Menikah dengan papa
01
Tania Hendrina Arman, seorang gadis yang kini sudah menginjak usia 20 tahun. Seorang anak angkat dari Arkana Habibi Arman seorang mengusahakan kaya raya yang bergerak di bidang tekstil dan juga pembangunan. Arkan mengangkat Tania semenjak gadis itu berumur 2 tahun dari panti asuhan yang kebetulan waktu itu dia lewati sehabis menghadiri pertemuan dengan rekan bisnisnya.
Ntah kenapa hati Arkan bergerak untuk mengadopsi bayi mungil yang kala itu tengah di pangku pengasuh panti. Bayi mungil yang sedikit rewel namun karena tangannya yang mengendong, bayi cantik itu langsung saja terdiam dan memeluk leher Arkan begitu eratnya. Dari yang Arkana tahu bayi mungil itu seorang yatim piatu yang sanak saudaranya tak ada yang mau menerima bayi itu lantaran malas mengurus dan juga kekurangan ekonomi. Intinya banyak alasan yang kala itu di berikan keluarga Tania kepada pihak panti. Belum lagi keluarga Tania mengantarkan dirinya ke panti yang jauh dari kota tempat mereka tinggal. Kejam memang kehidupan yang di jalani gadis mungil yang kini sudah tumbuh dewasa di bawah pengawasan Arkana. Akana begitu menyayangi Tania layaknya anak kandung sendiri.
Diumur yang sudah menginjak angka 40 tahun Arkana belum juga membina rumah tangga. Seakan kehidupannya sudah lengkap dengan hadirnya sosok Tania di dalam hidupnya. Tak jarang pula Hernia dan Nino meminta sang putra untuk segera menikah sebelum mereka tak sanggup lagi melihat kehadiran sang cucu yang lahir dari darah daging putranya sendiri.
Meskipun mereka memiliki seorang putri, tapi mereka juga menginginkan darah daging dari Arkan. Apalagi putri mereka memilih untuk tinggal di luar negeri bersama suaminya ketimbang di kota tempat mereka tinggal. Rumah megah membuat kehidupan mereka terasa sunyi. Kehadiran anak laki-laki di kota yang sama dengan mereka, nyatanya tak membuat bahagia, karena Arkana memilih tinggal di rumahnya sendiri bersama Tania sang putri.
"Pekerjaan Papa masih banyak ya? Apa mau Nia buatin kopi atau teh?" Tania menghampiri Arkan yang tengah duduk di kursi kerjanya yang ada di rumah.
"Boleh Nak, buatin Papa kopi saja ya? Soalnya mata Papa juga sudah mulai berat, dan juga pekerjaan Papa masih banyak," Arkan melirik putrinya sekilas sebelum kembali pada pekerjaannya.
"Baik Pa, Nia ambilin dulu ke dapur," Tania meninggalkan Arkana yang kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Tania menyeduh air panas ke dalam gelas kopi yang akan di minum sang ayah. Seperti biasa tidak terlalu banyak gula maupun kopi.
"Silahkan Pa," Tania meletakkan kopi yang masih mengeluarkan uap panas di depan Arkana.
"Terimaka kasih Nia," ujar Arkana sambil menyeduh kopinya sedikit demi sedikit.
"Sama-sama Pa. Pa izinkan aku malam ini utnuk tidur bersama Papa, rasanya sudah lama sekali aku tidak tidur bersama dengan Papa. Aku rindu seperti dulu lagi Pa," ujarnya penuh harap kepada sang Papa.
Arkana menatap anak gadisnya dengan mata tegasnya. Jujur saja ingin sekali Arkana menolak permintaan Tania. Karena kini anaknya itu sudah mulai dewasa yang bisa kapan saja membangkitkan sesuatu di dalam tumbuhnya. Namun, Arkana juga tidak bisa menolak keinginan putrinya apalagi melihat binar penuh harap dari mata sang putri.
"Baiklah, tunggu Papa beberapa menit lagi ya?" pinta Arkana yang langsung diangguki Tania.
"Ahhhh, akhirnya selesai juga," Arkana meregangkan otot-otot lengannya yang terasa Kebas karena terlalu lama bermain dengan keyboard laptop di depannya.
