"kak, aku suka sama kak Agus. Kak agus mau gak jadi pacar aku?"
Seorang anak SMA menyatakan cintanya kepada seorang laki-laki. Dia memakai pakaian kuliah.
"Hah? Ini serius, bercanda atau lagi taruhan sama teman-teman kamu?"
Agus seorang calon insinyur, bingung menatap adik kelasnya. Namanya Hanna, dia ingin mengambil kelas yang sama, jurusan yang sama seperti Agus, untuk menjadi seorang desain interior atau bahkan perancang bangunan handal. Hanna dan beberapa temannya sering survei ke kampus itu. Tak sengaja bertemu dengan Agus dan jadi akrab dengan agus.
Hanna banyak bertanya tentang jurusan itu kepada Agus. Agus juga menjadi tour gaet di di kampus. Tapi Agus tak tahu Hanna menyimpan rasa kepada dia.
"Tapi kalau gak, gak apa-apa kok kak. Aku tahu, jangan pikirkan ini. Aku minta maaf kalau lancang."
Hanna mau pergi dari hadapan Agus. Mereka hanya berdua. Semua teman Hanna sedang sibuk. Jadi dia datang ke kampus sendiri.
"Tunggu, saya suka keberanian kamu." Agus menahan tangan Hanna.
Hanna menatap Agus penasaran, "artinya apa kak?"
"Saya mau jadi pacar kamu."
"Serius?"
"Gak."
"Kak?"
"Iya lah."
Hanna masih tak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Agus. Dia diam menatap Agus tak percaya.
"Ini pacarnya didiamkan saja? Tidak mau dipeluk?"
"Boleh kak?"
"Emm."
Agus mengangguk. Hanna langsung memeluk Agus. Agus pun memeluk dan mencium kening Hanna. Hanna masih tak menyangka dengan apa yang dilakukan Agus.
"Tapi nanti didepan mahasiswa lain, harus profesional ya?"
"Iya kak."
"Saya tetap senior kamu, kamu tetap mahasiswi baru disini. Lulus kan?"
"Iya lulus kok. Ini mau daftar kesini. Tapi yang lain lagi jalan sama pacar-pacarnya."
Hari ini adalah hari kelulusan SMA Hanna. Dia mendapatkan pengumuman kelulusannya hari ini.
"Mau saya traktir?" Tanya Agus kepada Hanna.
"Bisa panggilnya, aku kamu aja gak kak? Masak saya sih, kayak kaku aja gitu."
Hanna melepaskan pelukannya kepada Agus. Dia mendongak menatap Agus. Tatapannya protes kepada Agus.
"Ok. Aku, mau aku traktir. Hari ini pulang cepat. Meeting kampusnya sudah selesai."
"Mau. Sekalian merayakan hari jadikan kita ya kak?"
Agus mengangguk. Dia membawa mobil. Mereka ke cafe yang Agus suka. Agus membukakan pintu untuk Hanna masuk. Melindungi kepala Hanna yang mau masuk ke mobil Agus. Dia duduk di depan, di samping Agus yang akan menyetir. Setelah itu Agus memutar arahnya, dia masuk ke tempat duduknya.
"Aku masih gak nyangka, kakak suka juga sama aku?"
"Iya."
Hanna bertanya di dalam mobil. Mereka ada ditengah jalan menuju ke cafe yang Agus katakan. Hanna meraih tangan agus. Agus menggenggam tangan Hanna, bahkan sepanjang jalan Agus menyetir tanpa melepaskan genggaman tangan keduanya.
Hingga mobil Agus berhenti di dekan salah satu cafe. Agus baru melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Hanna.
"Ini cafe orang tua teman aku, lebih muda dari aku sih. Cuma sudah kayak adik sendiri dan teman juga sahabat aja. Aku suka banget disini. Suasananya enak."
Agus mengulurkan tangannya menggandeng Hanna yang akan turun. Hanna tersenyum mendengar ceritanya. Dia meraih tangan agus dan keluar dari mobilnya.
Hanna tidak memakai baju SMA-nya. Dia dandan dulu sebelum ke kampus Agus, setelah dia tahu pengumuman kelulusannya.
"Dia teman kampus kakak?"
"Iya. Nanti aku kenalkan."
Hanna mengangguk. Mereka masuk ke dalam cafe. Mereka memilih tempat yang ada di outdoor cafe.
