Semua orang tahu saat melihat dua sejoli seorang pria dan wanita dengan pria berjalan lebih dulu di depan sang wanita yang mengejar, pastilah mereka sedang bertengkar. Apalagi yang melihat adalah sepasang kakek dan nenek tua. Langsung terlintas di benak mereka bahkan sampai terucap lewat mulut,
"Dasar anak muda."
Well, memang begitu kenyataanya.
Shaka, pria tinggi itu tengah berjalan dengan langkah lebar diikuti seorang wanita dibelakangnya yang terus meneriaki namanya. Namun, pria itu tidak perduli. Dia tetap berjalan dengan langkah lebar mengabaikan wanita itu yang masih begitu ribut memanggil-manggil namanya.
Melihat wajahnya saja sudah terlihat masa bodoh tetapi si wanita tetap bersi keras. Namun, saat sang wanita membentak—menyinggung dirinya, langkahnya berhenti. Membalik tubuh dengan raut wajah serius dan mata yang menatap tajam.
"Apa yang kau lakukan, huh?"
Wanita itu terdiam. Menatap Shaka dengan takut-takut sampai Shaka berdecih melihat ekspresi itu. Tadi dengan beraninya wanita itu membentaknya sekarang di peringati sedikit ketakutan. Dasar lemah!
"A..aku.."
Shaka mendekat. "Apa yang kau inginkan?"
Wanita itu menggeleng. "A..aku minta maaf karena telah menciummu. Lagi pula setelah hampir dua minggu kita berpacaran kenapa kau tidak pernah menyentuh tubuhku bahkan bibirku? Apa tubuhku kurang seksi? Katakan padaku!"
Rasanya Shaka ingin sekali mengatai wanita di depannya ini jal4ng. Bagaimana mungkin wanita ini berkata dengan begitu lantangnya di tengah-tengah kerumunan manusia yang berlalu lalang. Oh astaga, sepertinya Shaka telah mempacari seorang wanita gila.
"Apa kau selalu menyerahkan dirimu dengan begitu murahnya?"
Perkataan tajam itu dengan mudah terlontar dari mulut Shaka membuat sang wanita lagi-lagi terdiam kaku. Memandang Shaka dengan mata memerah.
"Kau ingin memiliki kekasih yang suka sekali menyentuh tubuhmu 'kan? Kalau begitu, maaf aku tidak bisa. Tubuhmu tidak membuatku bernafsu. Kita berpisah."
Setelah mengatakan itu, tidak ada alasan lagi bagi Shaka untuk berada disana. Segera dia kembali melangkahkan kakinya dengan cepat agar wanita itu tidak mengejarnya lagi.
Dan benar, sang wanita sudah tidak mengejar. Tampaknya perkataan Shaka sangat menohok hatinya. Biar saja. Mana ada wanita seperti itu? Baru dua minggu di pacari sudah meminta yang tidak-tidak. Maaf, maaf saja. Shaka sangat menjaga aset aset sensitifnya.
Shaka yang terlalu banyak berpikir, sampai-sampai dirinya tidak menyadari sudah menginjak jalur penyebrangan. Masih berjalan dengan dipenuhi emosi. Hingga tidak sadar bahwa waktu penyebrangan sudah habis tepat saat kakinya melangkah hampir ke tengah.
Hampir saja menjadi sebuah karma karena sudah mengucapkan kata-kata pedas kepada wanita yang hampir disebutnya jal4ng, tampaknya dewi fortuna sedang berada di pihaknya saat tiba-tiba lengannya di tarik dengan kencang, menabrak sedikit tubuh seseorang yang Shaka ketahui lebih kecil darinya.
Oh, seorang gadis berseragam sekolah.
"Tuan, kau ini bisa berjalan atau tidak sih? Lihat itu lampunya sudah berganti warna. Untung tidak tertabrak, kalau tertabrak bagaimana?! Malu dong, sama anak SMP!"
Hari apa ini? Kenapa seharian ini banyak sekali yang meneriakinya, dan apa ini, seorang gadis SMP? Astaga, Shaka kau harus menutupi wajahmu dengan apapun sekarang juga!
Tidak, tidak. Wajah tampannya nanti akan tertutupi.
