Seorang wanita terlihat duduk memeluk lututnya dengan kepala yang tertunduk, isakkan tangis terdengar lirih dari wanita tersebut.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, orang-orang disekelilingnya terlihat sudah tertidur pulas dilantai tanpa alas tersebut, hanya keramik dingin yang menyelimuti.
Walaupun tanpa alas apapun mereka terlihat tidur nyaman, mungkin kerena sudah terbiasa.
Sudah satu tahun Gelora berada di sekeliling mereka, akan tetapi sampai detik ini ia masih belum bisa beradaptasi.
Tempat ini begitu mengerikan baginya, jika bisa lebih baik ia mati dari pada terus menerus berada di tempat terkutuk itu.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya ia akan hidup dalam kekejaman seperti ini, berada di penjara bersama orang-orang yang pernah berbuat krimal.
"Aku lelah Tuhan, lebih baik engkau ambil saja nyawaku dari pada aku harus menderita seperti ini. Mengapa aku tidak pernah sedikit pun mendapatkan keadilan di dunia ini? Dosa apa yang sudah aku perbuat di masalalu sehingga engkau menghukum seperti ini?"
Hanya bisa menjerit dalam batinnya, Gelora lelah, ia merasa hidup ini tidak adil baginya, bahkan kini ia harus mendekam di penjara, merasakan dinginnya jeruji besi, menanggung hukuman atas kesalahan yang sama sekali tidak pernah ia perbuat.
"Kenapa mereka begitu kejam padaku? Tidakkah mereka puas membuatku menderita sejak dulu, mereka tega memfitnah dan memasukan aku ke sini! Aku benci padamu Steven, kau bilang mencintaiku tapi kau ikut menghakimi aku, bahkan kau tidak percaya padaku sama sekali, kau menceraikan aku di saat aku sangat membutuhkan kamu! Kalian semua memang tidak punya hati!”
Lagi dan lagi Gelora hanya bisa menjerit dalam hatinya. Andai saja ia punya banyak uang, mungkin ia bisa dengan mudah melawan mereka, tapi apalah daya? Dirinya hanya anak yatim piatu.
Gelora masih ingat betul bagaimana kejadian yang sebenernya, mereka begitu licik membalikan semua fakta, memfitnah dirinya.
Menuduh Gelora sudah melakukan percobaan pembunuhan pada Serra—adik suaminya. Jelas-jelas pada saat itu Gelora mencoba melawan, membela dirinya dari kekejam adik ipar dan ibu mertuanya itu.
\*\*\*
“Gelora mana sarapannya!” teriak Gresy—ibu mertuanya.
“I—iya Bu, sebentar lagi,” sahut Gelora. Mendengar teriakan dari Ibu mertuanya itu, ia pun dengan cepat menuangkan nasi goreng yang ia buat itu ke atas piring.
Dua piring nasi goreng, ia bawa ke meja makan.
“Lama banget sih, dasar Kakak ipar gak guna!” bentak Serra pada Gelora, saat wanita itu meletakan piring yang berisikan nasi goreng tersebut di atas meja makan.
Gelora hanya terdiam, ia lelah beradu mulut dengan adik iparnya itu, apapun yang Gelora lakukan semuanya selalu salah dimata ibu mertua dan adik iparnya.
Gresy dan Serra langsung menikmati nasi goreng tersebut, sementara Gelora ia kembali ke belakang untuk melakukan tugasnya yang lain.
Statusnya dirumah tersebut sebagai istrinya—Steven. Putra pertama dari Gresy. Akan tetapi, dirumah tersebut Gelora sudah layaknya seperti seorang pembantu, membersihan rumah, melayani semua kebutuhan ibu mertua dan adik iparnya.
Gelora pikir menikah dengan pria yang ia cintai hidupnya akan terasa bahagia, tapi ternyata? Tidak!
Ia dan Steven—suaminya memang saling mencintai, akan tetapi keluarga dari sang suami sama sekali tidak menyukai dirinya. Bahkan selalu bersikap semena-mena padanya.
Gresy dan Serra manusia bermuka dua! jika ada Steven di rumah, mereka akan bersikap baik pada Gelora, membuat drama semuanya seperti berbanding terbalik, seolah Gelora-lah menjadi menantu yang tidak tahu diri.
Akan tetapi jika Steven tidak ada, inilah yang terjadi. Sungguh ia menderita, tapi Gelora juga tidak tahu harus mengakhiri semuanya bagaimana? Mengadu pada suaminya? Jelas Steven tidak akan percaya!
