Okkeehh, mari kita tess ombak☺
.
.
.
Shane Hamilton Torres, siapa yang tidak mengenali sosok pria paling dikagumi abad ini. Brengsek, mungkin kata itu adalah nama tengahnya.
Bagi seorang Shane, dunia malam, keliaran, alkohol adalah hal yang tidak bisa lepas dari hidupnya. Wanita adalah candunya. Ia mampu bertahan hidup meski ia tidak makan satu minggu tapi ia tidak yakin apakah ia mampu menjalani hidup tanpa menyalurkan hasratnya kepada wanita, minimal satu kali sehari. Baginya wanita adalah kebutuhan dan hiburan.
Shane Hamilton Torres. Pria yang paling sering mendapat sorotan media baik karena prestasi maupun sensasinya. Prinsipnya, selama kedua hal itu balance, tidak akan menjadi masalah. Menurutnya para wanita lebih menyukai pria cerdas yang nakal. Bukan pria dingin seperti sahabatnya Grey Moore atau pun Delano Sanchez.
Seperti saat ini, Shane sedang bersenang-senang dengan salah satu wanita yang baru ia rekrut untuk menjadi sekretarisnya. Wanita yang bahkan tidak ia ketahui siapa namanya.
Ia memang sangat membutuhkan wanita tapi ia tidak ingin repot-repot mengingat nama para wanita yang ia kencani. Ia tidak peduli dengan nama mereka. Yang ia butuhkan adalah tubuh dan kelihaian mereka di atas ranjang. See, sungguh sangat brengsek bin bajiingan, bukan?
Brak!
"Shitttt! Siapa yang,- apa yang kau lakukan, keparat?!" Miliknya loyo seketika karena terkejut dengan pintu ruangan yang dibuka paksa.
"Setengah jam lagi kau harus sudah berada di Regis High School memberikan sepatah dua kata pidato di hadapan para remaja tersebut." Grey mengeluarkan sebatang rokok dari dalam saku dan menyalakannya dengan pemantik. Tidak peduli dan tidak tertarik dengan apa yang terjadi di hadapannya. Tidak sedikit pun ia melirik kepada wanita yang hampir bugil yang ada di sana. Wajar saja jika pada akhirnya Shane meragukan kemaskulinan pria itu.
"Kenapa bukan kau yang menggantikanku?" Shane membantu wanita bernama Monica itu beranjak dari atas ranjang. "Permainanmu bagus, Momo. Aku menyesal kita harus menundanya." Ia meraup dagu wanita itu dan mengecup bibirnya dengan mesra. Tidak merasa malu sama sekali terhadap sahabatnya yang menatap aksinya dengan wajah datar.
"Charlotte, Sir."
Shane mengangguk, "Kenakan pakaianmu dan keluarlah."
Shane merebut rokok dari tangan sahabatnya dan menghisapnya dalam lalu mengembuskan asapnya ke wajah Grey yang tidak menanggapi sikap kekanakannya tersebut. Pria itu hanya mengibaskan tangan dengan gerakan malas.
"Apa yang harus kulakukan di sekolah?" Shane membuang rokok yang masih panjang dan berjalan menuju toilet. Ia harus membersihkan dirinya.
"Apa saja. Selain mengajak tidur para gadis remaja tersebut."
Terdengar gelak tawa dari dalam toilet. "Aturan pertama dalam hidupku: Jauhi gadis kecil, dekati ibunya!" Ya, Shane tidak peduli dengan status wanita yang ia tiduri. Baik itu janda atau pun wanita bersuami. Baginya hal itu tidak penting sama sekali. Hanya dua jenis perempuan yang ia hindari. Pertama seorang wanita tua. Tua dalam kamusnya tentunya sudah keriput. Libidonya tidak akan beraksi meskipun wanita tua tersebut secantik ratu mesir. Dan yang kedua adalah gadis remaja di bawah usia 20 tahun. Meski ia tahu banyak remaja yang tergila-gila padanya, tapi sejauh ini, ia tidak tertarik dengan mereka. Baginya gadis remaja hanya akan membuatnya dalam masalah dan ia butuh partner tidur bukan partner yang mengharuskan dirinya merangkap sebagai guru sains.
