Tubuh Fatia bergetar hebat saat melihat garis dua terpampang dengan jelas di dalam tes pack yang sedang dipegangnya.
"Aku hamil," ucap Fatia.
"Nggak mungkin, nggak mungkin aku hamil."
Tak terasa, air mata Fatia bercucuran membasahi pipinya. Fatia menangis di dalam kamar mandi.
"Aku harus bagaimana ini. Aku harus bilang apa sama mama dan papa, dan bagaimana caranya aku untuk meminta pertanggungjawaban pada Pak Andre," ucap Fatia.
Fatia benar-benar ketakutan sekali. Dia tidak menyangka kalau peristiwa di malam itu akan membuatnya hamil.
Malam itu, Fatia masih berada di kantor. Karena pekerjaan yang cukup banyak, Fatia memutuskan untuk lembur.
Praaank...
Fatia mendengar sesuatu dari luar ruangannya. Fatia yang penasaran dengan apa yang terjadi di luar, kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangannya untuk melihatnya.
"Tidak ada apa-apa di sini," ucap Fatia setelah sampai di depan ruangannya.
Fatia kemudian melangkah ke arah ruangan Pak Andre bosnya.
"Kenapa Carisa, kenapa kamu harus tinggalkan aku. Kenapa...!" seru Andre dari dalam ruangannya.
'Kenapa dengan Pak Andre. Kenapa dia teriak-teriak begitu.'
Fatia yang masih penasaran, kemudian membuka pintu ruangan Andre. Fatia terkejut, saat melihat di atas meja kerja bosnya, ada banyak botol minuman keras. Dan salah satu botol itu, sudah pecah berserakan di lantai.
Fatia melangkah mendekat ke arah Andre.
"Pak Andre. Bapak kenapa?" Tanya Fatia yang melihat Andre tampak masih menundukan kepalanya.
Andre menatap Fatia. Dia tersenyum saat melihat Fatia.
"Sayang," ucap Andre.
Fatia bingung, saat tiba-tiba saja Andre memanggilnya sayang.
"Pak Andre. Pak Andre bilang apa?"
Andre bangkit berdiri. Dia kemudian melangkah dan mendekat ke arah Fatia.
"Sayang, kamu datang," ucap Andre.
"Pak Andre, ternyata kamu lagi mabuk? apa yang mau kamu lakukan?"
Andre tiba-tiba saja memeluk tubuh Fatia dengan erat.
"Carisa, aku yakin kalau kamu akan kembali sayang. Kamu tidak boleh tinggalin aku. Aku sangat mencintai kamu Carisa."
"Pak, saya bukan Carisa. Tolong, lepaskan saya Pak."
Pelukan Andre sangat erat, membuat Fatia susah untuk melepaskannya. Sejak tadi dia masih memberontak untuk ke luar dari perangkap Andre. Namun, sayangnya Fatia tidak bisa untuk lari karena kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan seorang Andre, Lelaki bertubuh tinggi besar, yang ketampanannya di atas rata-rata itu.
Fatia terperangkap satu malam bersama Andre, di ruangan Andre . Tidak ada satu orangpun yang menolongnya. Karena malam itu, kebetulan hanya ada Fatia dan Andre yang ada di lantai paling atas. Sementara satpam penjaga, hanya berada di lantai paling bawah. Percuma Fatia berteriak minta tolong, karena tidak akan ada yang mendengar teriakannya.
Fatia ke luar dari kamar mandi dengan membawa tes pack itu. Dia masih menatap benda kecil pipih itu. Fatia menghempaskan tubuhnya di atas ranjangnya.
Tubuhnya terasa lemas, sejak tadi, jantungnya masih berdebar kencang. Air matanya berlinang membasahi pipinya. Sejak tadi, dia masih berfikir, apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
Tok tok tok...
"Fatia...! Fatia...!" seru seorang wanita dari luar kamar Fatia.
Fatia buru-buru menyembunyikan tes packnya. Fatia kemudian mengusap air matanya dan ke luar untuk menemui mamanya.
