“Ayah!”
“Ariana, bawa Leo pergi menjauh dari tempat ini!”
“Bagaimana denganmu!?”
Seorang wanita begitu histeris ketika seorang suaminya berdiri membelakanginya dengan penuh luka sayatan. Apalagi di hadapan suaminya, beberapa orang dengan menggunakan jubah Assassin tengah berdiri, memegang pedang erat-erat dan bersiap untuk membunuh pria di hadapannya.
Tentu hal tersebut menjadi pemandangan yang buruk bagi anak kecil, anak yang memiliki rambut putih dan mata biru itu terus berteriak, memanggil ayahnya untuk segera lari dari tempat seperti ini.
Tak ada jawaban dari Vernal, dia terus memegang erat pedang tajam untuk bersiap melawan para assassin yang tampaknya mengincar seluruh keluarganya untuk dibunuh begitu saja. Tanpa ada alasan yang jelas, mengapa dirinya dan keluarganya hendak dibunuh?
Tapi yang jelas, Vernal langsung melompat di tempat, bergerak ke arah para assassin dengan Water magic untuk menyerang mereka.
Ariana langsung menutup wajah Leo yang memberontak dan ingin menolong ayahnya. Tapi apa daya? Dia hanyalah seorang anak kecil yang berumur 5 tahun. Kemampuannya hanya bisa berteriak untuk meluapkan emosi di dekapan ibunya.
Keringat dingin memenuhi wajah Ariana, dia berusaha menutup wajah Leo dan telinga anaknya sekaligus agar tidak mendengar jeritan kesakitan dari ayahnya. Ariana hanya menangis, air matanya mengalir dan tidak berani untuk menoleh ke belakang, apa yang harus dia lakukan hanyalah berlari keluar rumah untuk menyelamatkan diri dan anak satu-satunya.
Terkejut dan hampir lumpuh, ketika tiba-tiba Assassin itu berada di depannya sambil menebaskan pedang ke arah lehernya. Matanya terbuka lebar saat memandang tubuh yang masih berdiri dan menggendong anaknya, sebelum ternyata dia sadar bahwa kepalanya menggelinding dan kesadarannya perlahan menghilang.
“Bertahanlah untuk hi-“
Ariana tak mampu memberikan pesan terakhir kepada anak yang menangis itu. Dia tidak tahu apa yang terjadi setelahnya karena hembusan napas yang terakhir, telah dia keluarkan.
Leo jatuh di atas lantai, tubuhnya seketika membeku saat membuka matanya sebuah pandangan mata yang mengerikan. Ibunya terpenggal di dekatnya dengan kepala yang menggelinding, dan darah yang mengucur di atas lantai menjadi sebuah genangan darah.
Dia tidak bisa berteriak seolah tercekik, memandang sosok yang membunuh ibunya dengan penuh ketakutan.
Assassin itu menatap Leo dengan sangat dingin di balik tudungnya, dia berjongkok dan hendak membawa Leo pergi.
Leo perlahan mundur dengan menyeret tubuhnya, bajunya menjadi kotor dan berubah menjadi merah karena darah yang menggenang. Jantungnya tidak bisa dikontrol, apalagi dia merasa di antara hidup dan mati yang dipenuhi rasa sukar.
Siapa yang tidak histeris ketika melihat seorang ibu terpenggal di sampingnya? Leo kecil sebenarnya ingin berteriak dan menangis. Tapi dia kesulitan karena seolah kematian ingin mencekiknya.
Darahnya bak mendidih di atas kepala, tubuhnya seperti sangat berat. Apalagi ketika Assassin itu bergerak ke arahnya seolah ingin mendapatkannya. Pikirannya kacau seperti yang terjadi dia akan dibunuh secara perlahan atau dijadikan budak.
Keadaan mendesak seperti itu, Leo menggenggam erat tangannya, dia menggertakkan giginya dengan cukup erat. Tubuhnya seperti mengalir sebuah energi yang sangat asing di dalam dirinya, seperti dia baru saja merasakannya untuk pertama kali.
Siapa yang berpikir, dalam bayangan Leo, muncul seekor harimau bayangan, bergerak dan melompat ke arah Assassin itu seolah hendak menerkamnya.