____
Mimpi buruk, ini adalah mimpi buruk bagi Shane. Tidak ada mimpi yang lebih buruk saat menemukan seorang gadis remaja di atas ranjangnya dalam keadaan bugil. What the fucckk!!!
Shane mondar mandir di kamarnya, memeras otak memikirkan cara mengatasi masalah ini. Tatapannya terpaku pada seragam sekolah yang tidak asing. Sekolah yang ia datangi kemarin siang.
"Apa saja. Selain mengajak tidur para gadis remaja tersebut."
Tiba-tiba suara temannya menggema di ruangan itu. Grey memberi peringatan dengan jelas kepadanya. Lantas, kenapa bisa seperti ini?
Otaknya yang biasanya briliant, mendadak tidak berfungsi. Pasalnya, di bawah sana ada para wartawan yang sedang menunggu untuk melakukan konferensi pers dengannya. Meski skandalnya sudah menjadi rahasia umum, Shane bukan pria yang dengan sengaja akan mengumbar keliarannya untuk dikonsumsi publik. Wartawan memiliki seribu cara untuk mengulik kehidupan domestiknya dan hanya karena ia menghentikan salah satunya bukan berarti wartawan lainnya akan ikut berhenti. Ada beberapa hal yang tidak bisa ia tangani dengan kekuasaannya. Termasuk para jurnalis yang dengan keajaiban tangan mereka bisa menciptakan suatu judul menggiring opini.
"Ughh..."
Sebuah lenguhan menarik kesadarannya sepenuhnya. Shane berbalik, menemukan wajah gadis yang terlihat sangat kacau.
"Selamat pagi, Daisy. Sudah siap untuk membereskan masalah ini?"
Shane keluar dari ruang kepala sekolah. Ia melihat Daisy hanya menundukkan kepala tanpa berani menatap ke arahnya. Gadis remaja itu akhirnya dikeluarkan dari sekolah.
Shane tidak tertarik untuk mengucapkan belasungkawa atas hancurnya masa depan gadis tersebut. Sebelum ia melangkah meninggalkan tempat tersebut, matanya bersirobok dengan manik sekelam kabut. Shane tidak bisa mendeskripsikan tatapan wanita bertubuh gempal itu selain tatapan membunuh yang mematikan.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, Shane meninggalkan Daisy bersama wanita bertubuh gempal itu. Masalahnya di sini sudah selesai. Bisnis yang ia bangun mati-matian, tidak akan ia biarkan hancur oleh siapa pun, termasuk seorang gadis remaja ingusan.
Ia sudah menyingkirkan lalat konyol menyedihkan itu. Sekarang, saatnya untuk melupakannya.
Shane melonggarkan dasinya, meregangkan otot leher dan tangannya. Seharian, ia menghabiskan waktunya dengan melakukan telepon konferensi multinasional. Makan siang terlewatkan. Ck! Satu bulan berlalu, tidak ada yang memperhatikan kesehatannya.
Ini salah Charlotte, sekretaris yang sudah bekerja dengannya selama dua tahun. Wanita itu memutuskan untuk mengundurkan diri setelah merasa tidak ada kesempatan untuk merayu Shane.
Shane tidak pernah mencampur adukkan pekerjaan dengan masalah pribadi. Meski Charlotte memiliki sikap dan tingkah yang cukup binal, tapi harus ia akui bahwa Charlotte adalah sekretaris terbaik yang ia miliki. Pekerjaan wanita itu selalu rapi, gesit dan tidak bercela.
