NovelToon NovelToon

Anak Laki-laki Ayah

ALA1. Gau Rezky Dayyan

"Ya stop untuk selalu nanya, kapan nikah?! Kapan nikah?! Aku tak akan kabur ke mana-mana! Rumah orang tua aku pun kau tau, Za!" Chandra berbicara lantang pada seseorang yang tengah menghubunginya lewat ponsel.

Di seberang telepon, Izza langsung tergugu mendapat bentakan dari kekasih hatinya. Ia hanya meminta kejelasan, karena Chandra terus mengulur waktu pernikahan mereka. Hari ini adalah janji pernikahan mereka, yang tidak dilangsungkan oleh Chandra.

Chandra panik dan berusaha membuat pengasuh yang menggendong seorang bayi, agar mampu menenangkan bayi yang masih menangis lepas tersebut. Sorot matanya dan isyaratnya mengatakan, bahwa ia tengah bertelepon dan tak mau mendengar bayi itu menangis.

Semata-mata, Chandra hanya tak ingin kekasih hatinya tahu. Bahwa, ada seorang bayi yang tinggal bersamanya di Singapore tersebut. Chandra mengemban pendidikan perguruan tinggi di sana, sejak dirinya lulus SMA dan keluar dari pondok pesantren.

"Bayi siapa itu?" Izza mendengar suara bayi tersebut.

Sudah terhitung empat tahun Chandra mengemban pendidikan, di tahun terakhir inilah aktivitasnya bertambah karena ia menemani seseorang yang tengah mengandung dan kini ia memiliki seorang bayi yang harus ia asuh dan jaga. Karena alasan ini juga, ia urung menikahi kekasih hatinya yang tinggal di desa.

"Tetangga." Chandra bergerak keluar rumah, agar Izza samar mendengar suara bayi tersebut.

"Bohong!" Izza yakin suara bayi tersebut amat dekat dengan posisi kekasih hatinya.

"Aku tak minta kau percaya, Za." Suara yang mendadak lembut tersebut, membuat Izza langsung percaya bahwa laki-lakinya tidak berkhianat di sana.

Chandra memiliki sisi kelembutan, yang dari suaranya saja mampu membuat semua orang percaya, meski ia tak meyakinkan siapapun dengan pengakuannya. Karena mereka yang mengenal Chandra sejak kecil, termasuk Izza yang sudah bersama-sama bersama Chandra sejak mereka duduk di kelas satu SMP, mengenal pasti siapa seorang Chandra.

"Terus kita bakal kapan menikah, Bang? Waktu awal keluar pesantren, Abang bilang dua tahun lagi, tak apa Abang masih jadi mahasiswa juga, Abang ngerasa mampu ngasih makan aku. Dijanji pertama, Abang meleset, katanya nanti setelah wisuda. Bukannya pagi tadi Abang wisuda kan? Aku tanya kejelasannya kapan, bukan bentakkan yang aku minta." Suara Izza yang parau, karena merasa begitu tersakiti dengan janji-janji dari kekasihnya.

Chandra pun sulit untuk berbohong kembali. Namun, ia sampai rela wisuda tanpa memberitahu orang tuanya. Karena, ia takut kedua orang tuanya tahu bahwa ada seorang bayi mungil yang tinggal di tempat tinggalnya di Singapore.

Bukan ia ingin menyembunyikan, hanya saja ia ingin membicarakan di waktu yang tepat. Karena, ia pun bahkan tidak mengharapkan kejadian seperti ini terjadi.

Ditambah lagi, ia khawatir disalahkan oleh orang tuanya. Karena kejadian yang tak ia harapkan terjadi dalam tanggung jawabnya sendiri.

"Kata siapa aku wisuda? Aku gagal wisuda, Za," akunya berbohong.

Ia pun mengatakan hal serupa pada keluarganya, agar keluarganya tidak datang untuk merayakan wisuda bersamanya. Sempat terlintas di pikiran orang tuanya, apa mungkin anak sulungnya benar-benar gagal meraih pendidikan sarjana dalam waktu empat tahun? Namun, Chandra mengatakan kesalahan yang tak pernah ia lakukan pada orang tuanya. Ia berdalih, bahwa ia belum menyelesaikan untuk sidang terakhir pendidikannya. Tentu saja, dengan alasan tersebut orang tuanya langsung percaya.