Sang Assassin membuka matanya lebar-lebar, siapa yang berpikir bahwa anak berusia lima tahun sudah mampu mengeluarkan sihir unik non elemental yaitu sebuah bayangan?
Hanya saja, itu terlalu lemah di depan seorang Assassin yang berada di depan Leo. Sehingga dalam sekali tebasan, tanpa mengeluarkan sebuah bakat sekalipun, harimau bayangan tersebut menghilang dengan sangat mudah.
Serius! itu hanyalah sebuah pengalihan. Harimau bayangan yang berwujud hitam menjadikan sebuah pengalihan pandangan bagi assassin tersebut. Yang membuat sang Assassin sendiri tersebut hanya bisa tersenyum sendiri.
“Dimana anak itu, ku harap kau sudah mendapatkannya.”
Seorang Assassin lain datang sambil bertanya demikian, menatap Assassin yang baru saja membunuh Ariana dengan tatapan yang begitu sinis. Bagaimana tidak? Usai dia bertanya tentang keberadaan anak itu, Assassin tersebut tidak melihat adanya anak kecil di dekapan Assassin lain.
“Dia sudah lari.”
“Sialan, sebaiknya kita juga keluar karena aku baru saja membakar rumah ini.” Kata Assassin tersebut langsung bergerak keluar dari rumah.
Kekacauan memang terjadi begitu mengerikan. Ketika sosok pembunuh membuat keluarga anak kecil itu terbaring di atas genangan darah. Cukup kejam, memang! Apalagi demi menghilangkan jejak, para pembunuh menyulut api pada sebuah kediaman untuk meninggalkan sebuah jejak sekecil ibu jari.
Masalahnya, itu adalah suatu hal yang paling keji. Meninggalkan seorang anak kecil yang mungkin baru bisa membasuh *********** sendiri selepas kencing. Duduk bersandar di dalam lemari, sembari memeluk kakinya.
Leo sedikit mengintip, sudah beberapa menit dia bersembunyi di dalam lemari setelah dia mengalihkan perhatian seorang pembunuh menggunakan kemampuan aneh miliknya. Yaa, dia melakukan seolah tanpa sadar, bahkan dia sendiri cukup terkejut saat dia mampu bergerak secepat bayangan setelah mengeluarkan hewan bayangan seperti itu.
Dia masih menutup mulutnya menggunakan tangannya, berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengeluarkan suara, karena apa yang dia takutkan adalah pembunuh tersebut masih berkeliaran. Keringatnya bercucuran, jantungnya berdebar kencang.dia tidak tahu harus berbuat apa.
Tidak mungkin dia menunggu pertolongan orang, ini sudah malam tak ada orang yang mendengar teriakan orang dibunuh, pastinya begitu!
Beberapa detik kemudian, sebuah kobaran api menyambar seisi rumah, membuat Leo langsung mengedipkan mata karena terkejut bahwa seisi rumahnya mengalami sebuah kebakaran.
Tidak ada cara lain, dia telah terjebak di dalam lemari. Jika sudah dibakar seperti ini, itu artinya beberapa pembunuh itu telah pergi.
Sebuah bilah angin muncul, seolah membelah kobaran api. Justru bukannya api itu membesar, tekanan angin itu terlalu tinggi yang membuat api seketika padam.
Padahal seharusnya, angin adalah unsur yang berada di atas tingkatkan api. Api akan membesar apabila ada angin. Hingga hukum alam menyebutkan, bahwa kelemahan terbesar angin adalah api itu sendiri. Jadi tidak begitu mengherankan dan menjadi sebuah pemandangan yang normal apabila kebakaran akan menjadi berbahaya ketika hembusan angin kencang berada di sekitarnya.
Seorang pria paruh baya menghela napas secara lega. Dia seolah muncul bagaikan pahlawan kesiangan pada malam hari untuk menolong Leo. Pedang yang ada di genggaman eratnya juga berada dalam posisi menebas secara vertikal.
Ketakutan Leo justru semakin menjadi-jadi. Dia yang sebelumnya mencoba untuk tenang, akan tetapi dia benar-benar sangat takut apabila menatap pria pembawa pedang itu.
