NovelToon NovelToon

Janji Manis Presiden Mahasiswa

Interview

Entah ini penyakit apa namanya, Arabella tak suka berada di keramaian bahkan hanya untuk bertemu teman-temannya saja dia merasa enggan.

"Selamat pagi. Nama saya Arabella Chalinda." Dan saat ini dia tengah melakukan interview dengan Presiden Mahasiswa di Universitasnya.

Bukan karena keinginannya mengikuti sebuah organisasi disaat dirinya menjadi mahasiswa. Tapi, ini karena paksaan dari temannya yang juga mengikuti organisasi itu.

Rachel Jovita. Salah satu sahabat Ara yang juga memaksanya untuk mengikuti organisasi itu.

“Ayo ikut, gue gak mau tahu. Lo bakal tahu sensasinya pas lo masuk, gue jamin.” Itulah kalimat yang keluar dari mulut Rachel untuk meyakinkan Ara.

Jika kalian berpikir hanya Ara yang menjadi korbannya, kalian salah besar. Stefani Jelita juga berhasil menjadi salah satu korban Rachel.

Untuk kesekian kalinya pertanyaan muncul dan Ara menjawab pertanyaan itu seadanya. Dia berharap agar tak diterima di organisasi sialan itu.

“Kamu yakin akan diterima?” Sudah sangat muak Ara melihat pria yang sedang ada di hadapannya itu.

Gaya yang mungkin menurutnya keren itu, di mata Ara justru terlihat berlebihan. Mata hitam yang dengan intens melihat ke arahnya membuatnya seakan tak mampu berkutik.

Baru kali ini Ara dihadapkan dengan keadaan seperti ini. Biasanya dia akan bodoh amat dengan keadaan sekitar. Namun, kali ini seakan berbeda.

“Mungkin,” jawab Ara.

“Kenapa mungkin? Kamu gak yakin sama diri kamu sendiri?” tanya pria itu.

Ara menelisik dengan seksama siapa gerangan nama pria itu. Abiseka Bagaskara, itulah nama yang tertera di bajunya.

“Saya yakin. Tapi keputusan ada di tangan kalian.”

Sebuah jawaban yang berhasil membuat Abi bungkam dan tak bertanya lebih lanjut pada Ara.

****

“Gimana-gimana, lo udah ketemu sama Abi?” tanya Stefani.

“Bentar, gue baru aja keluar.” Ara berusaha menenangkan sahabatnya itu. Sahabatnya itu yang memang tahu para pria tampan di kampus ini.

“Ganteng kan?” tanyanya lagi.

“Gak sama sekali,” jawab Ara seadanya. Rachel hanya menyimak pembicaraan kedua sahabatnya dengan seksama.

Sebenarnya dia tahu sesuatu tentang Abi. Namun, untuk saat ini dia tak akan memberitahukan hal tersebut.

“Cih, bohong banget lo! Sebelum interview ini gue udah lebih dulu kepoin dia, dan menurut gue dia ganteng.”

“Oke kalau menurut lo dia oke. Tapi buat gue dia biasa aja.”

“Udah, nanti kita bahas itu di rumah aja. Sekarang lo berdua diem.” Akhirnya Rachel angkat bicara. Bukannya muak, dia hanya takut percakapan kedua sahabatnya itu terdengar oleh orang-orang dan berakhir di telinga Presiden Mahasiswa mereka.

****

Hasil yang sangat tidak diharapkan oleh Ara kini hanya menjadi angan belaka. Sebuah perkumpulan yang sangat ingin dia hindari kini berada di hadapannya.

“Ada kebingungan?” Abi bertanya pada Ara setelah memerintahkan gadis itu untuk membuat proposal kegiatan. Untuk kegiatan pertama ini, Ara diamanahi sebagai seorang sekretaris pelaksana kegiatan.

Ya, Ara akhirnya diterima sebagai bagian dari anggota Badan Eksekutif Mahasiswa. Kualifikasinya memang kurang, hanya saja Abi juga bingung karena mereka juga kekurangan sumber daya manusia dalam organisasinya.

Dan inilah hasilnya, dia menerima Ara sebagai salah satu anggotanya.

“Sementara ini gak ada,” jawab Ara sambil melanjutkan kegiatannya. Ini memang bukan kali pertama dia membuat proposal. Beruntungnya ketika SMA dia juga pernah membuat proposal kegiatan sehingga sekarang ada sedikit gambaran.

