Esa tersenyum sambil menatap benda panjang nan pipih yang ada di tangannya. Dua garis biru tampak tergores jelas di alat pendeteksi kehamilan yang ia bawa. Sebentar lagi dia akan menikah dengan tambatan hatinya dan pagi ini dia mendapati dirinya tengah mengandung buah cintanya dengan seorang pria bernama Emir yang tak lain adalah kekasihnya.
Saat ini Emir sedang melakukan perjalanan bisnis di luar negeri. Rencananya, saat Emir pulang nanti Esa akan memberikan kejutan berupa berita tentang kehamilannya. Wanita itu semakin tak sabar menunggu kehadiran sang kekasih.
Hari demi hari berlalu, persiapan pernikahan mereka sudah semakin matang. Gaun pernikahan Esa sudah jadi, dia juga sudah menentukan makanan catering pernikahannya dengan Emir. Undangan sudah disebar dan beberapa hari lagi dekor pernikahannya akan dipasang.
Sekarang tepat satu minggu sebelum acara pernikahannya akan berlangsung. Jantung Esa berdebar penuh bahagia karena hari ini juga Emir akan pulang dari luar negeri.
Mendengar suara mobil berhenti di depan rumah Esa mengintip ke jendela. Senyumnya mengembang sempurna tatkala dia melihat mobil yang biasa digunakan sang kekasih terparkir di sana. Esa buru-buru keluar dari kamar dan menyambut kedatangan Emir.
“Emir, akhirnya kau pulang juga,” ucap Esa lalu berlari memeluk Emir untuk menumpahkan kerinduannya.
Namun, beberapa detik kemudian, senyum Esa pudar bersamaan dengan dirinya yang menyadari kalau ada sesuatu yang aneh dengan Emir. Hari itu tidak ada sambutan dan pelukan untuk Esa. Emir berdiri kaku dengan tatapan dingin mengarah kepadanya.
Esa melepaskan pelukannya. Dia menatap Emir dengan tatapan penuh tanda tanya. Tidak biasanya Emir seperti ini. Biasanya, Emir selalu bersikap hangat kepada Esa. Tapi hari ini, sosok Emir yang berdiri di hadapan Esa benar-benar berbeda dengan Emir yang selama ini dia kenal.
“Emir, ada apa?” tanya Esa.
“Kau berselingkuh dariku,” ucap Emir.
Esa terkejut bukan main. Dari mana asalnya gagasan itu? “Apa maksudmu, Emir? Aku tidak mengerti,” jawab Esa kebingungan.
“Halah! Kau tidak usah pura-pura tidak mengerti. Aku tahu apa yang selama ini kau lakukan di belakangku. Ayle dan ibu sudah menceritakan semuanya kepadaku,” ucap Emir.
“Memangnya apa yang mereka katakan, Emir?” tanya Esa tidak mengerti.
“Mereka berkata kalau selama aku tidak ada di sini kau berselingkuh dengan pria lain. Kau bahkan beberapa kali membawa pria yang berbeda kemari. Apa kau begitu kesepian saat aku pergi hingga membawa banyak pria kemari? Aku tidak menyangka kau akan sekotor itu, Esa," jawab Emir.
"*Dan kau percaya?" tanya Esa.
"Andai saja tidak ada bukti, maka aku dapat menentang dunia untukmu. Namun bukti menjawab semuanya!" Emir melemparkan beberapa foto pada Esa yang terdiam menatap foto-foto yang terdapat dirinya dan beberapa pria berbeda*.
Emir berjalan melewati Esa menuju ke kamar. Di sana, dia mengambil koper dan mengambil barang-barang Esa dari dalam lemari. Pria itu memasukkan barang-barang Esa ke dalam koper, membuat Esa membulatkan matanya dan panik. Ia tidak mengerti apa saja yang telah dikatakan oleh Ayle dan ibunya sampai-sampai Emir semarah ini pada Esa.
“Emir, apa salahku? Kenapa kau mengemasi barang-barangku?” tanya Esa.
Emir tidak menjawab, ia terus melakukan aktivitasnya. Setelah selesai mengemasi barang-barang Esa, Emir memberikan koper itu pada Esa sembari membentak Esa.
“Aku mau kau angkat kaki dari rumah ini sekarang juga!” bentaknya. Suara Emir menggelegar memenuhi ruangan itu.