Tidak tanpa alasan, dia masih mengalami trauma. Keluarganya dibunuh dengan menggunakan sebuah pedang, lebih tepatnya seorang yang menggunakan tudung kepala bak assassin pembawa pedang. Yang mana, Leo sendiri tidak mengerti, apa salah keluarganya?
“Tidak perlu takut.” Pria paruh baya itu mengeluarkan suara dengan lembut, yang kemudian menaruh pedang di selongsongnya guna membuka lemari dan membawa Leo untuk pergi. Mendekap Leo untuk melindungi anak sekecil itu dari bara api yang membuat kulit melepuh.
“Kau aman sekarang, pembunuh itu sudah tak ada.”
Apalagi asal-usul yang tidak begitu jelas. Pria paruh baya yang merupakan swordsman itu muncul secara mendadak, seoalah tahu keberadaan Leo yang berada di dalam lemari. Jadi tidak heran mengapa Leo sendiri juga semakin menjadi-jadi dalam rasa takutnya, meski Leo berada dalam dekapan pria tersebut.
Hanya bisa pasrah.
“Meski dia dipenuhi rasa ketakutan, tapi dia masih mencoba untuk tenang.” Batin pria paruh baya itu sembari pergi.
Kemudian, dia menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. “Anak ini sangat menarik. Dan aku bisa melihat potensi bakatnya dalam menjadi swordsman, mungkin?” Katanya sambil bermanuver di dahan pohon, atau lebih tepatnya melompat dari pohon ke pohon. Memunggungi sebuah kediaman yang semakin mengecil karena pria tua itu semakin menjauh.
"Kekacauan di Blood Angel masih belum berhenti. Tidak mungkin aku membawanya kembali terlebih dahulu."
Sebuah kediaman yang dilahap oleh api, dengan orang-orang yang sangat panik karena mencoba untuk memadamkannya. Apalagi mereka tahu persis, kediaman itu berisikan keluarga yang kemungkinan sudah meninggal tanpa menyadari rumahnya kebakaran.
Mungkin? Tapi apa yang mereka pikirkan salah besar! Kediaman itu menjadi sebuah target pembunuhan brutal oleh para assassin tanpa identitas, tanpa sebab dan pergi begitu saja setelah menyulut api tanpa meninggalkan jejak.
Dan pria paruh baya itu sebenarnya juga melakukan hal yang sama. Ketika kediaman dikepung oleh orang-orang dalam ambang kepanikan, pria tua paruh baya itu pergi secara diam-diam sambil mendekap Leo yang tidka tahu apa-apa keadaan luar, mungkin hanya sebatas suara yang menjadi memori terburuknya.
Selain itu, hatinya mungkin akan benar-benar sangat sensitif. Kehilangan orang yang terdekat, bukanlah sesuatu hal seperti membalikkan telapak tangan, apalagi di umur yang sangat belia sepertinya. Apalagi Leo dalam pelukan pria paruh baya itu, sebenarnya dia menangis tersedu-sedu, karena mengingat itu semua dan diberikan kesempatan kedua untuk hidup.
Meski begitu, pria paruh baya itu tetap tersenyum. Di depannya adalah seorang anak kecil yang memiliki sebuah trauma besar.
“Kamu sudah berlatih cukup Keras Leo.”
Suara pria tua seolah mengganggu seorang remaja 16 tahun yang tengah berlatih. Yang kemudian, remaja itu menyeka keringatnya setelah dia memasukkan pedang di selongsong yang berada di punggungnya.
Leo menatap seorang pria sepuh dengan malas. Mungkin tidak, pria itu tidak terlalu sepuh, hanya saja kerutan di wajah dengan rambut beruban telah membuktikan bahwa dia sudah puluhan tahun di atas Leo.
Anak dengan iris biru bak sebuah lautan, rambut putih salju yang alami semenjak dia lahir, serta bekas luka bakar di dahi kirinya. Justru, bukan tambah jelek, bekas luka bakar di dahinya justru menambah kesan yang cukup keren. Sehingga tidak menyesal dia terkena bara api. Sayangnya, memori kelam itu ......