"Paman."
Agus tak sengaja bertemu dengan papanya temannya itu. Dia melambaikan tangan.
"Agus, Edward gak disini?"
Edward adalah sahabat Agus, dia sudah menganggap Ed seperti adiknya sendiri. Dia dua tahun lebih muda dibawah Agus. Mereka beda jurusan. Paman adalah ayahnya edward.
"Enggak paman. Saya tidak mau menemui ed kok. Ini kita mau makan disini, yang paling enak disini ya paman."
"Iya. Sama siapa? Gak mau dikenalin sama paman, Gus?"
"Hanna paman."
Hanna berdiri dan mengulurkan tangan kepada Ayahnya Ed. Dia berdiri dan sedikit membungkuk, juga menjabat tangan ayahnya Ed.
"Tunggu sebentar ya?" Kata ayah Ed kepada Hanna.
"Iya paman." Hanna dan Agus mengangguk.
Hanna melihat pemandangan di sekeliling cafe. Konsep cafe yang bagus, dengan ruang outdoor dan indoor. Outdoornya langsung menghadap bukit, pepohonan, bahkan cafe ini ada di daerah atas perbukitan.
"Wah, gak habis pikir, kenapa bisa paman buka cafe seperti ini. Ini sangat indah."
"Aku yang menyarankan. Biar bisa beda sendiri saja."
"Wah, pantas kakak kalau aku tanya soal desain dan semacamnya memang jago. Kakak setelah lulus mau buka perusahaan sendiri? Dan membuat banyak proyek bangunan Dengan desain kakak sendiri?"
Agus hanya mengangguk. Tak lama makanan mereka datang. Bahkan ada ibunya Ed juga. Dia menyapa Hanna juga. Agus juga mengenalkan Hanna kepada ibunya Ed.
"Cantik, siapanya kamu Gus?"
"Pacar Tante."
Hanna yang tersipu malu ketika Agus menjawabnya. Dia kira dia akan malu menyebut dia pacar di depan semua orang tapi ternyata tidak.
"Ed baru sampai. Mau Tante suruh ke sini atau gak mau diganggu."
Agus melirik Hanna. Hanna mengangguk. Dia tak masalah. Dia juga ingin kenal dengan temannya Agus.
"Kesini gak apa-apa Tante. Hannanya gak masalah juga."
"Ok. Selamat ya."
"Makasih Tante."
Ibunya Ed pergi dari sana. Dia kembali masuk ke dalam cafe. Tak lama Ed datang.
"Hai, ini beneran gak apa-apa duduk disini. Ganggu kalian gak?"
"Duduk Ed, gak apa-apa kok. Ya kan, na?"
"Iya kak gak apa-apa kok."
Mereka makan bertiga bersama. Hanna jadi mengenal Ed juga. Dia satu kampus dengan Agus. Agus sebentar lagi lulus kuliah. Tapi Ed masih dua tahun lagi.
"Kakak lulus tahun ini kan? Aku telat dong masuknya ke kampus kakak?" Kata Hanna tanpa malu di depan Ed kepada Agus.
"Kamu sih lahirnya kelamaan ya Ed?"
"Haha, iya. Harusnya lahirnya sama ya atau minim satu tahu dibawa Agus, sama kayak aku juga itu lumayan sih. Lama satu kampus sama Agus."
Mereka tertawa bersama. Sampai selesai makan. Agus pamit dan Hanna. Agus mengantar Hanna ke rumahnya.
"Sayang, aku pulang ya?"
Agus pamit kepada Hanna. Hanna mengangguk. Dia mengusap kepala Hanna dan mencium kening Hanna.
Agus mengendarai mobilnya pergi dari depan rumah Hanna. Dia pulang ke rumah.
Bruk!
Baru saja sampai, papanya memberikan sebuah dokumen kepada Agus. Agus menatap papanya dengan bingung. Papanya jarang di rumah. Ada apa?
"Ini dokumen perusahaan, perjanjian dua perusahaan. Papa butuh bantuan kamu. Perusahaan kita hampir bangkrut."
Agus membuka laporannya. Dia melihat dan mencoba membaca isi yang tertera.
"Bekerja sama dengan perusahaan sahabat papa dan menikah dengan anaknya?"