“Kegiatan ini jadinya satu hari atau dua hari?” tanya Ara setelah dia sampai pada penyusunan acara.

“Kita hanya satu hari aja di Kampus sana.” Ya, kegiatan pertama sebagai anggota BEM yaitu melaksanakan kegiatan studi banding.

“Bagaimana dengan akomodasi?” Ara kembali bertanya.

“Untuk itu bisa kalian diskusikan lagi sama ketua kegiatan acara ini,” jawab Abi.

Ara mengangguk dan melewati bagian yang belum pasti itu.

“Oh iya, masih ada yang harus lo kerjain. Surat kunjungan yang kita tujukan ke kampus tujuan kita. Buat formatnya nanti gue kirim.” Setelah mengatakannya, Abi bergegas pergi karena sebuah panggilan.

****

Inilah kehidupan Ara sebagai anggota sebuah organisasi. Dekat dengan orang-orang asing bukan bagian dari rencananya.

Dia hanya tak sengaja masuk ke dunia baru yang sangat tidak nyaman ini.

“Selamat datang, Ketua Umum,” sapa Ketua BEM dari kampus yang dikunjungi mereka. Devan Nevandra, begitulah yang tertera dalam name tag-nya. Mereka tak terlalu formal karena memang sebelumnya sudah saling mengenal satu sama lain.

“Makasih nih penyambutannya,” Jawab Abi seraya bergurau. Abi dan teman-temannya dipersilahkan masuk ke dalam ruangan yang telah mereka sediakan.

Ruangan yang cukup besar ini tak jauh berbeda dengan auditorium yang ada di Kampus mereka.

Setelah membahas hal yang bersifat non formal sebagai suatu pembukaan dan pemanasan, akhirnya diskusi ini dimulai.

Diskusi berlangsung cukup lama hingga membuat para pengurus jenuh  termasuk Ara, Stefani dan Rachel.

“Masih lama gak sih?” tanya Rachel. Perutnya terus saja berbunyi sedari tadi karena belum makan.

“Di jadwal sih masih satu jam lagi,” bisik Ara.

Mereka kembali terdiam dan fokus pada pembahasan di ruangan tersebut.

Hampir empat jam mereka berada di ruangan dan yang bisa Ara tangkap adalah perbedaan tupoksi dari tiap Departemen antara BEM di kampusnya dan kampus yang mereka kunjungi.

Culture yang ada juga menjadi salah satu pembeda di antara mereka. Itulah sekiranya yang bisa Ara tangkap dengan otaknya. Luar biasa, padahal perutnya sangat kosong saat ini.

Setelah selesai dengan diskusi di dalam ruangan, mereka juga keliling untuk melihat-lihat kampus di sana sebelum memutuskan untuk menyudahi perjalanan mereka dan kembali ke kampus tercinta.

“Lo di belakang, gue di sini,” ucap Abi pada Agil, seksi dokumentasi pada kegiatan kali ini.

Agak risih sebenarnya ketika Abi memilih duduk di samping Ara. Namun, Ara berusaha bersikap biasa saja.

“Gimana hari ini?” tanya Abi tanpa diduga.

Ara menoleh pada Ketua Umumnya itu untuk memastikan apakah pertanyaan itu dilontarkan untuknya atau bukan.

“Cukup melelahkan,” jawab Ara saat dirasa pertanyaan itu memang ditujukan padanya.

Abi mengangguk berusaha menerjemahkan kata cukup yang diucapkan Ara. Menurutnya, gadis di sampingnya ini cukup misterius.

Dengan kepribadian yang sulit didekati dan sikapnya yang tak ramah cukup membuat Abi tertantang untuk mendekatinya.

“Masih permulaan. Seiring berjalannya waktu, semua bakal kerasa sangat menyenangkan. Apalagi jika kita lakuin bareng-bareng.” Ada nada godaan di kalimat terakhir yang dilontarkan Abi.

Ara memutar bola matanya. Gadis itu sudah kebal dengan berbagai godaan seperti itu. Dia tak akan luluh hanya dengan perkataan manis yang terlontar dari mulut Presiden Mahasiswanya itu.

Abi tersenyum lembut saat Ara memilih mengabaikan perkataannya. Sabar, sedikit demi sedikit. Itulah kalimat penenang yang mampu Abi ucapkan dalam hatinya untuk menghadapi anggotanya yang satu ini.