“Kau berburu daging beast spirit lagi pak tua Gin? Sesekali masaklah hewan ternak. Ugh, kau benar-benar sangat menyebalkan.” Leo sendiri merasa sangat sebal pada pak tua Gin. Pria tua itu benar-benar keji dalam melatih fisik Leo. Bagaimana tidak, pak tua Gin pernah membeli seekor anakan kambing, dan dia mengutus Leo untuk menggendong anakan kambing itu sampai ke puncak gunung untuk digembala.
Dan yaa, itu tidak berlangsung selama itu, melainkan beberapa tahun lamanya! Bahkan sampai kambing itu dewasa dan bahkan bobotnya melebihi Leo sendiri. Apalagi kini kambing itu tidak hanya satu, tapi beranak pinak hingga kini berjumlah 7 kambing dengan diantaranya tiga anakan, tiga betina dewasa dan satu pejantan dewasa.
Jelas, Leo sendiri merasa itu cukup berat. Untuk membawa semua kambing itu kepuncak gunung, itu tidak hanya sekali naik, melainkan dia harus naik turun untuk menaikkan semuanya. Belum lagi ketika menjelang sore, Leodric harus membawa semua kambing untuk turun sebelum malam haripun tiba. Jika tidak, pak tua Gin itu akan memukul kepala Leo menggunakan punggung pedang miliknya.
Belum lagu, di siang hari, lebih tepatnya di atas puncak gunung, pak tua Gin selalu menuntutnya untuk berlatih pedang dan pengendalian bakat sihir miliknya.
Pemuda itu hampir gila dan frustasi. Bahkan rasanya dia ingin meninju wajah keriput pak tua Gin di hadapannya dan menjejalkan kotoran kambing di mulutnya. Jelas itu sama sekali tidak berperikemanusiaan.
Akan tetapi, itu benar-benar membuahkan hasil dan sangat memuaskan. Berkat hasil dari latihan Leo dan penyiksaannya selama ini. Pemuda itu memiliki tubuh fisik yang cukup kekar, berotot dan sangat atletis. Seperti lengan bisepnya yang begitu tebal, serta otot perut dadanya juga terbentuk dengan sangat bagus.
Sehingga tidak hanya tampang wajahnya, melainkan tubuhnya mungkin akan membuat para wanita tergila-gila dan para pria tampak begitu itu. Leo tahu persis, namun dia akan menjauh atau mungkin memukul dada kepada pria yang tergila-gila kepadanya.
Itu tidak normal.
“Meski tidak segurih hewan ternak, tapi beast spirit memiliki manfaat yang lebih dari hewan biasa. Apalagi rusa darah biru. ini akan memberikan manfaat yang cukup besar seperti penguatan fisik.” Pa tua Gin berkata sambil memotong bagian daging itu kepada Leo.
“Lagipula pak tua ini memiliki skill yang baik, kenapa tidak digunakan secara baik pula?” sambungnya sambil menatap rakus daging rusa pirit yang ada di hadapannya.
Alasan mengapa Leo mengeluh tentang daging beast spirit yang dibawa Gin bukan soal rasanya yang pahit, tidak enak atau sejenisnya, atau mungkin tidak seenak binatang ternak. Tentang rasa, Leo sama sekali tidak mempermasalahkannya. Melainkan, dia sedikit jengkel karena pak tua itu tidak menyembelih kambingnya sendiri.
Bukan karena alasan, tapi yang jelas Leo ingin kambing ternak milk Gin berkurang. Sehingga beban Leo sendiri juga tidak terlalu berat. Dia tidak bisa membayangkan ketika kambing milik Gin bertambah banyak dan dia harus membawa semuanya naik turun gunung. Benar-benar ironi.
Terakhir kali dia makan daging kambing ternak milik Gin adalah 4 tahun yang lalu, ketika Leo berumur 12 tahun. Itupun karena salah satu anak kambing Gin tertimpa batang kayu hingga sekarat. Sehingga daripada mati sia-sia, Gin memilih untuk menyembelihnya.
Apalagi pada saat itu, pak tua Gin cukup tertekan saat kehilangan satu anak kambing yang berharga. Leo masih teringat dengan sangat jelas bahwa pak tua itu seolah seperti kehilangan keluarganya. Sehingga Leo yang mengingatnya hanya menghela napas.