Ia malah mendapat nasehat panjang, karena dikira ia lebih mengutamakan tanggung jawab pekerjaan ketimbang pendidikan. Padahal ia sudah melakukan apa yang orang tuanya inginkan.

"Kenapa? Kok bisa?" Tentu Izza tidak percaya mendengarnya.

"Aku tak selesaikan sidang." Chandra memberi jawaban yang sama seperti pada orang tuanya.

"Selama ini Abang sibuk, apa mungkin Abang tak selesaikan?" Izza jelas merasa ragu atas pengakuan Chandra.

Setiap ia berkomunikasi, Chandra selalu mengatakan bahwa dirinya sibuk dan membalas pesannya telat. Ia pun amat sulit dihubungi, kecuali Chandra sendiri yang menghubungi Izza.

"Nyatanya kek gitu, Za!" Nada tinggi dikeluarkan kembali oleh Chandra.

Amarahnya tertuang, dalam setiap bentakan yang keluar dari mulutnya.

"Abang kenapa sih?! Dari tadi kita telpon, kenapa bentak-bentak terus?" Meski Izza sudah tahu karakter Chandra yang sukar membentak, tapi ia tidak suka karena Chandra terus membentaknya padahal ia hanya bertanya, bukannya melakukan kesalahan.

"Nanti aku hubungi lagi, Za. Dari tau kau buat aku kesal terus." Chandra langsung mematikan panggilan telepon mereka tanpa pamit.

Ia menyimpan ponselnya ke saku, lalu ia menyugar rambutnya dan menghela napasnya. Ia bingung, ia harus melakukan apa.

Tangis lepas bayi itu terdengar kembali dari dalam rumahnya. "Ya ampun, nak!" gerutunya dengan masuk ke dalam rumahnya dengan langkah cepat.

"Apa yang sakit? Apa kita ke rumah sakit aja?" Chandra bingung dengan mencoba mengambil alih bayi yang baru berusia satu minggu tersebut.

"Mungkin kerasa kalau ibunya ninggalin dia sama Abang aja," jawab pengasuh bayi yang dulunya adalah pengurus rumah tersebut itu.

Chandra tidak mau rahasia yang terjadi di rumah tersebut terbongkar, jika ia mempekerjakan orang baru. Ia rela rumahnya menjadi sedikit kurang terurus, karena pengurus rumah tersebut beralih tugas menjadi baby sitter.

"Gau Rezky Dayyan, anak Ayah, anak sholeh, kenapa, Nak? Apa ada yang sakit?" Chandra menimang bayi tersebut dengan penuh kasih.

Bayi itu diberi nama yang memiliki arti, anak laki-laki pemberian Tuhan yang giat bekerja dan baik hati. Agar bisa mengangkat derajatnya sendiri yang lahir tanpa pernikahan dan bisa memaklumi kesalahan orang tuanya, yang menyebabkan dirinya hadir ke dunia ini.

Rintihan anak itu, yang seolah-olah terdengar seperti seorang bayi yang meminta ASI begitu menyayat hati Chandra. Ia paham suara khas bayi yang merintih ingin ASI tersebut, ia baru teringat jika ia baru membiasakan bayi yang baru mengenal ASI tersebut untuk terbiasa tanpa ASI.

"Sabar ya, Nak? Ibu pulang dulu, nanti ke sini lagi. Ibu bakal sering-sering tengokin Dayyan kok, Dayyan mimi sufor aja dulu ya?" Chandra mengusap-usap kepala tersebut, mencoba memberi pengertian pada bayi yang masih merah tersebut.

"Buat sufor aja dulu, Mbak. Dia haus keknya."

Seiring perintahnya, mbak Yani langsung mengangkat dot botol dalam genggamannya. "Saya udah buatkan sejak Dayyan nangis itu, Bang," jelasnya kemudian.

"Tak suka kah rasanya?" Chandra mengambil alih dot botol tersebut.