Shaka melongo. Bingung ingin membalasnya seperti apa. Sedangkan gadis itu menatap Shaka dengan raut wajah yang terlihat kesal.
Sejauh Shaka memandang gadis-gadis di luar sana, bahkan ketika dirinya pergi ke eropa pun, gadis ini luar biasa cantik. Kulitnya seputih susu, mata bulatnya begitu jernih, hidungnya kecil namun mancung, dan bibirnya tipis. Proporsi tubuhnya pun begitu pas. Tidak gemuk namun tidak kurus.
Tunggu.
Tunggu sebentar.
Sepertinya ada yang salah.
Shaka menyeringai, berdehem sebentar kemudian berucap, "Kau.. kau yakin kau masih SMP? Tubuhmu..." Shaka menggantung kalimatnya dengan nada tidak yakin.
Gadis itu tampak memperhatikan tubuhnya sendiri. Yang Shaka lihat pipi gadis itu memerah entah karena apa. Seperti menggoda Shaka untuk segera menyentuhnya.
"Li.. lihat apa kau? Kau ini mesum sekali sih, Tuan!" Gadis itu menutupi dadanya.
'Tetap dibilang mesum juga ternyata'
Hei, tidak ada yang memperhatikan dada gadis itu!
Oh, tidak. Karena tindakan gadis itu yang menutupi dadanya, pandangan Shaka malah terfokuskan kesana. Jangan salahkan dia. Salahkan saja gadis itu.
Mana ada seorang gadis SMP dengan dua buah dada sebesar wanita dewasa?
Shaka tersenyum miring, "Siapa namamu, nona?"
Gadis itu terlihat bingung. Dahinya mengkerut halus dan juga kedua matanya mengerjap-ngerjap lucu. Menggemaskan sekali.
"Kau bertanya namaku?" Ulang gadis itu.
Shaka mengangguk antusias. Merasa tidak sabaran.
"Jeannie. Kenapa?"
Shaka tersenyum, "Baiklah, nona Jeannie. Mahasiswi Psikilog tingkat akhir yang saat ini sedang cosplay menjadi siswi SMP, perkenalkan namaku Arshaka. Senang bertemu denganmu, manis."
Selanjutnya, yang Shaka lihat adalah gadis di depannya ini melongo dengan kedua mata membola.
***
Sangat yakin bahwa saat ini cuaca begitu terang tapi mengapa rasanya seolah ada awan mendung menghias dikepala gadis itu?
Jean sedari tadi mencebik kesal. Mengikuti permainan bodoh Ezar dan Kayana seperti sebuah malapetaka.
Apa-apaan! Yang benar saja, dia disuruh memakai seragam SMP seharian dikarenakan kalah saat bermain dare bersama dengan kedua sahabat laknatnya itu. Pandangan orang yang menatapnya aneh, membuat dirinya menanggung malu setengah mati seharian penuh.
Belum lagi saat Jean masih mengingat pertemuannya dengan pria asing yang mengenal jati dirinya sebagai gadis yang bukan lagi gadis belia. Tidak cukup di permalukan oleh ke dua temannya itu kampus, dan pria asing itu juga mengenali dirinya. Sebenarnya pria itu, siapa dia?
***
Cuaca dingin di luar membuat Jean bergidik ngeri. Hujan sangat deras sedangkan saat ini Jean sedang bersiap ingin pergi ke supermarket.
Jean menggeram. Eshan Averroes!
Baru kali ini Jean menyesal merasakan begitu senangnya karena adik kesayangannya itu datang menjenguk kakaknya setelah sekian lama tidak bertemu. Kalau saja Jean tidak memberitahu adiknya itu password apartemennya, kulkasnya pasti masih utuh. Setidaknya ada beberapa cemilan tersisa, namun yang dia temukan hanya beberapa botol air es.
Sungguh, Jean rasanya ingin mencekik Eshan sekarang juga kalau saja anak itu tidak kabur.
Ya Tuhan, Jean sangat lapar dan perutnya membutuhkan makanan sekarang juga. Cuaca diluar sangat tidak membantu sekali. Tega sekali adiknya itu membuatnya menginjakkan kaki di luar dengan cuaca se-eksrtream ini.
