Pada suatu siang, di taman belakang Fakultas Teknik Universitas Neosantara, di saat mahasiswa lain sedang sibuk dengan berbagai peralatan tempur berupa buku sketsa, pensil dan alat ukur, ada empat mahasiswa yang memisahkan diri dari aktivitas memusingkan tersebut.
Mereka adalah Pramudya Baskara, Arkafabian Syailendra, Reno Irvansyah dan Juananda Pratama. Keempat pemuda itu adalah mahasiswa Teknik Sipil semester empat. Tetapi tidak seperti mahasiswa Teknik Sipil lain yang rajin mengerjakan tugas, mereka berempat lebih suka nongkrong di gazebo belakang fakultas sembari nyebat dan mengobrolkan hal-hal random seperti sekarang.
"Lo lagi pada gabut, nggak?" Baskara, yang pertama kali menghabiskan rokoknya, memulai pembicaraan.
Dalam banyak kesempatan, Baskara memang selalu menjadi orang pertama yang membuka obrolan sekaligus pencetus ide-ide gila yang berakhir disepakati dan dieksekusi oleh tiga temannya yang lain. Bisa dibilang, Baskara adalah pentolan di circle pertemanan mereka.
"Lumayan." Reno yang duduk di seberangnya menjadi orang pertama yang menyahut. Dia baru saja mematikan rokok pertamanya dan hendak menyalakan yang ke-dua.
"Gue ada bahan baru." Kata Baskara antusias, membuat Reno yang hendak memantik korek api seketika mengurungkan niat dan mencurahkan perhatian kepadanya.
Fabian dan Juan yang masih menikmati rokok mereka masing-masing juga ikut memperhatikan, walau pada kenyataannya mereka masih enggan bersuara.
Menyadari tiga temannya sudah sepenuhnya mencurahkan perhatian, Baskara pun tersenyum senang. Lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku celana, tampak fokus menggulir layar selama beberapa saat kemudian menyodorkan ponsel tersebut ke tengah-tengah supaya tiga temannya yang lain bisa melihat apa yang ada di sana.
Ketiga temannya pun segera memajukan tubuh, melongokkan kepala untuk melihat apa yang Baskara tunjukkan.
Dan ketika mereka melihat foto seorang gadis cantik terpampang di layar ponsel pemuda itu, mereka tahu bahwa itu adalah sebuah sinyal yang menandakan bahwa 'perburuan' mereka akan kembali dimulai.
Ketiganya saling pandang. Berusaha berkomunikasi melalui tatapan mata sebelum akhirnya serempak menoleh ke arah Baskara yang sudah tersenyum lebar sampai ke telinga.
"Taruhannya apa?" tanya Fabian, membuat Juan dan Reno keheranan sebab biasanya anak itu yang paling kalem dan hanya ikut-ikut saja saat diajak.
Fabian tidak pernah secara aktif menunjukkan ketertarikannya pada hobi taruhan yang mereka jalani. Seolah anak itu cuma sekadar berpartisipasi supaya masih dianggap bagian dari Pain Killer (nama geng mereka).
"Cimol." Kata Baskara.
Cimol yang dia maksud di sini bukanlah makanan berbahan dasar tepung aci berbentuk bulat-bulat kecil yang biasa dijual di gerobak abang-abang tukang gorengan, melainkan satu unit Ducati Panigale V4, motor kesayangan Baskara yang biasa pemuda itu pakai untuk balapan.
Mendengar Baskara sampai mau mempertaruhkan si Cimol, tiga temannya langsung berasumsi bahwa tingkat kesulitan dalam taruhan mereka kali ini cukup tinggi. Karena sejauh yang mereka tahu, Baskara bahkan lebih menyayangi Cimol ketimbang orang tuanya sendiri.
"Siapa yang bisa dapetin cewek di foto itu dan macarin dia selama sebulan, maka dia berhak mengadopsi Cimol." Jelas Baskara, menatap tiga temannya satu persatu dengan senyum yang dikulum.
"Kalau nggak ada yang berhasil?" tanya Juan, mulai curiga karena taruhan yang Baskara sodorkan kali ini tidak main-main.
"Lo bertiga harus transfer ke gue, masing-masing 200 juta."
"Bangsat! Enteng banget mulut lo ngomong! Bapak gue nggak sekaya bapak lo, Bas!" gerutu Reno.