"Tak paham, Bang. Mungkin kaget aja, dia udah terbiasa ASI sejak lahir. Udah seminggu terbiasa rasa ASI, eh malah harus disapih mendadak. Aturannya kalau memang mau dititipkan sama Abang, ya jangan dikasih ASI." Mbak Yani sudah seperti saudara tua yang mengarahkan benar.

Sayangnya, suaranya tersebut tidak pernah diterima baik oleh anak muda itu.

"Aku cuma pengen yang terbaik, Mbak. Aku tak nyangka juga, kalau dia disuruh pulang ke sana. Aku mikirin bekas operasi sesarnya." Chandra mencoba memberikan sufor dalam dot tersebut pada bayi di dekapannya.

"Ayo, Dayyan. Anak pintar Ayah, dicoba dulu, Nak," bujuknya halus, dengan menempelkan dot tersebut ke bibir bayi itu.

Dayyan mulai merasa beradaptasi dengan rasa susu dan bentuk dot tersebut. Sampai akhirnya, ia membuat senyum orang dewasa itu terukir karena ia mau untuk mengganti ASI dengan sufor tersebut.

...****************...

ALA2. Adik-adik perempuan

[Bang, aku udah sampai di tujuan. Tapi aku langsung ke rumah sakit, aku tadi sampai minta pertolongan pramugari karena luka operasi aku sakit betul.]

Chandra mendapat pesan yang membuat kakinya begitu gatal untuk mendatangi keberadaan ibunya Dayyan tersebut. Ia langsung berniat untuk membalas pesan tersebut, karena rasa kantuknya tiba-tiba hilang kala mendapat pesan yang mengkhawatirkan tersebut.

[Kau tak apa? Abang ke sana kah?] Balas Chandra cepat.

[Tak usah, Bang. Aku cuma cek up aja, terus ini lagi urus administrasi dan lanjut pulang.] Pesan singkat itu cukup membuat tenang Chandra.

[Terus kabarin Abang ya? Abang khawatir di sini.] Chandra menatap langit-langit kamarnya, kemudian ia menoleh ke arah bayi yang terlelap di sampingnya.

[Siap, Bang.] Hanya balasan itu yang Chandra dapat.

Chandra langsung memiringkan tubuhnya, untuk memeluk bayi yang dihangatkan dengan kain yang cukup tebal tersebut.

"Anak Ayah, cepat besar. Terus ayo kita pulang, kita ceritakan sejarah kehadiran Dayyan dengan kejujuran." Ia mencium pipi bayi laki-laki tersebut.

Bayi tersebut bergerak, ia merasa terganggu dengan tindakan Chandra. Chandra tidak menyangka, di usianya yang menginjak dua puluh dua tahun, ia sudah dihadiahkan masalah yang besar.

Ia jadi teringat akan adik-adik perempuannya. Tanggung jawabnya tidak akan habis, untuk menjadi wali dari Caera, Candani dan Chalinda jika orang tuanya sudah meninggal. Ia masih sedikit tenang sekarang, karena mereka masih dalam dinding pesantren dan perhatian penuh dari orang tuanya.

Tiga anak perempuan tersebut, hanya adik perempuan kandung yang satu ayah dan satu ibu dengannya. Ia pun merasa sedikit tenang juga, karena kedua kakak perempuannya sudah dipinang dan sudah hidup dengan pasangan hidup mereka masing-masing.

Mikheyla, anak satu dan dan lain ibu, merupakan anak di luar pernikahan dari ayahnya. Ia sudah tahu fakta itu, ia pun merasa sedikit tenang karena ia tidak harus menjaga kakaknya karena kakaknya sudah bersuami. Ia pun merasa tidak memiliki hak lebih untuk kakak perempuan lain nasab dengannya tersebut.

Lalu, Jasmine. Kakak perempuan dari ayah sambungnya yang sudah meninggal dan perempuan di masa lalu ayah sambungnya, diasuh oleh ibunya dan ayah kandungnya. Pembaca perlu membaca novel Canda Pagi Dinanti dan Retak Mimpi, untuk memahami silsilah keluarga yang tidak dijelaskan secara gamblang di sini.