Dan disini lah dia akhirnya. Berdiri di samping troli sembari memilih-milih bahan sayuran setelah melawan lebatnya hujan. Trolinya hampir penuh dan dirasanya sudah cukup untuk memenuhi hidupnya satu atau dua minggu ke depan, Jean berjalan menuju kasir. Ikut bergabung dengan antrian yang tidak terlalu panjang itu.
Pandangannya berkeliaran kemana-mana, tiba-tiba dia melihat sosok tinggi tegap yang sedang berdiri di ujung. Jean terkejut, langsung buru-buru menunduk dengan rambut yang sengaja di arahkan untuk menutupi sebagian wajahnya. Beruntung dia sedang tidak menguncir rambutnya jadi rambut panjangnya bisa dengan mudah menyembunyikan wajahnya.
Jean memalingkan wajahnya kearah berlawanan dari pria itu, menghindar kalau saja pria itu menoleh ke arahnya. Wajah Jean memerah, masih tersisa rasa malu mengingat pertemuan pertama mereka.
Tanpa di sadarinya, pria itu berjalan menuju ke arahnya. Berdiri di belakangnya bergabung untuk mengantri. “Apa yang kau lihat?”
Jean terkejut hampir berteriak melihat wajah Shaka sudah sejajar berada di samping kepalanya. “Ti... tidak.” Ujarnya gugup.
Shaka menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa dengan wajahmu?”
Jean merapihkan rambutnya kebelakang pundaknya sambil tersenyum canggung tanpa menjawab pertanyaan Shaka.
Tiba saatnya giliran Jean menuju kasir. Masih dengan jantung yang berdegub kencang, dia membantu penjaga kasir menata belanjaannya. Sungguh, Jean ingin segera pergi darisana secepatnya sambil berdo'a agar kedepannya tidak akan bertemu dengan Shaka lagi.
Shaka merasa lelah. Jujur saja. Karena seharian ini dia menghadiri tiga rapat penting yang sangat berpengaruh bagi perusahaannya. Sementara ibunya sedari pagi merengek meminta Shaka untuk segera pulang ke rumahnya. Urusan penting katanya. Mau tidak mau Shaka pulang ke rumah. Menemui sang Ibunda tercinta walaupun kondisi tubuhnya tidak mendukung sama sekali.
Shaka merebahkan tubuhnya di atas kasur tanpa mengganti pakaian kantor yang sudah sedari pagi dia kenakan. Dia menatap langit-langit kamar. Kembali teringat kejadian setengah jam yang lalu.
Flashback On
Shaka keluar dari mobil yang dikendarainya sambil membawa beberapa belanjaan yang dia beli di minimarket. Berjalan memasuki rumah keluarganya dan menghampiri sang Ibu dan Ayah yang sedang bersantai di ruang tengah.
Kendati Shaka merasa aneh saat atensinya mendapati seorang bayi mungil berada di gendongan sang Ibu. Kedua orang tuanya hanya memiliki dua anak. Dan kakaknya, Talita sudah menikah dan sudah memiliki anak.
Apa ini anak Talita yang lain? Tetapi, setahunya Talita hanya memiliki dua anak. Yang pertama sudah berumur tiga tahun dan yang ke dua masih dalam kandungan dan usianya pun masih empat bulan. Lalu, darimana anak itu berasal?
"Ibu, anak siapa itu?"
"Bukankah bayi ini sangat lucu dan tampan, Shaka?" Ujar sang Ibu sembari memperlihatkan wajah sang bayi kepada Shaka. Raut wajah sang Ibu kelihatan senang sekali.
"Eum.. Tampan." Kata Shaka berkomentar setelah melihat rupa sang bayi.
"Ibumu menemukan bayi ini di depan rumah seminggu yang lalu. Kasihan sekali ya, kan?" Imbuh sang Ayah.
Shaka mendudukkan diri di sofa. Menyenderkan tubuhnya disana sembari memakan beberapa snack. Mendengarkan penuturan sang Ibu dan Ayah dengan tenang.
"Ibu ingin mengurus anak ini tapi ibu sudah tua. Bagaimana jika kau saja?"
Shaka melotot, "A-apa?"
