Anggi Sauna, perawan tua yang dua kali dilamar tapi dua kali juga batal nikah. Alasannya hanya satu, pria yang melamarnya selalu meminta jatah sebelum menjadi suami dari Anggi dan Anggi menolak mentah-mentah permintaan itu. Akibatnya Anggi tak mau lagi menikah di usia yang baru 25 tahun. Setelah batal nikah dengan pria kedua, Anggi memasukkan lamaran pekerjaan di Dinas Kesehatan yang kebetulan membuka lowongan.
Batal nikah membuat Anggi ingin melajang seumur hidup namun para tetangga juga orang-orang di lingkungannya bahkan sang Ibu–Fatma Larasati kerap menyentil Anggi dengan kalimat yang terdengar menyindir. Sekalipun begitu, Fatma adalah Ibu yang luar biasa. Selama Anggi bekerja, Fatma tidak pernah meminta uang pada sang putri. Justru sebaliknya, wanita tua itu menyisihkan sedikit uang dari hasil tani yang kerap dia panen sebulan sekali. Bukan hanya itu, Fatma juga tak menggunakan uang yang Anggi berikan tiap bulannya.
Anggi memiliki dua orang Kakak yang dua-duanya telah memiliki pasangan hidup. Mengingat kedua kakaknya terlibat dalam membiayai biaya kuliah Anggi, Anggi pun tak melupakan kebaikan kedua Kakaknya. Dia berjanji akan menyisikan sedikit uang dari gaji yang dia dapatkan untuk keperluan mendadak sang Kakak. Terlebih kedua kakaknya memiliki anak yang suka jajan bahkan sebentar lagi akan lulus Sekolah.
Dan kini, usia Anggi 29 tahun. Usia yang sudah sangat matang bahkan melebihi kata matang untuk wanita.
...
Alarm manual membuat Anggi yang masih terlelap harus membuka mata. Siapa lagi kalau bukan Fatma. Suara Fatma yang melengking terkadang membuat Anggi kesal namun dia suka mendengar Ibunya menggedor pintunya pagi-pagi.
"Anggi bangun ... Anak gadis apa yang tidurnya sampai jam segini .. Ingat umur Anggi ... Nggak baik lagi Ibu bangunin kamu kek anak kecil!"
Berkacak pinggang di depan kamar sang putri, Fatma mengomel seperti pagi sebelumnya.
"Ibu, aku sudah bangun. Tapi masih duduk-duduk di balkon" sahut Anggi berbohong.
"Apa kamu pikir Ibu nggak tahu kebiasaan kamu! Cepat bangun ..."
Menghela napas kasar, Anggi beranjak dari ranjang. Tanpa merapikannya lebih dulu, wanita itu langsung membuka pintu kamar. Dia mendapati Ibunya menatap kesal padanya.
"Udah tua, tapi masih mau diperlakukan kek anak kecil. Disuruh nikah tapi banyak sekali alasannya. Apa dia pikir aku bakalan hidup sampai waktu tak terhitung!" celetuk Fatma seraya meninggalkan putrinya yang diam dan hanya bisa menghela napas panjang.
"Apa Ibu pikir cari laki-laki yang setia itu gampang!" celetuk Anggi sedikit kesal.
"Anak Pak Broto itu setia Anggi ... lihat, sudah 8 tahun dia menunggu jawaban mu ..." balas Ibu Fatma yang kebetulan mendengar ocehan putri bungsunya.
Tak ingin berdebat, Anggi memilih ke kamar mandi. Walau hari ini hari minggu tapi mandi adalah rutinitas pagi yang tak bisa dilewati. Setelah mandi, Anggi menemui Ibunya di dapur. Di sana, dia mendapati ibunya sesak nafas. Mata Anggi membulat, segera dia menompang tubuh Ibunya.
"Ibu, ayo kita ke rumah sakit" ucap Anggi cemas.