Atau mengakhiri pernikahannya dengan Steven? Tidak semudah itu, katakanlah jika Gelora memang bodoh, rasa cinta pada suaminya itu sangat dalam. Bukan tanpa alasan, Steven selama ini selalu bersikap baik padanya, menyayanginya, selalu perhatian padanya.
Hanya saja suaminya memang jarang di rumah, di usianya yang menginjak 28 tahun, Steven sudah menjadi pengusaha sukses, ia sering berpergian keluar kota untuk mengurus bisnis-bisnisnya itu.
Steven tidak tahu apa yang sebenernya terjadi pada istrinya selama ini, yang Steven tahu jika istrinya hidup bahagia dan rukun bersama ibu serta adiknya.
“Wih kalung baru nih,” seru Serra yang kini sudah berada di samping Gelora
Gelora yang tengah mencuci piring pun sama sekali tidak menggubris adik iparnya itu.
“Sini buat aku saja!” lanjutnya sambil menarik paksa kalung tersebut dari leher Gelora.
“Serra, apa-apa sih kamu ini!” bentak Gelora, ia menahan tangan Serra agar tidak menarik kalung tersebut.
Kalung tersebut pemberian dari suaminya satu minggu yang lalu, oleh-oleh dari Steven saat pulang dari luar kota kemarin.
“Inikan Kakak aku yang beliin, aku berhak dong atas kalung ini! lagian wanita miskin seperti kamu itu gak pentas pake kalung mahal begini!”
Mendengar ucapan adik iparnya itu membuat emosi dalam jiwa Gelora bergejolak, ia menepis tangan Serra, lalu mendorong gadis itu sampai tersungkur.
“Aw...” Serra meringis. Lantas gadis itu pun berdiri, matanya menatap tajam kearah Gelora. Serra langsung menyerang membabi buta pada kakak iparnya itu, menjambak rambut Gelora dengan kasar.
“Sakit Serra, lepaskan!” teriak Gelora
Gadis itu tidak memperdulikannya, bahkan ia semakin menarik kuat rambut Gelora, tersenyum penuh kemenangan.
Gelora pun akhirnya membalasnya, ia menjambak balik rambut Serra, mereka saling menjerit dan saling menjambak satu sama lain.
“Dasar kau wanita tidak berguna! bisa-bisa Kakakku mau sama wanita miskin sepertimu!” Serra mencaci maki kakak iparnya itu.
“Kau gadis yang bermuka dua, tidak tahu sopan santun, kau memang kaya tapi kau tidak punya etika!” balas Gelora sengit.
“Apa kau bilang?” Serra langsung melepaskan tangannya yang menjambak rambut kakak iparnya itu.
Lalu gadis itu meraih pisau dan menodongkannya pada Gelora
“Lepaskan!” bentak Sera.
Gelora terkejut, ia pun langsung melepaskan tangannya dari rambut Serra.
“Harusnya kau itu aku habisi Gelora!” ancamnya, gadis itu berjalan satu langkah mendekati Gelora.
Gelora terlihat ketakutan ia berjalan mundur beberapa langkah, akan tetapi Serra terus mendekatinya. Langkah Gelora terhenti saat tubuhnya sudah membentur tembok, Serra tersenyum sinis, lalu mengarahkan benda tajam tersebut kearah perut Gelora.
Namun dengan capat Gelora menahan tangan Serra.
“Kau gila Serra!” pekik Gelora. Ia mencoba menahan benda tajam tersebut yang kini jaraknya tinggal beberapa senti saja akan menyentuh tubuhnya.
“Aku memang sudah gila, kerena aku sudah muak melihat kau di sini Gelora! Kau sudah membuat hancur semua rencanaku untuk menguasai Kak Steven!” Serra mengerahkan semua tenaganya untuk mendorong benda tajam tersebut kearah perut Kinara.
“Ada apa ini?” Tiba-tiba saja terdengar suara Gresy, wanita parubaya itu terlihat berjalan kearah mereka.
“Aaaa ... ”
Bersambung ...
Serra meringis kesakitan, benda tajam tersebut terlihat menatap di perut gadis itu. Darah segar mengalir dari benda tajam tersebut menetes ke lantai.
“Gelora apa yang kamu lakukan?” teriak Gresy, wanita itu terkejut saat melihat semuanya.
“A-aku tidak melakukannya, Bu,” jawab Gelora, ia pun terkejut. Mengapa Serra malah mengarahkan benda tajam itu pada dirinya sendiri hingga terluka seperti itu?