"Ibu tidak tega jika memberikannya ke panti asuhan atau kantor polisi. Dikeranjangnya juga tidak ada alamat yang tertera. Ibu sudah merawatnya selama seminggu dan belum ada yang mencarinya juga." Haisa—sang Ibu menjelaskan.
"Kau sudah memiliki kekasih?" Tanya Ivan—sang Ayah.
Shaka menggeleng, "Belum."
"Kalau begitu carilah istri segera dan rawatlah anak ini. Ibumu ingin sekali memiliki cucu laki-laki. Dia menangis kalau ayah bilang akan menyerahkannya ke panti asuhan."
Shaka melongo. Otaknya mendadak kosong. Bibirnya kelu. Membisu. Syok sekali mendengar dia diminta menjadi seorang ayah dadakan.
Apa-apaan sih? Astaga, umur Shaka baru berumur 26 tahun dan dia jelas belum siap menjadi seorang ayah. Apalagi dadakan seperti ini. Pacar saja tidak punya, merasakan malam pertama saja belum, dan dia sudah akan memiliki anak? Yang benar saja!
"Ayah pikir mencari istri itu gampang? Kenapa bukan Kak Tita saja yang merawatnya. Dia kan berpengalaman." Sahut Shaka menolak mentah-mentah.
"Dia sudah memiliki anak dan sedang hamil. Kau tega memberikan bayi ini kepada kakakmu yang sedang hamil itu?"
"Kan yang hamil Kak Tita bukan Mas Rendra. Suruh Mas Rendra saja yang merawatnya, Yah.”
"Astaga, Shaka. Ibu tidak mau tahu. Kau harus segera menikah dan rawat bayi ini. Atau ibu yang akan mencarikan calon istrimu dan langsung ibu nikahkan detik itu juga!" Ibu menyahut.
"Ibu!"
Flashback Off.
Shaka memijat keningnya merasakan lelah berpuluh kali lipat saat mengingat itu semua. Shaka sampai tidak habis pikir, bagaimana Ibunya bisa meminta dirinya untuk merawat seorang bayi. Merawat dirinya sendiri saja terkadang suka kerepotan, dan sekarang, apa ini?
Shaka masih termenung di kamarnya, memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan ke depannya nanti jika dia benar-benar menjadi seorang ayah dadakan. Apa yang harus dia lakukan untuk merawat bayi itu. Apa dia benar-benar harus mencari seorang wanita untuk menjadi Ibu dari bayi itu. Sungguh, rasanya kepala Shaka ingin pecah sekarang juga.
Shaka memejamkan mata sebentar, kemudian tiba-tiba dia teringat saat bertemu Jean di minimarket tadi. Seolah rasa lelah itu menghilang saat tangannya menarik laci nakas yang berada di samping tempat tidurnya, dan mengambil sebuah foto seorang gadis berseragam SMA.
Difoto itu tampak Jean tersenyum dengan lebar. Begitu cantiknya hingga Shaka mudah sekali tertular oleh senyuman itu—ikut tersenyum.
Shaka jadi semakin galau memikirkan masa depannya. Padahal Shaka sudah mengatur bagaimana ke depannya untuk mendekati Jean. Ini sudah berjalan 8 tahun sejak Shaka mengenal Jean, dan sudah waktunya Shaka untuk bergerak maju.
Tapi apa-apaan ini, bahkan sebelum Shaka maju, semua rencana yang ada di otaknya untuk mendekati Jean seolah pupus sudah karena kehadiran bayi itu.
Shaka frustasi. Dia mengguling-gulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri hingga kasurnya terlihat tidak berbentuk.
Apa boleh Shaka menyalahkan kehadiran bayi itu? Atau dia harus menyalahkan orang yang sudah membuang bayi malang itu?
Ah, benar. Shaka harus mencari tahu wanita mana yang membuang bayi malang itu hingga dirinya menjadi tumbal. Segera Shaka mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang.
“Vin, kau pasti tahu perihal bayi yang sekarang sedang di rawat oleh Ibu. Cari tahu wanita jahat mana yang membuang bayi itu bagaimanapun caranya.”
****
Pagi menjelang.