"Nggak sekaya bapak gue, tapi duit 200 juta tetap kecil kan, buat lo?" tanya Baskara sembari menaik-turunkan alisnya.
Reno tidak menjawab. Setelah mengembuskan napas keras-keras, pemuda itu malah melanjutkan aktivitasnya menyalakan rokok dan mulai menyesap nikotin di dalam lintingan itu hingga asap pekat memenuhi paru-parunya.
"Berarti, cukup satu orang aja yang berhasil, kan?" tanya Fabian lagi, sekadar memastikan.
Baskara menoleh ke arah Fabian dan mengangguk mantap. "Yep. Cukup satu di antara kalian yang berhasil dan berhak mengadopsi Cimol. Yang nggak berhasil nggak perlu keluarin duit sepeser pun."
"Lo nggak ikut dalam 'misi' kali ini?" tanya Juan lagi.
"Nggak, anggap aja gue berperan sebagai pihak penyelenggara yang tugasnya cuma menyediakan hadiah dan menerima denda kalau nggak ada di antara kalian yang bisa menyelesaikan 'misi'."
"Tumben? Biasanya lo yang paling semangat buat cetak rekor?" cibir Reno disela-sela kegiatannya merokok.
"Gue mau rest bentar lah, bro! Harus perbaiki image dulu biar bisa menangkap ikan yang lebih besar." Baskara mengerlingkan mata sembari tersenyum tengil.
"Brengsek emang," Juan terkekeh, meninju pelan bahu Baskara kemudian mereka tertawa bersama.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan yang lain, Baskara sedari tadi terus mencuri pandang ke arah Fabian yang terpaku menatapi gambar gadis di layar ponselnya. Kemudian, dia tersenyum kala menemukan Fabian mengangkat kepala dan mulai menyuarakan kesediaannya untuk ikut berpartisipasi di dalam 'misi' mereka kali ini.
"Jadi, lo semua ikut, ya?" tanya Baskara memastikan.
"Atur aja deh." Sahut Reno yang tidak mau ambil pusing. Dia masih lebih tertarik untuk menghabiskan rokoknya ketimbang mendengar Baskara mengoceh.
"Gue jelas ikut, hitung-hitung menambah track record gue supaya bisa nyaingin lo." Kata Juan.
"Gue juga ikut." Fabian menyahut.
Karena semua peserta sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut, Baskara pun mengambil kembali ponselnya dan mengeluarkan kunci motor untuk menggantikan posisi ponsel tersebut.
"We're Pain Killer, we can beat the pain!" seru Baskara. Memimpin tiga temannya untuk mengudarakan slogan geng mereka yang legendaris.
Ketiga temannya saling mengulurkan tangan, kemudian mereka mengulangi apa yang Baskara katakan dengan suara lantang sampai beberapa mahasiswa yang ada di sana menoleh secara serempak.
"Slogan udah diteriakkan, pertanda misi baru telah dimulai." Komentar seorang mahasiswa.
"Kira-kira, target mereka kali ini siapa lagi?" komentar yang lain.
"Semoga target kali ini keras kepala dan berhati batu, biar mereka sesekali ngerasain gimana rasanya ditolak sama cewek."
"Taruhan mulu, nggak ada kapok-kapoknya mereka."
"Gimana mau kapok kalau korban mereka malah bangga karena udah pernah jadi pacar anggota Pain Killer, walaupun cuma sebentar dan sebagai bahan taruhan?"
"Branding mereka emang nggak main-main, sih. Soalnya walaupun cuma taruhan, mereka treat bahan taruhan mereka dengan baik. Pas putus juga nggak dilaukin di depan umum, jadi korbannya nggak malu-malu amat."
"Kok gue nggak pernah dijadiin bahan taruhan, ya, sama mereka?"
"Mereka kapan tobat, sih?"
Dan masih banyak komentar lain yang terlontar dari bibir-bibir mahasiswa yang ada di sana. Yang meskipun ada beberapa ucapan mereka yang berhasil sampai ke telinga anggota Pain Killer, empat manusia itu tetap tidak peduli.
Sebab, mereka hidup untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. Tanpa peduli pada penilaian orang lain.
Bersambung
Untuk melancarkan misi, mereka tentu membutuhkan informasi yang lengkap tentang target mereka kali ini.