‘Bukankah sangat konyol saat pria tua itu cukup tertekan saat kehilangan anak kambingnya? Maksudku, itu hanyalah anak kambing!’
Leo menggigit bibir bawahnya, daripada dia membuang waktunya hanya untuk berprasangka buruk kepada pak tua Gin. Dia memilih untuk mengambil sepotong daging rusa spirit yang dibawakan oleh pak tua Gin.
“Ini tidak terlalu buruk seperti biasa.” Ucapnya sambil mengunyah makanan. Dia merasa daging masakan Gin terlihat enak seperti biasanya. Alasan anak itu masih betah dengan Gin mungkin karena masakan Gun yang selalu menggugah selera. Yaa, itu salah satunya.
Tekstur yang lembut, dengan aroma rempah yang cukup harum membuat Leo sangat lahap. Apalagi dia merasakan manfaat seperti apa yang diucapkan oleh pak tua Gin. Fisiknya yang lelah, serta dia sedikit merasa pulih kembali dan tampak bugar. Meski hanya sangat sedikit manfaatnya, Leo berpikiran bahwa darah biru rusa mampu membuat sebuah ramuan yang sangat efektif manfaatnya melebihi manfaat Leo menyerap secara langsung. Dan itu bersifat mutlak.
Seperti saat ini, bahwa ketika Leo hanya memakan daging rusa spirit, yang mana dia akan merasakan sangat sedikit manfaatnya. Berbanding apabila dia menyewa seorang alchemyst dan meminta dibuatkan ramuan dari darah biru rusa, maka apabila meminum potion tersebut, dia akan mendapatkan manfaat berkali lipat.
Pak tua Gin itu benar-benar makan dengan cukup lahap, yang diakhiri dengan udara sendawa khas orang tua. Leo tahu persis dan merasa sangat jijik, apalagi baunya benar-benar menusuk hidungnya.
“Mau bertarung dan bertaruh denganku.” Gin berkata sambil memandang Leo dengan acuh. Yang membuat Leo mengangkat wajahnya karena tertarik dengan apa yang dikatakan oleh pak tua tersebut.
“Selama kau bisa membuatku tertarik, aku bisa menerima taruhanmu.” Leo menghela napas. “Lagipula sudah hal umum kau dan aku bertarung sebagai latihan. Dan yang menjadi aneh, mengapa kau tiba-tiba menawarkan taruhan seperti itu?” Tanyanya dengan ekspresi yang cukup datar.
‘Bisakah kau mengubah ekspresi membosankan seperti itu? Kau akan dijauhi wanita.’
Ujung bibir Gin berkedut. Tapi dia melupakannya dan tidak begitu heran tentang ekspresi wajah Leo yang selalu datar seperti itu. Akan tetapi, bukan berarti bahwa Leo adalah sosok pendiam. Pak tua Gin tau jelas tentang kepribadian Leo, bahwa anak itu akan mengubah ekspresinya, seperti tertawa, marah atau yang lainnya. Hanya saja, ekspresi datar selalu dominan, apalagi ketika dalam suasana jengkel.
“Jika kau menang melawanku, maka aku akan menurunkan semua kambing ke rumah.”
“......”
Mata Leo terbuka lebar usai mendapatkan tawaran pak tua Gin. Itu merupakan sebuah kesempatan emas yang jarang sekali keluar dari tua bangka itu.
“Tapi sebaliknya, jika kau kalah dalam bertarung denganku, maka kau harus ....”
“Harus apa?” Tanya Leo tidak sabar.
“Tidak ada yang perlu kau lakukan ketika kau kalah. Kecuali melakukan rutinitas seperti biasa yaitu membawa semua kambing ke rumah.”
Wajah Leo kembali datar. Akan tetapi itu lebih baik daripada mendapatkan hukuman yang lebih besar dari pak tua Gin. Apalagi hukuman yang cukup beresiko.
Meski Leo sedikit bersemangat karena tawaran pak tua Gin menggiurkan, bukan berarti dia bisa tersenyum puas. Pak tua Gin seolah menekan levelnya hingga Leo sendiri sama sekali tidak bisa melihat level Gin.
