"Nad, kita harus putus."
Bak disambar petir, aku terkejut mendengar kata putus dari bibir mas angga kekasih ku. Kami sudah berpacaran selama 5tahun semenjak aku masih duduk di bangku SMA kelas dua.
"Mas."
"Mas udah ga bisa nolak mama lagi, semalam mama pingsan karena mas terus nolak untuk nikah sama tiara." Aku bisa melihat saat ini mas angga sedang dilema dengan perasaanya.
Aku sempat diam lumayan lama, otak ku berusaha mencerna setiap kalimat yang mas angga ucapkan. Apa ini akhir dari 5tahun usaha kami, mas angga menyerah dengan semua ini. Disisi lain aku tak ingin mas angga terus bersitegang dengan ibunya tapi aku tak bisa membohongi diri kalau aku begitu mencintai pria tampan dihadapan ku ini.
"Baik mas, kita putus. Titip salam untuk tante marini semoga lekas membaik dan untuk mas semoga samawa ya."
Tanpa menunggu jawaban dari angga nadia langsung pergi dari kafe tempat mereka janjian untuk bertemu. Nadia mengira pertemuan mereka akan seperti pertemuan sebelumnya bercengkrama dan melepas rindu karena kesibukan masing-masing. Ini adalah akhir perjalanan cinta mereka setelah 5tahun berjuang menunggu restu dari marini ibu angga. Awalnya angga selalu berusaha meyakinkan nadia untuk bertahan sampai restu mereka kantongi dan secepatnya mereka akan menikah. Semuanya kini hanya tinggal kenangan, angan untuk bisa hidup bersama dalam mahligai pernikahan gagal karena angga menyerah dan menerima perjodohan yang sudah ibunya atur sejak lama.
"Semoga mas bahagia, aku akan menyimpan cinta ku seorang diri. Janji mas aku ikhlaskan tapi biarkan cintaku tetap bersama dengan ku selamanya." Aku membantin dalam hati sambil mengendarai motor ku menuju kerumah.
Tak mungkin tak sakit hati, perasaan nadia hancur berkeping-keping. Setelah dua minggu angga mengucap kata perpisahan, angga langsung menggelar pernikahan mewah sesuai keinginan ibunya selama ini. Wanita yang menjadi menantu pilihannya itu adalah anak seorang pengusaha kaya raya yang masih saudara jauh marini.
"Nad"
"Ya bu, kenapa?"
"Kamu yakin mau pergi?"
"Iya bu, cuma tiga bulan."
"Nad, ibu sendirian."
"Bu, mumpung dapet beasiswa juga cuma tiga bulan. Untuk tiga bulan ke depan stok sembako aman aku udah bayar ke koh along terus listrik juga udah aku siapin air aku bayar dari sana. Nanti nadira bakal pulang dua minggu sekali."
"Kalau nadira pula 2minggu sekali boros nad."
"Ya terus gimana dong bu?"
"Kamu dirumah saja kerja tempat bu septi saja."
"Aku pengen maju bu, biar bisa sukses mumpung ini gratis. Kesempatan ga datang dua kali."
Setelah putus dengan mas angga aku menerima tawaran untuk mengikuti sebuah pendidikan fashion di negeri jiran. Walau dengan penuh drama karena ibu terus merengek tak ingin ditinggal akhirnya aku bisa berangkat dan meninggalkan ibu seorang diri dirumah.
Karena keadaan keluarga ku yang hidup sederhana adalah alasan utama hubungan ku dengan mas angga tak direstui ibunya membuat ada rasa jengah dalam diriku. Ingin membuktikan kalau aku mampu hidup layak dan berkecukupan. Semenjak ayah meninggal aku ibu dan nadira adikku hanya mengandalkan penghasilan ku sebagai pegawai butik milik seorang tetangga dan selingan ibu menjahit dirumah menjadi tambah-tambahan pemasukan.
Aku memiliki bakat mendesain baju dan menjahit, keterampilan itu ku dapat dari ibu yang memang seorang penjahit pakaian. Almarhum ayah adalah seorang guru dan dana pensiunan yang ayah tinggalkan kami jadikan sebagai biaya sekolah nadira yang saat ini sedang berkuliah disalah satu universitas yang berjarak sekita 1jam dari rumah.
Mendengar mas angga akan menikah, ibu sempat dirundung rasa kecewa karena mas angga melanggar janji pada ibu. Sejak mengetahui hubungan kami tak direstui oleh ibu mas angga ibu ku sudah meminta agar mas angga mau melepas ku karena beberapa kali ibu mas angga membuat keributan dirumah dan itu membuat ibu merasa malu.
"Angga beneran sudah menikah nad?"
"Sudah bu, dua hari yang lalu."
"Nad."