 

 

Menjaga Lahir Batin

Tak ada angin tak ada hujan, keesokan harinya Abi menghubungi Ara. Ara tak menyimpan curiga pada pria itu. Mungkin saja Abi menghubunginya hanya untuk membahas kegiatan selanjutnya.

“Halo, lo di mana?” ucap Abi.

“Di rumah, kenapa?”

“Ada yang mau gue omongin. Gue ke sana boleh?” 

“Iya boleh.”

“Gue ke sana sekarang.” Sambungan telepon mati.

Ara sempat berpikir karena penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Abi. Namun, gadis itu segera menggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan tebakan-tebakannya yang tak masuk akal sama sekali.

Tak lama deru mesin motor terdengar dan Ara sudah bisa menebak siapa orang yang datang itu.

“Jadi, mau ngomong apa?” tanya Ara. Baru saja Abi turun dari motornya, bahkan helm-nya pun masih berada di kepalanya.

“Tunggu bentar kenapa sih. Ini tamu bukannya di suruh masuk atau di suruh duduk dulu kek.” Abi membuka helm-nya dengan terus saja merapalkan kata-kata kutukan untuk Ara.

“Ya udah sini-sini duduk. Di luar aja ya, di rumah lagi gak ada orang.” Ara mempersilahkan Abi duduk di kursi yang ada di teras rumahnya.

Sedangkan gadis manis itu kini pergi ke dapur untuk mengambil beberapa camilan dan minuman.

“Minum,” ucap Ara pada Abi.

Abi mengangguk dan tersenyum manis.

“Simulasi rumah tangga ya kita.” Celetukan Abi sukses membuat Ara tersedak minumannya.

“Eh eh hati-hati makanya jangan buru-buru, gak akan ada yang rebut kok.” Abi menepuk pelan punggung Ara karena gadis itu terus saja terbatuk-batuk.

“Udah baikan?” tanya Abi memastikan gadis itu baik-baik saja.

Ara mengangguk pelan.

“Mau ngomong apa sih sampai ke rumah segala?” tanya Ara sekali lagi.

“Sebenarnya gak mau ngomong apa-apa sih. Ya gini aja kan udah ngomong.” Perkataan Abi sukses membuat Ara menganga.

“Jadi maksudnya?” Ara kembali memastikan jawaban Abi.

“Ya ini, ngobrol ringan sama lo.” Ara menghela napasnya. Dia kira ada obrolan penting seputar organisasi yang ingin Abi bicarakan.

“Gak boleh ya? Ya udah gue pulang.” Abi sudah mengambil ancang-ancang untuk bangun dari duduknya sebelum tangannya dicekal oleh Ara. Inilah yang Ara benci dari Abi. Pria itu selalu saja membuatnya tak enak hati.

“Enggak gitu. Gue kira ada hal penting yang mau lo omongin.”

“Jadi sekarang gue gak penting?” tanya Abi membuat Ara lagi-lagi menghela napasnya.

“Enggak. Duduk dulu, oke kita ngobrol.” Akhirnya Ara mengalah dan membiarkan Ketua BEM itu tetap di rumahnya dan berbicara dengannya.

“Pada ke mana orang rumah?” tanya Abi mencoba mencari topik pembicaraan.

"Bunda sama Abang gue kerja, belum balik.”

“Bokap?” tanya Abi.

“Bokap meninggal enam bulan lalu.” Ara menjawab dengan senyuman tipisnya.

Seketika raut wajah Abi berubah. Keadaan menjadi canggung di antara mereka.

“Sorry, gue gak tahu.”

“Gak apa-apa. Santai aja.”

“Semoga beliau di tempatkan di tempat yang mulia ya.”

Ara mengangguk. Ada kepingan ingatan yang terlintas di kepalanya sehingga merubah raut wajah Ara menjadi sendu.

Abi menggenggam tangan Ara.

“Mungkin gue gak bisa gantiin posisi bokap lo yang udah lama kenal sama lo. Tapi, gue bisa gantiin dia buat jaga lo lahir batin. Semangat ya.” 

“Kalau lo butuh apa aja itu, lo bilang gue. Apapun itu, gue akan berusaha ada buat lo,” lanjut Abi diakhiri dengan usapan lembut di kepala Ara.

Sebuah ucapan sederhana dibarengi usapan lembut Abi membuat hatinya menghangat seketika. Tak bisa Ara pungkiri, gadis itu terbawa perasaan.

Ada sedikit harapan jika Abi akan menjadi rumah baginya. Ya, sejak kepergian Ayahnya, dia seperti kehilangan tempat pulang.