Fatma menggeleng pelan. "Ibu nggak Papa, ini bukannya Ibu sakit parah, ini sesak nafas biasa" jelas Fatma.
"Buk, kita ke rumah sakit ya" Anggi segera menuntun Ibunya ke mobil. Dalam perjalanan, Fatma tiba-tiba ingin minum, segera Anggi memberikannya sebotol Aqua yang ada di mobil.
"Anggi, ayo kita pulang, Nak. Hubungi kedua saudaramu, minta mereka ke rumah sekarang" pinta Fatma kembali menyandarkan bahu di kursi.
"Buk, kok pulang sih. Kita kan belum berobat" protes Anggi. Air matanya pun menetes melihat kondisi ibunya.
"Anggi, tolong dengarkan kata Ibu. Kali ini saja" ucap Ibu Fatma mulai melemah.
Anggi segera memutar arah. Tak berapa lama, dia sudah sampai di rumah. Di depan rumah, sudah ada kedua Kakak Anggi juga suami mereka berserta anak-anak mereka. Irsan–suami Dita, kakak pertama Anggi, pria itu menggendong Ibu mertuanya.
"Ibu, kenapa Ibu nggak mau ke rumah sakit?" tanya Irsan.
"Ibu nggak mau meninggal di sana. Ibu mau di rumah" lirih Fatma.
"Buk ... kok ngomong kek gitu sih!" Anggi yang menyusul Irsan ke kamar semakin meneteskan air mata. Begitu juga dengan Santi, Kakak kedua Anggi.
"Mas Re, tolong bantu aku" pinta Irsan pada suami iparnya, Renal.
Renal membantu Irsan membaringkan Ibu mertua mereka di ranjang. Lalu keduanya mengambil tempat di sisi kiri sang Ibu. Melihat Ibu Fatma mengatur napas, Irsan menatap Renal yang mulai berkaca kaca.
"Renal, Irsan, Ibu titip Anggi ya. Biarpun dia sudah tua, tapi dia tetap putri kecil Ibu. Tolong jaga adik kalian. Carikan dia laki-laki yang keluarganya baik-baik" pinta Ibu Fatma.
Tangis Anggi pun semakin pecah. Dia meraih tangan Ibunya, menciumnya sambil menangis di sana. "Ibu ..."
"Ibu ..." Santi dan Dita memeluk Ibu mereka. Mendengar tangis kedua sang Kakak, Anggi mendongak menatap sang Ibu. Tangis ketiganya semakin menjadi saat sang ibu tak lagi bernapas.
Menangis hingga Anggi jatuh pingsan. Saat dia membuka mata, dia mendapati dirinya di rumah sakit sedang diinfus. Di sampingnya, ada Dita dan Irsan. Anggi berharap Ibunya masih ada, jadi dia menunggu sang Ibu datang tanpa harus bertanya pada Dita dan Irsan. Hampir setengah jam menunggu, dan Ibunya tak jua datang.
"Mbak Dita ... Ibu kok nggak datang. Ibu marah ya sama aku" Anggi kembali menangis.
"Anggi, Mbak tahu kamu belum bisa menerima kenyataan ini. Kamu harus kuat sayang, kamu harus bisa mengikhlaskan kepergian Ibu" ucap Dita.
Waktu berlalu, sudah sepuluh hari kepergian Ibu Fatma. Kepergian wanita cerewet itu menjadi luka untuk putrinya, Anggi. Di dalam kamar, Anggi menangis di bawa selimut kesayangan Ibunya. Rindu itu berat, dan penyesalan itu lebih berat. Andai dia tahu, hari itu adalah ajal sang Ibu, maka pagi itu dia akan bangun lebih awal menyiapkan sarapan pagi untuk ibunya.
"Ibu ... Aku kangen Ibu. Hiks hiks hiks ..." tangis Anggi semakin menjadi.