"Mama, ada apa Ma?" tanya Fatia.
"Kamu lagi ngapain di dalam Fat? Mama tungguin kamu dari tadi, kamu nggak keluar-keluar," ucap Bu Dewi Mama Fatia.
"Ayo sarapan dulu. Bukankah kamu sekarang harus kerja ke kantor?"
"Iya Ma."
Bu Dewi menatap anaknya lekat.
"Kamu kenapa? Kenapa kamu pucat banget begitu?" tanya Bu Dewi.
"Aku nggak apa-apa Ma."
"Kamu mau kerja kan?"
Fatia menggeleng.
"Kenapa?" tanya Bu Dewi.
"Aku lagi nggak enak badan."
"Oh. Ya udah, kamu istirahat saja."
"Iya Ma."
Fatia kemudian melangkah kembali masuk ke dalam kamarnya. Dia kemudian berbaring di atas tempat tidurnya.
Hari ini, Fatia memang tidak enak badan. Sejak kemarin, dia mual dan selalu muntah-muntah. Fatia tahu, kalau sakitnya itu adalah tanda-tanda kehamilannya.
"Aku harus bisa merahasiakan semua ini, sampai aku bisa bicara dengan Pak Andre," ucap Fatia.
Ring ring ring...
Suara ponsel Fatia berbunyi. Fatia meraba ke sampingnya tidur. Fatia kemudian mengangkat ponselnya.
"Halo..."
"Sayang, aku lagi ada di perjalanan ke rumah kamu nih."
"Kamu mau ke sini Mas?"
"Iya sayang. Aku mau jemput kamu."
"Mas, mendingan kamu nggak usah ke sini. Kamu langsung berangkat aja ke kampus."
"Sayang, kenapa?"
"Aku lagi nggak enak badan Mas."
"Kamu sakit?"
"Iya Mas."
"Ya udah deh, aku ke rumah kamu sekarang ya. Aku khawatir sayang sama kamu."
"Terserah kamu Mas."
"Ya udah. Kamu istirahat saja sayang. I love u"
"Iya Mas."
Fatia kemudian memutuskan saluran telponnya.
Remon adalah tunangan Fatia. Dan dua bulan lagi, mereka akan melangsungkan pernikahan mereka. Fatia tidak tahu harus berbuat apa lagi sekarang.
Mungkinkah, dia akan berterus terang dengan kehamilannya saat ini pada keluarga besarnya dan keluarga besar Remon. Mungkin bagi Fatia, itu akan sangat memalukan sekali. Karena ini adalah sebuah aib besar untuk Fatia.
Fatia masih mondar-mandir di kamarnya. Fikirannya benar-benar sangat kacau.
"Fat...! Fatia...!" Seruan Bu Dewi kembali terdengar.
"Fatia...! Remon datang nih Fat...!" ucap Bu Dewi dari luar kamar Fatia.
Fatia membuka pintu kamarnya. Dia kemudian melangkah untuk turun ke bawah.
"Ma, Remon ke sini?" tanya Fatia.
"Iya. Dia ada di ruang tamu. Sana, temui dia."
"Iya Ma."
Fatia kemudian melangkah untuk menemui Remon yang sekarang sudah duduk di ruang tamu.
"Mas Remon," ucap Fatia.
Fatia kemudian mencium punggung tangan Remon.
Yah, Fatia dan Remon memang sudah lama menjalin hubungan. Orang tua mereka sudah menjodohkan mereka sejak mereka masih kecil. Jarak usia mereka juga terpaut cukup jauh. Remon enam tahun, lebih tua dari Fatia. Makanya, Fatia sangat menghormatinya.
Dan setelah Fatia lulus kuliah, Remon melamarnya dan mereka bertunangan. Dan hari ini, adalah tepat satu tahun mereka bertunangan. Dan dua bulan lagi, mereka akan melangsungkan pernikahan mereka.
"Duduk di sini sayang," ucap Remon sembari salah satu tangannya menepuk sofa.