Ini sebenarnya cukup mengejutkan. Awalnya ia mengira Charlotte hanya hebat di atas ranjang. Ternyata otak wanita itu patut diacungi jempol. Shane memiliki aturan dalam hidupnya. Selain menjauhi remaja, Shane juga tidak menggunakan jasa wanita untuk kedua kalinya di atas ranjang. Aturan itu lah yang ia terapkan dalam hidupnya beberapa tahun lalu.
Dan kabar baiknya, sudah dua tahun ia bersih dari wanita dan Charlotte memilih untuk mengundurkan diri karena ingin menikah dengan kekasih yang katanya bisa membawanya ke arah yang lebih baik. Yeah! Semoga saja begitu.
Shane masih berusaha membujuk Charlotte agar mengubah keputusannya dengan menawarkan kelipatan gaji dan juga memberi lebih banyak waktu cuti. Hal tersebut ternyata tidak membuat Charlotte mengubah keputusannya. So, ia harus mengakui kekalahannya dengan melepaskan sekretaris handalnya.
Shane beranjak dari kursinya, keluar ruangan menuju ruangan yang bersebelahan dengan ruangannya.
Di balik meja, terlihat seorang wanita dengan kaca matanya sibuk memeriksa tumpukan berkas yang sama banyaknya dengan yang ada di meja kerja Shane sendiri.
"Hai, Yora, kekasihku."
"Cium bokongku jika kau ingin jadi kekasihku!" sinis wanita itu tanpa mengalihkan tatapannya dari pekerjaannya.
"Katakan saja waktu dan tempatnya," Shane menarik kursi di hadapan wanita itu. Tujuannya mendatangi asisten pribadinya itu untuk bertanya apakah ada yang perlu ia ketahui. Jadwalnya semua berantakan. Yang bisa ia andalkan hanya Yora.
"Apakah semuanya baik-baik saja?"
Yora menghentikan gerakan tangannya yang sedang memberikan tanda silang pada beberapa kertas. Mengangkat kepala dengan ekspresi yang jelas menahan kekesalan. Yora yang malang, Shane faham apa yang dirasakan wanita itu. Beban tugas yang melimpah, sampai-sampai Yora tidak bisa menikmati akhir pekannya demi tugas double yang dikerjakan.
"Kacau balau. Duniaku kacau balau," Yora mendesaah.
"Selain itu, selain duniamu yang kacau balau. Apakah ada yang perlu kuketahui, menyangkut bisnis."
"Tidak ada yang penting."
"Bagus." Shane mengetukkan jemari ke atas permukaan meja, memperhatikan kertas yang menumpuk yang sedang dikerjakan Yora. "Bagaimana wawancaranya tadi? Apakah kau sudah berhasil membuat daftar pendek untukku?"
"Aku sudah memperpendek daftar kandidat menjadi lima orang," Yora mengacungkan setumpuk kertas.
Setelah mengaku kalah, Shane akhirnya membuka lowongan untuk mengisi posisi sebagai sekretaris. Penundaan selama satu bulan ini ia lakukan dengan harapan Charlotte mau kembali kepadanya. Tapi, sepertinya kehidupan pernikahan mantan sekretarisnya itu sangat indah sehingga tidak mempunyai waktu memikirkannya.
Shane mempercayakan tugas itu kepada Yora. Asistennya itu tahu betul sekretaris seperti apa yang dia inginkan. Yora tahu seleranya. Yang menjadi sekretarisnya akan mengisi peran sebagai orang yang nanti akan mengurusi keperluan pribadinya, mengatur kehidupan domestiknya. Memastikan kehidupan Shane berjalan mulus selancar bisnisnya. Kemana pun ia pergi, sekretarisnya harus ikut bersamanya.
Kandidat ini juga harus jujur, setia, tidak mengganggu, memiliki SIM, patuh terhadap rambu-rambu lalu lintas dan yang terpenting tanpa catatan kriminal.