"Anggi, jangan larut dalam kesedihan, Dek. Ikhlaskan kepergian Ibu. Ayolah Sayang ... jangan seperti ini. Ibu akan sedih bila melihatmu seperti ini" Dita menghampiri.
Anggi menarik diri hingga duduk. "Mbak Dita, pagi itu Ibu omelin aku, hiks hiks ... Ibu minta aku bangun tapi aku malah buat Ibu kesal. Hiks ... Mbak Dita ..." ungkap Anggi menangis.
Benar kata Ibu Fatma, Anggi memang sudah tua tapi tingkahnya masih seperti anak-anak. Tapi, dia akan berpikiran dewasa bila membahas masalah orang dewasa, seperti tentang cinta.
"Anggi, Mas Irsan punya kenalan pria, dia bekerja di Apotek keluarga. Kata Mas Irsan, pria itu baik, dia begitu berbakti pada kedua orang tuanya. Seperti pesan Ibu, Mas Irsan mencarikan kamu pasangan yang baik" ungkap Dita tak mau menunda waktu untuk memberitahu adiknya.
"Mbak, jika memang pria itu baik, aku mau kok menikah dengannya. Asalkan dia juga mau menerimaku" lirih Anggi.
Tanpa Irsan dan keluarga tahu, pria yang akan dikenalkan dengan Anggi adalah pria yang sangat sangat berbakti pada kedua orang tuanya. Saking berbakti nya, 98% gaji yang tiap bulan dia terima selalu diserahkannya pada sang Ibu. Karena itu, Sonaya, istri dari pria berbakti tersebut bunuh diri akibat terlalu menahan sesak di dada.
Gibran Anindito, anak tertua dari lima bersaudara. Ibu nya bernama Siska dan Ayah nya bernama Roni. Siska adalah Ibu yang kerjaannya hanya makan tidur dan menunggu tanggal muda. Karena setiap tanggal muda Gibran gajian dan 98% uangnya akan diserahkan pada sang Ibu. 1% nya untuk dia dan 1% nya untuk Sonaya, istri Gibran Anindito. Sementara Roni pemabuk berat yang jarang pulang ke rumah.
Bekerja dari pagi sampai malam membuat Gibran memiliki sedikit waktu di rumah sehingga dia banyak melewatkan apa yang dikerjakan oleh Sonaya di rumah. Sampai Sonaya meninggal pun Gibran tidak tahu bila istrinya itu sengsara di rumah mertua. Sonaya meninggal karena bunuh diri akibat tekanan dari Ibu mertuanya. Ibu mertuanya selalu menyindirnya, bahkan kerap menjelekkan Sonaya di depan para tetangga namun selalu memuja Sonaya di depan Gibran.
Sonaya yang tak punya sanak saudara di rantau, menjadi stress dan akhirnya bunuh diri. Dia ingin berbagi dengan Gibran, tapi dia yakin, Gibran tidak akan percaya padanya karena yang Gibran tahu, orang tuanya menyayangi Sonaya.
Adik perempuan Gibran yang bernama Larasati sementara kuliah di kampus Swasta di kotanya mengambil jurusan Sastra Inggris dan sekarang semester lima. Sementara adik kedua dan ketiganya masih sekolah SMA dan tak lama lagi akan lulus sekolah. Yang bungsu, Anja namanya, dia baru kelas 6 SD.
Mendengar kabar tentang status calon istri sang Kakak, ketiga adik Gibran gembira. Pasalnya, yang masih SMA bisa kuliah tanpa harus ada yang menunggu tahun berikutnya. Toh calon istri kakaknya punya gaji, jadi dari gaji itu mereka bisa gunakan untuk kebutuhan keluarga. Bukan hanya ketiga adik Gibran, Ibu Siska pun tak kalah bahagianya. Terlebih dia mendengar orang tua calon menantunya telah meninggal. Itu berarti semua gaji menantunya tidak akan terbagi ke siapapun.
