Suara keributan di luar memaksa Ilina Bumantara bangkit dari tempat tidurnya untuk mengecek. Rumah tempat dirinya tinggal ini terletak di daerah terpencil, jauh dari pemukiman padat dan nyaris tak tersentuh oleh teknologi.
Tidak sering ada keributan terdengar, terutama di sekitaran rumahnya bersembunyi kecuali peristiwa tentang pencuri yang sejujurnya nyaris tak pernah terjadi.
Apa yang bisa dicuri di desa yang listriknya masih putus-putus seperti ini?
"Ada apa?" tanyanya begitu mendekati tempat keributan yang ternyata memang persis di depan rumah.
Ada sejumlah orang berkumpul di sana. Yang mengejutkan adalah mereka mengelilingi seorang pria tak sadarkan diri oleh tubuh bersimbah darah.
Mata Ilina memandangi pria itu.
Tampan. Sungguh ini bukan situasi yang pas untuk mengatakannya tapi dia luar biasa tampan. Selain itu, dari kulit yang nampak putih pucat terawat, warna gigi putih bersih yang menunjukkan kesehatan, juga model rambutnya yang masih terlihat dirawat meski sedang berantakan ... sekali lihat juga jelas dia bukan orang biasa.
Ilina berjongkok di samping salah satu bodyguard-nya. Mengecek lebih dekat luka yang didapat oleh pria itu.
Bekas tembakan. Bukan pisau atau celurit yang lebih identik di pedesaan.
Ilina sudah tinggal di desa ini seumur hidupnya. Tumbuh dengan air di sini, makan dari tanaman di tempat ini, meski tidak terlalu membaur dengan masyarakat di sini.
Satu dua kejadian pembunuhan pernah terjadi. Beberapa pria mabuk dan entah bagaimana dari kawan tiba-tiba jadi lawan saling bacok. Namun tidak ada pistol di desa sesempit ini.
"Siapa dia?"
"Andreas Noah, Nona. Dia anak haram dari kepala keluarga Palmer yang beberapa waktu lalu muncul. Dia menyamar sebagai penyanyi pendatang baru, tapi sepertinya identitasnya diketahui. Saya menduga dia melarikan diri dari pembunuh yang dikirim salah satu saudaranya."
Keluarga Palmer, kah? Itu keluarga yang cukup besar. Mereka tidak terkenal karena mereka bukan politisi. Setahu Ilina, pusat dari keluarga itu sendiri berada di Kuala Lumpur.
"Obati dia." Ilina beranjak. Masuk untuk membasuh tangannya dari bekas darah, lalu kembali ke ruangan yang telah ditempati oleh Noah itu.
Rasanya agak mencurigakan kenapa dia terdapar di desa yang kebetulan Ilina tinggali, namun untuk sekarang ia akan melihat apa ada maksud tertentu atau tidak.
Dia anak haram keluarga konglomerat. Kenyataan kalau dia menjadi penyanyi padahal bisa hidup tanpa bekerja itu sudah lebih dari cukup menjadi isyarat.
Dia melarikan diri dari takdirnya.
Lucu sekali. Kebetulan, Ilina juga sedang melakukan hal sama di desa ini.
Berbeda dari si Anak Haram Palmer, Ilina adalah putri tunggal dari keluarga Bumantara. Arman Bumantara, ayahnya, terpaksa harus mengirim Ilina ke tempat terpencil seperti ini agar dirinya bisa bertahan hidup lebih lama.
Tepat setahun setelah itu, kedua orang tuanya dibunuh dalam konflik perebutan kekuasaan.
Takdir orang seperti mereka nyaris selalu sama.
Hidup dan mati dalam situasi memperebutkan tumpukam uang.
Kadang-kadang Ilina bertanya mengapa harus seperti itu hanya karena sesuatu seperti uang. Tentu saja ia tahu nilai dari sebuah kekayaan. Tapi jika mereka memang serakus itu, mengapa tidak membagi-baginya secara merata lalu hidup masing-masing agar tidak susah?
"Putra siapa dia?" Ilina benar-benar merasa harus bertanya lantaran wajah Noah itu.
Bagaimana yah mengatakannya? Dia seperti ... sesuatu yang tidak nyata.
Rambut hitam yang dicat kecokelatan, garis wajah karismatik dengan sepasang alis rapi. Bulu matanya panjang dan bentuk bibir tipis.
Tentu saja jadi penyanyi bermodal wajah tampan memang membawa keuntungan baginya, namun harusnya dia tahu bahwa populer berarti juga mengumumkan diri sendiri.
Identitas tidak semudah itu disembunyikan jika dia memiliki darah penguasa di tubuhnya.
"Seorang wanita Korea yang keberadaannya dianggap menghilang. Apa Nona ingin kami mencarinya?"
