengasuh Willy, bahkan berkata bahwa sang putra sering kali membawa tidur salah satu foto ibunya.

Allen mengelus lembut kepala Willy, sebelum kemudian kembali fokus menatap jalanan.

Sesampainya di rumah Willy segera turun dan naik ke dalam kamar bersama Bitsy. Sementara Allen berganti pakaian di kamarnya.

Kendati Winstley telah pergi tiga bulan yang lalu, tetapi Allen tetap membiarkan kamar mereka dalam kondisi yang sama. Semua pakaian Winstley tetap terjajar rapi di dalam lemari. Wangi parfumnya pun masih dapat Allen cium.

Sekali lagi dia merindukan Winstley.

...**********...

Norra tiba di rumah tak sampai setengah jam kemudian, karena jarak dari sekolah dan rumahnya tidak terlalu jauh.

Sang ibu, Rose, menyambut kedatangan putrinya. Wanita paruh baya itu terlihat kepayahan membawa sebaskom penuh adonan cookies.

"Biar kubantu, Bu!" Norra dengan sigap membawa adonan tersebut ke atas meja dapur. Sekali lagi dia menegur sang ibu untuk tidak terlalu keras bekerja.

"Tidak apa-apa, Nak. Justru tubuh Ibu akan merasa sangat sakit bila tidak melakukan sesuatu. Bagaimana hari pertamamu mengajar?" tanya Rose ramah.

"Menarik, Bu. Semua anak-anak didikku lucu sekali. Namun, ada satu anak yang kondisi kurang baik," jawab Norra.

Rose mengerutkan keningnya. "Kurang baik yang bagaimana?" tanya wanita paruh baya itu.

"Dia baru saja kehilangan ibunya tiga bulan lalu." terang Norra.

Rose menatap putrinya perihatin. "Anak itu jadi mengingatkan Ibu padamu. Dulu kau juga berlaku demikian setelah ayahmu pergi."

Norra terkejut. Dia baru mengingat kenangan tersebut.

Seulas senyum terpatri di wajah tua Rose. "Karena kau pernah mengalami hal yang sama, seharusnya kau jadi lebih mudah mendekati muridmu itu. Ibu harap, kau selalu bisa terus mendampinginya melewati masa-masa sulit itu."

Norra membalas senyum sang ibu dan memeluknya erat. "Pasti, Bu," jawab gadis itu.

Setelah obrolan kecil mereka, Norra bergegas pergi untuk mandi dan berganti pakaian untuk langsung membantu sang ibu membuka toko kuenya.

Toko kue yang dimiliki keluarga Norra bukanlah toko kue besar. Tempatnya hanya sepetak dan terletak persis di sebelah rumah. Dulu, saat sang ibu masih segar bugar, toko kue mereka akan buka setiap pagi hingga malam. Namun sekarang, Rose membuka tokonya mulai siang hari, bahkan terkadang sore.

Mau bagaimana lagi, keadaan wanita itu sudah tidak seperti dulu. Penyakit jantung koroner yang diidapnya, membuat Rose harus banyak berhati-hati dalam beraktifitas. Beruntung, dia memiliki anak gadis yang sangat berbakti. Sejak suaminya tiada, Norra tak pernah kenal lelah membantu Rose mencari uang dengan bekerja part time.

Hampir semua pekerjaan pernah digeluti Norra, dari mulai yang halus sampai yang kasar seperti buruh angkut di pabrik.

Maklum saja, pekerjaan suaminya dulu hanya security di sebuah bank. Dia tidak memiliki asuransi mau pun tunjangan. Jadi, mau tidak mau mereka harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup, sebab peninggalan satu-satunya sang suami hanya lah rumah dan toko kecil ini.

"Makan dulu, Nak!" titah Rose pada Norra yang baru saja keluar dari kamarnya. Sementara wanita itu sedang sibuk memasukkan adonan cookies ke pemanggang.

Norra menuruti. Setelah makan baru lah dia mengambil alih tugas sang ibu memanggang dan menata cookies ke dalam etalase toko.

Beberapa pelanggan tetap mereka pun tiba. Meski toko mereka terbilang kecil dan tidak memiliki plang nama, tetapi cukup terkenal di wilayah tempat tinggalnya.

Pelanggan lah yang memberikan nama pada toko kue mereka, yaitu, 'toko kue Norra'.

...**********...

Di hari keduanya bekerja, Norra semakin bersemangat. Wajah gadis itu bahkan terlihat sangat sumringah ketika mendapati kedatangan Willy.

"Pagi, Willy," sapa Norra ramah.

"Pagi, Miss Norra." Kendati kesedihan masih terlihat jelas di wajah bocah kecil itu, tetapi Norra bisa merasakan sedikit semangat di diri Willy.

Gadis itu pun menoleh ke arah parkiran mobil dan mendapati Allen tengah menatap ke arah mereka.

Norra lantas menganggukkan kepalanya guna menyapa pria itu.