"Gibran, cepat lamar ipar teman kamu itu. Mama sudah nggak sabar punya menantu" ucap Siska, Mama nya Gibran yang sementara di meja makan.
"Iya, Mah" sahut Gibran lalu memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Saran Mama ni, kamu belikan dia apa gitu, atau untuk keponakannya. Oh iya, terutama untuk keponakannya. Setahu Mama, anak bungsu itu paling sayang ponakannya" usul Siska yang dibenarkan oleh Roni dan ketiga adik Gibran.
"Hmmm" sahut Gibran sekenanya saja. Setelah sarapan, Gibran pamit pergi. Menyisakan keluarganya di meja makan.
"Cis! Suka sekali memeras orang" Anja, anak kelas 6 SD itu paling tidak suka perilaku keluarganya. Bahkan dia benci sikap Gibran yang menurutnya tidak tegas sebagai kepala keluarga saat Sonaya masih hidup. Sonaya juga baru meninggal tiga bulan yang lalu dan Gibran sudah berniat nikah lagi. Dari Gibran, Anja belajar. Dia bertekad untuk tidak seperti Gibran kelak saat dia sudah besar.
"Anak kecil jangan ikut campur urusan orang dewasa" Laras, adik pertama Gibran menegur.
"Tahu tuh, disentil baru tahu rasa!" celetuk Jena, adik kedua Gibran.
"Dia ini anak yang kelak tidak memberi Mama uang" timpal Wati, adik ketiga Gibran.
"Sudah sudah ..." Siska menengah.
Gibran ke Cafe Gratis Janji, bertemu Anggi di sana. Setibanya di sana dia melihat Anggi sudah lebih dulu sampai. Rambut lurus sebahu, juga pakaian yang Anggi kenakan membuat Gibran takjub. Bahkan pria itu merasa sedang jatuh cinta. Tekadnya sudah bulat, dia akan memperistri Anggi. Dengan harapan Anggi bisa menjadi menantu yang baik untuk kedua orang tuanya. Seperti Sonaya yang baik.
"Dari tadi?" tanya Gibran mengambil tempat di depan Anggi.
"Belum lama" balas Anggi tersenyum. Dilihat dari penampilan Gibran, sepertinya pria itu pecinta kebersihan. Pikir Anggi.
Berbincang dengan Gibran, Anggi merasa cocok. Dan dia berharap semoga pilihannya juga pilihan keluarga tidak salah. Setelah berbincang, Gibran mengantar Anggi pulang ke rumah. Seperti usul Tante Siska, Gibran membawa hadiah untuk ponakan Anggi. Melihat ponakannya bahagia, keputusan Anggi sudah bulat, boleh dikata baru 1 bulan dia kenal Gibran.
"Bagaimana?" tanya Irsan setelah Gibran pulang.
"Baik orangnya" jawab Anggi. Ya, Gibran memang baik, saking baiknya 98% gajinya untuk keluarganya. Entah bagaimana nanti saat sudah memperistri Anggi, karena saat memperistri Sonaya, Sonaya hanya diberi uang tiga ratus ribu dalam sebulan. Sementara yang lain untuk orang tua Gibran dan kebutuhan dapur. Tiga ratus ribu itu Sonaya simpan tapi kerap hilang dicuri oleh salah satu dari penghuni rumah.
"Jadi apa keputusanmu?" tanya Dita.
"Aku mau kok menikah dengannya" balas Anggi menarik senyum.
.
.
Karena Anggi sudah setuju, maka pernikahan pun akan digelar tanggal 28 Agustus, dan hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi Anggi dan Gibran. Tepatnya pagi tadi sekitar jam 11, Anggi dan Gibran resmi atau sah menjadi pasangan suami istri.
"Anggi, makasih ya. Kamu udah mau nikah denganku. Aku nggak janji, tapi aku akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab" ucap Gibran membelai pipi Anggi.