Maka, Baskara sebagai si pencetus misi dengan penuh kesadaran diri segera membagikan informasi yang berkaitan dengan target mereka ke grup chat khusus yang mereka buat untuk membahas soal misi-misi seperti ini.
Eleena Sabiru, 21 tahun, Sastra 2022.
Begitulah pesan yang Baskara kirimkan ke grup.
Seperti biasa, Reno selalu menjadi orang pertama yang menanggapi setiap pesan yang masuk ke grup chat mereka. Entah karena lelaki itu terlampau pengertian dan fast respon atau justru dia adalah si paling pengangguran di antara mereka berempat.
Nama kok biru, itu orang apa background foto nikahan? Dibubuhi satu emotikon wajah sarkas.
Bukan Reno namanya kalau tidak melontarkan kalimat pedas dan meremehkan. Itu sudah biasa, jadi Baskara memutuskan untuk tidak membalasnya. Dia memilih untuk menunggu balasan dari dua temannya yang lain.
Sekitar dua menit kemudian, Juan membalas.
Wah, kebetulan nih, gue ada kenalan anak Sastra.
Untuk pesan yang Juan kirimkan, Baskara membalas.
Good for you. Semoga beruntung, deh.
Berhubung dia tahu Reno akan mencak-mencak kalau cuma pesan milik Juan yang ditanggapi sedangkan milknya tidak, maka Baskara buru-buru mengetikkan balasan untuk anak itu kala matanya melihat tulisan Reno is typing di bawah ikon grup chat mereka.
Biru, kayak Avatar. Diselipi emotikon ketawa ngakak sebanyak tiga biji di akhir kalimat.
Beruntung balasannya lebih dulu terkirim sehingga Reno yang semula mengetik tampak berhenti.
Baskara terkekeh pelan sekaligus menghela napas lega karena baru saja sukses menyelamatkan diri dari omelan Reno. Sedikit informasi, kalau sudah mengomel, Reno bisa melakukannya seharian penuh. Tentu saja itu melelahkan bagi siapa pun yang mendengarnya.
Besok eksekusi?
Balasan itu dikirimkan oleh Juan. Sedangkan Fabian yang siang tadi terlihat antusias sampai sekarang belum menampakkan diri.
Baskara maklum, karena dari mereka berempat, cuma Fabian yang paling jarang berkutat dengan ponselnya. Pemuda itu pecandu game online, yang kalau sudah berkutat dengan perangkat komputernya, maka dia akan seketika lupa pada dunia di sekitar. Saking fokusnya ketika sedang bermain, melihat Fabian masih bisa bernapas selagi bermain game saja sudah membuat Baskara merasa lega.
Gas, lah. Balas Baskara.
Setelah itu, dia meninggalkan room chat dan melemparkan ponselnya ke atas kasur.
Baskara kemudian berjalan menuju kamar mandi. Tanpa melepas pakaian yang dia kenakan, pemuda itu masuk ke dalam bathtub yang sebelumnya sudah dia isi penuh dengan air.
Dingin seketika menjalar ke seluruh tubuh Baskara saat kakinya berhasill masuk. Kemudian, tanpa menunggu sampai tubuhnya terbiasa dengan hawa dingin yang begitu terasa menusuk sampai ke tulang, Baskara segera menenggelamkan diri. Definisi sebenarnya dari menenggelamkan diri, karena kini dia berbaring dan membiarkan kepalanya berada di dalam air.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Waktu terus berjalan, tetapi Baskara masih enggan untuk menarik diri. Padahal, manusia tidak diciptakan untuk hidup di dalam air. Dia butuh bernapas, meraup oksigen sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru agar tetap hidup.
Tetapi sampai detik ke-45, Baskara masih belum juga menyembulkan kepalanya. Seolah-olah dia sudah terbiasa. Seolah-olah dia adalah manusia psuper yang memilliki kekuatan untuk tetap bernapas di dalam air.
Tapi, tentu saja tidak seperti itu. Baskara masih tetap manusia biasa yang butuh menghirup oksigen. Buktinya saja, di detik ke-55, dia akhirnya menyembulkan kepala.
Mulutnya megap-megap, persis seperti ikan yang sedang terdampar di daratan. Dia meraup oksigen dengan rakus, mengangkut paksa partikel-partikel tak kasat mata itu ke dalam paru-parunya agar nyawanya tidak melayang.
