"Fatimah, menikahlah dengan Satya!" Ujar Ibu Halimah yang tak lain Ibu dari Fatimah.
"Ibu, Imah masih ingin menyelesaikan sekolah dan ingin mendapatkan tugas dari Ummah," rengek Fatimah yang merasa keberatan dengan perintah yang Ibunya berikan.
Fatimah seorang gadis berparas cantik dan berotak cerdas, tapi nasibnya tak seberuntung wajah yang dia miliki, ayah Fatimah meninggal tepat saat dia di lahirkan, Ibu Halimah berjuang sendiri untuk membesarkan Fatimah, dia mulai berjualan nasi uduk untuk menghidupi Fatimah hingga saat ini warung nasi uduk milik Ibu Fatimah berubah menjadi restauran dengan beberapa cabang yang tersebar di berbagai wilayah, Keluarga Fatimah memang kaya, tapi penyakit kanker yang tiba-tiba Ibunya derita merubah segalanya.
"Ibumu benar Fatimah, menikahlah! ini jalan satu-satunya yang bisa kamu pilih, karena Bibi tidak bisa menjagamu ataupun melindunginya setiap saat," sahut Bik Husna yang merupakan Adik dari almarhum Ayah Fatimah.
Sejak kecil Fatimah sudah berada di pesantren, Fatimah sama sekali tak mengerti apapun tentang dunia luar, yang Fatimah tahu hanya belajar dan membuat Ibunya bangga, kecerdasan yang di miliki Fatimah tak bisa di pungkiri lagi, hampir seluruh penghuni pesantren tahu dan tak jarang ada santri yang mengagumi Fatimah, menjadikannya contoh untuk menyemangati mereka agar bisa cerdas seperti Fatimah.
"Tapi kenapa Fatimah tiba-tiba di suruh menikah?" Fatimah yang merasa bingung kembali bertanya, kemarin dia di jemput dengan alasan karena Ibunya sakit, tapi hari ini Ibu dan Bibiknya meminta Fatimah untuk menikah dan hal itu sukses membuatnya terkejut sekaligus syok.
"Waktu Ibu tidak lama lagi, jika waktunya tiba nanti Ibu ingin kamu memiliki seseorang yang bisa menggantikan Ibu, dan Ibu bisa pergi dengan tenang karena kamu sudah ada yang jaga," ujar Ibu Halimah.
Fatimah hanya bisa diam menatap sendu ke arah sang Ibunda yang terlihat masih tergolek lemah di atas brankar rumah sakit.
"Sudah, jangan banyak nerfikir! harusnya kamu menyetujui permintaan Ibundamu Fatimah, sebagai seorang gadis yang tumbuh dan besar di pesantren, harusnya kamu bisa menuruti permintaan Ibundamu, apa lagi beliau dalam keadaan sakit seperti saat ini," Bik Husna terlihat terus memaksa Fatimah yang terlihat masih bingung dengan apa yang harus dia lakukan kembali terdiam mematung dan mencoba memikirkan semua yang terjadi dan pilihan apa yang harus dia pilih.
"Nak, Ibu mohon padamu, menikahlah!" kali ini Ibu Halimah memohon dengan wajah memelas yang sukses membuat hati Fatimah tergetar karenanya.
'Astaghfirullah, aku akan berdosa jika menolak permintaan Ibu, dia sudah memohon sampai seperti ini dan aku tetap diam tanpa kata,' batin Fatimah mulai menyadarkannya.
Fatimah menarik nafas dalam kemudian melepaskan nya perlahan, menguatkan diri untuk menuruti semua yang Ibundanya minta.
"Baiklah, Ibu, aku akan menikah sesuai dengan apa yang Ibu minta," satu jawaban yang membuat ekspresi wajah Ibundanya berubah seratus delapan puluh derahat.
"Alhamdulillah, Ibu senang mendengarnya, Nduk," ujar Ibu Halimah dengan senyum merekah yang menghiasi wajahnya.
Satu keputusan yang akan merubah seluruh hidup Fatimah, semua di lakukan Fatimah demi menuruti permintaan sang Ibu tanpa memikirkan dampak dari keputusannya itu.