Seperti anak ABG, pipi Anggi memerah. Bukan kalimat Gibran, tapi sentuhan fisik Gibran berhasil membuat darah Anggi mendidih. "Iya, sama-sama" jawab Anggi setelah menguasai dirinya.
Ketukan pintu mengalihkan pandangan Anggi dimana yang mengetuk pintu kamar itu adalah Dita dan Santi yang mau pamit pulang. Anggi segera membuka pintu. Dilihatnya kedua kakaknya menarik senyum.
"Maaf ya, Gibran. Mbak pinjam istri kamu sebentar" ucap Santi.
Gibran menghampiri. "Nggak Papa kok, Mbak" balasnya.
Setelah berpamitan pada Anggi dan keluarga suaminya, Dita dan Santi sekeluarga pamit pulang. Mereka harus kembali ke rumah mereka, terlebih besok pagi mereka masuk kerja dan jarak rumah dari rumah rumah Gibran lumayan jauh.
Sepeninggal keluarga Anggi, adik Gibran bernama Laras masuk ke dalam kamar Gibran dan Anggi. Tindakan Laras membuat Anggi mengerutkan kening, pasalnya Laras masuk tanpa mengetuk pintu. Bagaimana jika Anggi dan Gibran sedang begituan? Bisa malu Anggi nya.
"Emmm .. Maaf, Kak. Aku lupa kalau Kak Gibran sudah menikah" jelas Laras salah tingkah. Sebenarnya Laras mau ambil uang di dompet Gibran, ada yang mau wanita itu beli. Dan dia sudah terbiasa masuk ke kamar Gibran mengambil uang di dompet sang Kakak. Tentu tanpa sepengetahuan Kakak nya. Tadi, dia mengira Anggi di dalam kamar mandi, nyatanya wanita itu sedang menyeka riasan di wajahnya.
"Nggak Papa. Oh ya, kamu nyari Kak Gibran?" tanya Anggi.
"Iya, Kak" jawab Laras berbohong. Daripada ketahuan, lebih baik berakting.
"Ada apa?" Gibran tiba-tiba berdiri di ambang pintu.
"Kakak dipanggil Mama" jawab Laras cepat. Dia dan Mama nya satu tim, jadi Mama nya pasti paham bila nanti Gibran bertanya padanya.
"Ya sudah, nanti Kakak temui Mama. Bilang sama Mama bentar ya, Kak Gibran mandi dulu" ucap Gibran yang dibalas anggukan kepala oleh Laras.
Setelah mandi, Gibran dan Anggi menemui keluarga yang sementara di ruang keluarga. Terlihat keluarga Gibran bahagia. Entah apa yang membuat mereka tertawa girang.
"Mah, tadi kata Laras Ibu nyari aku. Ada apa?" tanya Gibran setelah mendudukkan bokongnya.
"Mama mau pinjam uang kamu, mau ganti uang Bu Sisa yang Mama pinjam kemarin" jelas Mama Siska yang sudah bekerja sama dengan Laras.
"Berapa?" tanya Gibran dengan santai.
"1 juta" balas Mama Siska cepat.
"Iya, nanti besok pagi baru ku kasih" ucap Gibran tanpa melibatkan Anggi dalam keputusannya. Anggi di samping pun tak mempermasalahkan itu.
Keesokan harinya, bayangan semalam masih diingat jelas oleh Anggi. Karena nya dia menatap malu Gibran yang semalam menjelajahi tubuhnya. Tak tahu harus berkata apa, Anggi menarik diri ke kamar mandi meninggalkan Gibran yang hendak mengeluarkan uang 1 juta dari dalam lemari.
Gibran menemui Mama nya setelah pria itu mengenakan pakaian non formal. Seulas senyum tersungging manis di wajah tampannya saat dia mendapati Mama nya di dapur. "Mungkin Mama ingin menunjukan sisi baiknya pada Anggi" pikir Gibran. Pasalnya, selama ini sang Mama tidak suka terjun ke dapur.