Terakhir kali pak tua Gin membocorkan levelnya, dia berada di level '5' menengah. Dan itupun beberapa tahun yang lalu, dan Leo lupa itu kapan. Jadi tidak menutup kemungkinan, tua bangka itu sudah berada di tingkat '5' akhir, atau mungkin '6' awal? Yaa siapa tahu, bahkan bisa saja lebih.
Dia sendiri berada di level '3' awal, yang mana itu benar-benar normal di usianya. Tapi jelas, normal ketika di kalangan para bangsawan seperti pangeran atau putri kerajaan yang memiliki sumber daya yang mumpuni, dan latihan keras oleh ayah mereka.
Sebenarnya tidak juga, itu adalah hal yang normal. Mungkin tidak hanya bangsawan saja seperti pangeran atau tuan putri. Leo tampaknya berkembang seperti anak muda pada umumnya.
Apabila dia berada di kalangan bawah, jelas rakyat jelata seperti Leo benar-benar sangat berbakat! Kebanyakan masyarakat biasa tidak memiliki tingkatan sihir karena mereka tidak memiliki banyak waktu untuk melatih tubuh dan mengolah mana. Karena mereka harus ‘bekerja keras’ paruh waktu. Itu sangat jelas.
Ada beberapa masyarakat biasa yang berada di level 2, 3 atau bahkan mungkin berada di tingkat 4. Mereka mungkin akan berusaha mandiri karena memiliki tekad yang begitu kuat untuk mengangkat derajat keluarganya yang ada di desa. Jumlahnya juga tidak sedikit. Kebanyakan dari pemuda dari kalangan bawah akan pergi ke kota, untuk bergabung ke guild petualang, menjadi prajurit atau mungkin menjadi ksatria untuk mendapatkan uang dan dikirim kembali ke desa.
Kembali ke awal, jelas bahwa Leo tahu batasannya. Melawan pak tua Gin bukanlah suatu hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan, apalagi Gin memiliki level yang jauh di atasnya. Alasan dia setuju karena apabila dia kalah, maka juga tidak akan ada sebuah konsekuensi yang berat dan harus melakukan rutinitas seperti biasa.
Akan tetapi hal tersebut membuat Leo sedikit bersemangat, apabila dia menang maka dia akan merasakan turun gunung tanpa membawa sebuah beban berat. Hanya saja, kemungkinan untuk menang sangat kecil baginya. Meski begitu, dia akan mencobanya terlebih dahulu, karena tidak ada salahnya mencoba? Siapa tahu pak tua Gin memiliki sebuah kecerobohan dalam duel hingga kemenangan jatuh di tangan Leo.
Bisa dibilang, itu mengandalkan keberuntungan.
......................
Di atas sebuah puncak gunung, berdiri dua orang yang saling berhadapan jauh. Mereka memasang kuda-kuda, dengan pedang yang mereka pegang dalam posisi vertikal.
Leo mungkin tidak menanggapi pertarungan ini dengan serius. Dia beranggapan bahwa pak tua Gin pasti akan tengah bermain-main. Tidak mungkin pak tua Gin menggunakan seluruh kemampuannya yang berada di level '5' yang mana itu adalah level yang diketahui oleh Leo. Tentu hal tersebut akan membuat Leo akan terbunuh dengan cukup mudah dalam hitungan detik.
Apalagi tampak jelas, bahwa pak tua Gin hanya memegang sebuah pedang kayu. Hingga sudut bibir Leo jelas berkedut. Akan tetapi, Leo tidak bisa meremehkannya begitu saja. Karena selama ini, pak tua Gin selalu menunjukkan bakatnya melalui pedang kayu dalam melatih pengendalian bakat milik Leo.
Leo sendiri juga hampir tidak percaya bahwa yang dipegang pak tua adalah pedang yang terbuat dari kayu. Pernah saat keduanya beradu pedang, pedang kayu yang dipegang milik pak tua Gin sama sekali tidak patah. Hanya saja, Leo hampir tidak bisa melupakan bahwa pak tua Gin membuat pedang itu sendiri dari dahan pohon.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dia memang seorang swordsman sejati, tidak peduli bagaimana kondisi pedang. Dan faktor kedua, jelas karena level Leo berada jauh di bawah, sehingga sekuat apapun pedang yang dipegang Leo tidak akan mampu untuk mematahkan pedang kayu yang dipegang Gin.