Shaka menuruni tangga dengan santai sambil mengancingkan lengan kemejanya. Baru saja sampai di tangga terakhir, dia sudah mendengar jeritan tangis bayi memenuhi ruangan besar itu di susul dengan suara sang Ibu yang terlihat sedang menimang bayi itu di meja makan. Tidak lama, suara bayi tersebut hilang. Tampak sudah tenang.
Shaka acuh, mendudukkan diri di samping Haisa, lalu menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri.
“Eh-eh mau kemana, nak?”
Shaka melirik dengan ekor mata sambil mengunyah. Bisa dia lihat bayi itu jingkrak-jingkrak di pangkuan sang Ibu dengan posisi menghadapnya. Jujur, bayi itu terlihat sangat menggemaskan dengan tubuh yang gempal. Tetapi Shaka berusaha acuh, tidak ingin menyentuh bayi itu walaupun dirinya sudah merasa gemas sampai ke tulang.
“Shaka, sepertinya Aidan ingin di pangku olehmu.”
Aidan?
Shaka terdiam sebentar. Memperhatikan bayi itu yang sedang tertawa. “Aku sedang makan, bu.”
“Ayahmu sedang makan, Nak. Nanti saja, ya.” Ucap Haisa.
Shaka tersedak. Ayah? Siapa yang ayah? Ivan jelas-jelas sedang tidak ada di dapur. Lalu siapa yang ayah?
“Siapa yang Ayah, Bu?”
“Tentu saja kau, Shaka."
Shaka melotot. Menunjuk dirinya sendiri. “Aku? Ibu, aku belum bilang mau untuk merawatnya, ya. Jangan macam-macam, bu.”
“Macam-macam bagaimana. Ibu serius dengan ucapan Ibu kemarin. Kau harus segera cepat-cepat mendapatkan pasangan, atau Ibu yang akan menjodohkanmu.”
“Mencari wanita tidak mudah, bu. Apalagi untuk mengurus bayi yang bukan darah dagingnya. Kita carikan babysitter saja ya?” Shaka menego.
Haisa terdiam sebentar. Menatap tajam Shaka. “Ibu tidak mau tahu. Kau harus yang mengurusnya dengan atau tanpa istri. Ibu tidak mau Aidan di urus oleh pembantu atau siapapun itu selain istrimu. Titik tidak pakai koma!” ucap Haisa dengan penuh penekanan.
Shaka terdiam tidak sanggup berkata-kata lagi. Sepertinya keputusan Haisa sudah mutlak. Mau tidak mau, Aidan akan di asuh olehnya cepat atau lambat. Shaka sendiri tidak bisa memprotes apapun. Tinggal memikirkan bagaimana Shaka harus mengurus Aidan ke depannya. Dan lagi-lagi kepala Shaka kembali pusing memikirkannya. Padahal ini masih pagi, dan masih di meja makan.
"Kau tidak ada bosannya memandang foto itu bahkan setelah 8 tahun." Seruan dari pintu berhasil membuat atensi Shaka teralihkan.
Gavrila Xavier menghampiri Shaka sembari membawa beberapa berkas. Si wakil direktur yang berusia 7 tahun di atas Shaka tampak dewasa dan begitu tampan. Sahabat sekaligus orang kepercayaan Ayahnya.
"Oh, Paman." Shaka menyapa. Masih dengan sisa senyuman di bibir.
"Aku tahu keponakanku sangat cantik. Kau tidak bosan hanya melihatnya di foto seperti itu?" Gavi mendudukan dirinya di sofa dekat meja kerja Shaka.
Shaka menggelengkan kepalanya menanggapi. "Tidak-tidak. Aku bertemu dengannya kemarin."
"Benarkah?"
"Ya. Dia sangat menggemaskan. Paman tahu, dia memakai seragam SMP dan memperkenalkan dirinya sebagai siswi SMP!" Ujar Shaka heboh sembari tertawa. Gavi pun yang mendengar ikut tertawa.
"Memakai seragam SMP? Kau berbohong, kan? Astaga!"
"Tidak, aku tidak berbohong. Sungguh! Ah... Ayo kenalkan aku secara resmi pada Jean." Shaka merengek seperti anak kecil membuat pria berkepala tiga itu tersenyum. Shaka masih sama seperti 8 tahun yang lalu saat pria itu masih dengan wajah polos dan rambut berwarna kecoklatan. Begitu riang dan terlihat tanpa beban.