Perhatian Abangnya yang sudah memiliki pendamping terasa terbagi, dia juga tak mungkin menceritakan keluh kesahnya pada Ibunya. Itulah mengapa Ara hampir menaruh harapan pada Abi sebelum kemudian sebuah kalimat melintas di kepalanya.

“Gue rasa dia bukan orang yang baik buat lo.” Begitulah kiranya yang dikatakan Rachel.

“Hei!” Ara tersentak saat tangan itu mengusap pelan pundaknya.

“Hah? Apa?” tanya Ara bingung. Dia tak mendengar sedikitpun apa yang dikatakan Abi padanya.

“Gue bilang, besok tunggu gue. Gue jemput.” Abi mengulangi perkataannya yang sebelumnya tak diindahkan oleh Ara.

“Gak usah, gue bisa sendiri.” Abi menggeleng.

“Gue gak nerima penolakan.” Abi beranjak mengambil helm-nya. Pria itu mengulurkan tangannya pada Ara.

“Thank’s ya udah mau nerima gue di sini. Gue pulang dulu.” Ara mengangguk seraya menerima uluran tangan Abi.

“Hati-hati di jalan.”

Abi mengangguk kemudian berjalan ke arah motornya yang terparkir rapi di halaman rumah Ara.

Ara tersenyum sembari membalas lambaian tangan Abi.

**** 

“Heem, sebenarnya ini masalah udah agak lama.” Rachel kini ada di rumah Ara. Tepat sekali ketika Abi meninggalkan rumahnya, Rachel dan Stefani datang ke rumahnya.

Ini terhitung sudah bulan kedua mereka menjadi anggota dari organisasi itu. Dan tiba-tiba Rachel membicarakan masalah yang selama ini sudah berusaha mereka tutupi.

“Lo tahu sendiri kan kalau gue udah masuk organisasi ini lebih dulu dari kalian?” tanya Rachel.

Begitulah adanya. Rachel memang orang pertama di antara bertiga yang masuk ke dalam organisasi itu.

“Dan sekarang gue benar-benar ngerasa udah gak nyaman.”

“Kenapa?” tanya Ara.

“Udah lama juga gue ngerasa gak nyaman. Tapi gue kira gue bisa perbaiki itu apalagi ada kalian sekarang. Tapi masalah lama itu balik lagi, dan kayanya gue udah sampai di batasan gue. Gue nyerah.” Panjang lebar Rachel mengungkapkan isi hatinya.

“Gue ngerti keadaan lo. Tapi kalau kaya gini seakan lo jerumusin kita masuk organisasi and lo ninggalin kita yang gak tahu tentang organisasi gitu aja. Lo tega?” Stefani yang memang suka berbicara seadanya memulai menyampaikan pendapatnya.

“Gak gitu. Di acara kemarin gue lihat kalian juga baik-baik aja sama mereka. Dan kalian kayanya juga udah deket.”

“Lo tahu kenapa kita berusaha deketin mereka?” tanya Ara.

Tak ada jawaban. Semuanya terdiam menanti kalimat lanjutan Ara.

“Bukan karena gue betah di organisasi. Bukan karena gue suka orang-orang di sana. Bukan juga karena perasaan pribadi. Tapi ini, ini yang gue takutin. Lo yang ajak kita masuk organisasi dan lo juga yang ninggalin kita gitu aja. Ini alasannya, supaya gue punya pegangan selain lo di sana. Karena gue udah ngerasa kalau lo bakal ninggalin kita,” jelas Ara panjang lebar.

Akhirnya semuanya keluar. Terungkap begitu saja. Semua emosi keluar hari ini. 

“Gue minta maaf udah bikin kalian ada di posisi ini. Tapi, kayanya gue udah gak bisa lagi. Dan gue juga udah ngajuin surat pengunduran diri sama Abi.” Ara dan Stefani tertegun. Mereka tak menyangka jika masalahnya akan separah ini.

Mereka kira, mereka akan mampu menghadapi permasalahan dan menyelesaikannya tanpa harus ada yang keluar dari mereka.

Namun, salah. Rachel memilih meninggalkan mereka di wadah yang asing bagi Stefani dan Ara.

“Oke terserah lo!” Stefani beranjak meninggalkan ruang tamu Ara menuju kamar gadis itu. Dia takut tak bisa menahan amarahnya jika masih tetap di sana.