Sedangkan pedang yang dipegang oleh Leo. Itu murni milik tua bangka tersebut. Pak tua Gin belum mengizinkannya membeli atau menempa pedang sendiri tanpa alasan yang cukup jelas. Padahal, dia ingin sekali tampil keren dengan membawa sebuah pedang yang terlihat sangar, apalagi dia membeli dengan uangnya sendiri.
“Shadow manipulation: Shadow Sword Dance!” Leo mengatur pernapasan sebelum dia mengayunkan pedangnya untuk mengeluarkan bakatnya. Yang mana dalam melakukan hal tersebut, dia harus mengalirkan mana pada pedang yang dia pegang sesaat dia mengayunkannya.
Sebuah bayangan pedang tercipta. Tidak hanya satu, melainkan puluhan bayangan sebuah tebasan yang melesat ke arah pak tua Gin. Tentu, meskipun itu hanya sebuah bayangan, akan tetapi dalam atribut sihir Leo, sebuah bayangan akan memberikan sebuah kerusakan, tergantung seperti apa teknik yang digunakan oleh Leo dalam bakat tersebut.
Dan, yang pasti, setiap individu dalam dunia ini memiliki atribut sihir bawaan yang beragam, bahkan semenjak mereka lahir. Seperti Leo, yang mana semenjak dia lahir, atribut sihir shadow manipulation yang ada di tubuh Leo bersifat mutlak, tidak bisa dihilangkan. Yang kemudian, ketika seseorang tumbuh remaja, bakat bawaan itu mampu dikembangkan seperti menciptakan sebuah teknik yang beragam.
Beberapa atribut yang paling lumrah, adalah pengendalian elemental seperti air, api, air atau sebagainya, dan biasanya itu akan menjadi atribut keturunan. Namun, ada beberapa atribut unik-unik lainnya yang bukan elemental. Seperti Leo yang atributnya sendiri bukanlah sebuah elemental, melainkan memanipulasi bayangan.
Dalam dunia ini, setiap orang yang lahir diberkahi oleh satu atribut. Akan tetapi tidak jarang juga manusia unik yang memiliki dua atribut sihir atau lebih. Hal itu karena orang tersebut bisa jadi karena sangat istimewa. Karena apa? Tidak menutup kemungkinan bahwa atribut istimewa tersebut berada dalam tubuh seorang masyarakat biasa, bukan hanya seorang bangsawan yang apa-apa selalu dianggap tinggi.
Meski sebenarnya, ada juga seseorang yang memiliki peringkat yang tinggi, yang mana orang tersebut memiliki sebuah pengalaman dan petualang yang cukup jauh, dan pengetahuan yang luas, maka menciptakan atribut sihir sendiri bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Akan tetapi itu benar-benar sangat jarang, karena menciptakan sebuah bakat sihir sendiri harus mengalami kondisi tertentu.
Kemudian ada juga bakat external, atau bakat dari luar. Bukan bawaan dari lahir, namun bakat ini hanya ada beberapa jenis dalam dunia ini. Salah satunya adalah seorang swordsman yang memiliki bakat dalam penggunaan pedang, terkadang juga disebut pendekar pedang. Lalu, juga ada Archer, Guardian, serta seorang Alkemis juga termasuk bakat External yang bisa muncul apabila melakukan latihan keras.
Apabila kedua kemampuan itu digabungkan, maka mungkin akan menjadi sosok yang cukup kuat. Hanya saja, terkadang bakat external harus cocok dengan atribut sihir sehingga akan menjadikan sebuah kekuatan yang mumpuni. Namun, apabila memadu paksa bakat external dan bawaan juga bukanlah sebuah masalah, dan justru itu akan menciptakan sebuah teknik yang baru. Orang-orang tersebut benar-benar sangat inovatif.
“Shizen no Kaze:” Gin memegang pedangnya dengan erat, dan hendak menebaskan pedangnya ke depan. Wajahnya terlihat tidak bermain-main saat melihat puluhan tebasan bayangan milik Leo yang berada di udara.
“Serrated wind blades!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!