Fatia hanya tersenyum dan mengangguk. Dia kemudian duduk di dekat Remon kekasihnya.
"Kamu kenapa sayang? kenapa kamu kelihatan pucat banget?" tanya Remon sembari menyibak rambut Fatia dan meletakannya di belakang telinga.
"Aku ngga apa-apa Mas."
"Sayang, kamu lagi sakit ya. Kamu sakit apa?"
Fatia diam.
Fatia tidak mungkin bilang ke Remon kalau dia sekarang sedang hamil. Itu sama saja akan menghancurkan hubungannya dengan Remon dan menghancurkan hubungan baik antara ke dua keluarga besar Fatia dan Remon.
"Kamu kenapa sayang?" tanya Remon sekali lagi.
"Aku sakit biasa aja Mas. Mungkin masuk angin Mas."
"Terus, kamu nggak mau berangkat ke kantor?"
Fatia menggeleng. "Nggak Mas."
"Ya udah. Nggak apa-apa. Jangan dipaksa sayang. Nanti, kalau kita udah nikah, kamu nggak usah kerja ya. Kamu momong anak aja di rumah."
Fatia mengangguk.
Sangat besar harapan Remon pada Fatia. Sudah dari dulu, Remon menginginkan Fatia menjadi istrinya. Karena menurut Remon, Fatia adalah gadis yang sangat berbeda dari gadis lainnya.
Remon adalah seorang dosen yang mengajar di salah satu kampus swasta di kotanya. Walau dia banyak kegiatan, tapi dia selalu menyempatkan diri untuk mengantar jemput Fatia bekerja.
Bu Dewi melangkah ke arah Remon dan Fatia.
"Nak Remon, udah sarapan?" tanya Bu Dewi pada calon menantunya.
"Udah Tan tadi di rumah. Saya sengaja ke sini, ingin mengantar Fatia ke kantornya. Dan ternyata Fatia malah nggak masuk kantor," ucap Remon.
Bu Dewi duduk di dekat Remon dan Fatia.
"Aku juga bawa buah-buahan untuk Fatia Tan. Karena tadi aku telpon dia, katanya dia lagi sakit. Jadi aku bawakan dia buah."
"Duh, makasih banyak ya Nak Remon."
Hoek...Hoek...
Tiba-tiba saja Fatia mual. Dia langsung bergegas pergi meninggalkan Remon di ruang tamu. Dia berlari ke arah kamar mandi, dan masuk ke dalam kamar mandi.
Bu Dewi dan Remon saling menatap.
"Fatia kenapa?" tanya Remon.
"Biasa. Dari kemarin dia memang suka mual-mual gitu. Masuk angin mungkin Nak Remon," jawab Bu Dewi.
"Iya mungkin ya Tan. Dia mungkin kecapean. Karena akhir-akhir ini, dia sering lembur di kantornya.
"Iya. Mungkin begitu Nak."
Fatia masih berada di dalam kamar mandi. Dia masih menatap pantulan dirinya di depan cermin. Fatia kemudian membasuh mulut dan wajahnya dengan air.
"Kenapa, perut aku berulah lagi. Kenapa aku harus mual-mual segala di depan Mas Remon. Aku nggak mau, Mas Remon dan orang tua aku tahu dulu tentang masalah ini. Aku ingin bicara dulu dengan Pak Andre," ucap Fatia.
Setelah menuntaskan dan mengeluarkan semua isi perutnya,Fatia kemudian melangkah keluar dari kamar mandi.
Dia kemudian melangkah kembali ke ruang tamu.
"Fat, aku pulang dulu ya. Aku mau langsung ke kampus," ucap Remon.
Fatia tersenyum dan mengangguk.
"Iya Mas."
Sebelum Remon pergi, Fatia mencium punggung tangan Remon, calon suaminya itu. Setelah itu Remon pun pergi meninggalkan rumah Fatia.