"Tidak." Ilina hanya penasaran.
Bagaimana ia harus memperlakukan tamunya ini?
...*...
Dia terluka, tapi vitalnya tidak terkena. Hanya ada beberapa bagian tubuh yang harus berlubang oleh lesatan peluru, tapi sejauh yang Ilina lihat, dia baik-baik saja.
Banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Kenapa dari semua tempat dia tersesat di desa ini? Kenapa dari semua orang, anak haram Palmer yang mau dibunuh yang tersesat di sini? Kenapa dari semua orang, dia tergeletak di sekitaran tempat Ilina? Kenapa dari semua kesempatan, dia baru melarikan diri dan muncul sekarang?
Tapi Ilina menyimpan itu baik-baik. Menyuruh semua orangnya pergi seolah tidak terjadi apa pun, dan ia duduk menunggui pria itu sadar.
Cukup lama sebenarnya ia menunggu. Nyaris tiga jam lewat sampai Ilina mengambil buku catatannya untuk menulis.
Sebut saja itu diary, walau apa yang tertulis di atasnya bukanlah curhatan hati yang puitis. Ilina terbiasa menulis hal-hal yang ia lakukan di kehidupan sehari-hari. Apalagi hari ini ia bertemu orang asing yang identitasnya lumayan berbahaya.
Di tengah aktivitas menulis serentetan kata acak mengenai Andreas Noah, tiba-tiba terdengar suara erangan halus dari pria itu. Ilina melirik. Melepaskan kacamata minusnya hingga wajah pria itu kini nampak samar.
Kondisi terbaik Ilina menghadapi seseorang adalah saat matanya buram. Itu membuat pendengarannya jadi lebih sensitif untuk mengenali suara.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, memancing suara pria itu keluar.
Suara Ilina membuat dia segera membuka mata. Sejenak terlihat mengumpulkan kesadaran sebelum dia kembali mengerang. "Ini ... di mana?"
Suaranya tidak terdengar berbohong. Dia kebingungan.
"Rumahku." Ilina beranjak. Agak mendekat untuk memperlihatkan wajahnya.
Meski buram, karena jaraknya berada dalam jangkauan dua meter, Ilina bisa melihat dia agak berkedip cepat. Reaksi pertama melihat wajah Ilina tidak terlalu mencurigakan.
Dia tidak mengenal Ilina, kemungkinan besar.
"Kamu bisa bicara?"
Dia diam saja. Kini balik memerhatikan Ilina.
"Aku tidak tahu bagaimana kondisimu, tapi aku harus bertanya untuk memastikan. Kamu baik-baik saja?"
".... Ya." Dia menutup matanya lagi.
Lukanya menyakitkan, kah? Ada obat yang bisa menghilangkan rasa sakit pria ini di kotak persediaan namun Ilina tidak memiliki banyak alasan untuk memberikan dia terlalu banyak.
Cukup untuk dia bisa hidup.
Karena belum tentu setelahnya dia hidup, jika Ilina tahu niatnya.
"Siapa namamu?"
Pria itu kembali membuka mata. ".... Noah."
"Aku Lia." Ilina hanya mengarang nama dari tiga huruf namanya. "Aku melihatmu tergeletak dan membantumu. Tapi kurasa aku setidaknya perlu tahu sedikit mengenai lukamu."
"...."
"Aku mengerti." Dia tidak mau mengatakannya. Berarti dia waspada. "Kalau begitu istirahatlah. Aku tidak punya obat yang cukup, jadi lebih baik beristirahat."
Meninggalkan dia sendirian, kini Ilina setidaknya sudah tahu dua hal.
Dia tidak mengenal Ilina, dan dia tidak bisa bergerak banyak. Maka baik-baik saja meninggalkan dia sendirian untuk sebentar, karena bahkan jika mau bergerak, dia akan kesulitan.
...*...
Pria yang pendiam.
Pagi-pagi Ilina sengaja keluar terlambat, tapi seujung kuku pun dia tak bergerak.
Ilina masuk ke dapur rumah untuk mengambilkan air hangat, lalu kembali ketika Noah sudah duduk dari posisi berbaringnya tadi.
Dia menerima air pemberian Ilina tanpa sedikitpun bertanya. Dia bahkan meminumnya tanpa sedikitpun gerakan sedang curiga.
Keterdiaman yang menurut Ilina terlalu hening.
Orang yang pendiam itu berbahaya. Karena perasaannya hanya bisa ditebak dari ekspresi wajah, berbeda dari mereka yang cerewet dan banyak suara.
Haruskah ia pancing dia lagi?
Tidak. Ayo diam dulu sebagaimana dia diam.
Ilina sangat terbiasa bersabar dan mengamati segalanya dalam keheningan.