"Bagaimana bisa?"
"Bisa dan harus. Papa gak mau tahu."
Papa Agus mengangguk dan pergi dari sana begitu saja. Agus terdiam. Bagaimana hubungannya dengan Hanna?
Agus terpaksa menerima perjodohan ini, demi seluruh kelurganya. Ada papanya, ada mama tiri dan juga adik tirinya. Kalau tidak mereka akan jatuh miskin.
"Saya meminta engkau, ayu, untuk menjadi istri saya, dalam susah mau pun senang, dalam sehat mau pun sakit, sampai maut memisahkan."
"Saya ayu, menerima engkau, Agus, untuk menjadi suami saya, dalam susah mau pun senang, dalam sehat mau pun sakit sampai maut memisahkan."
Keduanya resmi menikah. Mereka tinggal di rumah keluarga ayu, ayu anak tunggal jadi mereka sangat sayang dan tak mau berpisah dengan ayu.
***
5 tahun kemudian.
***
Setelah dua tahun menikah, Agus juga mulai mencintai ayu. Dia mencoba menyayangi ayu sepenuh hati. Sampai akhirnya ayu hamil. Kandungan ayu kini sudah berusia delapan bulan. Tinggal menunggu satu bulan lagi Agus dan ayu sangat menanti kelahiran anaknya. Mereka sudah melakukan USG, dokter bilang anak mereka laki-laki.
"Sayang, ini bagus tidak? Yang biru saja, kan cowok biasanya biru?"
Mereka sedang sibuk memilih dekorasi untuk kamar bayinya. Keduanya ada di ruang tv. Mereka sedang duduk di sofa, berdampingan. Ayu yang memilih semua perabotan kamarnya. Dari mulai keranjang bayi, pakaian, dan juga dekorasi yang lainnya, termasuk mainan bayinya.
Mereka memutuskan untuk membeli online dari kenalan mamanya ayu juga teman-teman ayu yang sudah dipercaya. Awal kandungan ayu itu lemah, aktifitasnya dibatasi. Jadi Agus dan kedua orang tuanya sangat menjaga ayu dan kandungannya. Mereka tak mau ayu capek dan banyak gerak.
"Terserah kamu sayang, yang menurut kamu bagus dan yang kamu suka saja."
Agus duduk di samping ayu. Tangannya merangkul bahu ayu dan satunya mengusap perut ayu. Sesekali juga Agus membantu memijat pinggang ayu.
"Ok. Ini ya, aku beli yang banyak gak apa-apa ya?"
Agung mengangguk. Mereka banyak uang, dua perusahaan yang disatukan jadinya berkembang pesat. Tak ada masalah soal uang. Ponsel agung yang ada di meja berdering.
"Halo, ada apa?"
Ada telelpon dari kantor. Dia mengangkatnya di samping ayu. Agus harus ke ruang kerjanya untuk mengirim file.
"Sayang, aku mau kirim file di email. Aku ke ruang kerja Ya. Gak apa-apa kan aku tinggal sebentar sayang?"
"Iya sayang."
Agus mengusap kepala ayu. Ayu mengangguk. Tak lama mamanya datang, dia membawakan susu hamil ayu dan juga cemilan. Agus mengecup puncak kepala ayu.
"Kenapa ayu?"
"Gak apa-apa ma. Cuma mau ke ruang kerja bentar, mau kirim file katanya."
"Oh. Ini susu hamil kamu. Mama gak sabar nunggu kelahiran cucu pertama mama ini."
Mama ayu memberikan gelas susunya kepada sang anak. Dia duduk di sampingnya dan menemani sang anak sampai ayu menghabiskan susunya.
"Mau makan buah tidak?"
"Boleh ma."
Mama ayu juga memotongkan buah untuk ayu. Sementara di ruang kerja, Agus sibuk melihat laptop. Dia mencari file yang harus dia periksa dan dikirim ulang.
Agus teringat Hanna. Nama yang gak pernah dia lupakan sejak lima tahun ini. Dia gak sengaja membaca beberapa email yang ada nama Hannanya. Bagaimana bisa? Tapi nama itu bukan hanya milik satu orang.
"Hanna. Agus, sudah lupakan dia. Kamu sudah punya ayu dan sebentar lagi kamu akan punya ank."