Shane mengambil kertas-kertas itu dari tangan Yora. Semua kertas-kertas itu memiliki foto para kandidat. Persyaratan umum yang memang biasa diterapkan perusahaan. Shane yang akan turun langsung mewawancarai secara pribadi para kandidat tersebut dan kemudian akan diperpendek menjadi tiga.
Ia melihat wajah kelima kandidat tersebut. Seperti biasa, cantik. Cantik saja tidak cukup untuk menarik minatnya.
Tatapan Shane teralihkan pada tumpukan yang ada diantara dirinya dan Yora. Tumpukan yang sudah ditolak oleh Yora dengan memberikan tanda silang besar di kertas tersebut.
"Kenapa kau menolak ini?" Shane mengambil kertas yang berada pada tumpukan paling atas. Ada sesuatu yang tidak asing setelah ia melihat foto yang tertempel di pojok kertas. Tatapannya fokus pada mata si pelamar. Tatapan mata yang tidak asing. Shane yakin pernah melihatnya. Tapi di mana dan siapa?
Shane mengamati foto itu dengan seksama. Mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu dengan wanita itu. Biasanya ingatannya sangat tajam tentang wanita, tapi kali ini ia tidak berhasil mengingatnya.
Wanita itu memiliki rambut cokelat panjang yang tergerai, wajah yang cantik namun tajam, hidung mancung, memiliki bibir bawah yang lebih tebal dibanding bibir atasnya, dagunya lancip. Benar-benar sangat cantik tetapi sangat asing bagi Shane.
Shane yakin pernah melihat mata itu. Mata kucing yang begitu tajam.
"Dia adalah Jillian Nelson. Wawancaranya berjalan baik. Tidak ada yang salah sebelum aku membaca surat referensi yang ia berikan."
"Maksudmu?"
"Surat referensi yang ia berikan palsu."
Dahi Shane sedikit berkerut. Bukan karena meragukan penilaian Yora. Wanita itu sangat teliti.
Kenapa pelamar itu memberikan surat referensi palsu? Jelas ada yang tidak beres.
"Yora, hubungi wanita itu untuk mengikuti wawancara kedua."
Yora menatap Shane seolah-olah mengatakan pria itu tidak waras.
"Ya, pastikan dia yang mengisi posisi ini."
Shane benar-benar dibuat penasaran. Ia akan membiarkan wanita itu di sisinya sampai ia berhasil mengingat wanita itu dan mengetahui tujuan wanita itu melamar ke perusahaannya dengan menyertakan referensi palsu. Ini sangat mencurigakan dan Shane tidak suka dicurigai.
Jika ada yang ingin bermain-main dengannya, maka ia akan melayaninya. Kebetulan sekali ia sudah lama tidak bermain-main. Ouh, ini membuatnya sedikit bersemangat.
"Jillian Nelson, siapa kau?"
Jilly berdiri di depan gedung pencakar langit. Torres Management yang merupakan kantor pusat di London.
Butuh waktu lama bagi Jillian untuk memilih pakaian yang pantas untuk mengikuti wawancara. Ia ingin terlihat profesional tapi juga tidak ingin terlihat seolah-seolah ia sangat menginginkan pekerjaan ini. Akhirnya ia memilih turtleneck berwarna hitam yang dipadukan dengan celana panjang abu-abu. Jilly mengenakan sepatu tumit tinggi hitam yang sederhana tapi membantunya untuk terlihat lebih tinggi. Kini pakaiannya terasa menyesakkan dan sepatunya terasa mengganggu di kakinya yang mendadak goyah, ia ragu untuk melangkahkan kaki ke dalam perusahaan tersebut.
Jilly terlihat beberapa kali mengetuk-ngetukkan sepatu ke lantai. Tangannya bahkan sudah berkeringat dingin karena merasa gugup.
Wanita itu menarik napas, menghirup udara sebanyak-banyaknya, berharap tindakannya tersebut bisa menetralisir degupan jantungnya.