“T-tapi sebentar lagi kita akan menikah dan saat ini aku—”
Belum sempat Esa mengatakan kalau dia sedang hamil anak Emir, pria itu sudah kembali menuduhnya.
“Aku bahkan curiga jika kau mungkin saja sudah hamil dengan pria lain selama satu bulan aku pergi ke luar negeri. Kau bermain dengan begitu hebat, Esa. Benar-benar wanita licik,” tuduh Emir.
Esa menggelengkan kepalanya. “Tidak, Emir. Aku tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu. Kumohon berikan aku kesempatan untuk menjelaskan,” ucap Esa.
Emir menarik Esa dan koper Esa secara paksa keluar dari rumahnya. “Pergi dan jangan pernah kembali lagi. Aku tidak mau kau muncul di hadapanku selamanya,” perintah Emir.
“Emir, tapi ... Tapi ....”
“Tidak ada tapi-tapi. Aku tidak mau ****** seperti dirimu berada di depan mataku. Perempuan seperti dirimu lebih pantas di luar sana daripada menikah denganku. Aku benae-benar kecewa padamu, Esa. Aku tidak ingin lagi melihatmu dalam hidupku,” ucapnya telak lalu menutup pintu tepat di depan muka Esa.
“Emir, buka pintunya! Emir!” teriak Esa.
Namun percuma, Emir tidak mau membuka pintu itu sama sekali. Esa tak bisa lagi berkata-kata. Air mata mengalir deras di pipinya. Sambil menangis, Esa melangkahkan kakinya pergi. Ia kecewa dengan Emir yang lebih memilih percaya dengan ucapan saudara tiri dan ibu tirinya dibandingkan ucapan Esa yang jelas sebagai kekasihnya dan telah beberapa tahun bersama.
Esa tersadar dari lamunannya tentang masa lalunya di Turki saat Emir mengusir dan menghinanya hingga membuat dia pergi meninggalkan Turki dan memilih untuk tinggal di Kanada.
Beberapa bulan awal dia meninggalkan Turki mungkin adalah masa terburuk yang pernah dia hadapi, ditambah lagi dengan hormon kehamilan yang membuat Esa semakin sulit mengendalikan perasaannya.
Namun, semua masa suram itu berakhir ketika Elif, putrinya dengan Emir, terlahir di dunia ini. Elif bagaikan pelita baru di hidup Esa. Kini hidup Esa terasa jauh berwarna dengan kehadiran putrinya yang sempurna meskipun Elif adalah buah cintanya dengan pria yang sangat menyakiti perasaannya.
Sebagai salah satu arsitek yang paling diandalkan di Kanada, Esa telah menggarap berbagai proyek besar, salah satunya adalah renovasi rumah mewah yang saat ini tengah digarap oleh timnya. Esa tentu tidak hanya mendesain rumah dan menyerahkan kelanjutan proyek pada timnya, tapi dia juga turun ke lapangan untuk memastikan tidak ada yang salah dari penggarapan bangunannya.
Seperti hari ini, Esa mendatangi rumah mewah yang tengah mengalami renovasi. Saat dia datang, hanya ada dua orang saja di sana karena para pegawai sudah pulang sebab hari sudah agak malam.
“Aaaaaa!” teriak seseorang tiba-tiba, membuat Esa terkejut dan berlari menuju ke sumber suara. Dia khawatir kalau salah seorang timnya mengalami kecelakaan di tempat pembangunan.
Mata Esa membulat sempurna ketika dia melihat tubuh seorang pria sudah tergeletak di lantai berlumuran darah. Esa menutup mulutnya dengan telapak tangan. Napasnya tercekat. Dia terkejut bukan main melihat hal tersebut.
“Apa yang terjadi? Siapa yang membunuh pria ini?” tanyanya ketakutan sebab ada kejadian pembunuhan di proyek yang tengah dia garap.
Tiba-tiba saja kepala Esa terasa pusing saat melihatnya dan dia pun jatuh pingsan.
Beberapa menit kemudian, Esa tersadar dari pingsan. Saat ia menatap ke arah tangannya, matanya membelalak lebar karena sebuah pisau berlumuran darah berada di tangannya. Esa refleks melemparkan pisau itu ke sembarang arah dan bangkit berdiri. Dengan tubuh bergetar dia berlari keluar dari rumah itu, meninggalkan mayat pria yang dibunuh secara misterius di proyek yang sedang dia pantau.