“Bu, sa—sakit,” lirih Serra, ia mencoba mencabut benda tajam tersebut yang melukai perutnya itu.
Lalu detik kemudian Serra langsung tumbang, gadis itu tak sadarkan diri, darah terlihat mengalir cukup deras dari lukanya itu.
“Serra bangun, Serra bangun, Nak!” Gresy menepuk-nepuk pipi putrinya itu. Wajahnya terlihat begitu panik dan cemas.
Sementara itu, Gelora masih berdiri mematung dengan benda tajam yang berlumpur darah tersebut berada ditangannya.
“Kenapa kamu melukai putriku hah? Kau benar-benar tidak punya hati!” pekik Gresy pada Gelora.
Gelora langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak! tentu saja ia membatah, ia tidak melakukannya, Serra sendiri yang melakukan itu semua.
“Awas saja kalau terjadi sesuatu pada Serra, kau akan tahu akibatnya!” ancam Gresy
Setalah itu ia segara membawa putrinya itu, bersusah payah ia mencoba membangunkan Serra untuk memepahnya keluar dari sana. Gelora mencoba membantunya, akan tetapi ia langsung mendapatkan tatapan tajam dari Ibu mertuanya itu.
“Jangan sentuh putriku, sana kau pergi!” Gresy mendorong tubuh Gelora sampai wanita itu kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke lantai.
Wanita parubaya itu pun membawa Serra keluar menuju mobil, setalah itu ia langsung membawa Serra ke Rumah Sakit.
Gelora hanya memandangi mereka, ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Yakin jika kejadian ini pasti akan berimbas buruk padanya.
“Steven, aku harus menelpon suamiku, aku harus memberitahu kabar ini, aku harus menjelaskan semuanya.” Gelora langsung bangkit, lalu ia mengambil ponselnya yang berada di saku bajunya itu.
Tangan Gelora yang masih berlumuran darah itu pun terlihat bergetar memegangi ponselnya. Tapi sayangnya, beberapa kali Gelora mencoba menelepon suaminya, semuanya nihil Steven tidak mengangkat telepon dari Gelora.
“Steven angkat, tolong angkat ...” gumamnya.
Lagi-lagi tidak ada sahutan dari sebrang sana.
“Aku harus menyusul Ibu untuk melihat kondisi Serra, ya Tuhan semoga dia baik-baik saja, memang aneh untuk apa dia melukai dirinya sendiri, dasar gadis labil!”
Antara kesal dan kasihan pada adiknya itu. Gelora pun memutuskan untuk menyusul ibu mertuanya, ia yakin Ibu mertuanya itu pasti membawa Serra ke Rumah Sakit terdekat di daerah sana.
Gelora pun melaju motornya menuju Rumah Sakit, bahkan ia tidak sempat Menganti pakaian atau pun membersikan tangannya yang berlumuran darah Serra tersebut, benda tajam yang tadi digunakan oleh Serra pun kini kasih tergeletak di lantai dapur rumah tersebut. Mungkin sebab hal ini begitu mengejutkannya, Gelora merasa benar-benar sudah tidak tak karuan.
Sementara itu Gresy baru saja sampai di Rumah Sakit, ia langsung memanggil pihak medis untuk membantu membawa Serra ke ruangan UGD.
Sesampainya di depan ruangan UGD, Gresy diminta untuk menunggu di depan ruangan tersebut, dan Serra kini sudah berada di dalam sana untuk mendapatkan pertolongan pertama.
“Kenapa kamu melukai diri kamu sendiri sih Serra, ya Tuhan semoga putriku baik-baik saja,” gumamnya. Wajah wanita parubaya itu terlihat sangat mengkhawatirkan kondisi Serra, tapi dalam hati ia merasa kesal, ia sendiri melihat dengan jelas jika Serra yang akan melukai Gelora, apa Serra salah sasaran? Atau memang dia sengaja, dalam hati Gresy bertanya-tanya, pasti putrinya itu tengah merencanakan sesuatu.
“Steven, aku harus memberitahunya.” Dengan capat ia mengeluarkan ponsel, lalu menelepon putra sulungnya itu.
“Hallo Steven, kamu capet pulang terjadi sesuatu sama adik kamu, Serra masuk Rumah Sakit," ucapnya saat sambung telepon tersebut terhubung.
"Loh ada apa, Bu? Serra kenapa, kok bisa sempe masuk Rumah sakit? Dia sakit apa, Bu?" cerca Steven dari sebrang sana, suaranya terdengar panik.