Baskara terduduk cukup lama di dalam bathtub. Alih-alih menggigil kedinginan, seluruh tubuhnya malah terasa panas. Kepalanya terasa pening dan berat, jantungnya berdetak tidak keruan dan dia merasa lemas.
Apakah ini pertama kalinya Baskara melakukan tindakan gila semacam ini? Jawabannya tentu tidak.
Entah sudah berapa ratus kali dia berusaha membawa dirinya sendiri mendekati kematian. Benar-benar hanya mendekati, karena dia belum benar-benar ingin mati.
Baskara akan melakukan hal-hal nekat semacam ini kalau kepalanya sedang ribut dan dia tidak bisa lagi mendapatkan ketenangan dari menenggak alkohol maupun menghabiskan berbatang-batang rokok.
Meskipun dia harus merasakan efek yang luar biasa setelah berhasil selamat dari kematian, Baskara tidak keberatan. Karena setelah itu, semua beban di kepalanya seolah diangkat dan dia bisa kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa.
Sekarang sudah hampir tengah malam, jadi Baskara tidak berniat untuk membasuh tubuhnya di bawah kucuran shower yang mengalirkan air hangat. Toh, kepalanya sudah kembali terasa ringan, jadi tidak ada lagi yang perlu dia lakukan di kamar mandi.
Maka, Baskara bangkit. Dia mengangkat kaki panjangnya dan segera keluar dari dalam bathtub lalu melepaskan pakaiannya, melemparkannya asal ke pojok kamar mandi tanpa sudi repot-repot memasukkan pakaian basah itu ke dalam keranjang yang sudah disediakan.
Baskara berjalan keluar dari dalam kamar mandi dengan keadaan telanjang bulat, melangkah santai menuju walk in closet di sebelah kamar mandi lalu mencomot satu setel kaus polos warna hitam dan celana pendek warna senada. Dia segera memakainya kemudian berjalan kembali menuju ranjang.
Dihempaskannya tubuh besar itu ke atas ranjang. Diraihnya ponsel yang semula teronggok sendirian dan mulai kembali dia jamah dengan penuh perasaan.
Baskara mengabaikan puluhan notifikasi yang masuk ke ponselnya, termasuk notifikasi grup chat dengan Pain Killer, dan lebih memilih untuk menjelajahi galeri di dalam ponselnya.
Di sana, ada banyak sekali foto seorang gadis dari berbagai angle dan siuasi. Mulai dari ketika gadis berambut panjang sepunggung itu sedang berjalan di trotoar menggunakan seragam sekolah SMA, sampai foto ketika gadis itu pertama kali menginjakkan kaki di kampus tempatnya menimba ilmu sekarang. Semua foto itu Baskara kumpulkan atas kerja kerasnya sendiri, dan kini, dia bisa tersenyum bangga menikmati setiap hasil jepretan yang cantik--secantik objek di dalamnya.
"I got you, Blue." Gumamnya sembari menatapi satu foto terbaru yang siang tadi dia sodorkan ke hadapan teman-temannya.
Iya, itu adalah gadis yang sedang mereka jadikan bahan Taruhan.
Biasanya, Baskara memilih target untuk taruhan mereka secara acak, sesuai dengan mood dan faktor-faktor lain yang mendukung. Tetapi kali ini, dia secara khusus memilih target yang posisinya dekat, tapi juga sekaligus jauh dari dirinya. Untuk pertama kalinya, Baskara berharap taruhan mereka kali ini akan gagal. Bukan karena dia tidak ingin kehilangan Cimol, tetapi karena dia ingin kembali memiliki si gadis biru itu untuk dirinya sendiri.
Bersambung
Empat pemuda berpenampilan kece berjalan beriringan melewati koridor di mana para mahasiswa dan mahasiswi yang sedang ada di sekitar kompak menatap takjub ke arah mereka.
Pemandangan seperti ini sudah biasa. Sudah jadi rahasia umum kalau Pain Killer itu adalah geng paling disegani di Universitas Neosantara. Selain karena anggotanya merupakan anak-anak dari orang penting yang memegang kuasa di kampus ini, keempat pemuda itu juga dianugerahi wajah rupawan dan mulut manis madu yang bisa membuat siapa pun lawan bicara mereka bertekuk lutut tanpa banyak usaha yang perlu dikeluarkan.