"Mama, ini uangnya" Gibran meletakkan uang di atas meja.
Dalam hati Siska bersorak girang. Melihat sikap Anggi yang biasa saja kemarin, Siska yakin, menantunya itu bisa ia atur. Berbalik, Siska menatap sekilas sang putra. "Terima kasih, nanti Mama ganti uangnya kalau sudah ada uang"
"Nggak perlu diganti, Mama. Lagian Anggi nggak keberatan kok. Dia nggak protes saat aku bilang mau ngasih Mama uang" jelas Gibran.
Di kamar, Anggi baru selesai mandi. Segera wanita itu mengenakan pakaian. Hari ini hari pertamanya bermalam di rumah Ibu mertua namun dia sudah berani bangun telat. Bukan maunya, tapi Gibran lah yang membuatnya bangun terlambat. Bagaimana tidak, Gibran menahan Anggi saat wanita itu hendak turun dari ranjang.
Setelah mengenakan pakaian, Anggi menemui suaminya. Di meja makan, sudah ada keempat adik Gibran juga kedua orang tuanya. Anggi mengambil tempat di samping suaminya.
"Kak Anggi, Kakak kerja di mana?" tanya Wati.
"Di Dinas Kesehatan" balas Anggi. Anggi mengambil sedikit menu sarapan pagi yang dibuat oleh Mama mertuanya pagi tadi. Biasanya ada tetangga mereka yang di bayar Gibran untuk selalu datang menyiapkan sarapan pagi, makanan untuk makan siang dan malam. Tapi itu berlaku sejak Sonaya sudah meninggal. Sebelum meninggal, Sonaya lah yang menyiapkan segalanya. Dan sebelum menikah, Ponakan Ibu Siska yang tinggal dengan mereka yang menyiapkan segalanya.
Keluarga Gibran mengangguk. "Gaji Kakak berapa?" tanya Laras.
Ragu-ragu Anggi menjawab. "3 juta perbulan" lirihnya.
Laras, Wati dan Jena menarik senyum, begitu juga dengan Siska namun Siska tak menampakkan diri akan bahagianya dia mendengar jumlah gaji menantunya dalam perbulan. Roni juga begitu, dia tidak perlu bekerja keras untuk membiayai kedua putrinya yang tinggal beberapa minggu lagi akan lulus sekolah.
"Wah ... lumayan banyak ya, Kak" timpal Wati dengan mata berbinar.
Setelah sarapan, Gibran mengajak Anggi jalan-jalan ke suatu tempat. Tepatnya di Mall. Tak tahu perilaku keluarga suami, Anggi meninggalkan sebagian uangnya di dalam kopernya. Kebetulan pakaiannya belum dia pindahkan ke dalam lemari.
Mall Habis Uang, Anggi dan Gibran telah berada di Mall Habis Uang. Sesuai namanya, banyak pengunjung yang menghabiskan uang mereka hanya untuk membeli produk produk yang dipasarkan di dalam Mall tersebut. Mall Habis Uang adalah Mall yang berbeda dari Mall biasanya. Mall ini menjual banyak produk berkualitas dengan harga terjangkau.
"Sayang, menurut kamu ini pas nggak untuk Wati dan Jena?" tanya Gibran memperlihatkan dua stelan yang hanya beda warna.
"Pas, kok" jawab Anggi sesuai pertanyaan.
Berkeliling dari lantai satu sampai lantai tiga, tak satupun Gibran bertanya pakaian mana yang Anggi suka. Semuanya tentang keluarga Gibran saja. Anggi sedih, dia tak meminta dibelikan, dia hanya ingin ditawarin mau apa tidak? Suka apa tidak? Itu saja.
"Mas, kok aku di dibelikan" Anggi memberanikan diri untuk bekomentar.