“Pokoknya kamu pulang sekarang ya, Nak. Ini semua perbuatan istri kamu, dia yang melukai adik kamu, cepat pulang ya, Steven, ibu takut,” pintanya sambil terisak tangis.
“Baiklah, Aku pulang sekarang, Bu. Ibu tenangkan dulu diri Ibu ya, Steven langsung jalan sekarang.”
“Ibu tunggu, cepat ya Stev.”
Sambungan telepon terputus, setalah itu sebuah senyuman penuh arti terulas dari bibir wanita parubaya tersebut.
“Ini kesempatan bagus untuk menyingkirkan wanita benalu itu!”
Satu jam berlalu akhirnya Dokter yang menangani Serra pun, terlihat keluar dari ruangan UGD.
Gresy segara menghampiri Dokter tersebut, untuk menanyakan kondisi putri kesayangannya.
“Dok, gimana kondisi anak saya?” tanyanya.
“Pasien tadi sempat kritis, kerena kebanyakan kehilangan darah, tapi sekarang kondisinya sudah mulai stabil, silahkan Ibu urus dulu administrasinya, setalah ini tim kami akan memindahkan pesien ke ruangan rawat inap,” jelas sang Dokter.
Mendengar penjelasan dari Dokter tentang kondisi Serra, ia marasa cukup lega. Setidaknya kondisi Serra sekarang baik-baik saja, setalah itu Gresy pun segara mengurus administrasi untuk putrinya.
Sementara itu Gelora kini masih berada diperjalanan menuju Rumah Sakit, dan sialnya ban motornya malah bocor.
“Ya Tuhan, kenapa ban-nya malah bocor sih!”
Terpaksa Gelora pun mendorong motor tersebut mencari bangkel terdekat. Sekitar 200 meter ia mendorong motornya, akhirnya ia menemukan sebuah bengkel, ia pun segara meminta bengkel tersebut untuk menambal ban motornya yang bocor itu.
Sekitar setengah jam kemudian, akhirnya semuanya selesai, Gelora pun kembali lanjutkan perjalanan.
Sesampainya di Rumah Sakit, ia menuju administrasi untuk menanyakan apakah Serra berada di Rumah Sakit tersebut. Ternyata benar, setalah mendapat informasi kamar rawat adik iparnya itu, ia pun langsung menuju ke sana.
Ceklek!
Gelora membuka pintu ruangan rawat tersebut, semua orang yang berada di dalam sana terlihat langsung menatap kearahnya.
Di sana juga terlihat sudah ada Steven—suaminya, serta ada dua orang Polisi.
“Itu dia Pak, pelakunya!” ucap Gresy—ibu mertuanya menunjuk kearah Gelora.
Sontak Gelora pun terkejut, apa-apaan ini? Kenapa Ibu mertuanya menuduhnya?
Sementara Steven, pria itu menatap penuh kekecewaan pada Gelora.
“A—apa maksud Ibu? Pelaku apa?” tanya Gelora.
“Aku kecewa sama kamu Gelora,” ucap Steven. “Bawa dia Pak sekarang juga, saya tidak sudi melihat wanita itu lagi!” lanjutnya pada kedua Polisi tersebut.
Kedua Polisi itu pun langsung menghampiri Gelora.
“Tidak Pak, saya tidak melakukan hal itu, ini semua fitnah!” Gelora mencoba melepaskan diri dari kedua polisi yang kini sudah menghampirinya serta membrogol tangannya.
“Nanti jelaskan saja di kantor Polisi, mohon kerjasamanya jangan memberontak ini Rumah Sakit Bu,” tegas Polisi tersebut.
“Tapi saya tidak bersalah Pak, saya mohon lepaskan saya!” teriak Gelora.
Akan tetapi kedua Polisi itu tetap membawa Gelora. Gresy dan Serra yang kini terlihat sudah sadarkan diri itu terlihat tersenyum penuh kemenangan. Sementara Steven suaminya Gelora itu membuang pandangannya.
“Terima kasih Kak, Kakak sudah menuruti permintaan aku, Kak Gelora sangat jahat Kak, aku tidak menyangka dia akan setega ini sama aku,” ucap Serra. Sungguh sangat drama!
Steven hanya mengangguk kepalanya, sebenernya ia juga tidak menyangka jika Gelora akan berbuat kejam seperti ini pada Serra, Gelora—istrinya yang terlihat polos itu ternyata tidak seperti yang Steven kira selama ini.