"Kau sendiri yang meminta untuk tidak memperkenalkannya disaat dia belum dewasa. Takut Jean jatuh cinta katamu." Perkataan Gavi membuat Shaka mengingat bahwa Gavi dulu kerap sekali memamerkan gadis itu kepadanya saat gadis itu masih berusia remaja.
Sebenarnya, tidak. Gavi sama sekali tidak berniat untuk itu. Hanya berawal ketidak sengajaan Shaka melihat foto Jean di ponsel Gavi dan berakhir foto Jean yang Gavi jadikan tumbal agar Shaka bersemangat untuk belajar bisnis. Mari kembali ke masa lalu agar lebih jelas,
Flashback On
17 Oktober 2014
"Shaka, kenalkan ini Gavrila Xavier. Dia yang akan membimbingmu untuk mengelola perusahaan. Bersopanlah padanya, Nak." Ivan, sang Ayah memperkenalkan Gavi kepada Shaka yang masih berusia delapan belas tahun.
Saat itu Shaka masih remaja. Baru masuk kuliah mengambil jurusan bisnis. Jurusan yang diambil dengan keterpaksaan karena Shaka sama sekali tidak ingin mengambil jurusan itu. Repot katanya.
Shaka suka sekali melakukan hal-hal yang sederhana seperti bernyanyi dan melukis misalnya. Tidak berminat sama sekali untuk terus mengasah otak dengan berhitung dan berpikir keras tentang perbisnisan walaupun pada kenyataannya dia lebih dari mampu dengan otaknya yang pintar.
Shaka hanya ingin hidup bebas sesuai yang dia inginkan dan meraih cita-citanya untuk menjadi penyanyi. Shaka seolah lupa bahwa takdir tidak akan berpihak sesuai keinginannya. Bagaimana pun juga, Shaka harus meninggalkan cita-citanya itu karena sedari lahir takdir sudah menggariskan bahwa di masa depan Shaka adalah satu-satunya pewaris perusahaan Altair karena hanya dirinya lah satu-satunya laki-laki penerus keluarganya.
Shaka hanya bisa menurut. Tidak membantah walaupun ingin. Karena dia pikir segala sesuatu harus dengan restu orang tua. Sangat naif dan polos. Jadilah, Shaka yang sekarang walaupun dengan sikap ogah-ogahannya.
Ivan pikir, sudah waktunya Shaka untuk belajar mengenai bisnis, maka dari itu Ivan segera memperkenalkan Gavrila—orang kepercayaan Ivan untuk membimbing Shaka. Ivan bukannya tidak tahu apa yang di inginkan anak bungsunya itu. Hanya saja Ivan pun tidak bisa berbuat apapun karena memang kalau bukan Shaka, siapa lagi yang akan mengambil alih perusahaan besarnya.
Sebenarnya, Shaka bukanlah seorang anak pembangkang. Dia pemuda baik, penurut, dan sopan. Bad boy? Tidak. Shaka jauh dari kata bad boy. Hanya saja tingkahnya terkadang suka sekali kekanakan. Pecicilan, dan terkadang merajuk. Seperti saat ini. Shaka tidak marah. Hanya merajuk dan berakhir dengan mengabaikan kedua pria itu yang kini masih berdiri di depan Shaka.
Yang Shaka pikirkan saat ini, suruh siapa Ayahnya memperkenalkan pria bernama Gavrila ini disaat dirinya tengah bermain game. Kan tidak enak. Lagi asyik-asyiknya menyerang musuh, ada yang menganggu. Ogah sekali mengalihkan pandangan dari ponsel demi melihat pria yang dibawa Ayahnya itu. Alhasil dia hanya menjawab dengan deheman singkat.
"Shaka, jawab yang sopan." Ivan memperingati.
"Sebentar, sebentar dulu, Ayah. Aku sedang menyerang." Sahut Shaka dengan menggebu-gebu sembari memegang ponselnya kuat-kuat. Tampaknya dia sedang dalam kesulitan menyerang musuh.