Allen membalas anggukan Norra. Pria itu masih tetap bertahan di sana sampai Norra dan Willy menghilang ke dalam gedung sekolah.

"Sepertinya hari ini adalah hari yang baik, Will," ujar Norra sambil menggandeng Willy.

Willy mengangguk senang. "Uncle Bob tidak lagi bertugas mengantarku, Miss. Ada Papa yang akan mengantar jemput mulai sekarang."

Norra tersenyum lebar. "Itu bagus sekali. Aku turut bahagia."

"Terima kasih," ucap Willy. Keduanya tetap bergandengan tangan sampai tiba di kelas.

3. Toko Kue Norra.

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Kini Willy tak perlu lagi menunggu lama, sebab sang ayah rupanya telah berada di sana sejak lima menit sebelum bel sekolahnya berbunyi.

"Papa tidak terlambat, kan?" tanya Allen pada putra kecilnya.

Willy menggeleng. "Terima kasih sudah menjemputku tepat waktu, Pa," ucapnya.

Allen tersenyum. Matanya kemudian menjelajahi pintu masuk gedung sekolah, seolah sedang mencari seseorang.

"Papa lihat apa?" tanya Willy penasaran, tatkala mendapati sang ayah terdiam di tempat.

Allen sontak tersadar dari kegiatannya barusan. "Ahh, tidak. Ayo, kita pulang!" seru pria itu kemudian. Keduanya pun masuk ke dalam mobil dan pergi dari sana.

Tak berselang lama, Norra terlihat keluar dari dalam gedung sekolah. Matanya sejak tadi mencari-cari keberadaan Willy yang sudah menghilang duluan.

Sesampainya di luar, Norra bahkan masih berusaha mencari Willy. Namun, hal tersebut rupanya sia-sia. Willy pasti sudah pulang bersama ayahnya.

Norra mengangkat bahu. Dia memutuskan untuk langsung pulang ke rumah.

...**********...

"Bu, apa yang Ibu lakukan!" seru Norra ketika mendapati sang ibu membuka toko kue mereka sendirian. Beberapa pelanggan bahkan sudah terlihat berdatangan untuk menikmati kue buatan ibunya.

Bergegas Norra memarkirkan motor matic-nya di halaman kecil rumah mereka dan berlari menghampiri Rose.

"Seharusnya Ibu menungguku dulu! Kalau Ibu kenapa-kenapa, bagaimana Bu!" seru Norra sekali lagi.

"Kau ini terlalu berlebihan, Sayang. Ibu baik-baik saja." Rose tersenyum simpul. "Sudah, lebih baik kau mandi dan berganti pakaian dulu. Jangan bantu Ibu dalam keadaan kotor seperti ini." Wanita itu kemudian mengusir halus sang putri.

Norra merengut sesaat, sebelum kemudian melempar senyum lebar pada ibunya. Tanpa diminta dua kali gadis itu pun pergi menuruti perintah Rose.

...**********...

Setelah berjalan kaki sekitar satu kilometer, Allen dan Willy tiba di sebuah toko kue yang kini terlihat ramai oleh para pengunjung.

"Kau yakin di sini tempatnya?" tanya pria itu pada Willy.

Willy mengangguk yakin. "Tempat ini persis dengan foto yang pernah Uncle Bob tunjukan," jawab sang putra.

Dalam perjalanan sepulang sekolah tadi, Allen menawarkan Willy untuk membeli kudapan kesukaannya di salah satu mall terbesar di sana. Namun, bukannya pergi ke mall tersebut, Willy malah mengajak dirinya mengunjungi salah satu toko kue favorit supir pribadi mereka.

Allen pikir, toko tersebut berada di pinggir jalan besar. Namun, ternyata salah. Mereka harus masuk ke dalam gang sempit menanjak yang hanya bisa dilalui motor saja. Jaraknya pun tidak dekat.

Sesampainya di sana, Allen menatap ragu toko kue tersebut. Sebab, toko itu terlihat sedikit kumuh dan kurang terawat.

Bagaimana tidak, cat pada dinding toko terlihat sudah mengelupas sana-sini. Mereka pun tidak memasang plang nama. Jadi, bagaimana bisa supir pribadinya itu berkata bahwa kue-kue di sana sangat enak? Namun, melihat banyaknya pelanggan yang datang, sepertinya Allen harus berpikir ulang.

Setelah menunggu kira-kira lima dua puluh menit, akhirnya Allen dan Willy mendapat giliran.

Allen cukup terkesan dengan penampilan di dalam toko. Sebab ternyata, interior di dalam toko tersebut tidak seburuk tampilan luarnya.

Dari aksesoris dan perabotan yang ada, toko tersebut sepertinya memang sengaja mempertahankan konsep lamanya. Allen seperti merasa berada di masa lalu.

"Silakan." Rose dengan ramah menyambut kedatangan Allen dan Willy.

Willy menatap sederetan kue yang terpajang di etalase dengan wajah sumringah. Bocah kecil itu akhirnya menjatuhkan pilihan pada sepotong brownies coklat dan cupcakes bertabur coklat warna-warni. Sementara Allen memilih sebaris roti keju bertabur parsley kering, yang terlihat sangat lembut.