“Ibu, tunggu jaga Serra di sini, aku akan mengurus semuanya ke kantor polisi, sekalian aku juga mau menyiapkan berkas untuk perceraian aku sama Gelora,” ucap Steven.
Tanpa menunggu jawaban dari Ibunya itu, Steven langsung berlalu dari sana.
“Kita berhasil!” seru Gresy dan Serra usai kepergian Steven.
Bersambung ...
Sementara itu Gelora kini sudah berada di kantor polisi.
“Pak saya benar-benar tidak melakukan semua itu, Serra sendiri yang melakukannya, bahkan dia yang awalnya akan melukai saya,” jelas Gelora membela dirinya.
“Semua bukti sudah kami dapatkan, Bu. Kami sudah menemukan pisau di tempat kejadian, dan sudah jelas-jelas di pisau tersebut ada sidik jari Ibu Gelora!”
Tidak! Ini semua pasti rencana Serra, sebisa mungkin Gelora menjelaskannya semuanya secara detail kejadian tersebut pada Polisi, akan tetapi itu semua nihil, Gelora tetap dijadikan sebagai tersangka. CCTV di rumah tersebut juga sudah di sabotase oleh Serra, seperti memang semua itu sudah direncanakan oleh gadis itu.
Akhirnya Gelora pun di masukan ke balik jeruji besi, di ponis 5 tahun penjara.
“Tanda tangani ini, cepat!” ucap Steven seraya memberikan sebuah map kepada Gelora.
“I—ini apa Stev?”
“Jangan banyak tanya, cepat tanda tangan saja!” bentaknya.
Gelora pun membuka map tersebut, ia membulat matanya, tentu saja Gelora terkejut saat membaca isi dari dari surat tersebut.
“Ka—kamu menceraikan aku, Stev?” tanya Gelora, ia menatap Steven tidak percaya berbalut kecewa.
“Ya, untuk apa aku mempertahan kamu sebagai istriku? Mana mungkin aku tetap hidup bersama dengan wanita yang ingin membunuh adikku sendiri!” Steven menatap nyalang pada Gelora.
“Jadi kamu tidak percaya sama aku, Stev? Aku tidak sekejam itu Steven, walaupun Serra selalu memperlakukan aku semena-mena, aku masih punya hati nurani, Stev. Mana mungkin aku berani menghilang nyawanya!” pekik Gelora.
“Jangan banyak drama Gelora, kau itu wanita busuk, aku menyesal sudah mempercayai kamu. Cepat tanda tangan, aku sudah muak berurusan dengan kamu!”
Tanpa berpikir lagi, Gelora pun langsung menandatangani surat tersebut, sakit, hancur, kecewa, marah bercampur menjadi satu di hati Gelora. Rasa cintanya yang teramat dalam pada Steven itu pun terasa leyap begitu saja, dan berubah menjadi rasa benci yang teramat dalam.
“Pergi dan jangan pernah temui aku lagi!” Gelora melemparkan map tersebut tepat mengenai wajah Steven. Setalah itu Gelora pun meninggal pria yang kini sudah resmi menjadi mantan suaminya itu.
“Aku benci kalian semua!” jerit Gelora dalam hatinya.
kejadian tersebut benar-benar tidak akan bisa Gelora lupakan sampai kapan pun, bahkan ia sudah bersumpah bagaimana pun caranya, suatu hari nanti ia akan membalas dendam atas apa yang dilakukan oleh mantan suaminya itu serta keluarganya.
***
setalah menangis semalam sampai tertidur dengan posisi yang tertunduk sambil memeluk lututnya itu. Gelora pun kini terbangun saat mendengar suara orang-orang yang berada satu sel dengannya itu.
“Bu Gelora, ada yang ingin bertemu dengan anda!” panggil seorang polisi yang bertugas menjaga sel tersebut.
polisi itu terlihat membukakan kunci gembok yang mengunci sel tersebut.
Gelora terdiam sejenak, ia berpikir, siapa yang mengunjunginya? selama setahun berada di sana, tidak ada orang yang pernah mengunjungi Gelora, kerena memang Gelora yatim piatu, sudah tidak punya siapa-siapa lagi. mantan suaminya atau pun Gresy serta serra pun tidak pernah mengunjunginya selama ini, terakhir Steven saja yang memberikan surat gugatan perceraian padanya.
Gelora juga tidak berharap mereka mengunjunginya.