Arkana melirik sang putri yang kini sudah tertidur pulas di sofa yang ada di dekatnya. Wajah ayu sang putri membuat senyum manis Arkana merekah dengan lebarnya. Anaknya itu memang sangat cantik, maka dari itu Arkan begitu menjaganya agar tak terjerumus ke dalam lembah pertemanan yang salah.
Arkan menggendong sang putri ala bridal stell menuju kamarnya yang jelas nuansa laki-laki yaitu abu-abu putih.
Arkan meletakkan tubuh sang putri diatas ranjangnya dengan hati-hati agar anaknya itu tidak terbangun.
"Tania, kamu sungguh cantik Nak. Rasanya Papa tidak akan sanggup bila kamu pergi dari kehidupan Papa suatu saat nanti. Biasalah kamu tetap bersama Papa, Nak? Bisakah kita tetap bersama hingga maut memisahkan Nak?" Arkan mendaratkan ciumannya pada dahi sang putri yang terdengar dengkuran halus dari sana.
"Kamu tahu Nak, jika kita bukanlah ayah dan anak Tania. Maafkan Papa yang menempatkan rasa cinta ini untuk kamu Nak. Sungguh Papa tidak bisa menghilangkan rasa ini dari kamu, Tania," Arkana menatap dalam wajah cantik putrinya. Putri yang menjadi tambatan hatinya sehingga sampai kini dirinya belum juga menikah lantaran jatuh cinta kepada anaknya sendiri. Tak ada yang dapat membuatnya jatuh cinta selain anaknya itu.
Selanjutnya Arkana langsung membaringkan tubuhnya di samping Tania yang masih tertidur pulas. Memeluk tubuh ramping putrinya itu degan erat layaknya suami yang memeluk istrinya tercintanya.
TBC
Tania terbangun kala merasakan ada yang berat pada perutnya. Dengan perlahan mata indah Tania terbuka dengan perlahan untuk menyesuaikan dengan cahaya yang terdapat di dalam ruangan itu.
"Papa," Tania mengoyangkan tubuh Arkana yang masih terlelap dengan pulsanya.
"Emmm," hanya gumaman yang terdengar di indra pendengar Tania tanpa ada reaksi apapun dari Arkana.
"Papa bangun, sudah pagi!" Lagi-lagi Tania berusaha membangunkan ayahnya yang bahkan tidak terusik sama sekali. Tangan kekar Arkan yang di lepas Tania kini kembali melingkar indah pada perutnya. Bahkan kini terasa lebih erat dari sebelumnya karena, Arkan begitu erat memeluk pinggang ramping Tania.
"Pa, berat!!" Menggunakan tangan kanannya Tania mencubit pinggang Arkan sedikit keras.
"Sttrr, kenapa cubit Papa sih Tan? Jadi sakit pinggang Papa kan?" keluh Arkana yang langsung terbangun kala merasakan sakit pada pinggangnya.
"Habisnya Papa di bangunin malah nggak bangun. Belum lagi tanggan Papa yang kembali memeluk erat pinggang aku, mana berat lagi," ungkapnya jujur mebuat Arkana tersentak malu. Bahkan selama ini jika dia tidur di satu ranjang dengan anaknya itu tidak pernah dirinya yang terbangun telat seperti ini. Bahkan bisa di hilang dia akan terbangun lebih dulu dari Tania. Agar putrinya itu tidak tahu jika sepanjang malam dirinya memeluk tubuh sang putri.
"Benarkah Papa meluk kamu, Tania?" ulang Arkana untuk menghilangkan rasa malunya. Bahkan jika di lihat dengan jelas wajah Arkana tampak memerah bahkan terasa panas.
Tania menganggukkan kepadanya. "Iya bener Pa," jawab Tania.
"Maafkan Papa ya," pintanya dengan raut menyesal.
"Tidak apa-apa kok Pa, lagian aku yakin Papa juga nggak sengaja meluk aku. Apalagi waktu kecil dulu Papa sering meluk aku saat tidur dan mungkin sampai sekarang membuat Papa terbiasa akan hal itu," Tania menampilkan senyum manisnya menatap Arkana.
Arkana membalas senyum putrinya. Senyum yang membuat jantungnya berdetak dengan kencang. "Ya sudah gih mandi hari ini ke kampus kan?"
Tania mengangguk. "Iya Pa. Ya sudah aku mandi dulu ya Pa, Papa jangan lupa siap-siap juga kan Papa mau ke kantor," Arkana hanya mengangguk menanggapi ucapan sang putri.