"Bu, hidup ku harus terus berjalan. Masih ada nadira dan ibu yang menjadi tanggung jawab ku, sabarlah tunggu aku bisa membuktikan kalau kita tak sehina itu."
___________
Berbekal tekad dan iringan doa dari ibu dan adiknya, nadia berjuang menempa diri untuk bisa mengembangkan diri secara maksimal di negeri orang. Waktu yang singkat mampu membuat nadia menangkap semua pembelajaran yang ia ikuti selama tiga bulan berada di negeri jiran. Bos tempatnya bekerja memiliki kenalan seorang perancang busana yang membuka pendidikan kilat tentang fashion busana dan septi bos nadia memberi satu tiket gratis belajar pada nadia.
"Bagaimana kalau saya memberi pinjaman modal untuk kamu membuka brand sendiri di negara mu nad?"
"Tapi saya ga yakin bisa melunasi pinjaman itu miss, brand baru akan sangat sulit bersaing dengan brand yang sudah terkenal."
"Ga usah pikirkan pengembalian modal, kamu mau berkembang saja sudah bagus. Yang penting kamu mau komit sama saya, bakat kamu sayang kalau tidak dikembangkan."
"Tapi miss, saya ........"
"Nadia, kamu harus berkembang. kalau memang kamu ragu dengan pengembalian modal bagaimana kalau kamu mulai semua dari rumah saja. saya kasih modal untuk kamu membeli alat dan modal dasar lainnya jadi tidak akan terlalu besar nominalnya."
"Apakah tidak merepotkan miss?"
"Tidak, akan sangat disayangkan kalau kamu tidak mengembangkan pontensi yang kamu miliki."
"Hmm, baik miss saya mau menerima uluran modal yang miss tawarkan."
"Baik, kamu simpan nomornya tetap berkomunikasi dan setelah dari sini saya mau kamu berkarya dengan label kamu sendiri."
Selain mendapat ilmu secara gratis nadia juga mendapat mentor dan uluran dana dari si penggelar acara itu. Seolah semesta mendukung nadia dan memberi pengobat dari sakit hati yang sedang ia alami. Selama menempa ilmu nadia bisa sedikit melupakan angga mantan kekasihnya walau di media sosial nadia bisa melihat segala postingan yang pajang oleh tiara istri angga.
"Sepertinya kamu bahagia mas, bibirmu berkata kamu terpaksa tapi sejatinya kamu bahagia. Raut wajahmu tak menunjukkan kalau kamu terpaksa menikah dengan pilihan ibumu."
Dalam sentuhan tak ada tindakan intens yang angga dan nadia lakukan mereka berkencan hanya sebatas saling memeluk dan mengecup pipi dan kening. Tapi hati nadia sudah terpaut jauh pada sosok angga yang menemaninya sejak ia masih menjadi seorang remaja belia yang baru mengenal indahnya cinta. Usia yang terpaut cukup jauh membuat sosok bagas yang penyayang bisa menenggelamkan seorang nadia saraswati sampai ujung jurang terdalam.
Setiap nama angga terbesit dalam hati, air mata nadia akan mengalir tanpa bisa di bendung. Menyakitkan memang masih mencintai pria yang sudah tak mungkin untuk bisa diraih kembali. Mencintai dalam diam tak akan bisa membenarkan segala yang nadia lakukan. Harusnya melupakan dan mengubur rasa cinta itu tapi nadia enggan melakukannya. Rasa sakit menjalani kisah cinta karena terhalang restu tak membuat nadia mundur malah ia semakin memupuk subur cintanya untuk angga walau akhirnya harus tetap berakhir dengan kata perpisahan.
"Aku pulang besok bu. Naik taksi saja ga usah dijemput, tunggu aku dirumah sama nadira ya." Nadia mematikan sambungan telpon dengan sang ibu setelah mengabari kalau besok ia akan bertolak ke indonesia karena masa belajarnya telah usai.
Nadia mengantongi ilmu dan modal yang berjumlah lumayan besar untuk ia bisa memulai debutnya di tanah air menjadi seorang desainer. Tak muluk-muluk nadia hanya ingin berkembang dan bisa menaikkan derajat keluarganya agar nanti bila ia bisa dipertemukan dengan jodohnya tak akan lagi terhalang restu seperti kisahnya bersama angga.
"istirahat dulu seminggu sambil menggambar baru beli alat dan bahan yang diperlukan. Ibu pasti mau bantu jahit, jahitan ibu kan paling rapih dan teliti."
Nadia berbaring dikamar hotel tempatnya menginap ia menerawang menatap langit-langit sambil menyusun rencana yang akan ia lakukan setelah tiba dirumah.
__________
"Gara-gara miss reina ngasih oleh-oleh sampe satu koper gede begini, jadi ribet banget duh." Nadia terus saja menggerutu saat menunggu antrian koper.
"Yang ini kayaknya, loh eh kok diambil sih."