Ini kedua kalinya Jilly berdiri di sini. Di depan kantor yang dipimpin oleh Shane Hamilton Torres. Satu minggu yang lalu ia juga berada di sini. Melakukan wawancara. Dan kemarin sore, Jilly mendapat panggilan untuk melakukan wawancara akhir. Di sinilah ia berada, menyamar menjadi pelamar hanya demi untuk sebuah tujuan bersifat pribadi.
Shane Hamilton Torres, pria yang tidak akan pernah ia lupakan. Bukan karena ketampanan, juga bukan karena kepopuleran pria itu, melainkan karena kekejian dan kekejaman pria itu.
Meski dua tahun sudah berlalu, masih segar dalam ingatannya bagaimana pria biadab itu menghancurkan masa depan adiknya, Daisy.
"Baiklah, aku sudah di sini, dan aku tidak bisa mundur lagi."
Dengan hati yang masih berdegup kencang, Jilly melangkahkan kaki dengan mantap, memasuki gedung. Jilly berjalan menuju meja resepsionis yang langsung disambut ramah senyuman manis dari wanita cantik yang bekerja di balik meja itu.
"Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku ingin mengikuti wawancara."
"Oh, silakan naik ke lantai 15, Nona. Anda bisa menggunakan lift di sebelah sana," tunjuk wanita itu ke arah sebelah kiri.
"Terima kasih," Jilly mengangguk, lalu meninggalkan meja resepsionis tersebut.
Jilly duduk di ruang tunggu yang luas. Mendadak dadaanya merasa sesak luar biasa. Astaga! Ia lupa caranya bernapas. Jilly buru-buru memasukkan udara ke paru-paru. Jantungnya berdebar liar, mengentak-entak di telinganya dan ia terus mengelap telapak tangannya yang lembab ke pangkuannya.
Untuk sesaat, keraguan menyelusup ke dalam benaknya. Dendamnya yang membara membuatnya tidak berpikir jernih saat melihat Torres Management membuka lowongan pekerjaan sebagai sekretaris pribadi. Pun ia dengan nekat membuat surat referensi palsu. Jelly hanya bisa berdoa semoga tempatnya bekerja tidak menyadari aksi balas dendamnya yang bersifat pribadi. Ya, Jillian Nelson bekerja di salah satu surat kabar ternama. Jilly merupakan jurnalis handal yang sering membongkar kejahatan para pengusaha curang. Dan kali ini targetnya adalah Shane.
Ia tahu kemungkinan mendapatkan pekerjaan ini sangat kecil. Jilly cemas jika ada kesalahan dalam CV dan referensi palsu yang dibuatnya secara terburu-buru.
Wawancara awal yang ia lakukan menurut Jilly tidak berjalan dengan baik. Ia sudah pasrah bahwa dirinya tidak akan diterima dan mulai memikirkan cara lain untuk menghancurkan Shane. Kejutan itu datang saat ponselnya berdering kemarin, mengundangnya untuk mengikuti wawancara kedua. Ia amat sangat terkejut sampai-sampai ia merasa angin sepoi-sepoi pun bisa menumbangkannya.
Satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di sana di tengah nalurinya yang menolak untuk mengikuti wawancara ini adalah ingatan bagaimana si bajiingan Shane menatapnya dan adiknya dengan kilatan penuh kebencian. Astaga! Ia merasakan bulunya meremang mengingat wajah keji pria itu.
"Miss Jillian Nelson."
Jilly tersentak saat namanya dipanggil. Ia mendongak menatap wanita yang berdiri di depan pintu ruangan Shane.
"Mr. Hamilton Torres sudah siap untuk bertemu dengan Anda, silakan masuk."
Pria brengseek itu membuatnya menunggu hampir selama dua jam! Ia merasakan mual yang melilit karena merasa lapar. Entah karena terlalu bersemangat atau gugup, Jilly melupakan sarapannya dan justru meneguk satu cangkir kopi.