Setelah menyebutkan pilihan mereka, Rose bergegas mengemasnya.

"Baiklah, tunggu sebentar ya?" ucap Rose pada Willy dan Allen.

Willy mengangguk.

Selagi mengambil tempat, Rose kembali membuka suaranya. "Sepertinya kalian bukan orang sini ya? Sebab, aku tak pernah melihat kalian sebelumnya?" tanya wanita paruh baya itu.

"Iya, Bu. Kami kebetulan mendapat rekomendasi dari seseorang tentang toko kue ini," jawab Allen jujur.

"Ahh, begitu rupanya. Dulu toko kue ini memang sering didatangi pelanggan luar juga. Namun, setelah aku sakit dan toko kue ini tidak lagi beroperasi sebagaimana mestinya, pelanggan luar lama kelamaan menghilang. Beruntung, kami memiliki banyak pelanggan dari sini."

Mendengar penjelasan panjang lebar Rose, Allen menganggukkan kepalanya. "Kuharap, toko kue ini bisa kembali menikmati masa-masa jayanya seperti dulu."

Rose tersenyum simpul. Baru saja dia hendak menjawab perkataan Allen, tiba-tiba dari dalam toko terdengar suara seorang gadis.

"Bu, biar aku saja!"

Allen dan Willy sontak terkejut, tatkala mendapati Norra dengan pakaian biasa muncul dari dalam sana.

Tak hanya mereka saja yang terkejut, melainkan Norra juga. Gadis itu bahkan sempat termangu sesaat, sebelum sang ibu menginterupsi.

"Kalian sudah saling mengenal?" tanya Rose.

"Ahh, Willy adalah anak didikku, Bu," jawab Norra.

Rose menganggukkan kepalanya. "Ahh, begitu rupanya. Baiklah, karena kalian pelanggan istimewa kami, aku akan memberi bonus lebih."

"Tidak perlu, Bu!" seru Allen tak enak hati. Namun, sepertinya Rose tidak menggubris protes Allen, sebab wanita itu kini memasukkan dua buah kue tambahan ke dalam dus kue miliknya.

Sementara itu, Norra keluar dari dalam toko untuk menghampiri Willy. Keduanya berbincang sejenak di sana.

"Kapan-kapan Miss harus mencobanya," ujar Willy setelah menceritakan kudapan favoritnya di salah satu mall.

"Baiklah." Jawab Norra sembari mengelus kepala Willy.

Rose pun selesai mengemas kue tersebut. Allen hendak membayar seluruh kuenya termasuk dua potong kue bonus yang diberikan Rose, tetapi wanita itu sontak menolaknya.

"Anggap saja kue itu sebagai pengikat, agar Anda bersedia kembali lagi kemari," ujar Norra dengan nada jenaka.

Allen tertawa kecil. "Baiklah kalau begitu."

Keadaan mendadak hening. Allen lagi-lagi tak lepas menatap Norra. Namun, ajakan pulang dari Willy membuyarkan lamunan Allen.

"Kami permisi dulu. Terima kasih sekali lagi atas kuenya, Bu," ucap Allen pada Rose.

Rose mengangguk. "Semoga kalian suka kuenya."

"Pasti, kue Oma terlihat sangat enak," puji Willy.

Rose tertawa. Norra pun menawarkan diri untuk mengantar mereka.

"Tidak perlu. Jaraknya cukup jauh." Allen menolak tawaran Norra halus.

"Justru itu, aku akan mengantar kalian menggunakan motor. Sekalian, aku memang ingin pergi ke mini market depan." Norra tersenyum sumringah.

Allen dan Willy pun akhirnya setuju.

Merasa tak enak diboncengi seorang gadis, Allen pun berinisiatif menawarkan diri untuk menyetir motor.

Norra menerimanya dengan canggung. Dia pun duduk menyamping seraya berpegangan pada pinggang Allen. Sementara Willy duduk di depan Allen.

Motor pun bergerak menjauhi toko. Dari cara Allen menyetir, tampak sekali pria itu tidak terbiasa membawa motor.

"Anda pasti tidak terbiasa membawa motor ya?" tanya Norra.

Allen meringis. "Maaf." Jawabnya malu.

Norra tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Untuk pemula seperti Anda, sudah cukup bagus."

Allen turut tertawa kecil.

Sementara Willy tiba-tiba berseru, "Pa, naik motor sangat asik! Boleh kah lain kali Papa menjemput dan mengantarku menggunakan motor?"

Mendengar seruan sang putra, lagi-lagi Allen meringis. Dia pun berbisik pada Norra. "Sepertinya aku harus belajar menyetir motor mulai sekarang."

Norra kembali tertawa.

Dada Allen sontak bergemuruh, tatkala melihat tawa Norra dari kaca spion motor. Terlebih, tangan gadis itu kini tengah berpegangan pada pinggangnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!