"Bagus, kalau kamu sudah setuju, kita akan laksanakan pernikahannya seminggu lagi," seru Bibik Husna dengan senyum bahagia yang terlihat jelas di wajahnya.
"Bik, apa tidak terlalu cepat jika pernikahannya di langsungkan minggu depan?" tanya Fatimah dengan ekspresi wajah penuh kesedihan dia berucap.
"Bukankah niat baik itu tidak boleh di tunda? benar begitu kan Mbak?" Bik Husna terlihat lebih bersemangat di bandingkan Ibu dan aku yang seharusnya bersikap seperti itu.
"Bil Husna benar, nduk, lebih cepat lebih baik, lagi pula waktu Ibu tidak banyak lagi, setidaknya Ibu ingin melihatmu menikah sebelum di pa~,"
"Ibu pasti sembuh, tolong berhenti berbicara yang bukan-bukan, aku tak akan bisa bahagia jika Ibu tidak ada di sampingku," ujar Fatimah yang memang tak ingin Ibunda yang kini jadi orang tua tunggal baginya itu pergi, dia langsung menghentikan ucapan sang Ibunda yang dia tahu dengan pasti apa yang akan diucapkannya.
"Nak, Ibu mau istirahat, lebih baik kamu pulang dulu! Ambil baju ganti dan bersihkan dirimu!" titah Ibu Halima.
"Tidak Ibu, aku akan tetap ada di sini untuk menemani Ibu," tolak Fatimah yang merasa jika saat ini Ibu Halimah sedang membutuhkannya, selain itu Fatimah masih merasakan rindu yang belum dia tuntaskan.
"Nak, jangan terlalu mengkhawatirkan Ibu! di sini masih ada Bik Husna, pergilah!" tolak BU Halima yang mengerti jika puterinya itu pasti membutuhkan waktu untuk membersihkan diri dan istirahat, pasalnya sejak kepulangannya dari pesantren kemarin sore, Halimah sama sekali tidak keluar dari kamar di mana Ibundanya di rawat.
"Baiklah, aku akan pulang Ibu," sahut Fatimah lemas.
"Bik, Fatimah pamit pulang dulu. Titip Ibunda ya," pesan Fatimah sebelum dia pergi meninggalkan ruangan di mana Ibu Halimah di rawat.
"Kamu tenang saja! bukankah Bibik selalu menjaga Ibundamu sebelum kamu datang," sahut Bil Husna.
"Kalau begitu Fatimah pamit pulang dulu. Assalamualaikum,"pamit Fatimah seraya melangkah keluar dari kamar meninggalkan Ibunda dan sang Bibik yang kini terlihat mengobrol.
Fatimah terus melangkah dengan tatapan kosong, fikirannya terus melayang terbang meninggalkan raga yang masih berjalan menuju parkiran, semua cita-cita dan rencana yang telah dia tangkai kini mulai terbayang di depan matanya, kemudian perlahan sirna tak berbekas, apa yang dia fikirkan saat ini sama seperti apa yang baru saja terjadi, rasanya sangat tidak mungkin terjadi, tapi kenyataannya telah terjadi.
Perjodohan yang tak pernah Fatimah bayangkan membuyarkan impiannya, sejak dulu Fatimah memimpikan seorang laki-laki yang berilmu tinggi dan berhati mulia, meski wajahnya tak tampan yang penting dia memahami agamanya dengan sangat baik dan memiliki kecerdasan di atasnya, tapi impian itu seketika sirna saat Ibunda dan Bik Husna memintanya menikah dengan laki-laki yang bahkan tak pernah dia temui, bahkan fotonya saja Fatimah tidak tahu.
"Nona Fatimah!" panggilan seorang laki-laki mengejutkan Fatimah yang masih sibuk melamun sambil berjalan, dan panggilan itu sukses membuat langkah kaki Fatimah terhenti.
"Pak Supri," sahut Fatima menoleh ke sumber suara.
Pak Supri adalah sopir setia keluarga Fatimah sejak dia masih kecil, dan Fatimah begitu mengenal Pak Supri.
"Nona Fatimah mau ke mana?" tanya Pak Supri yang kini berjalan mendekat ke arah Fatimah.