Gibran tersenyum. "Aku lihat pakaianmu banyak, jadi aku yakin, kamu nggak akan mau sekalipun aku tawarin"
Dalam hati Anggi kecewa tapi biarlah. Toh Anggi punya uang, dia bisa beli sendiri. Anggi memilih baju kemeja yang menurutnya bagus bila dikenakan ke tempat kerja. Dia pun mengambilnya.
"Mas, masih ada yang mau kamu beli?" tanya Anggi. Pasalnya dia sudah jenuh.
"Sudah nggak ada, ayo" Gibran mengajak Anggi ke kasir. Gibran membayar belanjaan untuk keluarganya sebanyak 2 juta. Dengan harga segitu, Gibran tak mempermasalahkan. Karena pada dasarnya dia sangat menyayangi keluarganya.
"Biar aku yang bayar punyamu" ucap Gibran pada istrinya. Anggi tersenyum.
Usai berbelanja, Anggi mengajak suaminya pulang ke rumah. Dalam perjalanan, Anggi melirik Gibran yang serius menyetir. Ada sesuatu yang ingin dia tanyakan tapi dia tidak berani. Lama berpikir, akhirnya Anggi bertekad bertanya.
"Mas, kapan kita pindah? Maksud aku kita tinggal di Kontrakan atau di indekos. Kita kan sudah menikah, masa mau tinggal dengan orang tua terus"
"Aku nggak tahu kapan, karena Mama tuh nggak ngizinin aku keluar dari rumah" balas Gibran.
Jleb!! Anggi menelan sedikit saliva nya. Suaminya itu memang anak penurut, saking nurutnya dia sampai terlihat bego. Dia sudah menikah, kenapa harus mau diatur oleh orang tuanya.
"Bagaimana kalau kita punya anak? Kamar di sana kurang, bahkan Wati dan Jena saja tidur di kamar yang sama" jelas Anggi mengeluarkan apa yang dia pikirkan.
Gibran tersenyum. "Sayang, apa kamu lupa, Laras bentar lagi sarjana. Kalau dia sudah kerja, dia pasti akan keluar dari rumah. Anak kita bisa kita tidurkan di kamar Laras"
Jleb!! Anggi terdiam. Tak ingin berdebat, Anggi hanya diam saja.
Mobil yang dikendarai Gibran telah berhenti di depan rumah. Segera Anggi dan Gibran turun mengeluarkan barang belanjaan dari bagasi. Melihat papar bag ditangan Gibran, ketiga adik Gibran menghampiri.
"Kakak ini punya siapa?" tanya Jena.
"Punya kalian" jawab Gibran berjalan masuk ke dalam rumah.
Ketiga adik Gibran segera mengekor sang Kakak ke dalam rumah. Mereka duduk setelah sang Kakak duduk. "Itu punya Kakak?" tanya Laras pada Anggi seraya melirik paper bag ditangan Anggi.
Anggi menarik senyum. "Iya" jawabnya seadanya saja.
"Boleh aku lihat" izin Laras.
Anggi kembali menarik senyum. "Boleh" jawabnya seraya menyodorkan paper bag miliknya.
Laras menerimanya lalu mengeluarkan kemeja yang Anggi suka. "Wah ... bagus sekali, Kak. Bisa tukaran sama aku nggak, Kak? Baju kemeja milikku tinggal 2, lainnya udah kecil" Laras memasang ekspresi sedih agar iparnya itu menaruh belas kasih padanya.
Anggi melirik Gibran, meminta Gibran untuk membelanya dengan berkata 'nggak boleh, itu punya Kakak kalian'. Tapi bukannya bantu menjawab, Gibran justru menganggukkan kepala kepada Anggi meminta istrinya itu menyetujui keinginan sang adik.
Walau berat hati, Anggi menyetujui keinginan adik iparnya. "Mungkin ini salah cobaan rumah tanggaku" batin Anggi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!