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan pria tadi? Kenapa dia bisa seperti itu?” gumamnya. Sedetik kemudian, dia mengoreksi ucapannya. “Ya Tuhan, kenapa barang bukti pembunuhan bisa berada di tanganku? Siapa yang telah meletakkannya di tanganku?” gumam Esa bertanya-tanya.
Esa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan Ottawa, Kanada. Tangannya yang menyentuh kemudi masih bergetar hebat sebab dia sangat ketakutan. Sebentar lagi kalau polisi menemukan mayat pria itu maka kemungkinan besar Esa akan masuk penjara. Apalagi, bukti pembunuhan tadi dipegang oleh Esa. Esa tentu akan mendapatkan pasal berlapis dari apa yang terjadi.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” ucapnya sambil menggigit jari. Bayangan tentang pria yang terkapar di tempat itu membuat Esa ketakutan.
Sesampainya di rumah, Esa buru-buru mencuci tangannya dengan panik. Dia tidak ingin menyisakan darah sedikit pun di tangannya. Dia kebingungan setengah mati sebab dia tidak terlibat dengan pembunuhan itu tapi tiba-tiba saja alat bukti pembunuhan berada di genggamannya. Wanita itu memutar otaknya, dia harus segera menemukan cara untuk melindungi Elif. Jika sampai dia masuk penjara, dia tidak mau Elif berakhir dirawat di tempat penampungan anak-anak narapidana. Dia mau Elif hidup berlimpah kasih sayang.
“Haruskah aku membawa Elif ke Turki?” gumam Esa.
Di tengah-tengah lamunannya, Elif yang terbangun dari tidur karena mimpi tidur keluar dari kamar sambil menenteng bonekanya. Anak kecil itu menghampiri Esa sambil mengucek-ucek matanya.
“Mommy,” panggilnya.
Esa tersentak lalu menoleh. “Elif! Kau membuat Mommy terkejut,” ucap Esa sambil meletakkan telapak tangan di dada.
“Mommy, aku baru saja bermimpi buruk. Di dalam mimpiku aku melihat orang-orang jahat membawa Mommy pergi meninggalkan aku,” ucapnya dengan wajah sedih, sesaat kemudian dia menangis.
Esa menghampiri Elif, kemudian berjongkok di depan Elif. “Mommy tidak akan pernah meninggalkan dirimu, Elif. Percayalah kalau Mommy akan selalu ada di sampingmu,” ucap Esa sambil tersenyum lemah, dia saja tidak tahu bagaimana nasibnya nanti.
“Apakah Mommy berjanji?” tanya Elif, dia menghentikan tangisannya tapi masih sesegukan.
Esa menganggukkan kepalanya. Esa mengusap aie mata di pipi Elif. “Kau jangan khawatir, Elif. Ngomong-ngomong, apakah kau masih mau pergi berlibur ke Turki?” tanya Esa.
Beberapa bulan lalu Esa dan Elif memang berencana liburan ke Turki untuk beberapa hari. Mereka juga sudah membuat visa dan paspor. Sayangnya saat itu tiba-tiba Elif sakit jadi mereka tidak jadi pergi.
“Iya, Mommy. Aku mau,” jawab Elif dengan mata berbinar.
Elif pernah mendengar percakapan ibunya dengan temannya kalau ayah Elif tinggal di Turki. Jadi, Elif ingin pergi ke sana karena dia ingin tahu siapa ayahnya.
“Baiklah, malam ini kita berkemas dan pergi ke bandara, ya? Kau siapkan dulu pakaian yang ingin kau bawa, Mommy akan mengambil koper dulu,” ucap Esa.
Elif sontak memeluk Esa. Akhirnya dia bisa pergi ke Turki setelah berkali-kali batal pergi ke sana. Dia merasa sangat senang karena dia bisa pergi ke kampung halaman ibunya.
“Ayo cepat, kita tidak punya banyak waktu,” ucap Esa sambil terkekeh kecil.
Elif mengangguk lalu melepaskan pelukannya. Dengan patuh anak kecil itu berlari menuju ke kamarnya untuk mengemasi barang-barangnya.
Sementara Esa langsung memesan tiket pesawat ke Turki dengan keberangkatan malam ini juga. Setelah itu barulah dia memasukkan barang-barang Elif ke dalam koper lalu pergi ke kamarnya untuk mengemasi barang-barangnya juga. Esa berniat menitipkan Elif kepada Emir jika sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Usai berkemas-kemas, Esa dan Elif pergi ke bandara. Mereka berlari cepat menuju ke pintu keberangkatan sebab pesawat mereka akan terbang sebentar lagi.