Tania keluar dari kamar Arkana menuju kamarnya. Arkana melihat kepergian sang putri dari kamarnya dengan pandangan sendu. Salahkan dirinya jatuh cinta kepada putrinya sendiri? Salahkan dirinya menempatkan rasa ini untuk Tania? Tapi apakah bisa putrinya itu juga akan jatuh cinta kepada dirinya suatu hari nanti? Bisakah semua angan itu terwujud?
Arkana menarik nafasnya dalam. Beranjak dari ranjang menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
*****
"Belajar yang rajin biar nanti jadi orang sukses ya Tania. Jangan pernah kecewain Papa," Kini mobil yang di kendarai Arkana sudah sampai di gerbang kampus gadis itu.
"Iya Pa, aku janji tidak akan pernah ngecewain Papa. Aku janji juga akan berlajar dengan sungguh-sungguh agar menjadi anak kebanggaan Papa," jawab Tania dengan senyum mengembang. Bagaimana bisa Tania membuat sang papa kecewa hanya karena dirinya. Papaanya adalah raja di dalam hidupnya. Seseorang yang memberikannya cinta dan kasih sayang yang tulus untuk dirinya. Tak akan ada lagi seorang ayah seperti Arkana jika Tania ingin mencarinya bahkan sampai ke pelosok dunia sekalipun.
"Bagus, ingat semua pesan yang sering Papa katakan sama kamu, Nak," Arkana mengusap kepala putrinya dengan lembut.
"Iya Pa, aku tidak akan pernah lupa." Tania meraih tangan Arkana untuk di ciumnya dengan takzim. Hal yang sudah biasa mereka lakukan kala Tania pergi kuliah atau saat Arkana berangkat ke kantor.
"Nanti Papa jemput saat pulang, dan jangan lupa kabari Papa dulu ya Tania? Ingat jangan pergi kelayapan jika tak ada izin dari Papa," ujar Arkana setelah mendaratkan ciuman pada dahi sang putri.
"Iya Pa," Setelah itu Tania langsung turun dari dalam mobil Arkana menuju perkarangan kampus.
Arkana melihat sang putri hingga hilang dari penglihatannya. Barulah setelah itu Arakan melakukan mobil menuju kantor tempat dirinya bekerja.
("Assalamu'alaikum Bu, ada apa?") saat ini Arkana tengah duduk di kursi kebesarannya sambil melihat-lihat berkas kerja sama dengan perusahaan lain. Dengan benda pipih yang dia apitkan di antara telinga serta bahunya.
("Nanti sepulang kerja kamu bisa mampir ke rumah kan Nak? Ibu mau ngomong sesuatu hal yang penting sama kamu,") ujar Helena, ibu Arkana di sebrang sana.
("Apa tidak bisa besok saja Bu? Hari ini pekerjaan aku terlalu banyak, dan lagian nanti aku juga mau jemput Tania ke kampus,") jawab Arkana jujur.
("Tidak bisa Arkan, Ibu mau kamu nanti datang ke rumah. Kamu juga bisa bawa Tania ke sini atau kamu suruh saja supir menjemputnya ke kampus.")
Arkana menghela nafasnya kasar. Jujur saja Arkana malas untuk datang ke rumah orang-tuanya, jika bukan untuk membahas hal yang sama yaitu pernikahan. Tak akan ada asalan kenapa sang ibu memaksa dirinya ke sana jika bukan untuk hal itu.
("Kamu dengar ucapan Ibu 'kan Arkan?") Terdengar lagi suara di sebrang sana yang cukup tegas.
("Baik Bu, nanti aku ke sana,") jawab Arkan. Setelahnya mengakhiri panggilan antara dirinya dan sang ibu.
Arkan mencari kontak sang putri pada aplikasi hijau yang kini tengah dia buka. \[Tania, hari ini Papa tidak bisa menjemput kamu ke kampus. Papa akan ke rumah Nenek sepulang kerja nanti dan kamu akan di jemput supir kantor\] Arkan mengirimkan pesan untuk sang putri yang hanya centang satu. Artinya sang putri tidak memegang HP. Berkemungkinan putrinya itu tengah ada kelas.