Night Call

Seperti yang telah dijanjikan Abi kemarin, pria itu kini telah ada di depan rumah Ara dengan pakaian rapi.

Memang bukan gayanya, mungkin karena akan pergi ke kampus jadi Abi berpakaian sedikit sopan.

“Udah siap?” tanya Abi saat Ara datang menghampirinya.

“Hmm, udah.” Ara menjawab sembari menerima helm yang diberikan Abi.

Abi bukan orang biasa. Pria itu lahir di keluarga kaya yang serba ada dengan keluarga harmonis. Namun, entah kenapa pria itu lebih nyaman menggunakan motor dibandingkan dengan mobil yang dia miliki di rumahnya.

Sepanjang jalan, keduanya bersenda gurau. Untuk kali pertama setelah kehilangan Ayahnya Ara bisa tertawa lebar oleh seorang pria.

Entah sudah berapa banyak gombalan yang sudah Abi keluarkan dari mulutnya untuk Ara dan sepertinya ini adalah batasannya, dan Ara kalah.

Dia jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesona seorang Abiseka Bagaskara. Seorang pria yang baru saja dia kenal beberapa bulan lalu dan berhasil membuatnya nyaman dengan keberadaannya.

“Sepertinya bukan hanya aku yang merasa nyaman.” Itulah kiranya isi hati Ara.

**** 

Abi kembali berkunjung setelah menyelesaikan urusannya di kampus. Sebenarnya bukan sekedar berkunjung, tetapi juga mengantarkan Ara kembali ke rumahnya.

“Kepala gue pusing, Ra,” keluh Abi.

Ara menoleh pada pria itu. “Kenapa? Belum makan?” tanya Ara. Spontan Ara meletakan telapak tangannya di dahi pria itu untuk mengecek  suhu tubuhnya.

“Gak tahu.  Padahal udah makan loh tadi.”

“Bagus deh kalau udah makan. Nih minum.” Ara menyodorkan sebuah pil yang dia ambil dari dalam lengkap dengan air mineral. Abi menerimanya sebelum kemudian meneguk obat itu.

“Makasih,” ucapnya.

“Bi.” Sebuah suara lembut masuk ke dalam indera pendengaran Abi. Abi menoleh melirik gadis yang baru saja memanggil namanya.

“Gue ngebosenin gak sih?” Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba terlintas dalam kepala Ara.

“Enggak. Emang kenapa?” tanya Abi merasa aneh dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir Ara.

“Gue ngerasa kalau lagi ngomong sama orang, gue banyak diamnya. Kaya sama lo, selalu lo yang jadi pembicara dan gue yang jadi pendengar aja. Gue takut lawan bicara gue bosen sama gue. Termasuk lo juga mungkin bosen.” Ucapan Ara diakhiri dengan lirikannya pada Abi yang masih setia mendengarkan perkataan Ara.

“Gue gak pernah bosan. Buktinya, gue selalu mau ngomong sama lo. Dan satu lagi yang perlu lo tahu, gue juga tipe cowok gak jelas.” Kalimat terakhir dari Abi terasa menjadi kalimat penenang bagi Ara.

“Dan perlu lo tahu juga kalau lo sama sekali gak gaje. Buktinya selama ini topik pembicaraan selalu datang dari lo.” Ara tersenyum simpul dan dibalas senyuman pula oleh Abi.

**** 

Suara batuk terdengar di penjuru sekretariat BEM. Abi melirik melihat asal suara itu, dan dia menemukannya.

Gadis dengan pakaian serba hitam tengah menutupi sekitar mulut dan hidungnya karena asap yang mengepul di penjuru ruangan itu.

“Yang mau ngerokok boleh di luar dulu gak? Kasian yang cewe,” perintah Abi. Pria itu termasuk pria yang sangat peka dengan keadaan.

Kini di sekretariat memang tak terlalu ramai, hanya ada Abi, Rangga, Ara, Stefani dan Shaka.

Shaka juga salah satu teman Abi yang sangat dekat. Pria itu keluar ruangan setelah mendapatkan perintah dari Sang Ketua BEM.

“Lo juga suka ngerokok?” tanya Ara pada Abi. Mereka memang duduk bersebelahan karena Ara membutuhkan bantuan Abi untuk mengerjakan laporan pertanggung jawaban.

“Suka. Kenapa?”

“Lo bilang tadi ‘kasian yang cewe’ ,kan? Terus lo gak kasian sama tubuh lo sendiri?” Ara berusaha menyampaikan maksudnya.