****
Satu bulan sudah berlalu. Sejak kejadian di malam itu, Fatia selalu merasa resah. Dia takut kalau kejadian itu akan membuatnya sampai hamil. Dan akhirnya, ketakutan Fatia terjadi juga. Dia hamil anak Andre CEO di perusahaan tempatnya bekerja.
Fatia tidak tahu, apakah Andre mau bertanggung jawab dengan kehamilannya atau tidak. Karena yang Fatia tahu, Andre itu lelaki yang dingin dan tempramen. Belum pernah ada satu orangpun dari karyawan Andre yang berani membantahnya. Karena Andre tidak akan pernah main-main untuk memecat seorang karyawan.
Andre Deniswara. Seorang pengusaha muda yang menggantikan posisi ayahnya menjadi seorang CEO di perusahaan milik ayahnya. Setelah ayah Andre pensiun, Andre yang menjadi pemimpin di perusahaan ayahnya.
Pagi ini, Fatia masih mondar-mandir di kamarnya.
"Aku harus temui Pak Andre. Dia harus tanggung jawab dengan semua perbuatannya. Gara-gara dia, aku hamil. Dan aku nggak mungkin meminta Mas Remon untuk tanggung jawab. Karena anak ini bukan anaknya Mas Remon. Tapi anaknya Pak Andre," ucap Fatia.
Fatia bergegas untuk ke kamar mandi. Dia mandi dan setelah itu, dia ganti baju. Setelah rapi, Fatia pun ke luar dari kamarnya.
"Fatia. Kamu udah mau ke kantor?" tanya Bu Dewi.
"Iya Ma."
"Nggak mau sarapan dulu?"
"Nggak usah Ma. Aku lagi malas sarapan."
Fatia buru-buru pergi ke luar.
"Fat. Kamu nggak mau nungguin Remon jemput kamu?" Seru Bu Dewi setelah Fatia sampai di pintu depan.
"Nggak Ma. Aku mau naik taksi aja."
Fatia melangkah ke arah jalanan untuk menunggu taksi. Setelah taksi berhenti di depannya, Fatia kemudian masuk ke dalam taksi. Fatia kemudian meluncur pergi meninggalkan rumahnya untuk menuju ke kantornya.
Sesampai di depan kantor, Fatia pun turun. Dia melangkah masuk ke dalam kantor dan menuju ke ruangannya.
Fatia kemudian duduk di ruangannya.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita bernama Erin duduk di sisi Fatia. Kebetulan meja Erin dan Fatia bersebelahan. Dan Erin adalah rekan kerja sekaligus sahabat yang baik untuk Fatia.
"Tumben banget jam segini sudah nyampe?" Basa-basi Erin.
"Iya."
Fatia diam. Dia menundukan kepalanya.
"Kamu kenapa? lagi ada masalah?"
Fatia menatap Erin dan menggeleng.
"Bohong."
"Nggak. Aku nggak bohong kok. aku memang lagi nggak punya masalah."
"Tapi kalau kamu lagi ada masalah, cerita ya ke aku. Siapa tahu aku bisa nyari solusi untuk masalah kamu dan bisa bantu kamu untuk mengatasi masalah ini."
"Nggak enak lho. Masalah di pendam sendiri. Bicarakan saja, agar bisa meringankan beban di hati kamu."
"Iya."
Bagaimana mungkin Fatia akan menceritakan masalahnya pada orang lain. Itu sama saja, dia membongkar aibnya sendiri.
Beberapa saat kemudian, seorang lelaki lewat di depan tempat kerja Fatia dan Erin. Yah, dia ceo di perusahaan Fatia. Lelaki yang sudah menghancurkan hidup Fatia di malam itu.
"Eh, lihat deh Fat. Pak Andre. Sombong banget ya. Masak dia lewat di depan kita nggak menyapa kita sedikit pun."
"Ya, karena dia itu bos. Dia itu minta di sapa dulu."
"Tapi beda banget sama ayahnya. Dia itu ramah banget. Tapi punya anak, bisa sombong banget begitu."
Fatia bangkit berdiri.
"Kamu mau ke mana?" tanya Erin.