*****
Setelah hampir enam belas jam menempuh perjalanan udara dari Kanada ke Turki, akhirnya seorang arsitek berparas cantik bernama Esana Evren menginjakkan kakinya kembali ke tanah Turki setelah enam tahun lamanya tinggal di Kanada. Wanita yang terkenal mandiri dan tegas itu menggandeng sang putri, Elif Evren, keluar dari bandara. Orang-orang biasa menjulukinya sebagai hot mommy sebab paras dan fisiknya yang sangat memukau.
Dari bandara, mereka beristirahat sejenak di hotel terdekat sebelum pergi menemui Emir keesokan harinya. Esa tidak tega kalau mengajak Elif langsung ke rumah lamanya atau pun rumah Emir setelah perjalanan panjang yang mereka lalui. Selain itu dia juga masih lelah.
Keesokan harinya, Esa dan Elif pergi ke rumah Emir mengendarai taksi. Jantung Esa berdebar-debar sebab dia dulu sempat diusir oleh Emir. Dia takut Emir tidak bisa menerima kehadirannya kembali. Tapi dia tidak ada pilihan lain karena saat ini dia terancam masuk sel penjara.
“Mommy, kita akan ke mana hari ini?” tanya Elif.
Esa tersenyum. “Kita akan menemui Daddy-mu, Elif,” jawab Esa.
Elif sontak menoleh. Matanya berbinar-binar karena hari ini dia akan bertemu dengan ayahnya. Ia penasaran bagaimana sosok ayahnya karena selama ini kata Esa, ayahnya sibuk bekerja di Turki dan belum sempat menemuinya.
“Mommy, benarkah aku akan bertemu Daddy?” tanya Elif bersemangat. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan sang ayah.
“Iya, sebentar lagi kita akan sampai di rumah Daddy-mu,” jawab Esa sambil menganggukkan kepalanya.
Begitu sampai di rumah Emir, Esa merasa kebingungan karena di rumah Emir sedang ramai sekali. Dia memberanikan diri menggandeng Elif masuk ke pekarangan rumah Emir.
Esa mematung di tempatnya. Rupanya di sana Emir Hakeem sedang merayakan kehamilan istrinya. Esa tidak tahu kalau pria dingin itu sudah satu tahun menikah dengan seorang perempuan bernama Ceyda.
Esa berniat untuk berbalik dan pergi, tapi suara cempreng Elif yang sudah tidak sabar bertemu ayahnya membuat orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah mereka.
“Mommy, apakah dia Daddy-ku?” tanya Elif sambil tersenyum lebar.
Tatapan orang-orang langsung tertuju pada Esa dan Elif, termasuk Emir. Emir terkejut melihat Esa datang membawa seorang anak perempuan yang sangat cantik dan menggemaskan.
‘Siapa anak yang dibawa Esa? Apakah dia ...,’ pikir Emir.
Suara bisikan-bisikan terdengar. Orang-orang mulai membandingkan wajah Emir dan Elif yang memiliki banyak kemiripan. Esa yang tidak ingin dianggap sebagai pengganggu rumah tangga orang dan tidak mau Elif memiliki ibu tiri mengajak Elif pergi dari sana. Dia berniat untuk mengajak Elif pergi ke negara lain saja.
“Elif, di sini tidak ada Daddy-mu. Ayo kita pergi,” ucap Esa sambil menarik Elif pergi dari sana.
Elif menoleh ke belakang kemudian bertanya, “Tapi kata Mommy di sini aku bisa bertemu dengan Daddy,” ucapnya lagi, membuat orang-orang semakin terkejut.
Melihat Esa pergi, Emir buru-buru mengejarnya.
“Esa!” panggil Emir seraya menahan tangan Esa.
“Mommy, apakah dia Daddy-ku?” lagi-lagi Elif bertanya namun Esa tidak mengacuhkannya.
“Esa, kenapa kau datang lagi padahal dulu kau pergi meninggalkan aku?” tanya Emir tanpa rasa bersalah. Padahal dulu penyebab Esa pergi karena Emir menuduhnya selingkuh dan mengusirnya tepat satu minggu sebelum pernikahan mereka berlangsung.