Bukannya mengatur, dia hanya ingin Abi sadar bahwa rokok juga membahayakannya.

“Mau, gue juga mau berhenti. Tapi susah.” Ara menghela napas mendengar jawaban Abi. Hampir semua orang yang dia suruh berhenti merokok menjawab dengan jawaban yang sama, termasuk Ayahnya ‘dulu’.

“Semalam Rangga sama Sakha jadi nginep?” Ara berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

“Jadi,” jawab Abi.

“Hujannya gede banget kan?” Benar, semalam hujan memang sangat deras.

“Iya, tapi sempet berhenti sih. Tapi mungkin mereka ngerasa nyaman kalo sama gue, jadi mereka nginep.” Abi menampilkan deretan giginya dengan mata yang ikut menyipit.

“Percaya diri banget lo!” kesal Ara.

“Beneran, barengan sama gue itu hal ternyaman di dunia tau.” Abi menyombongkan dirinya.

“Iya iya percaya karena gue juga ngerasain itu,” cicit Ara. Dia berusaha berbicara sepelan mungkin agar Abi tak mendengarnya. Namun sepertinya gagal karena sepersekian detik kemudian Abi menjawab ucapan Ara.

“Asli?!” tanya Abi heboh.

Bukannya menjawab, Ara malah memukul pelan bahu Abi hingga pria itu meringis.

**** 

Sebuah pesan masuk muncul di ponsel Ara. Malam ini terasa sangat dingin, mungkin karena di luar sedang hujan.

Ara membuka notifikasi itu. Sebuah pesan suara. Ara mendekatkan ponselnya ke telinga sebelah kanannya.

“Coba buka deh.” Itulah kalimat yang terdengar saat Ara mendengarkan pesan suara itu. Tak lama sebuah video muncul di layar ponselnya. Ternyata orang di seberang mengirimnya sebuah video.

Ara tersenyum. “Sangat lucu.” Itulah kalimat yang pertama kali muncul dalam pikirannya. Tak banyak yang pria dalam video itu lakukan, hanya melihat ke kamera dan tersenyum simpul.

Belum selesai Ara tersenyum karena video itu, tiba-tiba orang yang mengirim video itu menelponnya.

“Upload boleh tuh, Bi. Lucu,” canda Ara. Ya, orang itu adalah Abi.

“Gak mau, gue lucu buat cuma lo. Kalau di luar gak mau dianggap lucu.”

“Kenapa?” tanya Ara penasaran. Padahal banyak pria di luar sana yang membuat ekspresi wajah lucu hanya untuk mendapat like di sosial media.

“Kalau lo dalam bahaya gue nanti gak bakal bisa ngebela lo,” jawabnya. Sebenarnya jawaban sederhana, namun hal itu mampu membuat wajah Ara memerah seperti kepiting rebus.

Ara tak lagi membalas perkataan Abi. Dia akan membiarkannya sampai hatinya merasa tenang dan tak lagi berdetak kencang.

**** 

Pagi harinya, Ara harus pergi ke kampus untuk mengerjakan sebuah dokumen. Di sana tak hanya ada dirinya, tapi beberapa anak BEM lain juga hadir termasuk Abi.

“Cara ngetik lo keren,” ucap Abi spontan ketika Ara sedang menggarap sebuah dokumen.

“Gak ada, cara ngetik gue sama aja kaya orang-orang di luar sana,” jawab Ara. Walaupun begitu matanya masih terfokus pada layar komputer dan tangannya bergerak dengan lincah di atas keyboard.

“Mungkin cara ngetik lo sama kaya orang-orang di luar sana. Tapi gue yakin kalau cara ngetik lo beda sama cara gue ngetik.”

“Emang lo ngetik gimana?” Ara menghentikan kegiatannya dan beralih menatap Abi dengan serius.

“Sebelas jari,” celetuknya.

“Sebelas jari gimana maksud lo. Jari tangan lo aja cuma sepuluh!” kesal Ara.

“Sebelas jari gini maksud gue.” Abi mengacungkan kedua jari telunjuknya dengan cengiran tanpa dosanya.

“Sialan lo!” Daripada mendengarkan ocehan mahluk satu ini, Ara lebih memilih melanjutkan kegiatannya dan tak lagi memedulikan perkataan Abi.

Abi berusaha mengganggu Ara dengan berbagai cara. Namun gagal, dia hanya dianggap angin lalu oleh gadis itu setelah apa yang dia lakukan sebelumnya.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!