Pintu ruangan terbuka, Jilly dipersilakan masuk. Seketika ia terkesima. Ruangan itu dua kali lebih besar dibanding ruangannya di kantor yang dihuni oleh beberapa orang. Mewah? Sudah pasti sangat mewah.
Kegugupannya semakin menjadi saat melihat targetnya duduk tenang di balik meja kerja yang super besar dari kayu ek, fokus pada komputer yang ada di hadapannya. Pria itu tidak mendongak sama sekali.
"Tunggu sebentar dan silakan duduk,"
Mendengar suara pria itu kembali setelah dua tahun lamanya, membuat amarah Jilly kembali berkobar.
Gadis pecandu ini merangkak naik ke atas ranjangku. Aku tidak mengenalnya.
Kata-kata itulah yang diucapkan Shane di kantor kepala sekolah dan detik itu juga masa depan adiknya hancur. Bukan hanya masa depan Daisy, tetapi juga Jilly. Selama dua tahun ini merupakan mimpi buruk dan hari terberatnya.
Ia adalah wali bagi adiknya. Kedua orang tua mereka sudah tiada. Daisy bukan seperti adik lagi baginya melainkan seorang anak. Jillian hampir pingsan saat mengetahui bahwa adik kesayangannya menjadi pecandu narkoba di usia yang masih muda, 16 tahun dan Shane mengatakan tidak mengenal Daisy sementara pria itu juga mengatakan adiknya ada di ranjang pria itu.
Masalahnya tidak sampai di sana, Daisy berulang kali hendak bunuh diri. Benar-benar membuat Jilly frustasi. Selama dua tahun ini, Jillian yang dulunya bertubuh gempal, gemuk, berhasil menurunkan bobot tubuhnya sebanyak 25kg. Secara fisik, Jilly sudah banyak berubah.
Ya, pertemuan kami hanya satu kali dan beberapa menit. Bobot tubuhku sudah turun banyak. Si serigala bajiingan ini tidak akan mengenaliku.
Shane akhirnya mendongak. Mata tajam pria itu mengamati Jilly dengan seksama. Jilly harus meredam rona merah yang mengancam akan muncul di kulit wajahnya. Tatapan pria itu menyiratkan bahaya. Ia merasa menciut seketika.
Jilly menelan ludah, sangat ingin membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Shane adalah pria paling brengseek yang ia tahu. Namun, kenyataan bahwa pria itu sangat tampan tidak bisa dipungkiri. Rambutnya hitam kecokelatan dengan sedikit poni yang menyentuh keningnya. Tulang pipinya tinggi, rahangnya berbentuk persegi yang mulai ditumbuhi tunas-tunas cambang. Hidungnya mancung dengan ujung yang sedikit membengkok. Dengan kulit kecoklatan. Pria itu terlihat tepat di usianya yang 34 tahun.
Shane adalah pria paling maskulin yang pernah Jilly lihat seumur hidupnya.
Jilly tersentak saat menemukan pria itu tersenyum miring ke arahnya. Seperti serigala jahat yang tersenyum tepat sebelum melahap sekumpulan anak kambing.
"Selamat karena kau berhasil masuk ke dalam daftar pendek, Miss Nelson. Harus kuakui bahwa kau adalah kandidat yang kusukai."
Jilly kembali dibuat terkejut, "Benarkah?"
"Sebelum menjelaskan persyaratan yang harus kau penuhi selama menjadi sekretarisku, aku ingin menanyakan beberapa hal tentang dirimu terlebih dahulu."
Hening sejenak, Jilly memaksakan tenggorokannya yang kering untuk bekerja. "Apa yang ingin Anda ketahui, Mr. Torres?"