Sedangkan Ivan tersenyum canggung pada Gavi disampingnya. Tidak enak akan sikap putranya.
"Shaka!" Bertepatan dengan ayahnya yang mengintrupsi dirinya, Shaka kalah dalam permainan.
"Astaga, Ayah! Oke, Selamat pagi. Saya Arshaka. Senang bertemu dengan anda." Shaka memperkenalkan diri dengan terpaksa. Menunduk dalam tanpa senyum diwajahnya.
"Baiklah, Ayah pergi dulu. Kalian silahkan mendekatkan diri satu sama lain. Shaka, ingat jangan berbuat onar!" ucap Ivan sebelum berlalu. Sedangkan Shaka mendudukkan kembali dirinya di sofa dengan acuh. Memusatkan perhatiannya kembali ke layar ponsel.
Shaka mengernyit heran saat tidak ada pergerakan lain di sisi sebelah sofa. Dia mendongak, menemukan Gavi masih berdiri disana.
"Mas Gavi duduk saja. Tidak usah canggung padaku." Kata Shaka.
"Tapi-"
"Duduk saja." Perintah anak dari CEO perusahaan yang akan menjadi calon CEO selanjutnya mana mungkin di bantah perintahnya oleh Gavi. Akhirnya Gavi duduk dengan canggung disamping Shaka.
"Berapa usiamu?" tanya Shaka.
"25."
"Ah, beda 7 tahun rupanya. Aku 18 tahun."
Gavi tersenyum tipis. Kemudian deringan ponsel membuat percakapan canggung mereka terputus.
Gavi menatap Shaka seolah meminta izin untuk mengangkat telefon dan Shaka mengangguk.
Shaka diam. Memperhatikan Gavi menerima panggilan sampai panggilan itu selesai dan Gavi menaruh ponselnya di atas meja.
Shaka melihat itu. Wallpaper ponsel Gavi.
Seorang gadis berambut panjang tersenyum dengan begitu manis.
Seolah melihat harta karun, Shaka menyambar ponsel Gavi tanpa malu. "Ini anakmu?"
Gavi membiarkan Shaka memegang ponselnya. "Saya belum menikah, Tuan." Jawabnya.
"Tunggu sebentar, aku hanya ingin melihat." Shaka mengintrupsi saat Gavi menyodorkan tangannya, meminta ponselnya kembali.
Shaka melihat layar ponsel Gavi dengan teliti. Sampai ponsel itu di dekatkan di depan wajahnya.
"Waah, Mas Gavi! Astaga, cantik sekali. Siapa namanya?"
"Prismiranti Jeannie. Dia keponakanku."
Shaka menatap Gavi dengan berbinar. "Benarkah? Berapa umurnya?"
Gavi tampak berpikir, "Kira-kira 14 tahun."
Shaka mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aah, beda empat tahun dengaku, ya. Kalau begitu, kenalkan aku padanya, dong!"
Gavi membuka mulutnya, ingin membalas namun Shaka lebih dulu memotong. "Tidak-tidak. Perkenalkan aku padanya jika aku sudah dewasa saja. Sebagai gantinya, Mas Gavi harus lapor padaku jika dia memiliki kekasih."
"Tapi Tuan-"
"Ayolah... Aku berjanji akan menurutimu. Belajar yang rajin hingga aku bisa menggantikan ayah." Ujar Shaka sungguh-sungguh.
Gavi sejenak terdiam. Menatap Shaka yang masih memperhatikan ponselnya. Kata Ivan, Shaka kalau disuruh belajar tentang bisnis selalu malas. Ke kampus saja jarang. Malah terkadang Shaka hanya datang ke kampus kemudian tidur di perpustakaan.
Padahal saat SMA, Shaka merupakan anak yang rajin. Selalu mendapat peringkat atas.
Yang Gavi dengar, dulu cita-cita Shaka ingin menjadi penyanyi namun gagal karena tuntutan untuk menjadi penerus perusahaan. Dari situ, Gavi tahu bahwa pemuda ini sedang menunjukkan aksi protesnya. Tidak terima dengan keadaan, mulai membangkang dan merajuk karena cita-citanya tidak bisa ia gapai. Gavi sejenak berpikir, mungkin dengan kesepakatan ini Shaka bisa ia bimbing dengan mudah.