Kalian pernah menonton serial drama Korea yang berjudul Boys Before Flower, di mana ada empat pemuda tampan yang tergabung ke dalam satu geng bernama F4? Nah, begitulah kira-kira penampakan Pain Killer ini.
Bedanya, mereka tidak senang merundung orang-orang yang taraf ekonomi ataupun status sosialnya lebih rendah ketimbang mereka. Bagi mereka, perbuatan itu sangat rendahan.
Meskipun mereka hobi taruhan untuk mendapatkan hati para gadis di kampus ini untuk kemudian mereka putuskan satu bulan kemudian, para anggota Pain Killer tidak pernah berbuat lebih untuk menyakiti para gadis yang menjadi incaran mereka. Aturannya ada 3 : Tidak menyentuh, tidak mempermalukan dan memberikan ganti rugi.
Ganti rugi? Iya. Mereka akan memberikan ganti rugi kepada para gadis yang telah mereka jadikan bahan taruhan. Hitung-hitung sebagai upah karena gadis-gadis itu mau meluangkan waktu untuk bersenang-senang dengan mereka dalam kurun waktu satu bulan.
"Siapa yang mau mulai duluan?" tanya Reno ketika mereka sampai di depan ruang kelas pertama mereka.
"Barengan." Sahut Juan.
Mendengar itu, Reno melotot. "Kalau barengan, nanti dia tahu kalau lagi dijadiin bahan taruhan!"
"Well, semua orang di kampus ini juga pasti langsung tahu kalau mereka lagi jadi target taruhan kita. Reputasi kita di kampus ini nggak main-main, Ren." Kata Juang, yang langsung diangguki oleh Baskara. Sementara Fabian seperti biasa cuma diam mendengar perdebatan antara teman-temannya.
"Tapi si Biru ini kan anak baru,"
"Anak baru bukan berarti dia buta soal informasi di kampus ini. Dari ujung depan sampai ujung belakang, di seluruh penjuru kampus, siapa yang nggak kenal sama Pain Killer?" kata Baskara.
Reno terdiam. Tidak punya lagi sanggahan untuk dikatakan kalau Baskara sudah mulai menekankan soal seberapa terkenalnya mereka di lingkungan kampus.
"Barengan aja, kayak biasanya. Biar lebih adil juga, kan, kalau kita start di waktu yang sama?" lanjut Baskara.
Ketiga temannya kompak mengangguk, lalu mereka berjalan beriringan memasuki ruang kelas yang seketika menjadi senyap ketika mereka muncul dari balik pintu.
Sekumpulan mahasiswi yang tadinya sedang bergosip sontak mengatupkan bibir rapat-rapat dan langsung terpaku menatapi satu persatu anggota Pain Killer yang duduk bersebelahan.
Menanggapi hal itu, keempat pemuda itu cuma cuek saja. Mereka mulai mengeluarkan peralatan tempur mereka, dan dalam sekejap telah tenggelam ke dalam dunia mereka masing-masing.
Sementara itu ...
Di gedung faklutas lain, Biru yang tidak tahu-menahu bahwa dirinya sedang menjadi bahan taruhan dari geng paling disegani di kampus pun menjalani kehidupan perkuliahannya seperti biasa.
Biru fokus menatap layar proyektor di depan kelas, memperhatikan setiap penjelasan yang dosen pengajarnya sampaikan sambil sesekali menggerakkan tangannya untuk menulis poin-poin penting di buku catatan.
Di sebelahnya, dua gadis lain tampak saling berbisik sembari menunjuk layar ponsel milik salah satu di antara mereka.
Biru melirik ke arah dua gadis tersebut. Sedari awal masuk kuliah, dua gadis itu memang sudah terkenal menjadi biang onar. Selalu saja ada tingkah mereka yang membuat mahasiswa lain geram. Bahkan, di kelas terakhir minggu lalu, mereka dikeluarkan karena terlalu berisik dan mengganggu jalannya kegiatan belajar mengajar.
Tetapi sepertinya mereka sama sekali tidak kapok. Mungkin mereka memang cuma iseng saja mendaftar kuliah, daripada cuma rebahan di rumah dan membuat anggota keluarga yang lain terkena iritasi mata.