Jasmine pun sudah menikah, tapi ia masih dalam penjagaan ayah kandungnya karena keduanya belum bisa mandiri dan mampu mengurus usaha warisan yang akan dilimpahkan pada mereka. Chandra pun merasa sedikit tenang, karena kakak perempuannya itu masih dalam pengawasan orang tuanya dan jelas ia tidak memiliki tanggung jawab karena Jasmine sudah berumah tangga.

Namun, bukan berarti ia tidak akan mengulurkan tangannya jika kakak-kakaknya perlu bantuannya.

Kemudian, ada lagi anak laki-laki yang merupakan adiknya. Ia satu ayah dengannya, hanya saja fakta bahwa adik laki-lakinya lahir di luar pernikahan membuatnya sadar bahwa dirinya adalah anak laki-laki satu-satunya yang ikut dengan nasab ayahnya.

Zio lahir kala ibu kandung Chandra dan ayah kandung Chandra berpisah. Kemudian, ayah kandung Chandra menikah kembali dengan ibu kandung Zio. Tetapi, keadaan ibu kandung Zio sudah mengandung Zio saat menikah dengan ayah kandung Chandra.

Secara hukum, Zio jelas memiliki hak yang setara dengannya karena ia adalah keturunan biologis dari ayah kandung Chandra. Hanya saja, secara agama tentu Zio tidak mendapatkan hak apapun dari ayah kandung Chandra karena Zio ikut nasab ibu kandungnya karena kehadirannya yang di luar pernikahan.

Satu lagi beban yang dipikul Chandra. Adik perempuannya yang merupakan satu ibu dan lain ayah dengannya, adalah tanggung jawabnya juga menurutnya. Ibu kandungnya menikah lagi dengan ayahnya Jasmine, saat ibu kandungnya berpisah dengan ayah kandungnya. Dari pernikahan ibu kandungnya tersebut, terlahir adik perempuan yang lahir satu kandung dengannya yang bernama Ceysa.

Bahunya harus kuat, hatinya harus tegar dan fisiknya harus selalu sehat, agar ia mampu mengurus adik-adiknya dengan baik. Ia tidak mau adik-adik salah jalan, apalagi mendapat nasib buruk dari sejarah kisah kelam ayahnya.

Chandra tahu segalanya, ia menambah was-was dan penuh kehati-hatian setelah tahu cerita dari mulut ayahnya tersebut. Ayahnya pun memohon padanya, agar ia tidak membencinya. Ayahnya pun meminta dengan sangat, agar dirinya mampu menjaga adik-adiknya, karena khawatir mendapat karma dari perbuatan-perbuatan ayahnya.

Namun, ayahnya bahkan tidak tahu jika kejadian besar sudah terjadi.

Chandra sengaja menyembunyikan kebenaran itu, karena khawatir disalahkan oleh ayahnya dan membuat ayahnya semakin merasa bersalah karena perbuatannya dahulu. Ia hanya tidak mau, sesuatu yang lebih buruk menyerang jantung ayahnya andaikan mendengar kabar yang tidak pernah diharapkan ayahnya.

Sayangnya, karena ia terfokus pada adik-adiknya saja. Ia bahkan tidak memikirkan kebahagiaannya, ia pun tidak mengutamakan dirinya.

Tuntutan Izza dan rengekan Izza, yang memintanya segera menikahinya, dihiraukannya begitu saja. Bukan tanpa alasan, karena ia merasa bahwa hal itu belum begitu penting menurutnya. Apalagi, ditambah ada seorang bayi yang ia bingung untuk mengatasinya nanti. Belum lagi jika Izza mengetahui fakta itu, Chandra akan bingung untuk membuat Izza agar tetap percaya padanya.

Ia tidak akan meminta Izza, untuk menganggap anak tersebut sebagai anaknya kelak. Tapi, ia hanya ingin Izza mengerti akan dirinya saat nanti.

Tok, tok, tok….

Pintu kamar Chandra diketuk beberapa kali. Chandra langsung menenangkan bayi yang nampak terkejut dalam tidurnya tersebut, kemudian ia bertanya dari tempatnya tentang siapa yang mengetuk kamarnya.