Agus segera menepis pikirannya. Dia meninggalkan Hanna begitu saja. Tanpa pamit setelah lulus kuliah. Setelah itu dia menikah dengan ayu dan pindah keluar kota. Ke rumah ayu. Agus menitipkan Hanna kepada Edward. Ed tahu semuanya. Tapi dia diminta Agus untuk tidak memberitahunya.
***
"Hanna. Ini ada pekerjaan untuk kamu. Ada yang minta di dekor untuk anak-anak."
"Iya mbak, saya baca dulu semuanya."
Hanna sudah lulus kuliah. Baru saja lulus satu tahun lalu. Dia bekerja di salah satu perusahaan design interior. Hanna sedang duduk di mejanya. Atasannya memberikan sebuah file. Hanna membacanya dengan seksama. Apa yang diinginkan kliennya.
"Mbak, ini aku langsung ke tempatnya ya. Aku mau cek tempatnya dulu, nanti beli material yang dibutuhkan dan dekornya."
"Iya na. Hati-hati ya. Butuh supir atau mau nyetir sendiri?"
"Sendiri aja mbak."
"Ok."
Hanna menggunakan mobil dari kantor. Fasilitasi kantor. Dia menyetir sendiri ke tempat kliennya. Ada di sebuah komplek elit.
"Halo, saya Hanna, yang akan mendekor kamarnya."
"Halo, silakan masuk."
Hanna bertemu dengan seorang wanita paruh baya, sepertinya mamanya sang anak yang kamarnya akan di dekor. Anaknya berusia delapan tahun.
Hanna masuk dan melihat-lihat kamarnya. Dia bahkan berbicara langsung dengan anaknya, dia mau minta kamar yang seperti apa.
"Ok, kalau begitu saya permisi. Saya akan membuatkan desainnya dan menunjukkannya nanti supaya bisa direvisi anak anda sendiri."
"Ok."
Hanna pamit. Dia tidak kembali ke kantor. Dia pergi ke cafe untuk mengerjakan desainnya disana. Cafe yang sama yang selalu dia datangi, berharap dia bisa melihat laki-laki yang dia cintai itu di sana. Tapi dia tak pernah kembali. Cafe milik orang tua Ed yang kini dikelola Ed.
Hanna memarkirkan mobilnya di depan cafe. Dia masuk dengan membawa laptopnya. Duduk di tempat yang sama lima tahun yang lalu.
"Hai, sedang mengerjakan proyek lagi?"
Ed datang dan membawakan pesanan Hanna sendiri. Hanna mendongak menatap laki-laki itu. Dia mengangguk.
"Iya kak."
"Duduk ganggu gak nih?"
Hanna mengangguk. Dia tak masalah. Justru nanti kalau Ed menemani dia, dia menghambat pekerjaan Ed atau tidak.
"Boleh lihat?"
"Boleh."
Hanna menunjukannya. Hanna menjelaskan, untuk anak delapan tahu, laki-laki.
"Bagus gak kak? Kira-kira dia suka gak ya?"
"Bagus. Pasti suka, apa yang tidak disuka dari desain kamu. Mereka selalu puas bukan?"
"Iya kak."
Ed menemani Hanna disana. Cukup lama. Sampai Ed rasa hari ini adalah waktu yang tepat untuk memberitahu semuanya. Ed pernah menyatakan cinta kepada Hanna. Tapi Hanna tak mau menjadikan Ed hanya pelampiasan dan tempat dia membuang sepi.
"Kamu masih mau tahu kabar?"
Hanna terdiam. Tanpa Ed menyebut namanya dia juga tahu apa maksud kakak seniornya di kampus dulu. Hanna berhenti mendesain. Dia mengangguk menatap ed.
"Lupakan dia. Dia akan menjadi seorang ayah."
"Hemm, ok. Aku akan melupakannya kak. Tapi aku butuh waktu untuk orang baru kak, plis. Jangan dulu."
"Ok."
Ed juga paham maksud Hanna. Ed mengangguk. Dia pamit untuk kembali ke dapur cafenya. Membantu anak-anak cafe karena banyak pelanggan.
Hanna terdiam. Dia mengambil kopinya dan berdiri di dekat pagar pembatas, melihat ke alam dan tanpa sadar air matanya menetes. Dia menunduk menangis menahan suara Isak tangisannya. Hanna meminum kopinya sambil diam-diam menangis.