"Aku mau pulang dan nyari Pak Supri," jawab Fatimah jujur dan berbicara dengan tutur kata yang begitu sopan juga lembut, suara Fatimah mampu menenangkan siapapun yang mendengarnya termasuk Pak Supri sang sopir.
"Nyari Bapak kok sambil ngelamun toh, Nona," sahut Pak Supri yang kini berdiri di hadapan Fatimah.
"Apa aku terlihat melamun tadi Pak?" bukannya menyadari apa yang sudah dia lakukan fatimah malah balik bertanya pada sang sopir.
"Tentu saja, Nona, untung Bapak melihat Nona keluar jika tidak Nona pasti akan jalan lurus terus tanpa melihat kanan dan kiri, padahal parkirannya sudah terlewat," jelas Pak Supri.
"Ah benar, aku sudah melewatkan tempat parkir," lirih Fatimah yang menyadari jika dia memang berjalan sambil melamun tadi.
"Apa Nona mau pulang?" tanya Pak Supri.
"Benar, aku akan pulang, ayo pulang Pak!" jawab Fatimah yang kini berjalan mengikuti langkah Pak Supri menuju tempat mobilnya di parkir.
Sejak sang Ibunda dan Bik Husna meminta Fatimah menikah, dia seolah masih tak percaya jika sebentar lagi Fatimah akan melepas masa lajang dan melepas semua impian yang pernah dia rajut, rasanya sangat sulit di percaya dan sulit untuk di terima, tapi takdir tak mampu di lawan, sekuat apapun Fatimah menolak jika memang suratan takdir mengatakan jika dia memang harus menikah dengan cara di jodohkan, maka Fatimah hanya bisa menerimanya dengan penuh keikhlasan.
Mobil melaju menuju rumah Fatimah yang berada di perumahan elit dengan pagar yang menjulang tinggi di depan pekarangan rumah, jika Fatimah telah tiba di dalam rumah dan mulai membersihkan diri sesuai dengan perintah sang Ibundanya, maka berbeda dengan apa yang terjadi di rumah sakit.
"Apa laki-laki yang kemarin meminang Fatimah sudah kamu kabari jika Fatimah sudah setuju untuk menikah dengannya?" tanya Ibu Halimah.
"Belum Mbak, sebentar lagi aku akan mengabarinya, Mbak," sahut Bik Husna.
Kemarin Bibik Husna membawa seorang laki-laki ke rumah sakit untuk menemui Ibu Halimah dan mengutarakan niatnya untuk meminang Fatimah, laki-laki yang memang sudah Ibu Halimah dan Bik Husna kenal sebelumnya, dia Satya anak rekan bisnis Ibu Halimah, bukan hanya rekan tapi salah satu investor di bisnis restauran yang Ibu Halimah kelola saat ini, dulu warung nasi uduk Ibu Halimah berubah menjadi restauran karena mendapat investor dari Ayah Satya, karena itulah Ibu Halimah mengenal Satya dengan baik.
"Lebih baik kamu kabari Satya dulu! supaya dia tidak menunggu jawaban dari kita terlalu lama," titah Ibu Halimah.
"Baiklah, Mbak," jawab Bik Husna dengan senyum penuh kemenangan yang terlihat jelas di wajahnya.
Tanpa sepengetahuan Ibu Halimah, Bik Husna sudah merancang rencana licik yang sama sekali tak tercium oleh Ibu Halimah.
"Kalau begitu aku tinggal dulu ya Mbak, sekalian mau makan di kantin, kalau ada apa-apa Mbak bisa telfon saya," pesan Bik Husna sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan Ibu Halimah sendiri di kamarnya.
"Terima kasih, kamu sudah mau menemani aku meski kakakmu sudah meninggal tapi kamu masih mau menganggapku saudara dan terus berada di sampingku," sahut Ibu Halimah yang merasa begitu beruntung karena telah memiliki saudara seperti Husna.
"Sudahlah Mbak, aku hanya melakukan apa yang menurutku baik untuk di lakukan," jawab Bik Husna dengan senyum lembut bersamaan dengan usapan lembut di tangan Ibu Halimah sebagai bentuk motivasi agar Ibu Halimah bisa kuat menjalani semua yang terjadi.