"Aku mau ke toilet sebentar."
"Oh iya Fat."
Fatia kemudian melangkah pergi meninggalkan Erin. Dia akan menemui Andre di ruangannya. Dia ingin bicara empat mata dengan Andre.
Fatia masih berdiri di depan ruangan sang ceo. Dia ingin mengetuk pintu ruangan Andre. Tapi dia ragu.
"Apa aku sanggup untuk menghadapinya."
Tanpa berfikir lama, akhirnya Fatia memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Andre.
Tok tok tok...
"Permisi..."
"Masuk...!" Suara Andre sudah terdengar dari luar ruangannya.
Dengan takut-takut, dan hati bergetar, Fatia melangkah masuk ke dalam ruangan Andre.
Andre menatap tajam ke arah Fatia.
"Ada apa?" tanya Andre.
Fatia hanya bisa menegak ludahnya saat Andre menatapnya tajam.
"Sa-Saya... ingin bicara empat mata dengan bapak."
"Bicara apa?" tanya Andre yang sudah mulai serius.
Fatia mendekat ke arah Andre.
"Duduk!" Pinta Andre.
"Baik Pak." Fatia kemudian duduk di depan Andre.
Fatia menghela nafas dalam. Dia harus kuat mental saat bicara degan Andre.
"Ada apa?" tanya Andre yang sudah mulai penasaran dengan kedatangan Fatia.
"Sa-Saya..." Fatia masih ragu untuk bicara. Bagaimana jika Andre, tidak mau tanggung jawab dengan semua perbuatannya.
"Saya apa?"
"Saya hamil Pak."
Andre terkejut bukan main saat mendengar ucapan Fatia.
"Apa! kamu hamil? kamu yakin kalau itu anak aku?"
Fatia mengangguk.
"Iya Pak. Karena aku cuma pernah melakukan hubungan itu dengan bapak."
"Nggak mungkin kamu bisa hamil secepat itu Fatia. Mungkin saja, kamu hamil sama cowok lain. Mungkin saja kamu hamil sama pacar kamu."
"Demi Tuhan Pak. Saya memang hamil anak bapak. Dan sekarang saya sedang mengandung darah daging bapak."
Andre benar-benar bingung dengan pengakuan Fatia. Karena dia melakukan hubungan itu hanya satu malam saja.
Andre sejak tadi tampak diam. Sepertinya dia masih tampak berfikir.
'Kenapa bisa Fatia hamil. Padahal aku hanya melakukannya sekali.'
"Pak. Bapak harus tanggung jawab dengan kehamilan aku. Bapak harus nikahin aku."
"Apa! nikahin kamu? kamu udah gila ya? bagaimana mungkin aku akan nikahin kamu Fatia. Aku tidak mencintai kamu."
"Tapi Pak. Bagaimana dengan kehamilan aku."
"Gugurkan ! gugurkan kehamilan kamu itu. Aku tidak mau sampai ada orang yang tau tentang kehamilan kamu itu."
Fatia terkejut saat mendengar ucapan Andre.
"Apa! di gugurkan."
Andre tiba-tiba menulis cek sebesar seratus juta. Dia kemudian menyodorkan cek itu ke arah Fatia.
"Ini. Ambil cek ini. Dan mulai sekarang, kamu pergi dari sini! Pergilah dari kehidupanku. Dan jangan pernah kamu muncul lagi di kehidupan aku. Dan mulai sekarang, kamu aku pecat...!" ucap Andre yang membuat Fatia terkejut.
"Apa! di pecat?" pekik Fatia.
"Iya. Mulai hari ini, kamu bukan karyawan di sini lagi," ucap Andre menegaskan.
Fatia tidak menyangka kalau pengakuannya pada Andre, justru membuatnya di pecat. Dia fikir, Andre akan bertanggung jawab. Tapi ternyata Andre malah memecat Fatia.
"Tapi Pak Andre. Tolong, jangan pecat saya. Saya masih butuh pekerjaan ini Pak," ucap Fatia memohon.