“siapa ya, Pak?” tanya Gelora
“sebaiknya ibu ikut saja,” jawabnya.
Gelora pun bangkit, lalu ia berjalan keluar dari sel tahanan tersebut menuju ruangan besuk.
seorang pria dengan setelan jas rapinya terlihat sudah duduk di kursi yang berada di ruang besuk tersebut.
dengan ragu dan penuh tanda tanya, Gelora pun menghampiri pria tersebut. pria itu terlihat masih fokus dengan ponsel yang ada ditangannya.
setalah Gelora duduk didepannya, pria itu pun meletakan ponselnya di atas meja, lalu menatap kearah Gelora dengan senyuman yang menghiasi wajah tampannya.
“Siapa kamu?” tanya Gelora. Ia benar-benar tidak mengenal pria yang ada di hadapannya itu.
“kamu tidak perlu tahu siapa aku Gelora,” jawabnya.
“aku tidak mengenal kamu, untuk apa kamu menemui aku?” Gelora menatap pria itu bingung.
“Aku akan membebaskan kamu.”
Gelora langsung membulatkan matanya, siap pria itu? Kenapa tiba-tiba akan membebaskan dirinya?
“Penderitaanmu sudah berakhir, ikutlah denganku, jadilah wanitaku, ini saatnya kau membalas mereka yang sudah membuatmu menderita!” sambung pria tersebut. senyuman di wajahnya terlihat berubah dengan senyuman yang sulit diartikan.
“Ma—maksud kamu?” Gelora benar-benar tidak mengerti, kenapa tiba-tiba pria misterius itu mengatakan semua itu pada Gelora, sebenernya siapa dia?
“Apa perlu aku ulangi perkataanku tadi, Gelora? aku akan membebaskan kamu, tapi dengan satu syarat, kamu harus menikahi denganku, dan aku akan membantumu membalas dendam pada mereka yang sudah membuat kamu seperti ini!”
“Tapi aku tidak mengenalmu? Dan dari mana kamu tahu tentang aku?”
“Itu tidak penting. sekarang pikirkan, apa kamu mau menerima tawaranku atau tidak? Bukankah kamu ingin membalas mereka?”
pria itu tetap enggan menjawab pertanyaan Gelora, tapi jujur saja Gelora sangat tertarik dengan tawaran yang pria misterius itu berikan. tapi, apakah pria itu bisa dipercaya?
“Bagaimana?” tanya pria itu lagi.
Gelora terdiam, ia mencoba mencerna perkataan yang terlontar dari pria yang ada dihadapannya itu. jika dilihat dari penampilannya, pria itu sepertinya bukan orang biasa, seperti seseorang yang mempunyai kekuasaan.
apakah Gelora terima saja tawarannya? Ia bisa keluar dari tempat yang mengerikan ini, bukan? Tapi, itu artinya Gelora menerima syarat yang diberikan oleh pria misterius tersebut, menikah dengannya?
Menikah? Tiba-tiba pertanyaan itu muncul di benak Gelora. Ia sudah pernah gagal dalam membina sebuah ikatan pernikahan, bahkan menikah dengan pria yang ia cintai saja tidak bisa membuatnya bahagia, sementara ini? Gelora harus menikah dengan pria yang sama sekali tidak dicintainya, jangan cinta, mengenal pun tidak, bertemu pun baru kali ini.
“Tidak ada waktu untuk berpikir Gelora. Percayalah aku tidak akan mengecewakan kamu, ini saatnya kamu membalas mereka yang sudah membuat hidupmu menderita. bagaimana apa kamu mau menerima tawaranku?” ucap pria itu.
“Jika kau mau, aku pastikan semua dunia ini bisa jadi milikmu, kau bisa membuat mereka bertekuk lutut padamu!” lanjutnya.
Senyuman penuh arti terlihat dari bibir pria itu.
“Tidak mudah aku percaya padamu, setidaknya katakanlah siapa kamu, dan apa tujuan kamu yang sebenarnya?”
Walaupun apa yang dikatakan oleh pria itu memang sangat mengiurkan, bayangkan saja Gelora bisa bebas dari tempat tersebut, itu adalah impian Gelora?
Tapi tidak semudah itu, Gelora juga harus berpikir ulang, ia tidak mau keluar dari kandang singa lalu malah masuk ke kandang buaya.
“Aku Elgert, tujuanku untuk menolongmu, membebaskan mu, kalau membantu kamu untuk membalasnya dendam pada mantan suami dan keluarganya, bagaimana?”
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!