"Ada bang Keith, Bang," jawab mbak Yani yang mengetuk pintu kamar tersebut.

"Iya, sebentar." Chandra bangun dan menempatkan beberapa bantal untuk menjaga keberadaan bayi laki-laki tersebut.

Kemudian ia beranjak dan membuka pintu. "Jagain dulu sebentar, Mbak. Tak apa Mbak masuk aja." Chandra membuka pintu kamarnya tersebut lebar.

"Ya, Bang. Bang Keith ada di ruang tamu, Bang." Mbak Yani menunjuk ke arah keberadaan Keith.

Chandra mengangguk, kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya untuk mengambil kaosnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Ia mengenakannya cepat, lalu keluar dari kamar dan membiarkan mbak Yani untuk masuk dan menjaga bayi laki-laki tersebut sementara waktu.

"Maaf ganggu, Bang. Udah tidur kah?" Keith langsung tersenyum dan berjabat tangan.

Ia jauh lebih tua dari Chandra, tapi rasa hormatnya tidak turun sedikitpun pada pewaris terbesar dari bosnya tersebut. Ia bahkan bisa memposisikan dirinya, bahwa dirinya lebih rendah dari Chandra.

"Belum, Bang." Chandra pun menghormati Keith sebagaimana ia menghormati orang yang lebih tua darinya.

Ia tidak bersombong diri karena kedudukannya.

"Abang barangkali mau pulang, Dayyan ikut Saya aja sama Shauwi sementara. Atau, Abang udah siap bawa Dayyan pulang?" Keith tahu segalanya yang terjadi di sini.

Ia mempertaruhkan kedudukannya sebagai orang kepercayaan Givan, ayahnya Chandra. Semata-mata, hanya untuk menghargai keputusan anak itupun menyembunyikan Dayyan sampai Chandra memiliki kesiapan sendiri.

"Kalau aku pulang, aku harus bilang apa, Bang? Aku aja ketar-ketir, takut ketahuan bohong kalau aku sebenarnya udah wisuda." Chandra melirik Keith, kemudian ia mengusap wajahnya sendiri.

"Cepat atau lambat, orang rumah akan tau semua yang Abang sembunyikan. Tapi kan, ini udah mendekati lebaran, Abang yakin tak pulang?" Keith menepuk pundak Chandra pelan.

Chandra menopang dagunya dengan siku bertumpu pada pahanya. Ia terlihat amat frustasi, dengan beban pikirannya yang banyak.

Apa ia yakin mengorbankan hari lebarannya tanpa kedua orang tuanya dan suasana hangat keluarga besarnya?

...****************...

ALA3. Pulang kampung

"Memang kak Shauwi tak mudik kah, Bang?" Chandra menoleh ke samping kirinya.

"Tak balik, mak meugang sehari sebelum puasa itu udah balik. Eh, betul tak? Tak paham tradisi di sana." Keith menggaruk kepalanya bingung.

"Iya, Bang. Sehari sebelum puasa dan sehari sebelum lebaran, mak meugang." Chandra pun memikirkan rengekan ibunya yang memintanya untuk pulang. Sayangnya, ia terlampau bingung dengan keadaannya sekarang. Ia memiliki bayi di rumah ini, ia tidak bisa pergi ke mana-mana dengan membawa bayi, apalagi membawa bayi itu pulang, dengan statusnya yang belum menikah.

"Dua hari lagi lebaran, Bang. Malam ini yakinkan diri Abang, besok kalau jadi ya Saya jemput Dayyannya. Nanti Dayyan Abang jemput lagi di rumah Saya, kalau Abang udah sampai di sini." Keith hanya mencoba membantu Chandra semampunya. Ia tahu kesedihan hari lebaran tanpa keluarga, apalagi ini pertama untuk Chandra.

"Abang keberatan tak?" Chandra khawatir itu malah membebani orang lain, ditambah lagi Keith memiliki satu bayi yang baru berusia enam bulan di rumahnya.

"Tak, makanya nawarin." Keith yakin, pengasuhnya pun bisa membantu istrinya untuk mengurus Dayyan.