"Fatia. Cek segini cukup kan untuk kamu! kamu gugurkan anak itu, atau kamu pergi dari kehidupan aku. Dan jangan bicarakan masalah ini dengan siapapun...!" ucap Andre dengan nada tinggi.
Jika sudah seperti ini, apa yang bisa Fatia lakukan. Dia sudah tidak bisa berkutik lagi. Andre sudah memecatnya dan menyuruh Fatia untuk menggugurkan kandungannya.
Andre diam. Dia tidak memperdulikan lagi ucapan Fatia. Dia lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaannya.
Fatia sejak tadi masih duduk di depan Andre sembari menatap cek yang bernilai seratus juta itu.
'Apakah seperti ini, cara orang kaya memperlakukan orang miskin seperti aku. Pak Andre jahat banget sih. Kenapa dia tega bicara seperti itu sama aku. padahal jelas-jelas dia yang sudah menghamili aku. Bukan lelaki lain.'batin Fatia.
"Kenapa kamu masih di sini heh...!" sentak Andre yang membuat Fatia terkejut.
"Pergi kamu dari ruanganku dan bereskan semua barang-barang kamu. Besok, kamu tidak usah kerja lagi di kantorku. Cari saja perusahaan lain yang mau menerima kamu untuk jadi karyawannya," ucap Andre.
Fatia meneteskan air matanya. Dia kemudian mengusapnya kasar. Dia tidak mau menangis di depan Andre. Bisa saja Andre menyeretnya dari ruangannya.
"Kenapa kamu malah nangis di sini hah...! kamu punya telinga kan? Kamu nggak tulikan? pergi kamu dari sini...!" Andre kembali mengusir Fatia.
Andre mengusir Fatia dari ruangannya. Bukannya mendapat keadilan, justru Fatia malah di pecat dari kantor. Itu membuat hati Fatia sangat sakit.
Fatia bangkit dari duduknya. dia kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan Andre. Fatia kemudian melangkah ke ruangan kerjanya. Di sana, tampak Erin masih berkutat di depan layar monitornya.
Erin terkejut saat melihat kedatangan Fatia. Karena mata Fatia tampak sembab seperti habis menangis tadi.
"Fatia. Kamu kenapa? kamu habis nangis?" tanya Erin penasaran.
Fatia menatap Erin dan menggeleng.
"Aku nggak apa-apa," ucap Fatia sembari mengusap sisa-sisa air matanya.
"Katanya kamu mau ke toilet. Kenapa ke toilet lama sekali?" tanya Erin.
Fatia diam. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Erin.
Fatia kemudian membereskan meja kerjanya.
"Lho Fat. Kamu kok beres-beres? mau ke mana? kamu mau pulang?" tanya Erin. Dia tidak tahu saja, kalau sahabatnya itu sudah di pecat oleh bosnya.
"Iya. Mulai besok, aku sudah tidak kerja di sini lagi" jawab Fatia.
"Lho. Kok gitu?" tanya Erin yang masih tidak mengerti.
"Aku di pecat Rin."
Erin tampak terkejut.
"Apa! Siapa yang sudah mecat kamu?"
"Pak Andre."
"Salah apa, kamu sama dia?"
Fatia diam. Dia kemudian mengedikan bahunya.
"Nggak tahu."
Erin hanya bisa melongo. Menyaksikan sahabatnya yang tiba-tiba saja di pecat dari pekerjaannya.
"Nggak mungkin Pak Andre tiba-tiba saja mecat kamu tanpa alasan. Apa kamu sudah membuat salah sama dia?" tanya Erin.
Erin tidak menyangka, kalau Fatia akan dipecat dari kerjaannya begitu saja.
"Aku nggak pernah buat salah," jawab Fatia.
'Justru dia yang sudah bersalah. Dia yang sudah merenggut kesucianku.' batin Fatia.
Setelah membereskan meja kerjanya, Fatia kemudian melangkah ke ruangan Andre lagi. Tanpa mengetuk pintu, kemudian dia masuk.