Apa ini akhir dari kisahnya. Tapi dia berharap lebih dari ini. Bisa bersatu.
Tadinya Hanna ingin menghabiskan waktunya disana. Sampai selesai Desian. Tapi ternyata jauh lebih menyakitkan disana. Hanna memilih menghabiskan kopinya. Meninggalkan uang disana untuk membayar kopi dan roti yang dia pesan. Setelahnya Hanna pergi.
Ed masih melayani pelanggan. Dia tak sengaja melihat Hanna yang keluar dari cafenya. Ed mencoba mengejar dia. Tapi Hanna sudah masuk ke dalam mobil, mobilnya sudah jalan dan pergi dari sana.
"Hanna. Kamu pasti sangat sedih dan merasa sakit mendengar ini semua. Maafkan saya."
Ed hanya bisa melihat dari jauh mobil Hanna yang jalan meninggalkan area cafenya.
Hanna menangis di dalam mobil sambil menyetir. Pikirannya dan konsentrasinya buyar. Dia tak bisa menyelesaikan desainnya. Dia memilih ke apartemennya, kali ini Hanna sudah tinggal di apartemen, karena atasannya yang baik, atasannya sepasang suami istri, dia seusia Agus dan mereka juga baru memiliki anak yang masih berusia satu tahun. Mereka dangat dekat dengan Hanna dan menganggap Hanna seperti adik mereka sendiri.
Hanna masuk ke apartemennya, dia hanya duduk di depan pintu, memeluk lututnya dan menangis sejadi-jadinya.
Bagiamana bisa, Ed bilang Agus akan keluar negeri untuk pekerjaan karena diminta papanya membantu perusahaan keluarga. Setelah itu dia tahu dia mau punya anak. Tega sekali.
Hanna tak bisa berhenti menangis karena ini. Ed masih ada di cafe. Dia khawatir Hanna kenapa-napa.
"Kenapa Ed?"
Mamanya Ed tak sengaja melihat sang anak melamun. Ed menceritakan semuanya kepada sang mama.
"Kasihan Hanna. Tapi mama tahu, melupakan itu lebih sudah dari pada mencintai seseorang."
"Iya. Aku juga tahu, karena sudah jatuh lebih dalam, untuk bangun susah kan. Tapi Ed benar-benar menyayangi Hanna ma. Ed tidak tega Hanna seperti ini."
"Luluhkan hati dia perlahan Ed."
"Iya ma."
Ed mencoba menelpon Hanna dan mengirimkan pesan untuk Hanna. Tapi tak ada balasan dari Hanna.
"Ma, aku ke apartemen dia atau tidak ya? Aku khawatir dengan Hanna."
"Coba saja, jenguk sebentar. Tapi jangan dipaksa kalau tidak mau bertemu dulu sama kamu."
"Iya ma."
Ed pamit dari cafe. Dia ke apartemen Hanna. Dia membeli coklat dan ice cream di tengah jalan. Ingat kalau Hanna suka itu. Martabak dan kebab, juga burger yang dia tahu Hanna suka itu.
"Aku harap kamu bisa lebih baik setelah makan semua ini."
Ed ada di tengah perjalanan menuju ke apartment hanna. Tak lama dia sampai di sana. Dia segera naik ke lantai apartemen tempat Hanna tinggal. Beberapa kali memencet bel tapi Hanna tak juga keluar.
"Hanna, aku bawa banyak makanan. Aku taruh di depan, di makan ya. Sayang kalau tidak dimakan karena sudah dibeli. Jangan aneh-aneh, kamu bilang kamu masih mau membahagiakan anak-anak dan menghias kamar mereka dengan indah."
Dia meninggalkan pesan di ponsel dan juga di pesan suara yang ada di pintu apartemen. Ed pergi dari sana. Sebenarnya dia tak pergi, die bersembunyi.
Hanna paling tidak bisa menyia-nyiakan makan. Ed tahu itu. Hanna yang mendapatkan pesan dari Ed pun akhirnya keluar. Dia mengambil makanannya. Ed senang sekali melihat itu. Baru dia pulang.
Setidaknya sudah melihat Hanna keluar dan tak apa-apa. Dia kembali menyetir mobilnya menuju cafe untuk membantu mamanya lagi di sana.