"Ya udah nanti besok pagi aku telepon biyung dulu, Bang. Kalau jadi, nanti aku antar Dayyan ke rumah Abang aja langsung." Chandra masih memikirkan tentang hal ini.

Ia khawatir gerak-geriknya dipahami oleh orang tuanya.

"Oke, sip. Maaf malam-malam ganggu ya, Bang? Soalnya tadi sekalian lewat, Saya baru pulang dari kantor." Keith bangkit dan menggulung lengan kemejanya.

Chandra pun bangkit dengan memasang senyum ramahnya. "Ya tak apa kok, Bang. Saya belum tidur juga." Ia berniat mengantar Keith sampai terus rumahnya.

"Saya pamit dulu, Bang." Keith langsung undur diri.

"Iya, Bang. Ati-ati, udah malam." Chandra melangkah mengantar Keith sampai ke teras rumahnya.

Tin….

Klakson dibunyikan, seiring keluarnya mobil tersebut dari halaman rumah itu. Chandra mengangguk dan tersenyum samar, mengantar kepergian mobil tersebut.

Setelahnya, ia masuk kembali ke dalam rumah dan mengunci pintu rumah tersebut. Langkahnya berlanjut sampai kamarnya, lalu berhenti di ranjang dan ia kembali memeluk bayi laki-laki tersebut.

Pengurus rumah langsung keluar dari kamar, kemudian menutup pintu kamar Chandra dengan perlahan. Ia tahu, bahwa anak majikannya tengah lelah pikiran.

Esok paginya, setelah sarapan ia langsung memberikan Dayyan pada mbak Yani. Ia duduk di teras rumah, kemudian menghubungi ibunya. Ia sengaja mengamankan Dayyan lebih dulu, agar ibunya tidak mendengar suara bayi jika Dayyan tiba-tiba menangis.

"Biyung…." Nada ceria ia berikan, kala panggilan teleponnya tersambung.

"Iya…." Canda, ibu kandung Chandra menyahuti dengan nada serupa.

"Baiknya aku pulang apa tak ya?" Penuturan Chandra, langsung membuat hati ibunya berbunga-bunga.

"Pulang dong, adik-adik kau udah kumpul semua. Udahlah, jangan terlalu meratapi gagal wisuda. Ayah bisa belikan wisuda untuk kau kok." Keceriaan ibunya membuat Chandra tertawa geli.

"Lancang!" Suara lantang itu dikenal Chandra.

"Ayah mana, Biyung? Aku mau ngomong sama ayah." Chandra yakin jika berbicara dengan ibunya malah bertambah panjang ceritanya.

"Ayah Givan, nih Bang Chandra mau ngomong." Di tempatnya sana, Canda memberikan ponselnya pada Givan.

"Ya, Hallo. Gimana? Udah meratapi wisuda gagalnya?" sindir Givan kemudian.

"Tak, Ayah. Cuma ya…. Sulit menerima aja." Sebenarnya sama sekali Chandra tidak memikirkan pendidikannya. Karena ia malah lulus dengan nilai yang cukup baik.

"Dibawa enjoy aja." Hanya itu yang Givan ucapkan, ia tidak tahu ingin menyemangati seperti apa. Karena, ia tidak pernah merasakan di posisi Chandra. Itu yang ada di pikiran orang tua tersebut.

"Kalau aku pulang masih boleh tak, Yah?" Canda tersenyum kala mengatakan hal itu.

"Boleh kok, masih ada kuota kamar. Rumah kau memang ditempati adik-adik perempuan kau yang dijemput dari pesantren, tapi di rumah ada kamar kok."

Chandra terkekeh, mendengar jawaban ayahnya. Ia tahu rumahnya pasti begitu ramai, karena ia memiliki keluarga besar.

Belum lagi rumah orang tuanya menjadi tempat berkumpul tahunan, kala merayakan lebaran. Karena, ayahnya adalah anak tertua dari kakek dan neneknya yang telah tiada.

"Siap, Yah." Chandra langsung bangkit dari kursi terasnya.