Fatia membawa cek dan tiba-tiba saja, dia sudah menggebrak meja kerja Andre ...!
Bruak...
Andre terkejut saat melihat Fatia. Dia membelalakkan matanya dan menatap tajam ke arah Fatia. Andre bangkit berdiri.
"Apa-apaan ini?" Ucap Andre.
Fatia menyobek-nyobek kertas yang dipegangnya.
"Aku nggak butuh uang ini. Aku nggak butuh Pak Andre yang terhormat," ucap Fatia.
Fatia kemudian melempar sobekan kertas itu ke wajah Andre.
"Apa..! beraninya kau Fatia...!" Andre masih tidak menyangka kalau Fatia akan seberani itu padanya.
"Aku benci sama kamu Pak Andre. Kamu itu jahat! kamu sudah menghamili aku, dan sekarang kamu tidak mau bertanggung jawab!," ucap Fatia dengan nada tinggi.
"Sssttt...! jangan kencang-kencang ngomongnya. Kalau sampai ada orang yang tahu masalah ini, aku nggak akan pernah bisa memaafkan kamu Fatia...!"
"Biarin. Biarin semua orang tahu dengan kebejatan anda. Asal anda tahu ya Pak Andre. Kalau aku tidak akan pernah menggugurkan kandungan ini. Aku nggak akan pernah membunuh calon anakku sendiri. Karena aku masih punya hati nurani."
Andre sudah mengepalkan tangannya geram. Rahangnya sudah mulai mengeras. Andre benar-benar tidak menyangka dengan sikap Fatia. Baru kali ini, ada seorang wanita yang berani menantang Andre.
Andre mendekat ke arah Fatia. Dia kemudian menatap Fatia tajam.
"Kamu berani melawan ku heh..! Kamu tidak tahu siapa aku?"
"Apa! apa yang mau kamu lakukan Pak Andre. Kamu itu memang orang kaya. Dengan uang kamu bisa melakukan apapun. Tapi ingat. Hukum karma itu ada...! sekarang anda bisa membuang ku dan darah daging mu sendiri. Tapi Tuhan pasti akan menghukum kamu suatu hari nanti."
"Halah, terserah apa kata mu. Aku nggak perduli. Sekarang pergilah kamu dari sini. Jangan injakan kaki kamu lagi di kantor saya...! mengerti...!"
Sudah habis kesabaran Fatia. Andre sudah benar-benar keterlaluan karena dia menyuruh Fatia untuk menggugurkan anak yang di ada di dalam kandungnya itu. Sesuatu yang tidak akan pernah mungkin Fatia lakukan. Membunuh darah dagingnya sendiri.
Fatia sudah tidak mau berlama-lama di ruangan Andre. Fatia kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan Andre.
Dia melangkah kembali ke meja kerjanya.
"Fatia. Kamu mau pergi?" tanya Erin menatap iba Fatia.
"Iya. Aku udah di pecat."
"Tapi kamu dapat pesangon kan?"
Fatia menggeleng.
"Lho. Kok bisa begitu. Seharusnya Pak Andre memberikan kamu pesangon."
"Nggak perlu. Aku juga cuma sebentar kerja di sini. Belum ada setahun juga."
"Tapi tetap aja Pak Andre sudah keterlaluan."
"Aku pergi ya. Kalau kamu mau main ke rumah aku, main aja."
Erin tersenyum. Sebelum Fatia pergi, Erin memeluk tubuh Fatia.
"Sabar ya Fat. Kamu pasti kuat. Kamu pasti akan cepat mendapat pekerjaan lagi Fat." ucap Erin sembari mengusap-usap bahu sahabatnya. Dia tidak tahu saja, kalau Fatia di pecat itu karena dia hamil.
Fatia melepaskan pelukannya. Dia kemudian menatap Erin.
"Aku pergi dulu ya. Kamu baik-baik di sini" ucap Fatia sebelum pergi.
Erin mengangguk.
Fatia kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan kerjanya.
Dia melangkah ke luar dari kantor Andre.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!