Seutas senyum penyemangat sering kali terlihat di wajah Bik Husna, tanpa Ibu Halimah tahu apa yang sudah di rencanakan oleh Adik iparnya itu.
"Halo, ada apa?" suara seorang pemuda terdengar dari seberang telefon.
"Satya, aku punya kabar gembira untukmu," tutur Bik Husna.
"Katakan ada kabar baik apa, Tante?" sahut Satya.
"Fatimah sudah setuju dan menerima perjodohan denganmu, aku sudah berhasil membuatnya menerimamu," ujar Bin Husna.
"Apa Tante serius?" sahut Satya yang merasa tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, pasalnya Satya pernah menyatakan cinta pada Fatimah dan memintanya menjadi kekasih Satya, tapi dengan keras Fatimah menolak pernyataan cinta Satya.
"Aku tidak pernah bercanda dan aku tidak pernah membohongimu Satya, jika kamu tidak percaya datang saja ke rumah sakit dan pastikan sendiri kebenarannya!" Bik Husna terdengar begitu jengkel dengan ucapan Satya yang terdengar seolah meragukan kabar yang di sampaikan olehnya.
"Tidak perlu, aku percaya pada Tante, Terima kasih sudah membantuku, setelah ini aku akan mens transfer sebagian uang yang aku janjikan pada Tante," ucap Satya yang sukses membuat senyum Bik Husna tersenyum dengan lebarnya.
"Kenapa hanya setengah? aku sudah berhasil membujuk Fatimah dan Ibunya untuk menerimamu dan menerima rencana perjodohan yang sudah kita rencanakan," sahut Bik Husna yang merasa tidak setuju dengan apa yang di katakan oleh Satya, Bik Husna berharap jika uang yang di janjikan Satya di berikan saat ini juga.
"Aku masih belum sahut menikah dengan Fatimah, Tante, jika perjodohan ini batal sewaktu-waktu maka aku yang akan rugi," jelas Satya yang cukup membuat Bik Husna merasa semakin sebal karenanya.
"Terserah padamu saja! tapi ingat Satya! kamu harus memberikan semuanya setelah kamu dan Fatimah sah menjadi suami istri," ujar Bik Husna dengan penuh semangat.
"Aku tidak akan mengingkari janji, Tante jangan khawatir! semua uang yang aku janjikan pasti aku berikan nanti," Satya mencoba meyakinkan Bik Husna agar dia tidak khawatir dengan uang yang sudah di janjikan.
"Baiklah, aku pegang janjimu, jika kamu tidak sibuk datanglah ke rumah sakit besok! temui Fatimah dan buat dia terkejut!" titah Bim Husna.
"Tidak usah terburu-buru Tante, aku akan menemuinya sehari sebelum kami menikah, biar Fatimah terkejut sekaligus tak bisa membatalkan perjodohan ini, aku khawatir jika Fatimah bertemu denganku besok, dia akan berubah fikiran dan meminta membatalkan rencana perjodohan ini," tutur Satya yang menolak bertemu dengan Fatimah.
"Jika kamu tidak menemuinya, bagaimana aku bisa menjawab jika Fatimah ingin bertemu dengan calon suaminya? " tanya Bik Husna.
"Katakan saja jika aku sedang ada pekerjaan di luar negeri dan akan pulang sehati sebelum hari H,!" jawaban yang terdengan begitu enteng tanpa beban, sungguh Satya memang memiliki sejuta cara dan ide untuk mendapatkan Fatimah, bahkan Satya rela menggelontorkan uang hingga ratusan juta hanya demi menyogok Bik Husna agar apa yang di inginkan nya dapat terwujud dengan mudah.
"kamu memang memiliki sejuta ide yang mampu membuat siapapun merasa bangga padamu," puji Bik Husna.
"Jangan terlalu memujiku Tante, karena di bandingkan diriku, Tante jauh lebih cerdik dan licik," sahut Satya yang di balas dengan tawa oleh Bik Husna.
"Sudahlah, jangan bahas sesuatu yang tidak baik, karena sejatinya aku orang baik yang salah jalan," sahut Bik Husna yang kurang suka di bilang licik oleh Satya.