"Makasih banyak ya." Nadia menoleh kearah orang yang membantunya mengambil koper yang terus berputar.
Nadia sempat terkejut karena pria yang membantunya adalah angga. Tatapan mata mereka sesaat saling mengunci, dapat nadia lihat ada rindu dari sorot mata angga untuk dirinya tapi nadia dengan cepat memutus tatapan mereka karena tak ingin terlihat menyedihkan didepan pria yang masih begitu dicintainya.
"Nad" Panggil angga dengan suara bergetar.
"Kamu kemana aja selama ini? Aku datang ke butik kamu ga pernah ada."
"Terimakasih sudah membantu, saya permisi." Saat nadia hendak menjauh angga langsung menarik lengan nadia untuk tetap diam berdiri didepannya.
"Mas tolong lepas, kamu udah nikah kita ga baik begini."
Dengan suara bergetar nadia menahan gemuruh didada, ada rasa sakit dalam hatinya saat kembali dipertemukan dengan angga. Ia bahagia bisa melihat angga dalam keadaan sehat tapi juga sakit karena harus sadar saat ini mereka sudah tak saling memiliki.
"Aku kangen kamu nad, aku ga bisa hidup tanpa kamu. Aku aku .........."
"Mas angga, kenapa lama? Kopernya belum semua?"
Mendengar ada yang memanggil angga, nadia bergegas pergi karena sudah tak sanggup menahan gejolak dalam dadanya.
"Nad, eh duh."
"Ini sudah kok, ayo pulang."
"Em, yuk pulang aku udah capek banget mas."
Ternyata yang memanggil angga adalah tiara istrinya. Angga mendorong satu koper besar dengan tiara yang bergelayut manja di lengan angga. Nadia hanya bisa menatap nanar kepergian angga didepannya, dengan langkah gontai nadia mencari taksi untuk pulang kerumahnya. Pertemuan tak disengaja ini membuat mood dalam diri nadia anjlok seketika. Ia merasa terbakar api saat menyaksikan pria yang dicintainya sudah menikah dan dengan begitu manja tiara bergelayut di lengan angga.
Didalam taksi air mata nadia tak dapat berhenti mengalir, ia hanya diam dan terus mengusap kebasahan di pipinya dengan tangan.
"Ternyata masih sakit, kenapa empat bulan berlalu tak juga membuat rasa ini memudar padahal dia sudah dengan yang lain." Nadia bergumam dalam hati dengan meremas baju didada.
"Mba sudah sampai." Sopir taksi membuyarkan lamunan nadia karena melamun.
"Oh, iya pak. Minta tolong kopernya dibantu ya pak."
Terlalu asik meresapi nasib sampe ga sadar udah sampe rumah, nadia menggerutu saat masuk kedalam rumah sambil menggeret dua koper bawaannya.
"Mba" Nadira sang adik sudah menyambut kedatangan nadia didepan pintu dengan raut bahagia.
"Dir, kamu kok udah dirumah?"
"Iya, kangen kakak sama oleh-olehnya. Hehe."
"Ini semua oleh-oleh dari miss reina aku ga ada beli apa-apa. Jadi jangan marah kalau ga sesuai selera ya?"
"Hehe iya ga apa, kakak beruntung banget ketemu orang baik. Jadi jangan sedih terus." Nadira memeluk erat tubuh nadia seolah ia tau kalau sang kakak sedang bersedih saat ini.
"Mas gilang nyamperin aku waktu di kampus dia nanyain mba tapi aku ga jawab. Dia kayak frustasi gitu mba." Nadira berbisik ditelinga nadia.
"Ibu jangan sampai tau, bisa ngomel seharian nanti."
"Dir, mba ketemu mas angga tadi di bandara pas nunggu koper."
"Makanya hidung mba merah gitu, pasti nangis disepanjang jalan pulang kan?"
"Hmm, ternyata masih sakit dan mba masih cinta sama mas angga. Cuma rasanya kayak di cabik-cabik pas dia di gelendotin sama istrinya."
"Ilmu ikhlas itu adalah ilmu yang paling sulit mba, mengikhlaskan bapak saja kita butuh waktu yang lama. Aku rasa mba juga butuh waktu lama untuk mengikhlaskan mas angga, percaya sama aku nanti lama kelamaan pasti bisa lupa."
"Kayak udah pernah putus cinta aja kamu ngomongnya."
"Bu, aku pulang kenapa ga disambut?"
Nadia berusaha untuk ceria kembali walau dadanya masih merasakan sesak setelah bertemu dengan angga.
"Ibu lagi nyiapin makanan nad, ga usah jerit-jerit begitu. Ayo langsung makan tapi pada cuci tangan dulu."
"Makan." Kedua kakak beradik itu langsung semangat bila sang ibu sudah berteriak memanggil mereka untuk segera makan.
__________
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!