Karena pada dasarnya Biru tidak suka keributan, dia akhirnya diam saja, tidak berusaha menegur dua gadis tersebut walaupun sebenarnya dia sudah sangat geregetan. Lagipula, ini masih semester awal, dia tidak ingin reputasinya menjadi buruk hanya karena meladeni manusia tidak punya adab seperi mereka.
Satu setengah jam kemudian, kelas pertama selesai. Berhubung ada jeda sekitar 45 menit sebelum kelas ke-dua dimulai, Biru memutuskan untuk membereskan barang-barangnya dan keluar dari kelas.
Selain karena dia sudah malas mendengar bisik-bisik dua gadis menyebalkan tadi yang semakin lama semakin mengganggu, dia juga merasakan perutnya melilit. Para cacing yang menghuni perutnya seolah sedang berdemo minta diberi makan. Jadi, sebagai majikan yang baik, dia akan mengabulkan permintaan para peliharaannya itu.
Di sepanjang perjalanan menuju kantin fakultas, Biru hanya fokus pada jalanan yang dia lewati. Sepenuhnya mengabaikan sekelompok mahasiswa yang melemparkan tatapan ke arahnya sambil saling berbisik.
Kalau cuma berbisik, Biru tidak akan meladeninya. Tapi kalau sudha ada satu saja di antara mereka yang melakukan cat calling terhadap dirinya, Biru akan langsung putar balik dan menghampiri gerombolan mereka untuk melayangkan tendangan maut ke wajah mereka yang pas-pasan.
Sedikit informasi, Biru adalah pemegang sabuk hitam taekwondo. Jadi soal urusan mematahkan leher seseorang bukanlah hal yang sulit untuk dirinya.
Sampai di kantin fakultas, Biru mengambil posisi duduk yang paling dekat dengan akses keluar. Alasannya cuma satu, supaya dia bisa langsung melesat pergi setelah selesai makan tanpa harus banyak menghabiskan langkah.
Setelah meletakkan tas di atas meja yang dia pilih, Biru berjalan santai menuju satu kedai yang menjual soto ayam. Dia segera memesan satu, lengkap dengan gorengan dan kerupuk udang. Entahlah apa soto match dengan kerupuk udang, Biru hanya mengambil apa yang nampak di depan matanya saja. Untuk minumnya, Biru memilih teh tawar hangat karena dia tidak terlalu suka segala sesuatu yang manis.
Pesanannya telah siap kurang dari lima menit. Segera dia bawa nampan berisi semuanya pesanannya itu menuju meja yang sudah dia incar setelah melakukan pembayaran.
Nampan diletakkan, satu persatu yang ada di atasnya dipindahkan ke atas meja dan dalam sekejap saja, Biru sudah anteng menikmati makanannya.
Sembari makan, Biru melemparkan pandangannya ke area luar kantin. Pada jajaran pohon tinggi nan rindang yang menaungi beberapa bangku di bawahnya. Kalau siang hari, bangku-bangku itu akan dipenuhi oleh para mahasiswa yang sedang kepanasan dan berharap bisa mendapatkan kesejukan dari pohon-pohon di sekitar.
Dan berhubung ini masih lumayan pagi, bangku-bangku itu masih tampak kosong.
Sendok demi sendok tersuap ke dalam mulut. Sampai akhirnya, Biru memasukkan suapan terakhir dan mengunyahnya dengan gerak lambat sebelum menelannya.
Sendok diletakkan dengan posisi tengkurap, lalu dia menyambar teh tawar hangat miliknya dan langsung meneguknya hingga setelah tandas.
Keringat mulai membasahi wajahnya, namun Biru sama sekali tidak merasa terganggu. Dia biarkan bulir-bulir bening itu mengalir melewati lekuk wajahnya sampai beberapa jatuh membasahi baju. Ada tisu di atas meja, tetapi Biru menolak untuk menggunakannya karena sekali menarik satu, dia akan menarik lebih banyak tisu untuk menghapus jejak keringat di wajahnya. Menurutnya, itu adalah sebuah pemborosan.
Sisa teh di dalam gelas Biru tenggak sampai tandas, lalu dia bangkit dari kursi dan segera beranjak dari sana sebelum sisa waktu menuju kelas ke-dua semakin menipis.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!