TBC
Seperti permintaan Helena kepada sang putra, kini Arkana sudah sampai di halaman rumah orang-tuanya. Langsung saja Arkana memasuki pintu rumah yang terbuka lebar itu.
"Assalamu'alaikum," Arkana mengucapkan salam setelah memasukinya rumah kedua orang-tuanya.
"Wa'alaikumsalam," jawab Helena dan suaminya yang memang berada di ruang tamu sambil bercengkrama ringan.
Arkana menyalami tangan ke dua orang-tuanya dengan takzim. Setelahnya barulah Arkana duduk di sofa single yang ada di depan orang-tuanya.
"Kapan kamu akan menikah Arkan? Lihatnya Ibu dan Ayah sudah semakin tua," ujar Helena menatap sang putra yang terlihat santai atas pertanyaan itu.
"Benar apa yang dikatakan ibumu Arkan, kami sudah semakin tua dan bisa kapan saja ajal menjemput kami, Nak. Apalagi umurmu yang sekarang tak lagi muda. Tak inginkah kamu memiliki seorang anak hasil dari benihmu sendiri?" Kini Nino, sang ayah yang angkat bicara.
"Tak adakah kata-kata lain yang akan Ibu dan Ayah tanyakan kepadaku?" bukannya menjawab pertanyaan kedua orang-tuanya, Arkana malah melontarkan pertanyaan lain.
Helena menarik nafasnya dengan kasar. Helena juga heran dengan putranya yang tak juga kunjung mencari pasangan. Apalagi sekarang umur putranya itu sudah berada di kepala 4.
"Tidak ada, Makanya kamu harus cepat memberikan kami seorang menantu dan juga cucu Arkan. Kamu tahu sendiri adik kamu, Helia tidak akan pulang jika tidak bersama suaminya Arkan. Bahkan adik kamu jelas sudah menetap di negara orang." ujar Helena mengiba. Sungguh dirinya menginginkan seroang cucu untuk meramaikan rumahnya.
"Aku sudah punya Tania, Ibu,"
"Tania bukan darah daging kamu Arkan. Dia hanya anak yang kamu angkat 18 tahun lalu, ingat itu!! Apalagi yang kamu tunggu Arkan, bukankah Tania juga tidak melarang kamu untuk memberikannya seorang ibu?" Helena menatap putranya tak percaya. Padahal Tania itu bukan anak kandungnya. Bukan Helena tak sayang sama cucu angkatnya itu, bahkan Helena sangat menyayangi Tania sama seperti cucu kandungnya sendiri.
Arkan menghela nafasnya kasar. "Maaf Ibu, aku mencintainya. Jangan paksa aku untuk menikah dengan wanita lain." cuak Arkan menatap ke-dua orang-tuanya bergantian.
"Apa?!" Suami-istri itu terkejut mendengar ucapan anaknya.
"Kamu jangan mengada-ngada Arkan, ini sungguh tidak lucu!" bentak Helena marah.
"Aku tidak mengada-ngada Ibu, akun sungguh mencintai Tania. Aku tidak menginginkan wanita lain selain Tania,"
"Ingat!!! Tania itu anak kamu, Arkan. Anak yang kamu besarkan seorang diri." Nino menatap putranya tak percaya. Bagaimana bisa putranya itu jatuh cinta sama anaknya sendiri. Anak yang dirinya asuh dan rawat sedari kecil.
"Aku tahu Ayah, tapi aku juga tidak pernah menyangka jika hati ini akan berlabuh kepada anak angkatku endiri. Siapa yang bisa memiliki hatinya berlabuh untuk siapa?" Arkana menatap Helena dan Nino bergantian. Jika saja Arkana bisa memilih, dirinya juga tak menginginkan hal ini terjadi. Dirinya juga tidak ingin jatuh hati kepada putrinya sendiri. Putri yang dia asuh dan sayangi dengan segenap hatinya.
"Hilanglah rasa cinta itu dan carilah wanita yang umurnya tidak teel aku jauh datin kamu, Arkan." ujar Helena lembut.
Arkan menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa Bu, berapa kalipun Ibu maupun Ayah menyuruh aku untuk mencari wanita lain, jika di hatiku hanya ada Tania itu tidak akan berhasil. Bahkan sebelum Ibu meminta hal itu sudah lebih dahulu aku lakukan, tapi apa? Hasilnya nihil Bu, aku tetap mencintai Tania, yang ada di pikiranku hanya Tania. Tidak ada yang bisa mengantikan Tania dari dalam hatiku," jawab Arkan lemah.