***
Agus selesai mengirimkan filenya. Dia kembali ke ruang tengah untuk menemui istrinya.
"Gus, sudah selesai?"
Mama mertuanya yang bertanya. Agus mengangguk. Dia ikut duduk dan bergabung dengan keduanya. Ayu sibuk nonton kartun anak-anak sambil makan apel.
"Sini ma. Biar aku yang kupasin untuk ayu."
Agus mengambil apel dan pisau dari mamanya. Dia mengupasnya. Sang mama pun pamit kembali ke dapur. Dia harus menyiapkan makan siang untuk papa ayu yang sebentar lagi pulang.
"Sudah kerjaannya?"
"Iya. Sudah."
Ayu bertanya kepada Agus. Tak lama papanya ayu datang. Dia selalu makan siang di rumah sejak ayu hamil.
"Hai sayang. Papa bawa makanan."
Dia juga selalu membawa makanan yang ayu suka. Papanya mengusap kepala ayu dan juga perut besar ayu.
"Wah, ice cream. Makasih kakek."
Ayu senang sekali melihat bungkus yang dibawa papanya. Dia langsung memakan ice creamnya. Papa ayu melirik Agus.
"Gimana kantor papa kamu Gus? Gak ada masalah kan?"
"Gak ada pa."
"Bagus kalau begitu. Kalau ada masalah, bilang ke papa saja."
Agus mengangguk. Ini gunanya dia menikah. Agus hanya mengangguk. Papa ayu pamit kepada ayu, dia mau cuci tangan dan makan, juga mau menyapa istri tercintanya.
"Istri tercintanya di dapur pa. Peluk gitu loh pa dari belakang."
"Ok. Siapa takut."
Papanya ayu ke dapur. Dapur bisa dilihat dari ruang tv. Ayu memperhatikannya. Papa ayu tiba-tiba memeluk mamanya ayu dari belakang.
"Ada apa ini?"
Mamanya ayu kaget. Dia melihat ayu yang dia ruang tv setelah diberitahu oleh suaminya. Ayu yang menantang.
"Ini kamu nih ya yang kasih ide. Gak mau lepas ini papa kamu, gimana ini ayu?"
"Hehe."
Ayu hanya tertawa. Dia menatap Agus. Agus juga ikut melihat orang tua ayu yang manis dan harmonis. Berbeda dengan mama Agus yang sudah tiada dan papanya menikah lagi.
"Sayang."
Ayu memanggil Agus. Mukanya terlihat sedih. Agus menoleh.
"Iya sayang. Ada apa? Perlu sesuatu?"
Agus langsung pindah ke samping ayu. Ayu menggeleng, dia langsung memeluk Agus begitu saja.
"Gak apa-apa. Cuma mau peluk kamu aja, kayak mama dan papa. Jangan pernah tinggalin aku ya. Sama kayak mama dan papa aku, kita harus tetap romantis. Walau nanti sudah punya anak."
"Iya."
Agus mengangguk saja. Dia memeluk ayu, merangkulnya dan mencium kening ayu. Setelahnya makan siang sudah siap. Mereka makan siang bersama.
Bagaimana keadaan Hanna setelah dia tinggal. Dia tak pernah bertanya kepada Ed, karena dia tak mau mengkhianati ayu yang baik dan manis juga romantis kepada dia.
Mereka makan bersama di meja makan. Tiba-tiba ayu ingin ke kamar mandi.
"Aku ke kamar mandi dulu ya."
"Aku antar."
"Gak usah. Cuma bentar sayang, aku bisa. Kamu makan siang dulu saja."
Agus ingin mengantar. Tapi ayu melayang. Dia jalan ke kamar mandi. Ketika ayu akan keluar dia jatuh.
"MAMA."
Ayu berteriak memanggil mamanya. Semua yang di ruang makan langsung lari ke kamar mandi. Agus membuka kamar mandinya dengan cepat. Mereka melihat ayu yang sudah jatuh, terduduk di kamar mandi dan dengan darah yang sudah mengalir di kakinya.
"Ayu, ya ampun. Sayang, bawa ayu ke rumah sakit Gus."
Agus mengangkat ayu. Papanya menyiapkan mobil. Mereka membawa ayu langsung ke klinik. Papanya yang menyetir dengan sigap. Ayu tak henti menangis karena ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!