Fatimah tak bisa bersantai atau menikmati waktunya di rumah seperti biasa, biasanya Fatimah akan menikmati hari-hari di rumah karena dia tidak bisa berada di rumah setiap hati, dan Fatimah selalu merasa bahagia saat bisa melakukan ala yang biasanya tidak bisa di lakukan di pesantren.
Hal pertama yang Fatimah lakukan menonton TV, bermain ponsel bereleha-leha sambil makan cemilan, dan yang paling Fatimah suka saat berada di rumah, menikmati masakan sang bunda yang terasa begitu lezat tiada tara, menu favourite yang selalu bunda siapkan mampu membuat Fatimah merasa begitu senang dan bahagia.
"Ibu, aku harap beliau cepat sembuh, bagaimanapun hidupku terasa hampa tanpamu," lirih Fatimah sambil mengingat kebersamaan dia dengan sang Ibunda.
"Aku tidak boleh seperti ini, aku akan mendo'akan Ibu dan berusaha terlihat tegar di depan Ibu, agar dia semakin semangat untuk sembuh," lirih ku sambil mengayunkan kaki keluar dari kamar berniat pergi meninggalkan rumah dan kembali ke rumah sakit.
"Loh, Nona Fatimah mau ke mana?" suara seorang asisten rumah tangga menghentikan langkah Fatimah yang sebenarnya sudah menuruni tangga.
"Aku mau langsung ke rumah sakit Mbok, ada apa ya?" sahut Fatimah dengan senyum ramah yang sering sekali terlihat, senyuman penyejuk hati siapapun yang melihatnya.
"Makan dulu Non! Nyonya baru saja menelfon dan meminta Mbok menyiapkan makan untuk Nona," titah asisten rumah tangga yang ada di hadapannya itu.
"Mbok aku ingin segera menemui Ibunda dan menemaninya, aku akan makan di rumah sakit saja Mbok," sahut Fatimah menolak halus sang asisten rumah tangga dan berniat kembali melangkahkan kaki keluar dari rumah berniat untuk langsung pergi ke rumah sakit.
"Nona tidak di izinkan pergi dan Pak Supri di larang mengantar Nona jika Nona tidka makan lebih dulu," tutur sang asisten rumah tangga yang cukup membuat Fatimah merasa sedikit jengkel dan ingin marah karenanya, tapi kemarahan dan rasa jengkel yang sempat hinggap langsung sirna saat Fatimah sadar jika apa yang di lakukan sang Ibunda dan asisten rumah tangganya itu bukanlah hal buruk melainkan demi kebaikan Fatimah lagi pula dia sadar jika dia tidak segera makan tepat waktu, magh yang selama ini suka hadir dalam hidupnya aka kembali menemani hari-hari nya, Fatimah sadar jika magh itu datang, maka bisa di pastikan dia tidak akan bisa menemani sang Ibunda.
"Baiklah Bik, aku akan makan. Siapkan saja makanannya!" jawaban yang sejak tadi di tunggu-tunggu oleh sang asisten rumah tangga akhirnya terdengar, dia terlihat menghembuskan nafas lega mendengar jawaban Fatimah kali ini.
'Aku harus makan agar bisa kuat menerima kenyataan hidup dan menemani Ibu di rumah sakit,' batin Fatimah yang kini terlihat begitu bersemangat untuk mengisi tenaga dengan makan.
Melahap satu piring penuh nasi beserta lauk pauk sebagai temannya, Fatimah begitu menikmatinya dengan rasa syukur yang tak pernah pergi dari hidupnya. Bagi Fatimah apa yang dia punya dan dia rasakan saat ini merupakan sebuah anugerah yang harus selalu di syukuri, meski ada ujian yang harus di hadapi, tapi Fatimah menganggapnya sebagai bentuk kasih sayang Tuhan padanya.
"Bik!" panggil Fatimah setelah melahap habis satu piring penuh di hadapannya.
"Iya, ada apa Nona?" sahut asisten rumah tangga yang terlihat berjalan cepat ke arah Fatimah.
"Tolong bersihkan semua ini, dan ajak yang lain makan agar makanannya tidak mubazir terbuang," pesan Fatimah sebelum dia pergi.