"Kau puasa tak?" Satu pertanyaan ayahnya mengurungkan niatnya untuk berpamitan dalam panggilan telepon tersebut, karena ia berniat lekas bersiap-siap.

"Puasa lah, Yah. Mau full dong, dapat hadiah apa aku?" tukasnya sembari duduk kembali di kursi teras tersebut.

"Ya nanti lebaran dikasih seratus ribuan yang puasanya full," jawab Givan dengan terkekeh geli.

"Hmm, seratus." Chandra menghela napasnya.

"Ya udah cepat, pesan tiket dulu. Khawatir udah pada penuh. Nanti Ayah kirim untuk ongkosnya."

"Tak usah, Yah. Aku ada uang kok." Chandra merasa dirinya sudah berpenghasilan sendiri.

"Ya udah, ati-ati ya? Assalamualaikum." Givan langsung menutup panggilan teleponnya.

"Wa'alaikum salam." Setelah itu, Chandra langsung membeli tiket pesawat secara online.

Ia baru tahu, penerbangan tercepat akan dilakukan beberapa jam lagi. Setelah ia sukses untuk mengambil penerbangan yang akan dilakukan pukul dua belas siang itu, ia langsung bergegas untuk berkemas dan memasuki ranselnya yang berisi beberapa alat-alat elektroniknya dan dokumen yang akan ia perlukan di penerbangannya.

Setelah itu, ia langsung membawa bayi tersebut ke rumah Keith. Karena mbak Yani sudah membeli tiket pesawat untuk kepulangannya esok jauh-jauh hari, maka karena itu Chandra pusing memikirkan bayinya akan dititipkan ke siapa jika ia pulang juga. Untungnya, ada Keith yang menawarkan diri untuk mengasuh Dayyan sementara Chandra pulang untuk menikmati hari lebarannya bersama keluarganya.

"Bang, aku usahakan pulang cepat." Chandra menyerahkan Dayyan ada Keith.

"Lama pun tak apa, tenang aja. Pengasuh di sini tak balik kok." Keith tidak hanya memberikan kalimat penenang, tapi itulah faktanya.

"Ayo antar dulu ke bandara, Bang. Penerbangan aku bentar lagi." Chandra melirik ke arah jam tangannya.

"Ayo, ayo. Bentar ya?" Keith masuk ke dalam rumah dengan membawa Dayyan. Chandra bergerak untuk mengeluarkan perlengkapan milik Dayyan dari dalam mobilnya.

Setelah itu, mobil langsung melaju kencang mengantarkan Chandra ke bandara. Chandra sedikit khawatir dirinya tidak memiliki cukup waktu, karena penerbangan dari rumahnya memiliki waktu tempuh sekitar satu jam setengah.

Namun, ia bersyukur karena ia tidak tertinggal pesawat. Ia langsung mengurus dan menunjukkan tiket onlinenya, kemudian ia diminta segera untuk memasuki pesawat yang akan mengantarnya.

Sebelum ia mengaktifkan mode penerbangan tersebut. Ia menyempatkan diri untuk mengirimkan pesan pada kekasihnya yang semalam bertengkar dengannya tersebut.

[Jemput aku di bandara enam jam lagi.] Chandra hanya memperkirakan waktu, karena keterangan dalam tiket penerbangannya adalah lima jam empat puluh menit.

[Bandara mana?] Untungnya Chandra belum mengaktifkan mode penerbangannya kala mendapat balasan dari Izza.

[BTJ, Sultan Iskandar Muda.] Setelah membalas, Chandra langsung mengaktifkan mode penerbangannya.

Izza bergegas dari sekarang, karena perjalanan dari desanya ke bandara tersebut adalah enam jam tiga puluh dua menit. Ia khawatir Chandra marah-marah, karena ia membuat Chandra menunggu di bandara.

Ia begitu bersemangat, karena ia akan bertemu dengan kekasihnya. Terakhir ia bertemu dengan kekasihnya, saat lebaran tahun lalu. Ia tidak mempermasalahkan jauhnya lokasi ia harus menjemput Chandra, karena dengan perjalanan yang panjang ia akan memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Chandra.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!