“Esa, jawab pertanyaanku! Aku butuh penjelasan darimu!”
“Tidak ada yang perlu aku jelaskan kepadamu,” ucap Esa.
Wanita itu menggenggam tangan sang putri dengan erat. Hatinya terasa sangat sakit sebab Emir adalah pria yang dulu membuat Esa harus berjuang sendiri membesarkan Elif. Pria itu juga pernah menuduh Esa selingkuh dan mengusir Esa dari rumah. Tapi, kini pria itu bersikap seolah-olah Esa yang telah meninggalkannya tanpa alasan jelas. Seolah dia lupa kalau yang menyebabkan Esa pergi adalah dirinya sendiri.
“Esa, tapi aku membutuhkan penjelasan darimu. Kenapa kau tiba-tiba datang lagi setelah aku menikah dan akan menyambut anak kami?” tanya Emir.
Pria itu percaya kalau Esa datang untuk menemui dirinya. Ia yakin kalau Esa pasti punya alasan kenapa dia kembali setelah bertahun-tahun menghilang dari Turki. Selama enam tahun belakangan, Emir tak pernah mendengar kabar tentang Esa karena wanita itu benar-benar pergi tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
“Aku tidak tahu kalau kau sudah menikah, Emir. Tapi, selamat,” ucap Esa, memaksakan sebuah senyuman. “Aku pergi dulu,” ucapnya.
Ketika Esa hendak pergi dengan Elif, lagi-lagi Emir menahannya. Esa berjalan sedikit mundur, agak menjaga jarak dari Emir karena dia tidak mau orang-orang yang melihat mereka menjadi salah paham dan berpikir Esa ingin merebut suami orang.
“Apa lagi yang kau inginkan, Emir?” tanya Esa.
“Aku ingin tahu apa alasan kau kembali, Esa,” jawab Emir.
Esa menghela napas panjang. “Aku datang ke sini karena aku rindu kampung halamanku dan aku ingin mengunjungi rumah orang tuaku yang sudah lama tidak aku kunjungi,” jawab Esa pada akhirnya. Berdusta sedikit tak apalah asalkan Emir tidak lagi berpikir kalau Esa kembali karena ingin menemui Emir.
Setelah mengatakan hal tersebut, Esa menarik tangan Elif pergi. Untung saja ada taksi yang lewat jadi mereka bisa langsung pergi tanpa peduli dengan Emir yang mengejar dan mengetuk-ngetuk jendela taksi.
“Mom, apakah dia daddy-ku?” tanya Elif.
Esa menarik napasnya dalam-dalam lalu mengangguk. “Dia memang daddy-mu. Tapi, sepertinya dia sudah bahagia sekarang. Jadi, lebih baik kita tidak usah mengganggunya,” ucap Esa sambil tersenyum lebar.
Elif mengangguk. “Aku dan mommy juga sudah bahagia,” ucap anak kecil itu.
Esa terkekeh pelan. “Apakah kau mau tinggal di rumah lama mommy? Mungkin kita akan tinggal di sana selama liburan di Turki,” ucap Esa.
Elif mengangguk antusias. Tinggal di hotel dan tinggal di rumah tentu rasanya akan sangat berbeda. Jadi, Elif langsung menyetujui usulan Esa.
“Aku mau, Mom,” jawabnya.
“Baiklah, nanti kita akan ke sana,” ucap Esa.
Mereka berdua mengambil barang-barang mereka dari hotel, lalu membawanya ke rumah lama orang tua Esa. Meskipun sudah enam tahun tidak ditinggali, rumah itu masih berdiri dengan kokoh.
Tepat saat Esa membuka pintu, debu dan sarang laba-laba menyambut kehadirannya. “Uhuk ... Uhuk ....” Esa terbatuk-batuk.
“Elif, sepertinya kita harus membersihkan rumah ini dulu. Apakah kau mau membantu mommy?” tanya Esa sambil mengibas-ngibaskan tangannya di udara.
“Siap, Mom!” jawab Elif antuasias.
Elif dan Esa bekerja sama untuk membersihkan rumah. Mulai dari menyapu, mengepel, hingga mengelap perabotan rumah. Untungnya barang-barang seperti sofa dan tempat tidur ditutupi kain putih sebelum rumah ini ditinggalkan sehingga debu tidak mengenainya. Tapi tetap saja Esa harus memvakum sofa dan tempat tidur supaya tidak ada kotoran yang tersisa.