"Biar saya yang mencuci piringnya, Nona," sang asisten mencoba menghalangi langkah Fatimah yang hendak pergi menuju tempat cuci piring dengan satu piring di tangannya.
"Sudahlah, ini hanya satu piring bekas makanku, Bibik kerjakan yang lain saja!" tolak Fatimah yang memang terdidik mandiri karena berada di pesantren sejak kecil, Fatimah juga memiliki kebiasaan yang sulit untuk dia rubah, Fatimah terbiasa makan dengan tangan, rasanya jauh lebih nikmat, jadi jika dia makan dengan sendok, maka rasanya akan berbeda tak senikmat makan dengan tangan.
"Nona memang berhati mulia, meski kaya dan Puteri seorang majikan tapi sikap Nona tidak sombong, tetap ramah dan rendah hati," puji asisten rumah tangga Fatimah.
"Jangan terlalu memuji seorang hamba Bik! karena sejatinya aku sama seperti Bibik, terkadang aku juga bersikap buruk tanpa aku sadari, jadi jangan terlalu memujiku," ucap Fatimah yang memang kurang suka di puji, semua itu bukan karena dia sombong, Fatimah hanya takut menjadi sombong dan merendahkan orang lain karena menganggap dirinya jauh lebih baik dari yang lain.
"Nona memang gadis yang paling baik, siapapun yang akan menjadi suami nanti pasti akan menjadi laki-laki paling beruntung karena memilikimu istri sebaik Nona di tambah soleha seperti Nona," ujar sang asisten yang terdengar sama sekali tidak menggubris ucapan Fatimah agar tidak memujinya lagi.
"Sudahlah Bik, aku pergi ke rumah sakit dulu. Bibik jaga diri dan jaga rumah!" pesan Fatimah sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan sang asisten yang kini tengah menatap penuh rasa kag ke arah Fatimah yang sedang berjalan menjauh hingga tak terlihat di balik tembok.
"Pak Supri!" panggil Fatimah sesaat setelah sampai di teras rumah.
"Iya, Non," sahut Pak Supri sambil berjalan cepat ke arah Fatkmah yang tengah tersenyum manis.
"Ada apa, Nona?" tanya Pak Supri.
"Pak, tolong antarkan saya ke rumah sakit." pinta Fatimah, meski Fatimah tahu dengan pasti jika Pak Supri telah di gaji oleh sang Ibu, tetap saja dia tidak pernah berkata kasar atau memerintah seenaknya sendiri, kata tolong dan Terima kasih sering sekali di dengar oleh Fatimah, karena itulah kebanyakan dari pekerja di rumah Fatimah merasa senang dan betah bekerja di sana.
"Loh, bukankah Nyonya meminta Nona agar beristirahat?" sahut Pak Supri dengan dahi mengkerut menandakan jika saat ini dia tengah heran.
"Sudah Pak, antar saja saya ke rumah sakit, saya bisa istirahat di sana sambil memantau keadaan Ibunda," Fatimah mengatakan apa yang ada di dalam benaknya.
"Baiklah, mari silahkan!" ujar Pak Supri yang kini berjalan di depan Fatimah kemudian membuka pintu untuknya.
"Silahkan masuk, Nona!" titah Pak Supri.
"Terima kasih, Pak," sahut Fatimah seraya berjalan masuk ke dalam mobil, sebenarnya Fatimah kurang suka jika di perlakukan seperti tadi, tapi Pak Supri tetap melakukannya tanpa memperdulikan protes yang di layangkan oleh Fatimah.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang menembus jalan raya yang saat ini terlihat begitu macet dan padat, Fatimah yang memang lebih suka udara dari luar mobil di bandingkan Ac memilih membuka lebar kaca pintu mobilnya menikmati udara yang masuk ke dalam mobil, dan apa yang di lakukan Fatimah tak luput dari perhatian seorang pria yang akan menjadi suaminya, kebetulan mobil yang dia tumpangi berada tepat di samping mobil Fatimah, tanpa ada niat menyapa atau menampakkan diri pria itu hanya menatap Fatimah dari balik kaca mobil yang tertutup rapat dengan senyum licik yang tampak jelas di wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!