...*...
"Pasar di sini lokasinya cukup jauh." Ia hanya perlu memberi sedikit informasi. "Aku tidak bisa membeli banyak hal untukmu sekarang. Di dalam hanya ada rebusan jagung dan ubi. Kamu ingin?"
Bohong, sebenarnya. Pasar memang jauh, namun makanan ada. Ilina hanya mau memperlihatkan kesan bahwa ia hanya perempuan polos dari desa yang terlampau polos sampai menolong pria tertembak tanpa sedikitpun bertanya siapa dia.
Untuk sesaat dia menatap Ilina, lagi-lagi dengan sorot misterius. Meski kemudian dia mengangguk samar, hingga Ilina masuk, menyalakan api untuk memasak ubi dan jagung.
Ada satu pelayan di kediaman Ilina ini, tapi ia menyuruh wanita itu pergi sejenak karena jelas tidak wajar seorang gadis muda memiliki pelayan.
Ketika samar-samar Ilina mendengar langkah, ia diam menjaga api yang baru saja menyala. Pura-pura tidak tahu jika Noah berdiri di pintu dapur, nampaknya mengobservasi ruangan.
Beberapa saat baru ia menoleh, pura-pura kaget. "Ada apa?"
".... Aku butuh air."
Nada suara tanpa permintaan tolong tapi juga canggung karena tak ingin terkesan memerintah.
Pria yang tahu cara bersikap.
Mencurigakan.
"Duduklah di sana." Ilina beranjak sekaligus menunjuk kursi makan tua miliknya. "Biar aku ambilkan."
Ilina tahu dia terus memandangnya. Pelan-pelan diambil air dari dalam ember sedang, dituangkan ke gelas lalu diberikan pada pria itu.
"Air apa ini?" Tak disangka dia bertanya begitu.
Tentu saja Ilina agak terkejut. "Air minum?" Apa dia mengira itu air racun?
"Maksudku ...." Dia menatap ke ember tempat air itu diambil. "Tidak. Lupakan."
Ah, Ilina lupa dia orang kota. Tentu saja mereka tidak terbiasa minum air dari dalam ember yang mereka tahu fungsinya untuk menampung air non-konsumsi.
Ilina memilih tidak melanjutkan, kembali ke dekat api seolah ia serius memasak. Bagian ini bisa ditinggalkan, tapi ia mau pria itu melihatnya dan menorehkan kesan 'dia benar-benar gadis desa' karena tidak keberatan berada di dekat tungku api.
"Kamu yang menyelamatkanku?"
"Ya." Ilina menambahkan kayu bakar di bawah panci besar yang bagian luarnya telah menghitam itu. "Kamu tergeletak di depan rumahku malam-malam."
"Kota apa ini?"
".... Aku tidak tahu."
"Apa maksudmu?"
"Aku lahir dan besar di tempat ini. Kakiku belum pernah menginjak tanah yang disebut kota." Itu jujur, meski bohong soal ia tidak tahu. "Ayah Ibuku tidak membiarkan aku keluar."
"...."
Dia benar-benar sulit ditebak. Tadi bertanya, sekarang diam. Meski tidak suka pada orang yang banyak bicara, Ilina berharap dia banyak bicara agar bisa mudah ditebak.
"Apa harus kupanggil seseorang yang lebih tahu?"
"Tidak." Dia langsung menjawab. Berarti tidak ingin sampai orang lain tahu tentangnya. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja."
"Baiklah."
*
Gadis ini ... pasti berpikir Noah bodoh.
Tidak peduli seberapa natural dia terlihat, jika celah yang dia tunjukkan memang sudah ketahuan, semua aktingnya sia-sia.
Gadis desa tidak punya postur tubuh setegak itu. Posisi tulang punggungnya benar-benar sempurna. Meski memakai baju yang nampak sudah usang dicuci berkali-kali, dia malah membuat pakaian itu terlihat indah dan khas.
Matanya sempat terlihat juling. Dari kacamata yang tergeletak di atas meja kemarin malam, Noah menebak dia punya gangguan penglihatan yamg cukup parah.
Orang dengan mata buruk bergerak alami mengurusi pekerjaan yang membutuhkan mata.
Tapi kalau memang dugaan Noah benar, maka siapa dia? Kenapa dia bertingkah seolah dia orang bodoh di depan Noah?
Saat ini nyawa Noah tidak ada harganya sama sekali. Jika dia orang yang kebetulan mau memanfaatkan Noah pun sebenarnya dia akan rugi.
Sulit untuk memastikan. Dia sangat berhati-hati. Mungkin orang paling waspada yang pernah Noah lihat selain dirinya sendiri.
Kemisteriusan adalah pintu lain kematian.
Bagi Noah, setidaknya hal itu berlaku.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!