Setelah hampir tiga jam membersihkan rumah, akhirnya mereka berdua bisa beristirahat. Esa menyuruh Elif duduk di sofa sementara dirinya akan membeli makan siang untuk mereka berdua. Kebetulan di dekat rumah orang tua Esa terdapat kedai yang menjual berbagai jenis masakan jadi Esa bisa dengan cepat pergi berbelanja.
Saat menunggu makanan pesanannya, Esa dikejutkan dengan kehadiran Emir. Pria itu datang seorang diri dan langsung menghampiri Esa. Esa sontak berdiri dan menatap Emir kebingungan.
“Emir, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Esa kebingungan.
“Aku tadi melihatmu pergi ke sini jadi aku memutuskan untuk mengikutimu,” jawab Emir tanpa rasa bersalah sama sekali.
Esa terkejut sebab tadi Emir sedang mengadakan acara perayaan menyambut kehamilan istrinya. Tapi, kenapa tiba-tiba saja Emir sudah ada di sini seolah dia melupakan statusnya sebagai seorang suami?
“Emir, kau sudah menikah. Lebih baik kau tidak usah menemuiku lagi karena aku tidak mau orang lain berpikir kalau aku mencoba merebutmu dari istrimu,” ucap Esa.
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” tanya Emir, menantang Esa.
“Maka aku akan pergi lagi. Aku tidak akan lama di Turki. Jadi sebaiknya kau pergi sekarang,” ucap Esa, mengusir Emir.
“Nona, pesananmu sudah siap,” ucap pemilik kedai pada Esa.
Esa dengan sigap mengambil pesanannya dan membayarnya. Setelah itu dia pergi meninggalkan kedai diikuti oleh Emir di belakangnya. Esa merasa kesal sebab diikuti oleh Emir. Wanita itu membalik badannya, lalu menatap Emir tajam sambil berkacak pinggang.
“Emir, pergilah!” ucapnya dengan telak. Emir mau tidak mau akhirnya menurut dan pergi meninggalkan Esa.
Di sisi lain ....
Pertemuan Emir dan Esa ternyata diketahui oleh Ceyda, istri Emir. Saat ini Ceyda sedang duduk di sofa dengan lemas sebab dia berpikir kalau Emir akan meninggalkannya setelah bertemu dengan Esa. Ayle yang duduk di samping Ceyda berusaha menenangkan Ceyda namun Ceyda tidak bisa menutupi rasa sakit hatinya.
Ceyda menganggap kehadiran Esa sebagai ancaman dan pembawa masalah baginya. Bagaimana pun juga Ceyda adalah istri sah Emir. Wajar kalau dia merasa sakit hati dan ketakutan. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, Ceyda menyimpan dendam dan rencana licik untuk Esa.
“Emir!” panggil Ayle ketika Emir datang.
Ayle berdiri lalu langsung menghampiri Emir. Semua orang yang ada di rumah itu tahu ke mana Emir pergi tadi. Emir pasti pergi menemui Esa. Mereka tidak habis pikir kalau Emir masih saja belum bisa melupakan Esa sepenuhnya.
“Apakah kau tadi pergi menemui wanita itu?” tanya Ayle.
“Itu semua bukan urusanmu, Ayle!” ucap Emir malas.
“Tapi apakah kau tidak memikirkan perasaan Ceyda sedikit pun? Demi Tuhan dia sangat terluka, Emir! Kau meninggalkan dia di tengah-tengah acara hanya karena kau ingin menyusul wanita itu,” ucap Ayle.
Emir melirik ke arah Ceyda. Benar saja Ceyda tampak menangis sambil menutupi wajahnya. Emir menghela napas lelah, lalu menghampiri Ceyda. Dia mengambil tempat duduk di samping Ceyda, lalu mengelus pundak Ceyda.
“Ceyda, maafkan aku,” ucap Emir. “Aku tidak bermaksud untuk meninggalkanmu di tengah-tengah acara. Aku tadi sangat syok dan terkejut, itu saja,” ucapnya.
Bagaimana bisa Ceyda mempercayainya? Tapi, Ceyda tetap mempertahankan perannya sebagai istri yang baik dan pengertian.
“Tidak apa-apa, Emir. Aku mengerti,” ucapnya lembut meskipun dalam hati Ceyda sangat kesal dan marah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!