"Menikahlah dengan Tania, jika memang kamu tidak bisa memberikan wanita lain untuk menjadi menantu kami makan nikahilah Tania," pinta Helena berat hati. Jika saja boleh jujur, dirinya tidak rela Arkan menikah dengan Tania lantaran Helena sudah menganggap Tania seperti cucunya sendiri. Tapi apa yang bisa Helena lakukan jika sang putra malah jatuh cinta pada anak angkatnya sendiri.
"Beri aku waktu Ibu, Ayah untuk menceritakan ini kepada Tania, aku tidak mau Tania berfikir lain tentang aku nantinya. Dan juga aku tidak akan bisa memaksa Tania untuk menikah dengan diriku jika Tania mencintai laki-laki lain. Tapi aku minta do'a Ayah dan Ibu untuk itu"
"Kami pasti akan mendo'akan yang terbaik untuk kamu, Arkan. Meski Ayah merasa berat jika kamu menikah dengan Tania, bukan Ayah membencinya tapi Ayah sudah menganggap Tania seperti cucu Ayah sendiri. Tapi jika itu yang membuat kamu memberikan kamu seorang menanti serta cucu nantinya, kami hanya akan bisa menurut saja. Semoga saja jalannya di lancarkan," ujar Nino menatap anaknya.
"Terima kasih Ayah, Ibu," Senyum Arkana terbit dengan lebarnya mendengar ucapan Helena dan Nino. Sungguh Arkana tak menyangka jika ke-dua orang-tuanya memberikan izin dirinya bersama Tania, sang anak angkat.
Nino dan Helena hanya bisa tersenyum melihat anaknya bahagia. lagian percuma saja mereka mencarikan anaknya wanita lain jika hatinya hanya untuk Tania.
Sedangkan ditempat lain, Tania bersama kedua temannya Bella dan Mesi tengah duduk di kantin kampus. Mereka menikmati semangkok bakso dan juga teh es yang sudah terhilang rapi di depan mereka.
"Weekend nanti kita ngumpul sama yang lain yuk Tan?" ajak Mesi.
"Aku tanya dulu sama Papa ya Mes, aku juga nggak bisa mastiin sekarang. Kamu tahu sendirilah bagaimana Papa, aku." jawab Tania tak enak. Sudah sering kedua temannya itu mengajak Tania untuk berkumpul namun, sering kali mendapatkan penolakan dari Arkana. Dengan asalan yang sama, tak ingin dirinya terjerumus kedalam pergaulan bebas. Apalagi disana juga terdapat teman laki-lakinya yang bahkan bisa saja berbuat tak baik kepada dirinya.
"Aku perhatiin Papa kamu itu terlalu ngekang kamu deh Tan, masa iya ngumpul doang nggak dibolehin," ucap Bella.
"Ya mau gimana lagi Bell, lagian aku juga nggak berani lawan Papa. Hanya Papa yang aku miliki Bell, meskipun ada Oma sama Opa tapi yang jaga aku selama ini hanya Papa. Hanya Papa yang mencurahkan seluruh kasih sayangnya sama aku, Bell." jawab Tania sendu. Ingat lagi betapa perjuangan Arkana untuk membahagiakannya. Betapa Arkana begitu menyayanginya sepenuh hati laki-laki itu.
"Iya juga sih Tan, tapi aneh aja gitu masa nggak di bolehin barang sekalipun kamu keluar bareng kita. Lagian kamu juga sudah dewasa Tan, masa-masa di mana kita habisin waktu bersama teman-teman bukan malah berkurung di rumah bak seekor burung,"
"Aku yakin apapun yang di lakukan Papa itu demi kebaikan aku, Bell." Tania menampilkan senyum manisnya. Apapun yang akan di ucapkan kedua temannya itu tak akan membuat Tania terpengaruh. Dan inilah yang diajarkan Arkana kepada dirinya, untuk jangan terlalu membawa perasaan apapun itu omongan orang. Selagi itu bukan untuk kebaikannya.
"Terserah kamu lah Tan, susah memang kalau ngomong sama kamu. Tapi aku berharap kali ini Papa kamu ngizinin kamu untuk kumpul bareng kita,"
"Semoga saja Bell,"
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!