"Jika aku memberi pekerjaan ini padamu, kau akan menjadi tangan kananku. Kau akan sering menghabiskan waktu denganku. Orang yang akan tahu rahasia-rahasia terdalamku. Aku harus percaya padamu dan kau juga tidak boleh mengkhianatiku. Kita harus bisa bekerjasama dengan baik."
Gestur tubuh Shane yang ramah, suaranya yang merdu dan tatapannya yang ramah membuat Jilly yakin bahwa ia sudah berhasil mengelabui Shane. Tapi kesan berbahaya masih terlihat jelas.
Naluri Jilly memerintah agar ia segera beranjak dari sana dan segera meninggalkan tempat tersebut.
"Miss Nelson, apakah kau punya pasangan atau suami?"
Jilly terlihat sangat bingung dengan pertanyaan tersebut. Apa hubungan statusnya dengan pekerjaan ini.
Seakan mengetahui kebingungannya, Shane dengan segera menambahi, "Aku bertanya karena apabila kau memiliki pasangan dan suami, kau harus mengerti bahwa kau dan mereka akan sulit menghabiskan waktu bersama karena tuntutan pekerjaan ini."
"Aku tidak mempunyai pasangan istimewa." Jilly tidak pernah mempunyai kekasih dan tidak berniat untuk menjalin hubungan dengan pria. Pria tidak bisa dipercaya. Ia sudah tahu itu bahkan saat ia masih kecil. Satu-satunya pria yang ia percayai juga sudah pergi membawa serta hatinya.
"Anak?"
Jilly mengerutkan keningnya. Jelas-jelas ia mengatakan tidak mempunyai pasangan. Dari mana munculnya anak?
"Tidak."
"Binatang peliharaan, kucing, ikan mas, ikan koki, anjing, kambing, kelinci, beruang..."
"Tidak ada," Jilly menyela dengan cepat.
"Bagus. Jadi, Miss Nelson, pekerjaan ini mengharuskan kau bekerja selama 24 jam. Kau keberatan."
Jillian menggeleng.
"Pekerjaan ini berhubungan dengan kegiatan sehari-hariku. Aku banyak menghabiskan banyak waktu saat bekerja. Jadi, saat di rumah aku menginginkan kenyamanan. Aku ingin kebutuhan dan kenyamananku dipenuhi oleh orang yang cekatan, tidak membantah apalagi menggerutu di depan dan di belakangku. Aku ingin seseorang yang mengurus kebutuhan pribadiku seperti menuangkan teh untukku, menyiapkan pakaianku, mengambil handuk saat aku sedang berolahraga."
Yang dibutuhkan si keparat ini bukan sekretaris pribadi melainkan seorang budak!! Jilly berseru dalam hatinya.
"Sebagai gantinya, aku akan memberikan gaji yang setimpal atas semua pekerjaan yang kau lakukan." Shane menyebutkan nominal yang membuat Jillian langsung cegukan. Gaji tersebut tiga kali lipat lebih besar daripada gajinya sebagai jurnalis.
Mungkin hanya orang bodoh yang menolak tawaran ini. Digaji dengan nominal fantastis yang hanya bertugas sebagai budak serigala tampan.
"Nah, Miss Nelson, ada satu syarat penting yang harus dipenuhi jika ingin menjadi sekretaris pribadiku. Saat aku pulang ke rumah, aku ingin disambut dengan senyuman dan tidak ingin direcoki hal sepele. Apakah kau bisa tersenyum?
Senyum? Sudah lama Jilly tidak melakukan hal sepele itu. Senyumnya direnggut seiring dengan hancurnya masa depan adiknya.
Perlahan ia melunakkan otot-otot di wajahnya, bibirnya dengan kaku melengkung tipis. Sebuah senyuman terbit di sana.
"Jauh lebih manis," Manik Shane berkilat-kilat memandanginya. "Kupikir pekerjaan ini sangat cocok untukmu. Kau diterima jika kau menginginkannya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!