"Benarkah? Kau berjanji?" Gavi bertanya memastikan.
"Ya. Aku berjanji. Kau bisa pegang janjiku."
Gavi menelisik memperhatikan wajah Shaka untuk mencari kebohongan. Namun nihil. Untuk sesaat, Gavi tampak berpikir menimang-nimang apakah keputusannya tepat atau tidak. Bukankah Gavi hanya melapor jika Jean memiliki kekasih agar Shaka bersemangat? Ya, hanya itu dan akhirnya dia yakin dengan keputusannya. Mengandalkan keponakannya demi Shaka walaupun kenyataannya keponakannya itu tidak tahu apa-apa.
Maafkan pamanmu ini, Jean.
"Kau menyukainya?"
"Aku jatuh cinta bahkan hanya dengan melihatnya melalui ponselmu."
"Dia tidak mudah untuk didekati."
"Maka dari itu, aku akan berusaha untuk memantaskan diri."
"Kalau begitu aku akan memastikan dia tidak berkencan dengan siapapun."
Shaka menoleh, menatap Gavi dengan raut berbinar. "Sungguh?"
Gavi mengangguk. "Ya."
"Yes! Terimakasih, Paman. Kita berteman sekarang!"
"Paman?" Gavi mengernyit mendengar panggilan dari Shaka berubah.
"Iya. Bukankah Jean memanggilmu Paman? Mulai sekarang aku akan memanggilmu Paman juga." seru Shaka bersemangat.
Semenjak itu, Gavi terkadang melapor kepada Shaka bagaimana keadaan Jean dan status gadis itu. Apakah sudah memiliki kekasih atau belum. Dan hubungan mereka pun menjadi akrab selayaknya adik dan kakak. Gavi bahkan terkadang tidak segan-segan memamerkan keponakannya yang semakin cantik seiring bertambahnya umur sampai Jean beranjak dewasa seperti sekarang ini.
Gavi pikir, setelah 1 atau 2 tahun, Shaka akan menyerah pada Jean. Namun, Gavi salah. Bahkan setelah 8 tahun, Shaka masih menyukai Jean. Masih sering membicarakan Jean walaupun pria itu sendiri sudah sering gonta-ganti pasangan.
Gavi sempat curiga karena Shaka bilang ia menyukai Jean tetapi malah memacari gadis sana-sini. Bilangnya sih, hanya ingin mencari pengalaman berpacaran jika nanti di masa depan Shaka sudah bersama Jean, dan akhirnya Gavi mengerti.
Shaka hanya butuh penghibur di kala dia lelah. Bagaimanapun juga Shaka itu laki-laki normal. Hasrat melihat perempuan bertubuh sexy bukanlah sesuatu yang mudah untuk di lawan. Apalagi kebanyakan perempuan-perempuan itu yang menyerahkan diri.
Tentu saja Shaka dengan tampang kelewat rupawan dengan body tinggi atletis, perempuan mana yang akan menolak pesona Shaka. Terkesan kejam memang, tetapi itulah Shaka. Ia hanya seorang laki-laki biasa yang terjebak dengan hasrat memantaskan diri untuk seseorang yang ia cintai.
Dan Gavi tahu bahwa Shaka bersungguh-sungguh untuk cintanya. Karena Shaka selalu berkata,
'Aku belum cukup siap untuk bertemu dengan Jean. Biar saja aku melihatnya hanya dari jauh. Sampai aku siap.'
Bukankah Shaka begitu manis?
Bahkan ketika Shaka pertamakali berkencan, ia meminta ijin lebih dulu kepada Gavi seolah Gavi adalah ayah Jean, dan berjanji bahwa selama berpacaran dengan perempuan lain, Shaka tidak akan berani macam-macam. Hanya ingin mencari penghibur saja. Tentu saja dengan pantauan Gavi dalam radius jarak jauh.
Ketahuilah bahwa sebelum menjabat sebagai wakil direktur, Gavi adalah asisten pribadi Ivan yang akan melaporkan setiap tingkah laku anak kesayangannya itu sehingga Shaka tidak akan berani macam-macam.
Flashback Off.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!